
Etos Protestanisme dan Semangat Kapitalisme
Oleh Reza A.A Wattimena
Menurut Allen buku Weber yang menjadi kajian utama tulisan ini, The Protestant Ethic and the Spirit of Capitalism, adalah karya terbaiknya.[1] Pertanyaan mendasar yang ingin dijawab di dalam buku ini adalah, mengapa kapitalisme lahir di Eropa, dan bukan di Asia, atau belahan dunia lainnya? Jawaban Weber cukup jelas, karena adanya agama yang khas Eropa, tepatnya agama Kristen Protestan. Seperti ditegaskan oleh Allen, dengan bukunya tersebut, Max Weber mengubah fokus analisis teori-teori sosial dari pendekatan evolusionis (melihat tingkat perkembangan masyarakat yang bersifat universal dengan Eropa sebagai acuannya) menuju pendekatan perbandingan (comparative approach).[2]
Sebelum Weber ada seorang filsuf bernama Auguste Comte yang mengajukan argumen berikut; bahwa setiap masyarakat memiliki pola perkembangan yang universal, mulai dari tahap teologis (dengan ajaran agama sebagai prinsip utama), lalu tahap metafisika (dengan filsafat dan ajaran tentang hak-hak asasi manusia sebagai prinsip utama), dan mencapai puncak pada tahap positif (dengan para ilmuwan sosial yang memahami gerak masyarakat sebagai penentu utama).[3] Weber tidak setuju dengan ini. Baginya tidak ada hukum universal yang menjadi pola gerak masyarakat dunia. Yang ada hanyalah pola-pola unik yang hanya dapat ditemukan di dalam konteks masyarakat tertentu. Dan inilah yang hendak dipahami olehnya.
Bagi Weber –sebagaimana dibaca oleh Allen- yang sungguh perlu diperhatikan adalah faktor-faktor kultural yang mendorong gerak suatu masyarakat. Kemajuan suatu masyarakat amat ditentukan oleh sistem nilai yang berlaku di masyarakat tersebut. Di dalam sistem nilai terkandung nilai-nilai budaya sekaligus agama yang dominan di dalamnya. Suatu negara bisa terbelakang, baik secara politik, ekonomi, maupun pendidikan, karena sistem nilai kulturalnya tidak memungkinkan adanya kemajuan. Sebaliknya menurut Weber –sebagaimana dibaca oleh Allen- negara-negara industri yang telah maju bisa mencapai level seperti itu, karena sistem kultural yang ada di dalamnya memungkinkan terciptanya banyak penemu dan pengusaha mandiri.
Buku Protestan Ethic.. terbit pada 1904. Namun pada masa itu, sebagaimana dicatat oleh Allen, sudah ada perdebatan tentang asal mula sistem kapitalisme di Eropa. Ini semua terjadi di Jerman, karena dalam konteks untuk berubah menjadi masyarakat kapitalis, Jerman jauh tertinggal dari Inggris dan Perancis.[4] Untuk mengejar ketertinggalan maka dibuatlah wacana publik tentang kapitalisme, serta sistem nilai ataupun semangat apa yang ada di belakangnya. Seorang pemikir pada masa itu, Werner Sombart, mengajukan tesis menarik. Baginya kapitalisme bisa tercipta, karena besarnya populasi Yahudi di Eropa pada masa itu.[5] Weber mempertimbangkan pendapat itu, dan memilih untuk melihat ke arah lain.
