Parasit Demokrasi

Oleh Yasraf Amir Piliang

 

api.ning.com

Proses demokratisasi yang berlangsung lebih dari satu dekade membawa banyak kemajuan dengan terciptanya iklim kebebasan dalam aneka ruang kehidupan berbangsa.

Namun, perkembangan demokrasi akhir-akhir ini diancam tindakan, perilaku, dan gerakan ”kontrademokrasi”, yang menggerogoti bangunan demokrasi dari dalam: korupsi, politik uang, kekerasan, terorisme, dan aneka konflik horizontal.

Ada semacam ”parasit” tumbuh di atas pohon demokrasi, merusak sistem metabolisme, mengacau arus sirkulasi, dan menghancurkan jejaring akarnya. Inilah para ”politikus parasit”, zoon politicon, yang menggerogoti tempat hidup mereka (partai, parlemen, departemen, dan negara) serta saling mengisap sesama di ruang komunitas politik. Dalam sepak terjangnya, parasit politik tak hanya individu, tapi juga membentuk kelompok atau jejaring.

Mereka membangun ”sistem parasit”, kumpulan elemen masyarakat demokratis yang secara berkelompok, sistematis, dan berkelanjutan membangun aneka tindakan kontrademokratis: korupsi berjemaah, rekayasa berkelompok, serta kebohongan bersama-sama—the parasitic system.

Sistem parasit

Parasit hanya dapat hidup dengan ”menumpang” pada sebuah tempat hidup (host): pohon, tubuh, alam, partai, masyarakat, sistem, atau institusi. Ia ”penumpang gelap” yang tak hanya merusak tempat menumpang, tetapi juga segala yang hidup di dalamnya. Ia sang ”perusak sistem”, tak hanya merusak tempat, tetapi totalitas ekosistem yang membangunnya.

Bagi Michel Serres (The Parasite, 1982), tak ada sistem yang bebas parasit: sistem alam, sistem politik, sistem hukum, sistem pendidikan, sistem ekonomi, atau sistem demokrasi. Manusia parasit bagi alam, lingkungan, permukiman, masyarakat, institusi: politisi parasit partai, pegawai parasit lembaga, jaksa parasit kejaksaan, hakim parasit kehakiman. Manusia juga parasit bagi sesama dalam kelompok, ”jeruk makan jeruk”: politisi parasit politisi, jaksa parasit jaksa, hakim parasit hakim.

Bahkan, parasit politik dapat berlapis-lapis, tumpang tindih, atau timbal balik sehingga menciptakan ironi politik: korban parasit mengisap parasit, korban korupsi mengorup koruptor, tertuduh menuduh penuduh, polisi menangkap peniup peluit tetapi membebaskan pelaku sesungguhnya, menciptakan ruang gelap batas-batas: pelaku/korban, penuduh/tertuduh, koruptor/saksi, aparat/penjahat.

Zoon politicon tak hanya ”serigala bagi sesama” (Hobbes), tetapi juga ”parasit bagi sesama”. Inilah perbedaan antara manusia politik ”pemangsa” (predator) dan ”pengisap” (parasit). Manusia pemangsa sesama, yang kuat memangsa yang lemah, seperti dalam sistem totalitarianisme. Manusia jadi pengisap sesama, saling menggerogoti kekuasaan, karakter, atau citra.

Pembunuhan karakter adalah bentuk khusus parasitisisme, di mana seseorang membangun karakter diri (bersih, jujur, dan nasionalis) dengan menumpang hidup pada karakter orang lain sambil menggerogotinya dari dalam. Dengan menunggangi pencitraan orang lain sebagai politisi busuk, pembohong, dan kriminal, ia hendak membangun citra diri sebagai politisi bersih, jujur, dan baik. Sepak terjang parasit dalam sistem politik tak hanya individu, tetapi juga berkelompok dan berjejaring. Selain individu parasit, ada juga kelompok parasit. Pertama, ”komunitas parasit”, parasit berbentuk organisasi (partai parasit, ormas parasit, orpol parasit). Kedua, ”jejaring parasit”, yaitu jejaring parasit yang dibangun oleh (oknum) elite partai, parlemen, dan lembaga hukum.

Mesin cuci politik

Spirit ”komunitas parasit” dan ”jejaring parasit” terlihat pada kasus wisma atlet yang menyeret Nazaruddin dan elite Partai Demokrat, yang di dalamnya ada proses saling tunggang karakter. Di sini, lukisan manusia politik sebagai ”serigala bagi sesama” menjelma ”pemangsa karakter sesama”, berujung ”bunuh diri karakter”, individu ataupun kelompok (partai).

Parasit politik menginterupsi dan merusak sistem demokrasi dari dalam, dengan menggelar aneka tindak kontrademokrasi: kejahatan, korupsi, manipulasi, simulasi. Setelah itu, mereka berkonsolidasi sesama parasit untuk menutupi kejahatan kolektif dengan mengalihkan persepsi dan kesadaran publik dari wilayah realitas hukum ke ”pencitraan hukum”. Parasit politik hendak ditutupi ”parasit citra hukum”. Salah satu bentuk parasit demokrasi, menurut Norberto Bobbio (The Future of Democracy, 1987), adalah ”kekuatan tak tampak” (invisible power), kekuatan tersembunyi di balik topeng dan simulasi, yang merusak sistem demokrasi dalam ketaktampakan. Inilah ”mesin tak tampak”, yang beroperasi dalam ruang gelap politik, memproduksi aneka kepalsuan politik—the invisible machine.

