Demokrasi, Negara, dan Good Life

http://www.thehiphopchronicle.com

Pembacaan Sistematik Kritis atas Tulisan-tulisan Aristoteles tentang Demokrasi di dalam Buku Politics

Oleh Reza A.A Wattimena

Dosen Filsafat Politik, Fakultas Filsafat Unika Widya Mandala Surabaya

            Jujur saja, saya tidak mengenal semua tetangga saya. Selama ini, saya pun tidak ada keinginan untuk mengenal mereka. Yang penting mereka mengurus dirinya sendiri, dan saya mengurus diri saya sendiri. Urusan selesai. Semua sama-sama senang. Di sisi lain, ketika menonton TV, atau membaca koran, saya juga sering merasa terasing dengan orang-orang yang diberitakan di dalamnya. Ada koruptor, orang-orang fanatik agama, para pencinta uang dan kuasa, serta orang-orang di penjuru lain Indonesia yang tidak saya kenal, dan tidak ada keinginan untuk mengenal. Saya merasa tidak sebangsa dengan mereka. Sebagai warga negara, apakah ini adalah sikap yang tepat? Apakah banyak orang yang berpikir dengan pola seperti saya? Jika banyak orang merasa seperti saya, apakah Indonesia masih bisa disebut sebagai negara, apalagi sebagai bangsa? Menurut saya, ketidakpedulian politis kini mulai menjadi gejala umum di berbagai kalangan masyarakat, terutama anak-anak muda yang lebih terpikat untuk membeli, mengumpulkan, dan memamerkan kekayaan ekonomis mereka.

            Di sisi lain, para parasit, yakni orang-orang yang banyak menuntut dan terus menghisap sumber daya, tanpa ada keinginan untuk berkorban demi kepentingan yang lebih besar, terus bertambah. Memang, mereka membayar pajak. Tetapi, itu pun dilakukan atas dasar rasa takut, dan bukan pada kesadaran penuh untuk melindungi dan mengembangkan negara. Dengan kata lain, para parasit adalah orang-orang yang terus dengan bersemangat menghisap semua sumber daya yang ada untuk kesenangan hidup mereka, sambil tidak mau berkorban untuk melindungi sekaligus mengembangkan negara mereka. Keberadaan mereka juga memiliki sebab. Jajaran penguasa politis di Indonesia berbentuk oligarki, yakni sistem pemerintahan yang dikendalikan oleh sekelompok orang-orang kaya, dan bekerja untuk kepentingan orang kaya belaka. Banyak orang yang tidak puas dengan kebijakan-kebijakan politis yang lahir, maka mereka pun lari ke dalam ruang-ruang pribadi mereka, menjadi parasit, dan tidak lagi peduli dengan politik. Dalam arti ini, para penguasa politis gagal menciptakan negara yang memberikan keadilan, kemakmuran, serta kecerdasan untuk semua orang.

            Di dalam tulisan ini, saya akan mencoba memahami segala kekacauan politis di atas dengan menggunakan kerangka teoritis filsafat politik Aristoteles. Untuk itu, saya akan membaca langsung tulisan-tulisan Aristoteles di dalam buku filsafat politiknya yang termasyur, yakni Politics. Argumen yang ingin saya ajukan adalah, bahwa krisis politis di Indonesia terjadi, karena krisis demokrasi, dan teori Aristoteles tentang demokrasi bisa memberikan sebuah cara baru untuk memimpin negara dengan cara-cara yang demokratis. Karena keterbatasan bahasa, maka saya menggunakan edisi bahasa Inggris yang telah diterjemahkan dan disunting oleh Jonathan Barnes. Di samping itu, saya juga akan mencoba menerapkan beberapa ide dasar Aristoteles tentang demokrasi untuk konteks Indonesia. Lepas dari rentang waktu dan tempat yang jauh berbeda dengan konteks kita di Indonesia, saya percaya, bahwa pemikiran Aristoteles masih bisa memberikan beberapa inspirasi untuk kehidupan politik kita di Indonesia dewasa ini.

            Untuk itu, tulisan ini akan dibagi ke dalam empat bagian. Awalnya, saya akan memperkenalkan sosok pribadi sekaligus latar belakang pemikiran Aristoteles. (1) Pada bagian ini, saya banyak terbantu oleh tulisan Christopher Shields, Internet Encyclopedia of Philosophy, dan Stanford Encyclopedia of Philosophy. Kemudian, saya akan memberikan komentar kritis dan kontekstual Indonesia atas ide-ide Aristoteles yang tertuang di dalam buku The Politics. (2) Untuk ini, saya menggunakan versi terjemahan dari Jonathan Barnes. Saya juga banyak terbantu dari tulisan Thomas R. Martin, Neel Smith, dan Jennifer F. Stuart tentang Aristoteles. Berikutnya, saya akan mencoba menyimpulkan beberapa gagasan dasar Aristoteles, dan melihat kemungkinan penerapannya di Indonesia. (3) Tulisan ini akan ditutup dengan kesimpulan, sekaligus catatan kecil saya atas pemikiran Aristoteles.

1. Aristoteles, Hidup dan Pemikirannya

            Sebagaimana dicatat oleh Shields, pendapat orang tentang pribadi Aristoteles seolah terbelah dua. Di satu sisi, ia dianggap sebagai orang yang, walaupun amat cerdas, menyebalkan, arogan, dan suka mendominasi pembicaraan, tanpa mau mendengarkan pendapat orang lain.[1] Di sisi lain, beberapa temannya berpendapat, bahwa Aristoteles adalah sosok pribadi yang amat brilian, perhatian pada perasaan teman-temannya, dan amat mencintai semua proses pengembangan pengetahuan di berbagai bidang. Dengan kata lain, ia adalah pribadi yang hangat, sekaligus sosok filsuf dan ilmuwan sejati. Dua potret ini membuat kita memiliki dua pendapat yang berbeda tentang Aristoteles. Namun, jika kita memahami, bahwa kepribadian manusia pada dasarnya adalah suatu fragmentasi, yakni suatu keterpecahan, maka dua pendapat yang kontras berbeda tentang kepribadian Aristoteles bisa kita tempatkan sebagai sesuatu yang benar. Pada hemat saya, tidak ada satu orang pun di dunia ini yang hanya memiliki satu sisi pribadi. Semuanya memiliki sisi-sisi yang terpecah, dan seringkali kontras bertentangan.

            Aristoteles mulai berkarya sebagai seorang ilmuwan dan filsuf di Athena, setelah ia cukup lama belajar di Akademi yang didirikan oleh gurunya, yakni Plato. Namun, tidak seperti murid pada umumnya, ia mengambil jarak dari Plato, dan melakukan kritik keras pada pemikirannya. Shields menulis Aristoteles sebagai seorang “murid yang menendang ibunya sendiri.”[2] Dalam arti ini, ibu adalah gurunya, yakni Plato sendiri. Di dalam sejarah filsafat, kita sudah mengetahui, bahwa Aristoteles secara telak melakukan kritik pada inti seluruh filsafat Plato, yakni teorinya tentang forma-forma (forms). “Selamat tinggal kepada forma-forma”, demikian tulis Aristoteles, “mereka hanya mainan, dan jika pun ada, mereka tidak relevan.”[3]

            Tidak hanya filsafat Plato, bagi Aristoteles, seluruh filsafat sebelumnya bersifat kasar, dan kekanak-kanakan. Para filsuf sebelumnya banyak berkutat dengan permasalahan filosofis yang disebut sebagai “satu dan banyak” (one and many). Intinya begini, apakah unsur dasar realitas itu tunggal, atau jamak? Dan bagaimana penjelasannya? Aristoteles mencemooh gaya berpikir semacam ini. Baginya, sebagaimana dicatat oleh Shields, mengapa unsur terdasar dari alam semesta dan realitas itu sekaligus satu, dan banyak?  Seperti dinyatakan oleh Shields, Aristoteles memang seringkali tidak adil terhadap para pemikir sebelumnya. Ia memilih argumen-argumen terlemah para pemikir sebelumnya, dan kemudian menjadikannya alasan untuk melakukan kritik terhadap mereka, serta, dengan begitu, mengajukan pemikirannya sendiri yang, dianggapnya, lebih baik.