Berdasarkan pengalaman pribadinya Weber mengambil kesimpulan, bahwa yang melahirkan kapitalisme bukanlah populasi Yahudi, melainkan etos spiritualitas Protestanisme. Memang sedari kecil ia dididik dalam etos Protestan yang ketat. Bahkan menurut catatan Allen, Weber sempat mendukung kebijakan Otto Von Bismarck yang bersifat anti Katolik, dan ingin mengubah Jerman menjadi negara Protestan. Menurut catatan istrinya, Marianne Weber, ia pernah berkunjung ke komunitas Protestan di Amerika Serikat, dan merasa amat terkesan dengan sikap mereka yang amat egaliter dan manusiawi. Dari pengalaman inilah nantinya Weber menulis buku The Protestant Ethic and the Spirit of Capitalism.[6]
Salah satu pertanyaan mendasar yang ada di dalam buku itu adalah, mengapa hanya masyarakat Barat yang menjadi begitu dominan di dunia pada era lahirnya kapitalisme? Menurut Allen –sebagaimana ia memahami Weber- jawabannya jelas, bahwa peradaban lainnya tidak memiliki ilmu pengetahuan, tidak memiliki teologi yang rasional dan sistematik, tidak memiliki astronomi yang cukup didasarkan para perhitungan matematis yang akurat, bahkan peradaban lain tidak memiliki musik yang serumit dan seharmonis peradaban Eropa. Inilah yang kiranya menjadi pandangan Weber pada waktu itu. Apakah ia jatuh pada eropasentrisme, yakni paham yang berpendapat, bahwa peradaban Eropa adalah pusat dunia, dan memiliki status lebih tinggi daripada peradaban-peradaban lainnya? Ia tidak bermaksud begitu, sebagaimana dinyatakan oleh Allen. Yang menjadi penekanan Weber adalah, bahwa kebudayaan Eropa adalah sesuatu yang unik, tidak dapat disamakan dengan kebudayaan lainnya, sehingga akhirnya bisa melahirkan kapitalisme modern.[7]
Berkaitan dengan kapitalisme ada pandangan klasik yang mengatakan, bahwa kapitalisme merupakan perwujudan konkret dari dorongan manusia untuk memiliki barang, uang, dalam jumlah yang tanpa batas. Namun bagi Weber semua ini tidak ada kaitannya dengan kapitalisme modern, karena semua karakter di atas sudah ada sepanjang sejarah manusia, jauh sebelum kapitalisme modern lahir. Berkaitan dengan ini ia menegaskan, bahwa kapitalisme harus dilihat pada dirinya sendiri sebagai sesuatu yang unik, yakni sebagai kemungkinan untuk mendapatkan keuntungan secara berkelanjutan dan rasional. Dengan kata lain kapitalisme “adalah suatu kondisi di mana harapan akan keuntungan melalui penggunaan kesempatan perdagangan, yakni melalui kemungkinan untuk mendapatkan untung secara damai.”[8]
Seluruh kinerja kapitalisme modern, menurut Weber, terletak pada empat fondasi. Fondasi pertama adalah kaum pekerja yang bebas, bagaikan barang yang dijual bebas di pasar tenaga kerja. Fondasi kedua adalah adanya tata hukum yang stabil, yang memastikan proses penumpukan modal secara damai tetap dapat berjalan. Fondasi ketiga adalah tata adminstrasi yang terdiri dari orang-orang yang terlatih dan profesional. Dan fondasi keempat adalah teknologi, bukan hanya teknologi mesin, tetapi juga kemampuan untuk mencatat pemasukan serta pengeluaran, dan beragam kemampuan lainnya yang mendukung kerja di alam kapitalisme. Semua ini menurut Allen, sebagaimana ia menafsirkan Weber, adalah tanda terjadinya pergeseran nilai di masyarakat, dari masyarakat spiritual-metafisik menuju ke masyarakat rasional-ekonomis. Pengejaran keuntungan adalah sesuatu yang rasional, maka perlu dan baik untuk dilakukan, begitulah kiranya diktum kapitalisme modern. [9] Namun apa kaitan semua ini dengan etos Protestanisme?
Seperti sudah ditegaskan sebelumnya, Weber melihat hubungan yang amat erat antara agama Kristen Protestan dan lahirnya kapitalisme modern. Misalnya –sebagaimana dinyatakan oleh Allen- mayoritas pemilik dan pemimpin bisnis di Jerman memeluk Kristen Protestan. Daerah dengan perkembangan ekonomi terbesar mayoritas dihuni oleh orang-orang Kristen Protestan. Dalam soal pendidikan pun sama. Sebagaimana dicatat oleh Allen, orang-orang Protestan lebih memilih untuk mempelajari bidang-bidang teknik dan ilmu pengetahuan murni. Sementara orang-orang Katolik lebih banyak belajar ilmu-ilmu humaniora.[10]
Dari data tersebut kita bisa melihat, ada keterkaitan antara etos Protestanisme dan semangat kapitalisme. Keterkaitan itu bisa kita lihat di dalam ucapan Benjamin Franklin berikut ini, “Waktu adalah uang. Orang harus membayar hutang pada waktunya. Orang juga tidak boleh terlalu banyak berhutang. Setiap orang memiliki tugas pribadi untuk meningkatkan modal yang ia punya, dan ini harus dilihat sebagai tujuan pada dirinya sendiri.”[11] Pada hemat Weber kutipan ini menggambarkan dengan jelas etos hidup orang-orang Protestan yang amat sesuai untuk mengembangkan atmosfer kapitalisme modern.
