Oleh Reza A.A Wattimena
Sudah lama kami tak berjumpa. Setiap perjumpaan selalu mencerahkan. Ada ide baru yang keluar. Ada kesegaran batin dan intelektual yang ditawarkan.
Pak F. Budi Hardiman, guru saya di bidang filsafat, kini mengajar sebagai guru besar di Universitas Pelita Harapan. Setelah berbicara tentang berbagai hal, kami menyentuh soal radikalisme. Satu argumen yang tajam lahir dari pembicaraan kami. Berpikir radikal, terutama melalui filsafat murni, bisa meluluhkan kencenderungan radikalisme berpikir, yakni berpikir dengan kekerasan ide, kekerasan fisik serta pemaksaan.
Kebetulan juga, saya sedang menulis buku tentang Filsafat Anti Teror. Saya akan membedah beragam makna terorisme, dan tindakan teror. Lalu, saya akan melakukan refleksi filosofis tentang unsur-unsur pembentuk terorisme. Tak lupa juga, saya akan merumuskan pendekatan paling tepat untuk menghadapi terorisme di dalam segala bentuknya.
Tentu saja, jalan masih panjang. Banyak buku yang harus dibaca. Banyak orang yang harus diajak bicara. Banyak pengolahan yang mesti dilakukan, dan kemudian dituangkan dalam bentuk tulisan. Namun, tesis dari diskusi dengan Pak Budi Hardiman tetap bercokol di batin saya: berpikir radikal untuk melawan radikalisme berpikir.
Berpikir Radikal
Apa itu berpikir radikal? Ada enam unsur yang penting diperhatikan. Pertama, berpikir radikal berarti berpikir sampai ke akar (radix). Orang berpikir secara mendalam untuk memahami hakekat dan unsur-unsur dari suatu hal.
Dua, untuk bisa berpikir sampai ke akar, orang harus berani berpikir kritis. Ia tidak boleh percaya begitu saja pada pernyataan orang lain, siapapun yang berbicara. Orang juga harus berani bertanya, terutama pertanyaan-pertanyaan yang mendasar, dan amat penting. Sikap kritis akan menyelamatkan hidup manusia dari berbagai masalah dan bahaya yang mungkin mengancam, mulai dari pengaruh ideologi-ideologi sesat, sampai dengan tipuan iklan dari perusahaan-perusahaan pembohong.
Tiga, sikap kritis harus juga disertai logika. Dalam arti ini, logika adalah ilmu berpikir lurus. Penarikan kesimpulan haruslah sesuai dengan data-data yang sudah ada sebelumnya. Sikap kritis, tanpa logika, akan bermuara pada perdebatan kusir yang tak berguna.
Empat, logika membuat orang mampu berpikir, dan berpendapat secara sistematis. Ini berarti, pola argumen dan tulisan memiliki hubungan sebab akibat yang jelas. Ada alur yang jelas, dan bisa dimengerti dengan akal sehat. Sistematika berpikir, berbicara dan menulis adalah kemampuan penting di dalam masyarakat demokratis.
Lima, semua hal ini membuat orang terbuka pada perbedaan sudut pandang. Toleransi lahir secara alami. Dialog dan komunikasi lalu menjadi jalan hidup, sekaligus jalan keluar untuk beragam masalah kehidupan yang tak pernah selesai. Tak ada tempat untuk pemikiran yang tertup dan memaksa, apalagi yang penuh dengan kekerasan.
Enam, semua hal ini, sebenarnya, sudah terdapat di dalam filsafat. Namun, bukanlah filsafat agama, seperti yang ada di Indonesia, melainkan filsafat yang mengedepankan semangat pencarian secara rasional, kritis dan sistematik tentang kenyataan. Tak ada iman, ataupun dogma, yang dianut secara buta. Sayangnya, filsafat semacam ini masih amat kecil pengaruhnya di Indonesia.
Membongkar Radikalisme Berpikir
Kata radikal juga punya arti berbeda. Ia menjadi kata untuk melukiskan sekelompok manusia yang tersesat di dalam kebodohan. Ada empat hal yang perlu diketahui. Pertama, radikalisme berpikir adalah ideologi tertutup, yakni sekumpulan ajaran yang bersifat tertutup, membunuh sikap kritis, memaksakan kebodohannya, bila perlu dengan kekerasan.
Dua, ideologi radikal memang dekat dengan kekerasan. Tidak hanya kekerasan fisik, tetapi juga kekerasan simbolik. Lingkungan dibuat kacau dengan teriakan suara yang menghancurkan telinga. Tubuh perempuan dipenjara dari ujung kepala sampai ujung kaki, mengabaikan semua unsur keindahan dan akal sehat.
Tiga, radikalisme itu tak punya daya tarik pemikiran. Maka, ia disebarkan lewat paksaaan dan ancaman. Tak ada ilmu ataupun kebijaksanaan di dalam ajaran radikal. Isinya penuh dengan takhayul yang membuat orang bodoh dan miskin.
Empat, di berbagai tempat, ajaran radikal ini membuat banyak masalah. Begitu banyak sumber daya digunakan untuk mengendalikan kelompok radikal yang bodoh ini. Begitu banyak korban jiwa dari tindak kekerasan maupun diskriminasi yang mereka lakukan. Ideologi radikal, hasil dari radikalisme berpikir, adalah sumber dari terorisme yang merusak tatanan, dan menebar ketakutan ke seluruh lapisan masyarakat.
Radikalisme berpikir semacam ini hanya dapat dilawan dengan pola pikir radikal (mendalam dan kritis). Ideologi tertutup hanya dapat dilampaui dengan pemikiran filosofis yang murni. Maka, filsafat murni harus menjadi bagian dari kurikulum pendidikan nasional Indonesia. Hanya dengan begitu, akal sehat bisa menjadi dasar bagi kehidupan demokrasi Indonesia yang sangat unik dan kompleks.
Seperti biasa, percakapan saya dengan Pak Budi Hardiman berakhir dengan pencerahan. Mimpi kami sama, supaya bangsa ini hidup dengan akal sehat, mulai dari pembuatan kebijakan, sampai hidup keseharian. Jalan paling cepat adalah lewat pendidikan nasional yang tercerahkan, dan perumusan kebijakan keamanan yang sungguh tepat. Selama jabatan pemimpin politik diisi kaum radikal dan kapitalistik, dua hal itu hanya sekedar mimpi.
Entah sampai kapan…
syalom sdr Reza senang membaca tulisan saudara dan sangat menarik. terimakasih. by Fr. Andri
SukaSuka
Apakah bisa dikatakan kalau pelaku bom bunuh diri belum tentu orang radikal? Karena menurut pikiran saya belum tentu pelaku tersebut berpikir sampai ke akar.
SukaSuka
Terima kasih
SukaSuka
Radikal sempit… radikal tertutup. Racun peradaban. Ada jenis radikal lainnya, yakni berpikir mendalam
SukaSuka