            Aristoteles lahir pada 384 sebelum Masehi di Stagirus, koloni Yunani pada masa itu yang sekarang sudah tidak lagi ada.[4] Ayahnya bernama Nicomachus, seorang dokter kerajaan di Makedonia. Namun sayang, ayahnya meninggal, sewaktu Aristoteles masih kecil. Pada usia 17, ia pergi ke Athena untuk melanjutkan pendidikannya. Pada masa itu, Athena adalah pusat dari ilmu pengetahuan, filsafat, dan kebudayaan Yunani.  Di sana, Aristoteles langsung belajar pada Plato, yang memang pada masa itu dikenal sebagai seorang filsuf besar selama kurang lebih 20 tahun. Pada 347, Plato meninggal. Sebagai salah seorang muridnya yang paling cerdas, Aristoteles sebenarnya bisa menjadi pemimpin akademik berikutnya, menggantikan Plato. Namun, karena banyak posisi-posisi teoritisnya yang beseberangan secara diametral dengan Plato, Aristoteles tidak mungkin menjadi penerusnya sebagai pemimpin Akademi.

            Aristoteles menerima undangan dari Hermeas, penguasa di Mysia, untuk pindah ke istananya, dan menjadi tutor pribadi. Aristoteles menerima undangan itu, dan pergi ke sana. Ia mengajar selama 3 tahun, dan menikah dengan seorang wanita bernama Pythias. Beberapa waktu kemudian, Aristoteles mendapatkan undangan dari Phillip Makedonia untuk menjadi tutor pribadi bagi anaknya, Alexander. Pada waktu itu, Alexander baru berusia 13 tahun. Selama 5 tahun, ia belajar bersama Aristoteles. Dan seperti kita semua tahu, Alexander nantinya akan menaklukan begitu banyak daerah di Eropa, Timur Tengah, Mesir, sampai dengan bagian Utara India. Bersama dengan penaklukannya itu, ia menyebarkan pemikiran Yunani Kuno. Seluruh proses ini dikenal nantinya sebagai Helenisasi. Rupanya, seperti dicatat oleh banyak ahli, Philip dan Alexander amat menghargai Aristoteles. Ia mendapatkan banyak uang untuk melakukan penelitian-penelitiannya, hidup layak, dan mengajarkan ilmunya. Tidak hanya itu, menurut legenda, ia mendapatkan amat banyak budak untuk membantunya mengumpulkan data demi pengembangan penelitian empirisnya, terutama yang terkait dengan alam.[5]

            Setelah selesai dari Makedonia, Aristoteles kembali ke Athena. Pada masa itu, Platonisme, yang merupakan pengembangan dari filsafat Plato, berkembang pesat di berbagai penjuru Yunani, terutama Athena. Namun, seperti sudah disinggung sebelumnya, Aristoteles tidak menyetujui banyak isi dari filsafat Plato. Maka, ia pun mendirikan sekolah tandingan yang disebutnya sebagai Lyceum. Ada kebiasaan menarik di tempat ini. Aristoteles sering berdiskusi dengan murid-muridnya sambil berjalan. Tradisi berdiskusi sambil berjalan ini nantinya disebut sebagai peripatetics, yang juga berarti “untuk berjalan”.[6] Di Lyceum, Aristoteles mengajar kurang lebih selama 13 tahun. Di sana pula, ia merumuskan sistem filsafatnya, dan menulis begitu banyak buku tentang beragam hal, mulai dari tentang fenomena alam, politik, sampai dengan tentang metafisika. Ia memberikan dua macam kuliah. Yang pertama adalah kuliah yang mendetil tentang sistem filsafatnya yang biasanya diberikan pada pagi hari untuk murid-murid yang ia anggap berbakat. Yang kedua adalah kuliah yang lebih populer yang diberikan untuk murid-murid pada umumnya.

            Setelah Alexander meninggal pada 323 sebelum Masehi, seluruh dunia seolah memusuhi segala sesuatu yang berbau Makedonia, termasuk Aristoteles, karena ia pernah menjadi tutor pribadi di tempat itu. Ia pun dituntut atas dasar pengkhianatan pada negara. Namun, ia berhasil melarikan diri. Ucapannya ketika melarikan diri kini sudah menjadi terkenal di kalangan para peminat filsafat. “Orang-orang Athena tidak akan lagi mendapatkan kesempatan untuk berdoas terhadap filsafat seperti yang telah mereka lakukan kepada Sokrates.”[7] Ia pergi ke Chalcis di Euboea. Namun, tahun pertama di sana, ia menderita sakit perut, dan kemudian meninggal pada 322 sebelum Masehi. Sebagai seorang filsuf, nama Aristoteles sudah melegenda. Ia menulis beragam tema, mulai dari logika, matematika, fisika, biologi, etika, politik, dan bahkan pertanian. Dari gaya menulis dan tema tulisannya, kita bisa melihat, bahwa ia amat menekankan pentingnya pengalaman inderawi sebagai dasar dari pengetahuan manusia. Pada titik inilah ia berbeda dengan gurunya, Plato, yang lebih menekankan forma-forma yang berada di level metafisis, melampaui pengalaman inderawi.

            Tidak hanya seorang filsuf dan ilmuwan, Aristoteles juga adalah seorang penulis yang amat produktif. Buah-buah pikiran dan tulisannya mengubah pandangan banyak orang tentang dunia. Thomas Aquinas, salah satu filsuf Eropa Abad Pertengahan terbesar, bahkan selalu menyebut Aristoteles sebagai “Sang Filsuf”. Setidaknya, sebagaimana dicatat oleh Internet Encylopedia of Philosophy, Aristoteles semata hidupnya telah menulis 200 traktat filsafat. Sayangnya, kini hanya ada 31 traktat yang selamat, dan bisa dibaca. Bentuknya adalah naskah kuliah dan catatan-catatan pendek yang memang tak pernah dimaksudkan untuk dibaca oleh publik luas. Kesan kering dan membosankan pun tak dapat dihilangkan, ketika kita mencoba untuk membaca teks-teks tersebut. Sumbangan terbesar Aristoteles, sebagaimana diakui oleh banyak ilmuwan dan filsuf, adalah membuat klasifikasi pengetahuan manusia yang terdiri dari biologi, etika, dan matematika. Sampai sekarang, kita masih menggunakan klasifikasi pengetahuan ini.

            Aristoteles juga dikenal sebagai bapak logika. Ia adalah pemikir yang pertama kali secara serius merumuskan sistematika berpikir manusia dengan menggunakan rumus-rumus formal yang bisa dipelajari semua orang. Ia berpendapat, bahwa kekuatan argumen seseorang bisa dilihat dari struktur argumen tersebut, dan bukan semata isinya. Dengan demikian, selama pengandaian-pengandaian yang menyusun suatu argumen benar, maka orang bisa menarik kesimpulan baru yang juga lurus (bukan benar) dari pengandaian tersebut, dan memperlakukannya sebagai kebenaran. Misalnya, Andi adalah orang Jawa (terbukti benar). Semua orang Jawa berkulit coklat (terbukti benar). Maka, Andi berkulit coklat (lurus, bisa juga benar). Ini disebut juga sebagai logika sillogisme yang sampai sekarang masih digunakan sebagai dasar berpikir dan penarikan kesimpulan. Seluruh karya Aristoteles memiliki ciri yang sama, yakni penekanan pada sistematika berpikir, penarikan kesimpulan yang baik, dan berpijak pengalaman inderawi. Terkait dengan filsafat Plato, bagi Aristoteles, forma-forma bukanlah sesuatu yang bersifat metafisis, dan terletak di dunia ide, sebagaimana dimaksudkan oleh Plato, melainkan sesuatu yang sudah ada di dalam benda itu sendiri, dan bersifat empiris (dapat dicerap oleh pengalaman inderawi).