Parasit bertopeng beroperasi di dalam ”ruang gelap demokrasi”, tempat aneka kejahatan ditampilkan ke ruang publik lewat aneka kemasan dan retorika bahasa, sehingga kejahatan seakan-akan tak ada atau dilakukan pihak lain. Dalam ruang gelap ini berkeliaran para mafioso hukum (oknum jaksa, hakim, polisi, KPK), mafioso politik, dan mafioso parlemen, yang bersama menggerogoti pohon demokrasi.

Menguapnya aneka kasus hukum (Antasari, Century, mafia pajak, mafia wisma atlet) menunjukkan komunitas dan jejaring parasit punya ”kecerdasan”. Istilah Jean Baudrillard (The Intelligence of Evil, 2004) ”kecerdasan kejahatan”, kreativitas menciptakan bentuk baru kejahatan dan menyembunyikannya sehingga tak tampak di mata publik sebagai kejahatan.

Kecerdasan ini menghasilkan ”kejahatan sempurna”, sistem kejahatan yang dengan sempurna menghilangkan barang bukti, membungkam saksi, menciptakan alibi, merekayasa motif, mencari kambing hitam, mereduksi pelaku, dan membangun kontra pencitraan. Kejahatan sempurna menciptakan kondisi ”minimalisme hukum” dan menghasilkan ”minimalitas kebenaran”. Kejahatan sempurna bekerja melalui ”pembunuhan tanda-tanda”, yaitu penghancuran tanda bukti (barang bukti, rekaman, dokumen, saksi, tempat perkara) dan kondisi psikis pelaku (hipnotis, pembungkaman, pembisuan). Namun, tanda dapat menggiring pada ”bunuh diri tanda”: kejahatan yang dituduhkan ke orang lain berbalik jadi cermin kejahatan pada diri sendiri, yang kemudian jadi ”citra kejahatan diri sendiri”—the semiotic suicide.

Ketika tanda-tanda kejahatan (barang bukti, jejak, rekaman, dokumen) dimusnahkan, yang tercipta ”ruang gelap semiotik”: kegelapan tanda, makna, dan kebenaran dalam ruang politik serta hukum. Yang ada hanya tontonan ”permainan bebas bahasa” lewat aneka media (khususnya televisi), di mana lukisan realitas dan kebenaran tak lebih dari efek kecerdasan memainkan retorika tanda, bahasa, serta citra. Dalam ruang gelap politik, elite politik busuk membangun ”mesin cuci politik”, yang secara sistematis berjejaring dan tersembunyi menghapus jejak kejahatan dari mata publik. Ironisnya, aparat hukum, yang mengemban tugas mulia membasmi parasit hukum, kini justru hidup dan jadi bagian jejaring ini. Mereka ”parasit berkedok pembasmi parasit”.

Menguapnya aneka kasus hukum merupakan lukisan reproduksi sistemis ”mesin cuci politik”, di mana setiap kasus besar hukum selalu berujung pada siklus penghilangan bukti, pengaburan fakta, dan penggelapan kebenaran. Bila siklus reproduksi parasit politik tak segera diputus, ia akan terus berkembang biak dan kian luas jaringannya. Maka, ”rumah demokrasi” kita pada masa depan kian disesaki generasi baru koruptor dan mafioso politik.

Yasraf Amir Piliang Dosen pada Program Magister Studi Pembangunan ITB

Diterbitkan oleh

Reza A.A Wattimena

Pendiri Rumah Filsafat. Pengembang Teori Transformasi Kesadaran dan Teori Tipologi Agama. Peneliti di bidang Filsafat Politik, Filsafat Ilmu dan Kebijaksanaan Timur. Alumni Sekolah Tinggi Filsafat Driyarkara Jakarta, Doktor Filsafat dari Hochschule für Philosophie München, Philosophische Fakultät SJ München, Jerman. Beberapa karyanya: Menjadi Pemimpin Sejati (2012), Filsafat Anti Korupsi (2012), Tentang Manusia (2016), Filsafat dan Sains (2008), Zen dan Jalan Pembebasan (2017-2018), Melampaui Negara Hukum Klasik (2007), Demokrasi: Dasar dan Tantangannya (2016), Bahagia, Kenapa Tidak? (2015), Cosmopolitanism in International Relations (2018), Protopia Philosophia (2019), Memahami Hubungan Internasional Kontemporer (20019), Mendidik Manusia (2020), Untuk Semua yang Beragama (2020), Terjatuh Lalu Terbang (2020), Urban Zen (2021), Revolusi Pendidikan (2022), Filsafat untuk Kehidupan (2023), Teori Transformasi Kesadaran (2023), Teori Tipologi Agama (2023) dan berbagai karya lainnya. Rumah Filsafat kini bertopang pada Crowdfunding, yakni pendanaan dari publik yang terbuka luas dengan jumlah yang sebebasnya. Dana bisa ditransfer ke rekening pribadi saya: Rekening BCA (Bank Central Asia) 0885100231 atas nama Reza Alexander Antonius. Lebih lengkapnya lihat di https://rumahfilsafat.com/rumah-filsafat-dari-kita-untuk-kita-dan-oleh-kita-ajakan-untuk-bekerja-sama/

Tinggalkan komentar

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.