
Oleh Reza A.A Wattimena
Fakultas Filsafat UNIKA Widya Mandala Surabaya
Sudah lama Maria memiliki mobil. Ia membelinya dari seorang bapak yang sedang membutuhkan uang. Tentu saja, sampai sekarang, secara legal, mobil itu masih atas nama bapak tersebut. Setelah dua tahun mengendarai mobil yang telah ia beli itu, Maria punya keinginan untuk menjadikan mobil tersebut atas namanya sendiri. Ia pun pergi ke kantor resmi terdekat untuk mengurus balik nama mobil yang telah ia beli.
Sampai di kantor itu, Maria mengalami kesulitan. Ia dimintai beragam dokumen yang tak dijelaskan kegunaannya. Bahkan, ia diminta pergi ke berbagai macam kantor. Padahal, ia adalah wanita yang sehari-hari bekerja mencari nafkah untuk mempertahankan dan mengembangkan hidupnya. Inilah lingkaran birokrasi yang mencekik niat baik Maria. Akhirnya, ia menggunakan calo, karena tak punya waktu, tak punya pengetahuan, dan tak punya cukup tenaga serta kesabaran untuk berurusan dengan birokrasi yang terlalu rumit.
Anton punya pengalaman agak mirip. Ia hendak melanjutkan studi ke luar negeri. Ia mendapat beasiswa penuh beserta dengan biaya hidup. Masalah muncul, ketika ia hendak mengurus perpanjangan paspor. Di kantor resmi pengurusan paspor, ia diminta mengantri berjam-jam tanpa kepastian. Ia diminta untuk membeli bermacam-macam hal, serta dilempar ke berbagai kantor. Ia bahkan diminta untuk kembali setelah beberapa hari. Padahal, sama seperti Maria, ia juga perlu bekerja untuk memenuhi kebutuhan hidup, serta mengembangkan dirinya.
Pengalaman Kristian lain lagi. Baru-baru ini, ia kecopetan. Dompet beserta uang dan kartu-kartu resmi kependudukannya hilang. Ia pun melapor untuk mendapatkan pertolongan, serta untuk mengurus surat-surat legalnya yang hilang.
Tak disangka-sangka, ia mengalami kesulitan besar. Ia harus menyuap beragam orang, hanya untuk mengurus kartu-kartunya yang hilang, karena kecopetan. Seperti kata peribahasa, sudah jatuh tertimpa tangga. Itulah yang dialami oleh Kristian. Tak hanya uang dan dompet yang hilang, ia pun harus kehilangan waktu, tenaga, dan pikiran lagi, karena kerumitan dan korupsi birokrasi. Apa yang bisa kita pelajari dari pengalaman Maria, Anton, dan Kristian?
Pada hemat saya, pengalaman mereka bertiga mengajarkan kita satu hal, bahwa banyak institusi-institusi penting di Indonesia tidak lagi menjalankan perannya. Pendek kata, Indonesia mengalami krisis institusi, dalam arti, institusi-insititusi yang ada tidak lagi menjalankan perannya secara maksimal. Padahal, krisis institusi, perlahan namun pasti, akan menghancurkan suatu negara.
Apa yang mendorong kemajuan suatu negara? Menurut Michael Porter, ahli manajemen stratejik dan filsuf bisnis asal Universitas Harvard, AS, kemajuan didorong oleh tingkat produktivitas suatu area. Artinya, semua komponen yang ada di dalam suatu masyarakat dipergunakan untuk mendorong masyarakat tersebut untuk menghasilkan produk-produk yang bermutu, baik barang ataupun jasa. Di dalam proses tersebut, kehadiran institusi-institusi yang menopang kehidupan publik amatlah penting.
Dari argumen di atas, kita bisa menarik kesimpulan, bahwa kehadiran institusi amatlah penting untuk mendorong produktivitas suatu masyarakat, yang berarti juga mendorong kemajuan masyarakat tersebut. Institusi, seperti kantor pemerintahan, pelayanan hukum, rumah sakit, sekolah, dan sebagainya, yang efektif, efisien, dan tidak korup jelas akan mendukung produktivitas. Dan, seperti sudah disinggung sebelumnya, produktivitas akan mendukung kemajuan suatu bangsa.