            Melihat begitu luas dan dalamnya karya-karya Aristoteles, kita akan sulit menentukan, aliran apakah yang dipeluk olehnya. Berbagai komentar dan tafsiran tentang pemikirannya telah lahir, dan seringkali berbeda, dan bahkan bertentangan, satu sama lain.[8] Filsafat Aristoteles bisa digunakan untuk melakukan kritik ataupun membenarkan suatu tindakan apapun. Lepas dari itu, ketika kita mencoba untuk membaca tulisan-tulisannya dengan mata “segar”, kita jelas akan menemukan sebuah ide yang menantang secara intelektual, dan penuh dengan ide-ide filosofis baru yang sebelumnya tak kita tahu, atau justru terlupakan. Kita perlu melepaskan segala label yang telah dibuat oleh para ahli ataupun komentator pemikiran Aristoteles, termasuk yang terus berusaha membandingkan pemikirannya dengan Plato, dan baru begitu, kita bisa sungguh memahami keluasan sekaligus kedalam pemikirannya. Bukankah itu yang kiranya Aristoteles sendiri inginkan?

2. Demokrasi Menurut Aristoteles

            Di dalam berbagai analisis maupun teori tentang demokrasi, pemerintahan demokratis di masa Yunani Kuno selalu menjadi bahan kajian yang menarik.[9] Salah satu teks filsafat yang paling menarik tentang demokrasi di masa Yunani Kuno adalah karya Aristoteles yang disebut sebagai Politeia, atau Politics. Buku tersebut juga amat menantang untuk dibaca. Di satu sisi, buku tersebut berbicara soal prinsip-prinsip teoritis bagi tata politik negara ataupun pemerintahan. Di sisi lain, buku tersebut juga banyak berbicara soal situasi aktual masyarakat Yunani Kuno yang memang menggunakan sistem demokrasi dalam pemerintahannya. Percampuran antara “yang teoritis” dan “yang praktis” terkait dengan ilmu politik amat kental di dalam buku tersebut.

            Aristoteles memulai dengan pengandaian dasar tentang apa itu negara, dan siapa itu manusia. Baginya, adanya negara adalah sesuatu yang alamiah, karena manusia, pada hakekatnya, adalah mahluk politis. Dengan kata lain, karena manusia, secara alamiah, adalah mahluk politis, maka negara, sebagai komunitas politis, pun juga adalah sesuatu yang ada secara alamiah. “Dengan demikian,” tulis Aristoteles, “adalah jelas bahwa negara adalah ciptaan dari alam, dan manusia secara alamiah adalah binatang yang politis.”[10] Lalu, bagaimana dengan orang-orang yang tak punya negara, atau yang tak tergabung dengan komunitas politis tersebut? Aristoteles secara jelas membedakan antara orang-orang yang tak memiliki negara secara sengaja di satu sisi, dan orang-orang yang terpaksa tidak memiliki negara. Orang-orang yang memilih untuk tak bernegara, bagi Aristoteles, adalah orang-orang yang jahat, yang sekaligus tidak mengenal hukum, pecinta perang dan kekacauan, serta kejam.

            Benarkah manusia adalah mahluk politis, dalam arti mahluk yang membentuk polis, atau kota, atau komunitas politis? Benarkah bahwa dia, secara alamiah, terdorong untuk hidup bersama manusia-manusia lainnya dalam satu komunitas? Ini jelas merupakan pengandaian antropologis dari filsafat politik Aristoteles. Dan, menurut saya, ini bukan hanya konsep teoritis, melainkan juga selalu berpijak pada pengalaman nyata manusia-manusia konkret di dunia. Tidak ada satu pun manusia yang hidup tanpa komunitas. Identitasnya sebagai manusia, termasuk kediriannya, pun diberikan oleh komunitas tempat ia hidup dan berkembang. Ada hubungan timbal balik antara manusia dan komunitasnya. Di satu sisi, manusia menciptakan komunitasnya. Di sisi lain, ia pun diciptakan oleh komunitasnya. Dalam arti ini, saya sepakat dengan Aristoteles, bahwa dorongan untuk menciptakan tata politik, yakni sebagai manusia manusia politis, adalah kodrat alamiah manusia.

            Dengan berpijak pada pengandaian, bahwa manusia adalah mahluk politis, dan bahwa negara adalah sesuatu yang alamiah, Aristoteles menegaskan, bahwa di dalam negara, selalu ada struktur kekuasaan, yakni antara yang memerintah, dan yang diperintah. Hubungan antara pemerintah dan yang diperintah ini memiliki beberapa model. Model pertama adalah model yang primitif, di mana politik ditujukan untuk sepenuhnya kepentingan pemerintah, atau penguasa. Model ini disebutnya sebagai model hubungan tuan dan budak. “Kekuasaan dari seorang tuan,” demikian tulis Aristoteles, “walaupun budak dan tuan secara alamiah memiliki kepentingan yang sama, bagaimanapun juga selalu memihak pada kepentingan tuan.”[11] Walaupun begitu, tuan tetap harus memikirkan dan mempertimbangkan kepentingan budaknya. Jika budak hancur, maka kepentingan tuan pun tidak akan terpenuhi. Tanpa budak, tidak ada tuan. “Jika budak hancur”, demikian tulisnya, “maka kekuasaan sang tuan pun ikut hancur bersamanya.”[12]

            Pada titik ini, menurut saya, Aristoteles memberikan argumen yang amat baik tentang hakekat kekuasaan, yakni, pada hakekatnya, kekuasaan itu bersifat timbal balik. Di satu sisi, publik membutuhkan penguasa, pemerintah, dan pemimpin untuk menjalankan rutinitas hidup sehari-hari, dan menjamin, bahwa semua kebutuhannya, sedapat mungkin, terpenuhi. Di sisi lain, penguasa, pemerintah, ataupun para pemimpin membutuhkan publik untuk melegitimasi kekuasaannya, atau, dalam bahasa filsafat, memberikan “alasan adanya” kekuasaan itu. Poin ini, pada hemat saya, penting untuk diperhatikan oleh para penguasa politis di seluruh dunia, terutama untuk para tiran yang memerintah dengan tangan besi dan penindasan. Tidak ada kekuasaan yang bisa bertahan, tanpa publik yang mendukung kekuasaan itu. Maka, tidak ada tiran yang akan terus bertahan, selama ia terus menindas dan mengabaikan kepentingan rakyat banyak. Kekuasaan, pada dirinya sendiri, sudah selalu melahirkan kontrol, yakni kepentingan publik itu sendiri. Dari sudut pandang ini, tirani, ataupun bentuk kekuasaan yang menindas lainnya, secara niscaya akan menghancurkan dirinya sendiri.

            Model kekuasaan kedua, menurut Aristoteles, adalah model rumah tangga, yakni antara orang tua dan anaknya di dalam sebuah keluarga. Di dalam model ini, kekuasaan digunakan untuk memenuhi kepentingan semua pihak, terutama pihak yang dipimpin. Orang tua memimpin rumah tangga untuk kebaikan anak-anaknya, dan bukan untuk kebaikan orang tuanya semata. Logikanya begini, karena orang tua memperhatikan kepentingan anak-anaknya, maka, secara tidak langsung, kepentingan mereka pun terpenuhi, dan semua pihak akhirnya mendapatkan kepuasan.  “Pemerintahan yang terdiri dari istri dan anak dan rumah tangga, yang disebut juga manajemen rumah tangga”, demikian tulis Aristoteles, “ada pertama-tama untuk kebaikan dari pihak yang diperintah atau juga demi kebaikan kedua belah pihak, tetapi secara esensial untuk kebaikan yang diperintah.”[13] Jika model ini diterapkan di level politik, yakni lebih masyarakat luas, maka yang tercipta kemudian adalah tata politik demokratis. Di dalam politik demokratis, menurut Aristoteles, negara bergerak di dalam kerangka prinsip kesetaraan antara manusia. Penguasa pun tidak lagi digilir berdasarkan darah ataupun kekuatan militer, melainkan dipilih bergantian di antara orang-orang terbaik yang ada di dalam masyarakat tersebut. Para penguasa dipilih, karena mereka dianggap bisa memberikan yang terbaik untuk masyarakat, dan memenuhi kebutuhan-kebutuhan masyarakat luas. Dengan menjalankan peranannya, sang penguasa, yang dipilih secara bergantian, pun mendapatkan keuntungan berlimpah. “Seperti situasi alamiahnya,” demikian tulis Aristoteles, “orang akan bergantian melayani sebagai penguasa, dan sekali lagi, orang lain akan memperhatikan kepentingannya, sama seperti dia, ketika ia memimpin, memperhatikan kepentingan mereka.”[14] Inilah politik yang ideal menurut Aristoteles.

