Gempa Zen

surrealist-art-tile-800x533Oleh Reza A.A Wattimena

21 November 2022, gempa terjadi di Cianjur, Jawa Barat. Ratusan orang menjadi korban. Belum hitungan harta benda dan infrastruktur yang hancur berantakan. Kesedihan yang ditinggalkan pun tak terperikan.

Ketika mendengar berita tentangnya secara detil, saya sedang di dokter gigi. Reaksi kaget saya juga mengejutkan sang dokter gigi. Tapi mengapa saya kaget? Bukankah kerapuhan hidup manusia sudah saya ketahui sejak dulu?

Betapa rapuhnya semua ini, begitu komentar saya. Sang dokter gigi hanya mengangguk. Benturan keras di kepala akan segera mengakhiri semuanya. Uang dan kuasa yang besar tak bisa mengubah apapun.

Tragedi: Sebuah Refleksi

Ada lima hal yang muncul di pikiran saya. Pertama, kita semua hidup di sebuah lempengan ini yang bernama daratan. Lempengan ini terus bergerak. Di bawah lempengan ini terdapat cairan yang mahapanas. Ia kerap kali muntah, ketika gunung meletus, entah di bawah laut, atau di daratan.

Maka, hidup kita sesungguhnya amat rapuh. Setiap lempengan bergerak, gempa terjadi. Setiap saat, kita bisa mati, karena gerak lempengan tersebut. Ini ditambah dengan kemungkinan terjadinya tsunami yang menghantam pantai, dan segala hal yang ada di sekitarnya.

Dua, kematian, sesungguhnya, bukanlah hal yang luar biasa. Setiap detiknya, ada orang yang meninggal di berbagai belahan dunia. Sebabnya beragam, mulai dari penyakit sampai dengan bencana alam. Kebodohan kita, dan permainan media yang menuai sensasi dangkal, membuat kematian seolah menjadi berita yang menghebohkan.

Tiga, di mata kita, kematian, terutama akibat penyakit atau bencana, adalah sebuah musibah. Kita menangis dan bersedih, karena itu semua. Namun, di mata alam semesta, kematian adalah hal biasa. Itu adalah gerak perubahan semesta yang terjadi setiap saat.

Empat, kita bersedih, karena kita melihat dari sudut pandang ego kita yang sempit. Kita menangis, kecewa dan marah di hadapan bencana. Saya teringat, ketika saya mengeluh soal betapa menderitanya hidup saya ke seseorang yang, saya anggap, sudah tercerahkan. Ia hanya berkata, ada ratusan jutaan orang lainnya yang menderita, mengapa kamu merasa istimewa?

Lima, apakah kita lalu perlu bersikap tidak peduli di hadapan “tragedi”, atau gerak perubahan semesta yang biasa? Tentu saja tidak. Ketika kita melihat segalanya dari kaca mata keseluruhan, welas asih akan muncul secara alami. Saat ke saat, kita bertindak sesuai dengan keadaan.

Ketika ada orang lapar, kita memberinya makan. Ketika ada orang kesepian, kita menemaninya. Ketika ada orang yang butuh bantuan, kita membantunya. Semua dilakukan secara tulus, tanpa pamrih yang mengikutinya.

Menyadari Inti Batin

Zen mengajak kita untuk menemukan inti batin kita, atau jati diri kita yang sebenarnya. Inti batin itu bersifat sadar, tapi kosong. Ia tidak punya batas. Ia juga tidak memiliki awal, dan tidak akan pernah berakhir.

Jati diri kita yang asli itu berada sebelum pikiran. Ia tidak bersifat material. Ia hanya jernih memantulkan keadaan sebagaimana adanya. Tidak ada yang ditambahkan, dan tidak ada yang dikurangi.

Karena kosong dan sadar, ego tertunda. Batin jadi seluas semesta. Kita melihat dunia dari kaca mata semesta. Saat ke saat, dari kejernihan, apa yang bisa saya lakukan untuk meringankan beban mahluk hidup di sekitar saya?

Tak ada pikiran dualistik yang membelah dunia ke dalam baik dan buruk. Semua peristiwa menjadi dasar untuk menolong semua mahluk, tanpa kecuali. Ini adalah arah hidup yang luhur. Di dalam gempa, sambil sadar akan kerapuhan dari segalanya, kita saling menolong dan menguatkan mereka yang menderita.

Diterbitkan oleh

Reza A.A Wattimena

Peneliti di bidang Filsafat Politik, Filsafat Ilmu dan Kebijaksanaan Timur. Alumni Sekolah Tinggi Filsafat Driyarkara Jakarta, Doktor Filsafat dari Hochschule für Philosophie München, Philosophische Fakultät SJ München, Jerman. Beberapa karyanya: Menjadi Pemimpin Sejati (2012), Filsafat Anti Korupsi (2012), Tentang Manusia (2016), Filsafat dan Sains (2008), Zen dan Jalan Pembebasan (2017-2018), Melampaui Negara Hukum Klasik (2007), Demokrasi: Dasar dan Tantangannya (2016), Bahagia, Kenapa Tidak? (2015), Cosmopolitanism in International Relations (2018), Protopia Philosophia (2019), Memahami Hubungan Internasional Kontemporer (20019), Mendidik Manusia (2020), Untuk Semua yang Beragama (2020), Terjatuh Lalu Terbang (2020), Urban Zen (2021), Revolusi Pendidikan (2022) dan berbagai karya lainnya.

6 tanggapan untuk “Gempa Zen”

  1. saya tertarik dengan pernyataan media yang mencatat jumlah kematian seolah-olah sesuatu yang menggiurkan pasar informasi mass. Ditunggu tulisan tentang itu untuk pembahasan berikut.

    Suka

  2. musibah dlm bentuk apa saja, adalah peringatan utk kita semua, bahwa kita bukan mahluk istimewa, tapi.mahluk sederhana , yg mencakup seluruh alam semesta.
    sangat membantu, di kala saya dalam kesulitan, kesedihan, putus asa, saya terima apa adanya, kita peluk semua nya….
    radikale akzeptanz ! setelah kesulitan lewat, kita bersyukur, betapa kesulitan mampu membawa kita kearah hidup dgn kesadaran.
    rasa cinta kasih terbentuk dgn sendiri nya dan kita mengerti semua kaitan dan hubungan…kita tersenyum.
    lagi2 herzsutra yg dibahas…haha ha !!
    banya salam dan terima kasih !!

    Suka

  3. Salam…
    Saya orang yang menganut agama islam keseluruhan dari tulisan-tulisan pak reza saya kombinasikan dengan apa yang sudah saya ketahui dalam islam banyak sesuatu yang sama tetapi dengan konsep yang berbeda, misalnya konsep-konsep zen.

    Suka

Tinggalkan Balasan

Isikan data di bawah atau klik salah satu ikon untuk log in:

Logo WordPress.com

You are commenting using your WordPress.com account. Logout /  Ubah )

Gambar Twitter

You are commenting using your Twitter account. Logout /  Ubah )

Foto Facebook

You are commenting using your Facebook account. Logout /  Ubah )

Connecting to %s

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.