Buku Bajakan di Alam Demokrasi

www-lacrosselibrary.org

Oleh Reza A.A Wattimena

Fakultas Filsafat, UNIKA Widya Mandala, Surabaya

Bolehkah saya membaca buku-buku bajakan yang bisa dengan mudah diperoleh di internet dalam bentuk soft copy? Kalau boleh mengapa? Kalau tidak mengapa? Bukankah informasi dan pengetahuan itu untuk semua orang, sehingga bisa diakses oleh siapapun? Namun di sisi lain, bukankah buku itu adalah karya cipta seseorang yang berhak mendapatkan penghargaan atas karyanya tersebut? Kalau kita mengunduh secara gratis sebuah buku, bukankah kita melanggar hak si pengarang untuk mendapatkan penghargaan atas usaha kreatifnya menulis buku?

Pro Kontra

Di dalam salah satu eseinya yang berjudul The Ethics of Internet Piracy, Peter Singer mencoba menganalisis masalah ini. Ia membuat alur berpikir berikut. Bayangkan jika saya mencuri buku dari orang lain, maka orang itu akan mengalami kerugian. Saya untung, tetapi ia rugi. Ini jelas salah, dan tidak boleh dilakukan.

Skenario lain. Saya menggunakan buku bajakan versi soft copy. Saya untung, namun penerbit dan penulis rugi, karena mereka tidak mendapatkan uang. Ini hanya satu sisi. Ada sisi lain.

Jika saya tidak mengunduh buku bajakan tersebut, maka saya akan meminjam dari perpustakaan, dan menutup kesempatan bagi orang lain untuk bisa meminjam buku yang sama tersebut. Jadi dengan menggunakan buku bajakan, saya memberikan kesempatan pada orang lain untuk menggunakan buku tersebut, misalnya dengan meminjam di perpustakaan. (Singer, 2012)

Biasanya, orang mengunduh buku bajakan, dan merasa tidak bersalah, karena mereka merasa, bahwa semua orang toh melakukannya. Jadi ini semacam mentalitas massa. Kita berbuat sesuatu yang salah, namun tidak merasa bersalah, karena massa, yakni orang banyak, pun melakukannya.

Sama seperti Singer, saya adalah seorang penulis, sekaligus pembaca buku yang agresif. Secara pribadi, saya tidak keberatan buku saya dibajak oleh orang, karena saya tidak mengandalkan hasil penjualan buku untuk menafkahi hidup saya. Namun, untuk orang-orang yang memilih jalan sebagai penulis profesional, pembajakan buku adalah musuh yang mengancam piring nasi mereka. Jelas, mereka dirugikan.

Situasi Kita

Demokrasi berdiri di atas pengandaian, bahwa warga negara memiliki solidaritas dan kemampuan berpikir rasional di dalam membuat keputusan yang terkait dengan kehidupan publik. Dalam konteks ini, peran buku amatlah besar. Buku-buku bermutu harus tersedia dalam jumlah banyak, dan, sedapat mungkin, gratis untuk semua orang. Buku membantu orang mengembangkan cara berpikirnya di dalam membuat keputusan-keputusan penting dalam hidupnya.

Di sisi lain, para penulis buku yang kreatif harus juga dapat hidup dari profesinya. Orang harus dapat berkata, “Saya penulis”, dan sungguh bisa hidup secara bermartabat dari profesinya tersebut. Musuh utama mereka adalah pembajakan buku, dan juga penerbit yang suka tipu-tipu terkait dengan royalti penjualan buku. Bagaimana mendamaikan kedua tegangan ini?

Jelas, kita sulit mengharapkan pemerintah untuk memberikan subsidi pada para penulis kreatif di negara kita. Korupsi dan kesalahan prioritas berpikir menggejala begitu dalam dan luas di dalam birokrasi pemerintahan kita. Mengharapkan dunia bisnis juga amat sulit, karena fokus utama mereka adalah meraup keuntungan sebesar-besarnya dengan pengeluaran sekecil-kecilnya. Ini juga sulit, karena dunia bisnis penuh dengan arogansi kosong, dan sulit diajak berpikir terkait dengan pengembangan budaya demokrasi di masyarakat.

Beberapa Ide

Saya melihat setidaknya ada tiga langkah yang bisa diambil. Pertama, kita harus menanyakan, apakah seorang penulis hendak memberikan bukunya secara gratis, atau tidak? Bisa juga beberapa buku disebar secara gratis untuk kepentingan-kepentingan yang lebih luas, sementara buku-buku lain dijual secara komersil untuk kepentingan menafkahi sang penulis.

Dua, setiap buku setidaknya dibuat dalam dua bentuk, yakni hard copy dalam bentuk buku fisik, dan soft copy dalam bentuk file komputer, serta keduanya bisa tersebar secara luas. Keduanya bisa dijual ataupun dibagikan secara gratis, tergantung perjanjian dengan si penulis buku. Jika dijual, maka harus dipastikan, bahwa harga soft copy harus jauh lebih rendah, daripada harga buku hard copy, mengingat tidak ada ongkos cetak maupun distribusi yang besar.

Tiga, orang-orang yang peduli dengan pengembangan demokrasi dan terciptanya masyarakat yang beradab di Indonesia harus mengorganisir diri, tentu dalam kerja sama dengan pemerintah dan dunia bisnis, sehingga mereka bisa mengawal semua proses di atas, dan menjamin tidak adanya korupsi. Organisasi-organisasi masyarakat, seperti organisasi keagamaan, universitas, LSM-LSM, organisasi-organisasi profesi, harus menyatukan diri untuk tujuan ini, yakni pengembangan demokrasi melalui buku-buku yang bermutu, karena kunci perubahan ada di pundak mereka. Inilah yang Habermas sebut sebagai “kekuatan komunikatif masyarakat sipil.” (Habermas, 1994)

Organisasi ini bertugas mencari dana alternatif untuk menopang hidup para penulis bangsa ini, bisa dengan memiliki bisnis tersendiri milik organisasi yang bisa dikelola, dan hasilnya bisa digunakan untuk tujuan-tujuan pengembangan demokrasi, ataupun dengan cara-cara strategis lainnya, seperti investasi, penggalangan dana, dan sebagainya. Tentu saja, hukum terkait dengan pembajakan buku juga harus ditegakkan.