            Gagasan ini, pada hemat saya, merupakan jantung hati dari teori demokrasi. Penguasa memimpin rakyat untuk kebaikan rakyatnya, dan ketika ia menjadi rakyat kembali, dan penguasa lain yang memimpin, ia pun, si mantan penguasa politik, akan diperhatikan kepentingannya. Seluruh praktek demokrasi yang terjadi di dunia sekarang ini sebenarnya berpijak pada prinsip ini. Tentu saja, seperti juga di jaman Aristoteles hidup, banyak penyelewengan yang terjadi di dalam politik demokratis. Misalnya, sang penguasa politis ingin tetap berada sebagai penguasa, bukan karena untuk melayani kepentingan rakyatnya, melainkan untuk memperkaya diri, maupun kelompoknya. Padahal, mereka sebenarnya tahu, bahwa jika memerintah dengan jelek, maka setelah turun dari kursi pemerintahan, mereka akan dibenci. Demi kebaikan seluruh rakyat, dan kebaikan dirinya sendiri, maka seorang penguasa politis harus memerintah dengan baik dan adil. Ini, pada hemat saya, adalah sesuatu yang amat logis, yang amat penting di dalam seluruh logika demokrasi, yang kini menjadi paradigma politik dominan di seluruh dunia. Belum terciptanya demokrasi di Indonesia bukan berarti, bahwa demokrasi, sebagai konsep dan tujuan politis, cacat. Sebaliknya, proses demokratisasi belumlah kelar di Indonesia, dan tidak ada alasan untuk berhenti sekarang.

            “Kesimpulannya jelas”, demikian tulis Aristoteles, “pemerintah yang berpihak pada kepentingan bersama dibentuk sesuai dengan prinsip keadilan yang ketat.. yakni negara yang merupakan komunitas orang-orang bebas.”[15] Negara yang cacat adalah negara yang hanya mementingkan kepentingan dan keinginan penguasa politis. Bentuknya bisa beragam, mulai dari monarki, sampai dengan totalitarisme militer. Negara demokratis, menurut Aristoteles, persis berkebalikan dengan model semacam itu. Negara demokratis adalah komunitas orang-orang bebas. Penguasanya mengabdi pada kepentingan rakyat, bukan karena Tuhan memerintahkannya, melainkan karena ia tahu, pola semacam itu juga baik untuk dirinya. Di Indonesia sekarang ini, demokrasi adalah sistem politik yang digunakan. Namun, argumen sentral Aristoteles, yakni demokrasi sebagai komunitas orang-orang bebas, belumlah menjadi roh demokrasi di Indonesia. Warga negaranya masih hidup dalam kungkungan dua hal, yakni kungkungan agama yang penuh dengan perintah dan larangan, serta kungkungan hasrat untuk mengumpulkan harta benda dan uang. Dengan kata lain, kebebasan adalah prasyarat demokrasi. Selama orang masih mengikat dirinya sendiri dengan kebodohan-kebodohan mitologis, maka selama itu pula, mentalitas demokratis tidak akan tercipta, walaupun sistemnya sudah di bangun.

            Namun, kebebasan apakah yang dimaksud oleh Aristoteles? Apakah bebas sebebas-bebasnya, di mana orang bisa melakukan apapun yang ia mau? Pada hemat saya, berpijak pada konsep manusia menurut Aristoteles, yakni sebagai mahluk rasional, atau hewan yang rasional, kebebasan Aristotelian dapat dilihat sebagai kemampuan manusia untuk mengambil jarak dari dunia sekitarnya, dan membuat penilaian rasional. Dengan penilaian rasional ini, manusia memutuskan, tindakan apa yang akan ia lakukan. Dalam konteks Indonesia, kebebasan semacam ini masih langka. Di dalam berpikir dan membuat keputusan, orang masih diperbudak oleh doktrin-doktrin agama, maupun hasrat dari dalam dirinya untuk mendapatkan uang lebih banyak. Dua hal ini mengaburkan kemampuannya untuk mengambil jarak dari dunia. Dua hal ini, menurut saya, juga mengaburkan kemampuannya untuk berpikir rasional. Demokrasi, menurut Aristoteles, adalah komunitas dari orang-orang bebas, yakni orang-orang yang mampu mengambil jarak dari dunia, mempertimbangkan secara rasional keputusannya, dan bertindak. Selama orang-orang Indonesia masih berada di bawah pola berpikir mitologis religius dan ekonomis, selama itu pula, kita tidak akan menjadi komunitas orang-orang bebas.

            Aristoteles juga mendefinisikan beberapa bentuk pemerintahan. Baginya, setiap bentuk pemerintahan harus didasarkan pada suatu hukum, atau konstitusi. Penguasa politis, atau pemerintah, adalah otoritas tertinggi dalam suatu negara yang menentukan segalanya. Penguasa politis itu bisa terdiri dari satu orang, beberapa orang, atau semua orang. Pada titik ini, Aristoteles membedakan antara pemerintahan yang sejati, dan pemerintahan yang sesat. Pemerintahan yang sejati menjadi kepentingan bersama sebagai titik pijak semua kebijakannya. Sementara, pemerintahan yang sesat menjadikan kepentingan satu orang, atau golongan tertentu, sebagai titik pijak kebijakannya. Pemerintahan yang sejati, dan pemerintahan yang sesat, bisa dipimpin oleh satu orang, beberapa orang, atau semua orang.

“Pemerintahan yang sejati”, demikian tulis Aristoteles, “dengan demikian, adalah pemerintahan dimana satu, atau beberapa, atau banyak, memerintah dengan pandangan pada kepentingan bersama; tetapi pemerintahan yang melihat hanya pada kepentingan pribadi, baik itu kepentingan satu, beberapa, atau banyak orang, adalah suatu kesesatan.”[16]

            Aristoteles membedakan beberapa bentuk pemerintahan yang sejati, yakni pemerintahan yang mengabdi pada kepentingan rakyat banyak. Pemerintahan yang dipimpin oleh satu orang, dan mengabdi pada kepentingan banyak orang, disebut sebagai monarki. Pimpinannya adalah raja. Pemerintahan yang dipimpin oleh beberapa orang, dan mengabdi pada kepentingan bersama, adalah aristokrasi. Pimpinannya adalah orang-orang terbaik yang ada di masyarakat tersebut. Sementara, pemerintahan yang dijalankan oleh banyak orang, yang mewakili semua orang, disebut juga sebagai pemerintahan konstitusi, atau demokrasi. Di dalam sistem politik semacam ini, satu orang, atau bahkan beberapa orang, dianggap tidak mampu menjamin, bahwa kepentingan bersama bisa terwujud. Maka, mereka perlu mendapatkan bantuan dari orang-orang lainnya.

“Satu orang atau beberapa orang”, demikian tulis Aristoteles, “mungkin memiliki keunggulan di beberapa bidang; namun dengan bertambahnya jumlah maka semakin sulit bagi mereka untuk mencapai kesempurnaan di berbgai bidang keuggulan, walaupun mungkin ini adalah keunggulan militer, yang merupakan kegemaran dari massa.”[17]

Dalam konteks ini, rakyat adalah penguasa tertinggi yang menjamin, bahwa para penguasa politis harus memperhatikan kepentingan bersama.