Di dalam masyarakat modern, peran institusi amatlah besar, tidak hanya untuk mendorong produktivitas, tetapi juga untuk menjamin, bahwa keadilan dan kemakmuran bisa dirasakan oleh semua rakyat. Institusi hukum, mulai dari kepolisian sampai Mahkamah Agung, berperan amat penting untuk memberikan keadilan bagi seluruh rakyat. Institusi-institusi lainnya, baik milik pemerintah ataupun swasta, berperan amat penting di dalam memberikan kemakmuran lahir batin bagi seluruh rakyat.
Di sisi lain, institusi juga menopang demokrasi. Demokrasi adalah sebuah sistem pemerintahan yang berdiri di atas pilar-pilar institusi, mulai dari Komisi Pemilihan Umum, Perwakilan Rakyat, kabinet pemerintahan, sampai dengan RT dan RW di wilayah masing-masing. Jika institusi-institusi yang menopang demokrasi tersebut busuk, maka demokrasi juga akan ikut menjadi busuk. Jika demokrasi busuk, maka proses untuk menciptakan masyarakat yang adil dan makmur berdasarkan pada kehendak kolektif rakyat juga akan terhambat.
Dengan kata lain, kegagalan institusi berarti juga kegagalan demokrasi. Kegagalan institusi juga berarti kegagalan proses untuk mencapai keadilan dan kemakmuran bagi semua. Ketika ini terjadi, hidup bersama akan terasa begitu menyakitkan. Segala hal yang sebenarnya mudah menjadi sulit, karena kerumitan dan korupsi birokrasi yang ada di dalam berbagai institusi. Ketika korupsi menjadi paradigma sehari-hari institusi, maka keadilan dan kemakmuran hanya merupakan mimpi belaka yang tak akan pernah terwujud.
Hal yang amat kecil, seperti bekerja di berbagai institusi tempat kita berada dengan kesungguhan hati, efisiensi, efektivitas, dan sikap anti korupsi, bisa mendorong gerak perubahan yang amat besar menuju terciptanya Indonesia yang nyaman untuk ditinggali, adil, serta makmur. Kesadaran semacam inilah yang kita perlu bangun bersama di berbagai institusi tempat kita berkarya.
Saya sangat setuju. Institusi di Indonesia menganut filosofi ‘kita menyiksa maka kita ada’. Dalam benak kebanyakan orang yang memimpin dan menjalankan institusi, eksistensi institusi menjadi ada kalau bisa membikin masalah, yang membuat keberadaan mereka bisa dianggap serius oleh stakeholder. Pikiran sesat luar biasa ini sering dibungkus dengan istilah kelengkapan administrasi, penegakan peraturan dan istilah-istilah bagus lainnya, yang ujung-ujungnya justru merupakan penindasan yang kerap kali membuka celah pelanggaran hukum.
Jadi peraturan dan mekanisme institusional menjadi instrumen ‘penyiksa’ yang melayani ego inferior dan mental jajahan, supaya mereka merasa punya eksistensi. Ini membuat peraturan dan mekanisme bukan lagi melayani stakeholder, tapi malah memaksa stakeholder untuk melanggar hukum dengan mencari jalan pintas. Ini didasari oleh mental jajahan yang belum kunjung dilepaskan walau sudah sekian lama merdeka. Ini semua bisa terlihat dari sektor hukum, birokrasi, pendidikan, kesejahteraan sosial hingga angkutan umum dan trotoar. Semangat pelayanan hilang ditelan oleh prinsip ‘kita menyiksa maka kita ada’ 🙂
SukaSuka
Setuju sekali James. Ak juga sudah muak dengan itu semua. Bagaimana menurutmu kemungkinan untuk perbaikan? Atau tidak usah diperbaiki? hehehe…
SukaSuka
Dalam konteks penegakan hukum khususnya di bidang korupsi keberadaan KPK adalah bukti nyata gagalnya institusi Kepolisian, Kejaksaan dan Kehakiman.
SukaSuka
ya.. saya setuju.. jika kepolisian, kejaksaan, dan kehakiman bekerja sesuai fungsi mereka, kita jelas tidak perlu KPK
SukaSuka