Yang amat perlu disadari adalah, bahwa buku adalah jendela dunia yang bisa memperluas wawasan berpikir kita. Ini adalah aspek yang amat penting di dalam masyarakat demokratis. Pembajakan buku bisa membunuh para penulis kreatif bangsa ini, dan akhirnya mereka terpaksa harus pindah ke profesi lain, yang amat mungkin tidak menunjang kreativitas mereka. Jika itu yang terjadi, kita semua yang rugi.

Kita semua, yakni masyarakat sipil Indonesia, tentu dalam koordinasi dengan pemerintah dan bisnis, harus menemukan cara untuk menopang para penulis kreatif bangsa ini. Solidaritas dan kebaikan bersama adalah kata kunci dalam proses ini, bukan kebaikan para pebisnis rakus ataupun kebaikan segelintir koruptor licik yang menyesakan dada kita semua.

Diterbitkan oleh

Reza A.A Wattimena

Pendiri Rumah Filsafat. Peneliti di bidang Filsafat Politik, Filsafat Ilmu dan Kebijaksanaan Timur. Alumni Sekolah Tinggi Filsafat Driyarkara Jakarta, Doktor Filsafat dari Hochschule für Philosophie München, Philosophische Fakultät SJ München, Jerman. Beberapa karyanya: Menjadi Pemimpin Sejati (2012), Filsafat Anti Korupsi (2012), Tentang Manusia (2016), Filsafat dan Sains (2008), Zen dan Jalan Pembebasan (2017-2018), Melampaui Negara Hukum Klasik (2007), Demokrasi: Dasar dan Tantangannya (2016), Bahagia, Kenapa Tidak? (2015), Cosmopolitanism in International Relations (2018), Protopia Philosophia (2019), Memahami Hubungan Internasional Kontemporer (20019), Mendidik Manusia (2020), Untuk Semua yang Beragama (2020), Terjatuh Lalu Terbang (2020), Urban Zen (2021), Revolusi Pendidikan (2022), Filsafat untuk Kehidupan (2023), Teori Transformasi Kesadaran (2023) dan berbagai karya lainnya.

4 tanggapan untuk “Buku Bajakan di Alam Demokrasi”

  1. he he menarik sekali “BUKU BAJAKAN DI ALAM DEMOKRASI” terutama dalam situasi di Indonesia saat ini. Adalah fakta bahwa saat ini saya bisa mendapatkan buku ber mutu yang dulu jika untuk mendapatkannya butuh dana uang besar sekali dan saat ini tidak, salah satu contoh: saya butuh TEXT BOOK ORIGINAL -Ebooks Chemical Engineering bermutu dengan FREE — bisa lho coba lihat http://www.facebook.com/pages/Ebooks-Chemical-Engineering/238197077030 ;

    Saya coba down load, TEXT BOOK yg jumlahnya sampai ratusan itu ternyata TRUTH original he he saya pernah coba bertanya ‘kok bisa mendapatkan buku tersebut dan mengapa di bagikan secara GRATIS, si orang bule tersebut hanya menjawab “he he”, lalu apakah itu yang disebut DEMOKRATIS?

    Lha apakah saya ber DOSA jika meng down load gratisan tanpa memperdulikan HAK CIPTA? Lha apa saya salah jika mendapatkan barang gratisan walaupun secara hukum bisa tidak di benarkan? Bayangkan satu text book minimal harganya Rp.300 ribu, lalu saya punya lebih dari 300 TEXT BOOK ditawari GRATIS bahkan di sapa “THANK YOU”

    Tampakya iklim DEMOKRASI saat ini benar-2 berbeda dibandingkan dengan masa yang lalu, kadang saya bertanya apa bedanya mencuri dan tidak mencuri?

    Kalau mau mendapatkan buku di Library di luar negri secara ONLINE READ ONLY juga bisa, lalu COPY n PASTE jika tahu caranya bisa buat makalah he he dan anehnya saya pernah beli ebook di toko buku di Indonesia seharga Rp.300 ribu dan ternyata persis 100% dengan yang di tawarkan GRATISAN he he waou saya kehilangan 3 porsi MAKANAN STEAK he he lalu apa yang seharusnya saya lakukan?

    Suka

  2. Kalau menurut saya, untuk buku-buku dari Eropa dan Amerika, kita bisa menggunakanya secara bijak, dalam arti tidak memperjual belikannya, tetapi untuk kepentingan pengembangan diri, ataupun mengajari orang lain. Tapi untuk buku2 indonesia, kita harus berhenti menggunakan buku bajakan.

    Suka

  3. Kita perlu membangun komunitas untuk menopang para penulis kreatif di Indonesia. Para penulis diminta juga untuk menentukan, apakah buku yang mereka terbitkan hendak dicetak secara elektronik atau tidak, dan gratis atau tidak. Lalu dibuat aturan hukum untuk mengatur ini semua, dan dijalankan dengan konsisten

    Suka

Tinggalkan Balasan

Isikan data di bawah atau klik salah satu ikon untuk log in:

Logo WordPress.com

You are commenting using your WordPress.com account. Logout /  Ubah )

Foto Facebook

You are commenting using your Facebook account. Logout /  Ubah )

Connecting to %s

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.