            Dari ketiga bentuk sistem politik ini, semuanya bisa terpelintir menjadi pemerintahan yang sesat, yakni pemerintahan yang tidak memperhatikan kepentingan bersama. Pemerintahan monarki dengan mudah dipelintir menjadi tirani, di mana satu orang penguasa memerintah dengan sewenang-wenang, tanpa memperhatikan kepentingan bersama, dan hanya memperhatikan kepentingan sang raja sendiri. Pemerintahan aristokrasi dengan mudah dipelintir menjadi oligarki, dimana beberapa orang memerintah dengan sewenang-wenang, hanya memperhatikan segelintir orang-orang kaya saja. Sementara, pemerintahan demokrasi bisa dengan mudah tergelincir menjadi pemerintahan anarki, atau pemerintahan oleh orang-orang yang bergantung pada negara, dan tak mampu berdiri sendiri. Saya, dengan berpijak pada argumen Aristoteles, menyebutnya sebagai parasitokrasi, yakni pemerintahan oleh orang-orang yang hanya meminta dan menuntut, tetapi tak mau bekerja keras, alias pemerintahan oleh para parasit.[18]

            Melihat pembagian tipe-tipe sistem politik tersebut, bagaimana kita membaca situasi Indonesia? Apakah Indonesia bisa dibilang sebagai negara demokrasi? Ataukah, Indonesia kini sudah menjadi semacam oligarki? Pembagian sistem-sistem politis yang dilakukan oleh Aristoteles, pada hemat saya, amatlah masuk akal dan relevan, terutama untuk melihat situasi politik kita sekarang di Indonesia. Sekarang ini, di Indonesia, demokrasi hanyalah nama untuk pencitraan semata, dan tidak memiliki isi yang asli. Yang sesungguhnya menjadi sistem politik di Indonesia sekarang ini adalah oligarki, yakni pemerintahan oleh beberapa orang kaya untuk kepentingan orang-orang kaya juga. Kepentingan bersama nyaris tak pernah jadi pertimbangan, kecuali kepentingan bersama tersebut secara langsung beririsan dengan kepentingan para orang-orang kaya. Sekarang ini, para penguasa politik adalah orang-orang yang kaya secara ekonomi, sehingga mereka punya modal untuk ikut pemilu, atau pilkada. Tidak hanya itu, para calon kepala daerah maupun presiden pun adalah orang-orang kaya yang, ketika menjabat nanti, juga memikirkan kepentingan diri dan golongannya, supaya mereka bisa lebih kaya. Dalam semua proses ini, kepentingan rakyat banyak pun semakin terpinggirkan. Pada hemat saya, keadaan ini tidak akan banyak berubah sampai kurang lebih sepuluh tahun ke depan.

            Pada hemat saya, salah satu musuh terbesar dari demokrasi adalah feodalisme, yakni paham yang menyatakan, bahwa setiap orang memiliki status yang berbeda-beda, baik tinggi ataupun rendah, dan itu terjadi secara alamiah. Di dalam kehidupan, orang harus bersikap sesuai dengan status alamiahnya sebagai manusia. Aristoteles pun juga berbicara soal ini. Bahkan, menurutnya, ada sistem politik yang berpijak pada feodalisme semacam ini. “Karena ada satu pemerintahan atas manusia yang secara alamiah dilakukan orang-orang bebas,” demikian tulisnya, “atas orang-orang yang secara alamiah adalah budak.”[19] Orang-orang yang memiliki status sebagai manusia bebas adalah para bangsawan dan penguasa. Sementara, orang-orang yang memiliki status sebagai budak adalah orang-orang yang terlahir dari keluarga budak, atau kalah perang, maka harus tunduk pada para bangsawan. Bentuk sistem politik feodalistik semacam ini biasanya ditemukan di dalam pemerintahan kerajaan, atau monarki. Aristoteles juga menegaskan, bahwa pola feodalistik ini juga terjadi di dalam keluarga. Sang pria adalah raja, sementara yang lainnya adalah pengikutnya. Sang pria adalah manusia bebas, sementara yang lainnya adalah budak. Sementara, pada level politik yang lebih luas, pemerintahan haruslah berbentuk konstitusional, yakni pemerintahan yang dilakukan oleh orang-orang yang bebas dan setara. Bentuk pemerintahan semacam ini jelas bertentangan dengan monarki, dimana ada strata manusia yang berbeda, yakni manusia bebas dan budak. Haruslah diakui, lepas dari ide-idenya yang brilian tentang tata politik, Aristoteles masih menempatkan budak dan perempuan sebagai manusia kelas dua yang harus tunduk pada para pria-pria bebas. Tentu saja, ia, bagaimanapun juga, adalah anak dari jamannya yang memang masih mengenal perbudakan dan diskriminasi peran perempuan sebagai sesuatu yang sah. Ini bisa dibilang merupakan cacat fundamental di dalam argumen Aristoteles soal demokrasi. Kesetaraan dan kebebasan hanya berlaku untuk para pria yang bukan budak. Wanita dan budak tidak boleh berpartisipasi di dalam politik.

            Berbicara tentang politik, berarti berbicara tentang negara. Namun, apa itu negara? Bagi Aristoteles, negara adalah suatu komunitas yang terarah pada apa yang baik. Dalam arti ini, yang baik adalah apa yang dianggap baik (hidup yang baik) oleh komunitas tersebut. “Setiap negara”, demikian tulis Aristoteles, “adalah suatu jenis komunitas tertentu, dan setiap komunitas dibentuk dengan mengarah pada apa yang baik; karena setiap orang selalu bertindak untuk mencapai apa yang mereka pikir sebagai baik.”[20] Di antara semua bentuk komunitas, negara, menurutnya, adalah bentuk komunitas tertinggi. Oleh karena itu, jika setiap komunitas selalu mengarah pada apa yang baik, dan negara adalah bentuk komunitas tertinggi, maka negara mengarah pada kebaikan yang tertinggi, daripada bentuk-bentuk komunitas lainnya. Dengan kata lain, hanya di dalam negaralah orang bisa mencapai kebaikan tertingginya sebagai manusia. Konsekuensi logisnya, orang-orang yang bersikap tak peduli pada urusan-urusan bersama yang tak terkait dengan negara tidak akan mampu mencapai kebaikan yang paling tinggi yang mungkin dicapai oleh manusia. Tentu saja, koheren dengan ide sebelumnya, negara yang paling mungkin untuk membuat manusia mencapai kebaikan tertinggi adalah negara sebagai komunitas orang-orang yang setara dan bebas, bukan negara tirani, oligarki, ataupun demokrasi yang telah terpelintir menjadi anarki, atau parasitokrasi (untu definisi berbagai bentuk sistem politik ini, silahkan lihat uraian sebelumnya).

            Apakah benar, bahwa negara adalah tempat yang paling mungkin membuat manusia mencapai kebaikan tertinggi dalam hidupnya? Benarkah argumen yang menyatakan, bahwa orang tidak akan dapat mencapai kebaikan tertinggi sebagai manusia, jika ia tidak melibatkan dirinya dalam aktivitas politik di dalam negara? Mari kita coba bedah logika dari argumen ini. Untuk bisa berkembang, orang selalu butuh orang lain. Orang tidak bisa berkembang hanya dengan mengandalkan kekuatan dirinya sendiri. Tidak hanya itu, orang tidak bisa hidup, jika hanya mengandalkan dirinya sendiri. Ini premis pertama. Di sisi lain, masyarakat adalah kumpulan manusia yang bersepakat untuk hidup bersama demi satu tujuan yang telah disepakati bersama. Dalam arti ini, masyarakat menawarkan kemungkinan-kemungkinan untuk setiap orang yang ada di dalamnya. Tentu saja, seperti sudah saya singgung sebelumnya, tidak semua masyarakat menyediakan kemungkinan-kemungkinan untuk warganya. Masyarakat yang dikelola dengan cara-cara yang sesat, seperti dalam pemerintahan tiranik, oligarkis, maupun anarkis, justru akan membunuh kemungkinan-kemungkinan yang ada di dalamnya. Dengan menggabungkan dua premis ini, bahwa orang tidak dapat hidup dan berkembang, tanpa orang lainnya, dan masyarakat, yang dikelola dengan prinsip kebebasan serta kesetaraan antar manusia, akan membuka banyak kemungkinan bagi pengembangan diri manusia, maka kita bisa menyimpulkan, bahwa argumen Aristoteles cukup akurat. Memang, manusia hanya bisa mengembangkan seluruh kemampuan dirinya, jika ia hidup dan terlibat dalam masyarakat yang memiliki sejuta kemungkinan. Jika ia memilih untuk hidup sendiri, dan tidak lagi berhubungan dengan orang lain, atau justru meminimalisir hubungan dengan orang lain, maka ia tidak mungkin bisa mengembangkan dirinya semaksimal mungkin.

            Setiap negara selalu terdiri dari warga negara. Dalam konteks ini, Aristoteles merumuskan keutamaan-keutamaan diri yang harus dimiliki oleh seorang warga negara yang baik. Untuk itu, ia menggunakan beberapa analogi dari profesi-profesi lainnya, seperti pelaut. Ada beragam macam pelaut, mulai dari nakoda kapal, sampai dengan tukang bersih-bersih geladak kapal. Namun, lepas dari semua perbedaan itu, ada satu keutamaan yang dipegang oleh semua pelaut, yakni menjaga keamanan kapal dan seluruh proses pelayaran. Hal yang sama, menurut Aristoteles, berlaku untuk setiap warga negara. Ada bermacam warga negara, mulai dari pengacara, tukang tambal ban, tukang becak, presiden, dan pengusaha. Mereka memiliki tugas yang berbeda-beda, dan area kerja yang berbeda-beda pula. Namun, ada satu tugas yang wajib dipegang oleh semua warga negara, yakni menjaga keselamatan negaranya. “Agak mirip”, demikian tulis Aristoteles, “setiap warga negara berbeda satu sama lain, namun keselamatan dari komunitas adalah urusan dari mereka semua.”[21] Tidak hanya itu, setiap warga negara juga harus melindung konstitusi, atau perjanjian hukum yang mendasari berdirinya sebuah negara, dari negaranya masing-masing. Perlindungan tidak hanya perlindungan fisik atas negara, tetapi perlindungan atas konstitusi, supaya konstitusi tetap terlaksana, tanpa perkecualian. Keutamaan sebagai warga negara, yakni menjaga negara dan konstitusi yang mendasarinya, adalah bagian dari keutamaan diri kita sebagai manusia. Walaupun begitu, tetap harus disadari, keutamaan untuk menjadi manusia lebih luas dari sekedar keutamaan menjadi warga negara.

            Pada hemat saya, argumen Aristoteles amatlah penting, terutama dalam konteks masyarakat demokratis, seperti Indonesia. Seperti sudah dinyatakan, dasar dari demokrasi adalah kebebasan dan kesetaraan antar manusia. Namun, dalam konteks filsafat politik Aristoteles, paham kebebasan harus dilihat dalam bingkai yang lebih luas, yakni perlindungan pada negara, dan konstitusi yang menopang negara tersebut. Dengan kata lain, kebebasan setiap orang berdiri relatif pada kewajibannya melindungi negara tempat ia tinggal, sekaligus melindungi konstitusi hukum yang mendasari negara itu. Dalam konteks Indonesia, sebagai warga negara yang mayoritas tidak memiliki akses pada persenjataan atau militer, kita memiliki kewajiban legal sekaligus moral sebagai warga negara untuk menjaga pelaksanaan konstitusi dalam aktivitas politik sehari-hari bangsa Indonesia. Dalam arti ini, perlindungan pada konstitusi berarti perlindungan pada UUD 1945 dan Pancasila yang menopang sekaligus mengarahkan semua pembangunan bangsa ini. Semua bentuk pelanggaran terhadap UUD 1945 dan Pancasila haruslah ditindak tegas. Sebagai warga sipil, tindakan tegas tentu saja tidak bisa dibalut dengan kekerasan, melainkan dengan teguran, serta cara hidup yang sungguh mencerminkan nilai-nilai yang terkandung dalam kedua konstitusi fundamental bangsa tersebut.

            Aristoteles juga berbicara tentang hakekat serta tujuan negara. Baginya, ketika beberapa komunitas berkumpul menjadi satu komunitas besar, dan bisa mencukupi dirinya sendiri, maka disitulah lahir negara. Namun, tujuan negara bukan hanya sekedar untuk melestarikan kehidupan orang-orang yang ada di dalamnya, melainkan untuk menciptakan hidup yang baik bagi warganya. “Ketika beberapa desa bergabung dalam satu komunitas yang utuh”, demikian tulis Aristoteles, “dan cukup besar untuk mencukupi dirinya sendiri, negara pun terbentuk, lahir dari kebutuhan untuk hidup, dan terus ada demi kehidupan yang baik.”[22] Negara ada tidak hanya untuk melindungi warganya, supaya bisa makan, minum, punya rumah, dan punya pakaian, tetapi untuk mendorong warganya mengembangkan dirinya semaksimal mungkin, termasuk bakat-bakatnya, minat hidupnya, dan semua yang ada di dalam dirinya. Argumen Aristoteles ini, pada hemat saya, cocok untuk membantu bangsa Indonesia menentukan arah pembangunannya, sehingga bukan hanya memperhatikan kemakmuran ekonomi belaka, tetapi juga kebahagiaan warganya, yang dapat diukur dari sejauh mana warganya mampu mengembangkan minat dan bakat hidupnya semaksimal mungkin, dan menjadi manusia yang berkeutamaan. Jika peran negara hanya sebatas memberi makan dan minum saja untuk rakyat, maka negara itu belum memenuhi tujuan keberadaannya. Argumen ini, menurut saya, amat tajam dan relevan untuk Indonesia, serta searah dengan argumen Aristoteles sebelumnya, bahwa manusia memang hanya dapat menjadi bahagia dan mengembangkan dirinya melalui keterlibatannya di dalam hidup masyarakat, yakni hidup berpolitik.

            Perlu juga dicatat, bahwa argumen Aristoteles ini amat menekankan peran negara di dalam proses memberdayakan warganya. Di satu sisi, argumen ini, menurut saya, amatlah tepat. Negara memang ada tidak hanya untuk memberi hidup bagi warganya, tetapi hidup yang baik, yakni hidup yang berkeutamaan, bagi setiap warganya. Namun, di sisi lain, jika kita hanya menggantungkan harapan kita pada negara, maka kita pun akan kecewa, karena tidak ada jaminan yang cukup kokoh, bahwa negara akan bertindak, seperti yang kita inginkan. Sebaliknya, alih-alih hanya berfokus dan menunggu pertolongan negara, rakyat pun harus mendorong dirinya sendiri untuk berkembang. Dalam arti ini, rakyat, dan masyarakat sipil secara luas, perlu untuk memperkuat dirinya sendiri, dan tak hanya pasrah menunggu inisiatif negara. Aristoteles, dan para filsuf politik klasik, memang tidak terlalu menekankan pentingnya peran masyarakat sipil sebagai entitas yang berbeda, walaupun terkait, dengan negara. Konsep rakyat sipil sebagai kekuatan politik baru mengental di dalam pemikiran Hegel di masa modern, dan Habermas serta Arendt di masa kontemporer.[23] Ini terjadi, karena masyarakat sipil nantinya berkembang menjadi kekuatan politik yang amat rumit sekaligus kaya, dan tidak lagi sepenuhnya berharap pada “belas kasih” negara.

            Pada bagian sebelumnya, saya sudah menyatakan, bahwa Indonesia lebih mirip dengan oligarki daripada demokrasi. Perlu kembali diingat, bahwa oligarki adalah pemerintahan oleh beberapa orang kaya yang menguasai politik, dan juga demi kepentingan orang-orang kaya pula. Artinya, orang-orang yang tidak kaya akan terpinggirkan kepentingannya, dan menjadi warga negara kelas dua. “Karena jika manusia hanya dilihat hanya sesuai dengan tingkat kekayaannya saja, maka peran mereka hanya akan dilakukan sesuai dengan jumlah harta miliknya saja.”[24] Orang-orang yang memiliki harta milik, atau harta miliknya hanya sedikit, hanya dapat ambil bagian sedikit pula, bahkan tidak sama sekali, di dalam kehidupan politik. Pola semacam ini, menurut Aristoteles, bertentangan dengan tujuan didirikannya negara. Jika pola semacam ini terjadi, maka negara tidak akan mampu membawa rakyatnya pada kehidupan yang baik. Untuk menegaskan argumen ini, ia menulis,

“Tetapi negara ada untuk menciptakan hidup yang baik, dan bukan hanya untuk sekedar hidup: jika hidup hanya menjadi obyeknya, maka para budak dan orang-orang yang tak berperadaban bisa akan membangun negara, tetapi mereka tidak bisa, karena mereka tidak memiliki bagian dalam kebahagiaan, atau dalam hidup yang didasarkan pada pilihan. Negara juga tidak ada hanya untuk persekutuan dan keamanan dari ketidakadilan.”[25]

Jelas sekali, bahwa negara bukan hanya sekedar alat bagi manusia untuk bertahan hidup, atau melindunginya dari ketidakadilan, melainkan untuk membawanya pada kehidupan yang baik. Negara ada untuk mendorong orang mencapai keunggulan pribadi, atau, dalam bahasa Aristoteles, menjadi orang yang berkeutamaan. Jika ini tidak terjadi, maka negara hanya sekedar menjadi persekutuan komunitas, yang warganya tidak memiliki ikatan emosional sama sekali. Di dalam negara semacam itu, menurut Aristoteles, hukum pun hanya sekedar kesepakatan yang bisa terus berubah, tanpa ada sentuhan pribadi maupun ikatan kultural yang bermakna. Jika itu yang terjadi, maka hukum justru akan memperbesar jurang ketidakadilan di dalam masyarakat. Negara pun tidak lagi menjadi negara, melainkan menjadi figur kekuasaan yang menakutkan.

            Pada titik ini, Aristoteles berbicara soal negara tanpa “negara”, yakni negara tanpa ikatan emosional antara warganya. Mereka satu negara, satu bangsa, tetapi tidak bisa menjalin relasi erat, apalagi menikah. Tidak ada komunikasi yang bermutu antar warga negara. Yang ada hanya formalitas birokrasi belaka. Inilah yang terjadi di Indonesia. Banyak orang hidup dengan beragam profesi, mulai dari direktur, guru, tukang tambal ban, sampai dengan tukang jualan bakso. Namun, tidak ada lagi ikatan emosional di antara mereka sebagai warga negara Indonesia. Yang tersisa semata hubungan transaksi ekonomi. Jika sudah begitu, apakah Indonesia masih bisa disebut sebagai negara, apalagi bangsa?

“Mari kita andaikan bahwa satu orang adalah seorang tukang kayu, yang lainnya seorang petani, yang lainnya seorang pembuat sepatu, dan seterusnya, dan jumlah mereka adalah sepuluh ribu: walaupun begitu, jika mereka sama sekali tidak punya kesamaan kecuali dalam soal perdagangan, persekutuan, dan sejenisnya, yang tidak bisa disebut sebagai negara.”[26]

Jelas, bagi Aristoteles, negara tidak cukup hanya terdiri dari orang-orang berhubungan atas dasar kebutuhan ekonomis ataupun pertahanan diri belaka. Negara haruslah terdiri dari orang-orang yang merasa memiliki ikatan politis (termasuk ikatan keluarga dan ikatan persahabatan) di antara mereka, yang nantinya menuntun semua orang yang ada di dalamnya untuk memperoleh hidup yang baik. Negara adalah komunitas dari keluarga-keluarga yang bertujuan untuk mencapai hidup yang baik, yakni hidup yang memuaskan dan berkeutamaan. Pada hemat saya, semua ini hanya dapat terwujud, jika negara mengambil bentuk pemerintahan demokratis. Di dalam pemerintahan demokratis, kekuasaan dan kesewenangan selalu bisa dikontrol. Sementara, di dalam bentuk sistem politik lainnya, kemungkinan kekuasaan tergelincir menjadi korup terlalu besar, dan nantinya akan amat sulit dikendalikan.

4. Kesimpulan

            Filsafat politik Aristoteles dimulai dengan dua pengandaian dasar, bahwa manusia, secara alamiah, adalah mahluk politis, dan bahwa komunitas politis juga adalah sesuatu yang alamiah. Dengan kata lain, manusia secara alamiah dari dalam dirinya terdorong untuk bergabung, dan membentuk komunitas politis. Oleh karena itu, komunitas politis pun juga adalah sesuatu yang muncul dari alam, bukan semata rekayasa. Setelah terbentuk, komunitas politis tersebut menciptakan struktur kekuasaan untuk menata hidup bersama. Dalam konteks ini, Aristoteles berpendapat, bahwa komunitas politis yang terdiri dari orang-orang yang bebas, setara, ditata demi kepentingan bersama (bukan sekedar kepentingan pribadi ataupun kelompok belaka), warganya sepakat untuk melindungi keberadaan komunitas tersebut, serta bertujuan (juga operasional dalam praktek hidup sehari-hari) untuk membawa rakyatnya mencapai hidup yang baik (bukan hanya sekedar hidup), yakni hidup yang berkeutamaan, adalah negara. Pada titik ini, sistem politik yang memungkinkan semua itu tercapai adalah demokrasi, yakni pemerintahan yang dilakukan oleh banyak orang, untuk kepentingan banyak orang pula. Argumen ini, pada hemat saya, amat relevan untuk Indonesia. Kebebasan dan kesetaraan antar manusia masih jauh dari situasi sehari-hari bangsa Indonesia. Feodalisme agama dan ekonomi yang mencengkram hidup banyak orang. Egoisme politis masih menjadi paradigma yang digunakan para pejabat negara maupun politisi. Tentu saja, tantangan untuk menata Indonesia, dengan wilayah yang begitu besar, serta keragaman kultural yang begitu tinggi, jauh lebih besar. Namun, itu bukan alasan untuk tidak bekerja sama sekali. Sebaliknya, negara yang besar berarti memiliki sumber daya yang besar pula, maka sudah waktunya kita mulai bekerja.

Daftar Acuan

Barnes, Jonathan (ed), The Complete Works of Aristotle, Princeton University Press, New Jersey, 1996

Wattimena, Reza A.A, Melampaui Negara Hukum Klasik, Kanisius, Yogyakarta, 2007

Shields, Christopher, Aristotle, Routledge, London, 2007

http://www.iep.utm.edu/aristotl/ diunduh pada 4 Agustus 10.34

http://plato.stanford.edu/entries/aristotle/ 4 Agustus 2012 jam 10.35

http://www.stoa.org/projects/demos/article_aristotle_democracy?page=all&greekEncoding=UnicodeC diakses pada 8 Agustus 2012 12.33.


[1] Untuk selanjutnya, saya terinspirasi dari uraian Shields, Christopher, Aristotle, Routledge, London, 2007, hal. 8. “Depending upon the ancient sources we prefer, Aristotle emerges to the modern era as a man with one or the other of two remark- ably dissimilar profiles.1 According to one tradition, presumably inaugurated and flamed primarily by his enemies, Aristotle was, if intellectually capable, a ghastly sort of man: obnoxious and disagreeable, conceited and overbearing. According to an equally well-attested and completely opposing tradition, Aristotle was, on the contrary, not only a genius beyond all measure, but a consid- erate soul, fervently devoted to his friends and passionately interested in the enhancement of human knowledge in all its forms. Armed with either one or the other of these assessments, it is possible to find corroborating evidence when combing through Aristotle’s extant writings.2 Although neither approach is likely to yield an accurate portrait of Aristotle, there is a methodological moral in surveying the excesses of each.”

[2] Ibid, hal. 9. Also an ingrate, he was, as an ancient biographer tells us, the ‘foal who kicked his mother’. The mother in question was Aristotle’s teacher, Plato.”

[3] Ibid, “‘Farewell to the Forms: they are but ding-a-lings and even if they do exist they are wholly irrelevant’”

[4] Untuk berikutnya, saya terinspirasi dari http://www.iep.utm.edu/aristotl/ diunduh pada 4 Agustus 10.34

[5] Ibid, “Both Philip and Alexander appear to have paid Aristotle high honor, and there were stories that Aristotle was supplied by the Macedonian court, not only with funds for teaching, but also with thousands of slaves to collect specimens for his studies in natural science. These stories are probably false and certainly exaggerated.”

[6] Ibid, “He thus set up his own school at a place called the Lyceum. When teaching at the Lyceum, Aristotle had a habit of walking about as he discoursed. It was in connection with this that his followers became known in later years as the peripatetics, meaning “to walk about.”

[7] Ibid, ““The Athenians might not have another opportunity of sinning against philosophy as they had already done in the person of Socrates.”

[8] Lihat http://plato.stanford.edu/entries/aristotle/ 4 Agustus 2012 jam 10.35

[10] Saya menggunakan Barnes, Jonathan (ed), The Complete Works of Aristotle, Princeton University Press, New Jersey, 1996, terutama bagian Politics. Untuk selanjutnya, saya akan menggunakan pasal-pasal pembagian dalam buku Politics, supaya pembaca bisa mengacu pada edisi terjemahan lainnya. Lihat Buku I pasal 1253a3-1253a7, Hence it is evident that the state is a creation of nature, and that man is by nature a political animal.”

[11] Ibid, pasal 1278b31-1279a22 The rule of a master, although the slave by nature and the master by nature have in reality the same interests, is nevertheless exercised primarily with a view to the interest of the master”

[12] Ibid, “if the slave perish, the rule of the master perishes with him.”

[13] Ibid, “the government of a wife and children and of a household, which we have called household management, is exercised in the first instance for the good of the governed or for the common good of both parties, but essentially for the good of the governed,”

[14] Ibid, “Formerly, as is natural, everyone would take his turn of service; and then again, somebody else would look after his interest, just as he, while in office, had looked after theirs.”

[15] Ibid, “The conclusion is evident: that governments which have a regard to the common interest are constituted in accordance with strict principles of justice, and are therefore true forms; but those which regard only the interest of the rulers are all defective and perverted forms, for they are despotic, whereas a state is a community of freemen.”

[16] Pasal 1279a23-1279b3, “The true forms of government, therefore, are those in which the one, or the few, or the many, govern with a view to the common interest; but governments which rule with a view to the private interest, whether of the one, or of the few, or of the many, are perversions.”

[17] Ibid, “One man or a few may excel in excellence; but as the number increases it becomes more difficult for them to attain perfection in every kind of excellence, though they may in military excellence, for this is found in the masses.”

[18] Pasal 1279b11-1279b27, “Of the above-mentioned forms, the perversions are as follows:—of kingship, tyranny; of aristocracy, oligarchy; of constitutional government, democracy. For tyranny is a kind of monarchy which has in view the interest of the monarch only; oligarchy has in view the interest of the wealthy; democracy, of the needy: none of them the common good of all.”

[19] Pasal 1255b16-1255b39, “For there is one rule exercised over subjects who are by nature free, another over subjects who are by nature slaves.”

[20] Pasal 1252a1-1252a8 Every state is a community of some kind, and every community is established with a view to some good; for everyone always acts in order to obtain that which they think good.”

[21] Pasal 1276b16-1276b35, “Similarly, one citizen differs from another, but the salvation of the community is the common business of them all.”

[22] Pasal 1252b28-1253a2, “When several villages are united in a single complete community, large enough to be nearly or quite self-sufficing, the state comes into existence, originating in the bare needs of life, and continuing in existence for the sake of a good life”

[23] Wattimena, Reza A.A, Melampaui Negara Hukum Klasik, Kanisius, Yogyakarta, 2007.

[24] Aristotle, Politics, Pasal 1280a8-1280b14, “For if men met and associated out of regard to wealth only, their share in the state would be proportioned to their property,”

[25] Ibid, “But a state exists for the sake of a good life, and not for the sake of life only: if life only were the object, slaves and brute ani- mals might form a state, but they cannot, for they have no share in happiness or in a life based on choice. Nor does a state exist for the sake of alliance and security from injustice”

[26] Pasal 1280b15-1281a2, “Let us suppose that one man is a carpenter, another a farmer, another a shoemaker, and so on, and that their number is ten thousand: nevertheless, if they have nothing in common but exchange, alliance, and the like, that would not constitute a state.”

 

 

 

Iklan

Diterbitkan oleh

Reza A.A Wattimena

Peneliti di bidang Filsafat Politik, Filsafat Ilmu dan Kebijaksanaan Timur. Alumni Sekolah Tinggi Filsafat Driyarkara Jakarta, Doktor Filsafat dari Hochschule für Philosophie München, Philosophische Fakultät SJ München, Jerman. Beberapa karyanya: Menjadi Pemimpin Sejati (2012), Filsafat Anti Korupsi (2012), Tentang Manusia (2016), Filsafat dan Sains (2008), Zen dan Jalan Pembebasan (2017-2018), Melampaui Negara Hukum Klasik (2007), Demokrasi: Dasar dan Tantangannya (2016), Bahagia, Kenapa Tidak? (2015), Cosmopolitanism in International Relations (2018), Protopia Philosophia (2019), Memahami Hubungan Internasional Kontemporer (20019), Mendidik Manusia (2020), Untuk Semua yang Beragama (2020), Terjatuh Lalu Terbang (2020), Urban Zen (2021), Revolusi Pendidikan (2022) dan berbagai karya lainnya.

3 tanggapan untuk “Demokrasi, Negara, dan Good Life”

  1. Ketika aku sedang dalam proses mengerjakan thesis, aku harus mendalami Politics dan Il Principe. Dari proses itu, aku jadi paham bahwa mental model Aristotelian memang bagaimanapun adalah ‘priyayi’ filsafat, sehingga tak pelak pemikirannya kasat dengan idealisme paradoks. Yang kumaksud dengan idealismen paradoks adalah dualisme mental model dia yang pro kesetaraan sekaligus melestarikan stratifikasi masyarakat alias feodalisme samar. Ini roh yang juga ada dalam ekonomi kapitalis denga stewardship principle dan keyakinan akan invisible hand yang menjaga keseimbangan. Mental model ini intinya adalah bahwa ada sebuah equilibrium sosial yang terbentuk dalam strata sosial.
    Sebaliknya, pandangan Machiavellian dalam Il Principe (the Prince) mewakili mental model pragmatis yang terkesan tidak peduli idealisme, melainkan langsung menjabarkan terang-terangan sendi-sendi politik. Berbedar dengan Aristoteles yang menuliskan ide-ide idealnya tentang bagaimana baiknya sebuah bangunan masyarakat, maka Machiavelli lebih bertutur tentang kejadian-kejadian politik yang dilaluinya, dan mencoba berefleksi atas semua catatan itu dan menyimpulkan dengan pragmatis. Mental model Machiavellian ini prinsipnya mengangkat gagasan bahwa politik sangatlah ditentukan oleh pemain-pemainnya, bukan idealisme apa yang dijadikan acuan.

    Setelah membaca keduanya, aku jadi paham kenapa professor saya menyuruh aku baca keduanya. Dalam konteks pragmatisme politik yang banyak terjadi dalam organisasi bisnis, pendekatan Aristotelian tidak akan membawa aku lebih jauh daripada kemasgulan atas betapa culasnya politikus. Tapi dengan mengkombinasikan dengan Machivellian, aku jadi paham bagaimana mencoba melakukan sesuatu atas kemasgulan itu. Indonesia, walau secara teori adalah sebuah negara demokrasi, namun kenyataannya sudah lama menjadi masyarakat oligarki feodalistik sarat politik pragmatis sejak jaman Hindia Belanda. Jadi aku sangat tertarik mengetahui pandangan dan telaahmu terhadap pendekatan Machiavellian in contrast to Aristotelian dan melihat diskusi apa yang bisa dibangun dari situ untuk memahami politik Indonesia yang sarat bungkus idealis dan isi pragmatis ini 🙂

    Suka

  2. Ak setuju James. Aristoteles menawarkan arah politik. Sementara, MAchiavelli menawarkan cara-cara pragmatis untuk mencapai arah itu. Nanti deh, ak coba baca en nulis tentang machiavelli. Sekarang, ak lagi tenggelam sama pemikiran Rousseau.

    Suka

Tinggalkan Balasan

Isikan data di bawah atau klik salah satu ikon untuk log in:

Logo WordPress.com

You are commenting using your WordPress.com account. Logout /  Ubah )

Gambar Twitter

You are commenting using your Twitter account. Logout /  Ubah )

Foto Facebook

You are commenting using your Facebook account. Logout /  Ubah )

Connecting to %s

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.