Menurut Allen sebagaimana ia menafsirkan Weber, esensi dari semangat kapitalisme adalah dorongan untuk mendapatkan uang sebanyak mungkin yang digabungkan dengan penolakan terhadap kenikmatan-kenikmatan hidup sesaat. Pemahaman semacam ini mendorong terciptanya kelas sosial yang produktif di dalam berbisnis. Merekalah yang nanitnya menjadi kelas pekerja modern yang bisa hidup makmur. Kapitalisme hanya dapat lahir dan bertahan, jika produktivitas terus meningkat. Sementara produktivitas bisa meningkat, jika orang bekerja dengan sumber daya minimal untuk mendapatkan hasil yang maksimal. Dalam arti ini kerja haruslah dipahami sebagai tujuan pada dirinya sendiri; sesuatu yang pada dirinya sendiri berharga dan luhur. [12]
Sebagaimana dicatat oleh Allen, motif pencarian uang dan pengembangan modal tanpa batas itu adalah sesuatu yang cukup baru di dalam agama Kristen. Salah satu filsuf Katolik terbesar abad pertengahan, Thomas Aquinas, pernah berpendapat, bahwa penumpukan uang adalah suatu dosa yang amat kotor. Bahkan di abad pertengahan, seringkali uang disamakan dengan feses (kotoran manusia). Namun anggapan semacam itu hilang di masa modern. Dugaan Allen adalah karena hubungan yang berkelanjutan dengan para pedagang dari tanah asing, yang memang berniat untuk melipatgandakan keuntungan. Semua itu berpuncak sampai terjadinya perubahan kultur secara besar-besaran di Eropa, yakni terjadinya reformasi. Nilai-nilai lama dilawan dan diubah, termasuk rasa jijik terhadap uang yang diubah total menjadi kecintaan untuk mengumpulkan uang tanpa batas. “Dampak psikologis dari reformasi,” demikian Allen, ketika menafsirkan Weber, “memungkinkan orang-orang Protestan untuk mengadopsi mental kewirausahaan, memiliki semangat rasional untuk bekerja, dan melihatnya sebagai kewajiban.”[13]
Seperti sudah dinyatakan oleh Allen, lahirnya kapitalisme modern tidak dapat dilepas dari reformasi Gereja Kristen yang terjadi di Eropa. Gereja Katolik Roma sebelumnya memberi pembedaan tegas antara moralitas yang mesti dipatuhi oleh orang-orang awam, dan moralitas yang mesti dijalankan oleh orang-orang religius (biarawan, rahib, pastur).[14] Kaum religius diminta untuk mematuhi sumpah kepatuhan, kemiskinan, dan kemurnian. Untuk menjalankan semua ini, mereka menarik diri dari dunia, dan menjalani hidup pertapaan. Luther –yang memulai reformasi Protestan- tidak setuju dengan ini. Baginya tindak semacam itu adalah tindakan pengecut yang melarikan diri dari masalah dunia. Kesucian yang sejati –bagi Luther- adalah menjalankan tugas-tugas kehidupan rutin sehari-hari untuk memuliakan Tuhan. Cara pandang ini memberi kehormatan dan semangat bagi para pekerja untuk bekerja lebih giat, sehingga mereka bisa memuliakan Tuhan, tanpa perlu merasa bersalah, karena dituduh menumpuk uang.[15]
Posisi Luther tersebut dibuat lebih radikal oleh Kalvin, pendiri Kalvinisme yang juga menolak ajaran tradisional Gereja Katolik Roma pada 1534. Ia pertama-tama mengajukan pertanyaan tajam, jika Tuhan memang amat berkuasa, maka masihkan manusia bisa bebas di hadapan-Nya? Jelas jawabannya adalah tidak. Ia pun mengajukan sebuah pandangan yang disebut sebagai predestinasi. Artinya setiap orang sudah ditentukan jalan hidupnya oleh Tuhan, dan juga apakah ia akan masuk ke neraka, atau surga, semuanya telah ditentukan oleh Tuhan. Maka ada orang-orang yang memang terpilih, dan orang-orang yang tidak.
Karena ajaran ini banyak orang merasa cemas dan kesepian dalam hidupnya, khawatir kalau mereka tidak terpilih. Dari sini lahirnya perlombaan untuk menjadi orang-orang yang terpilih, yang akan hidup bahagia dan masuk surga. Salah satu bentuk perlombaannya adalah dengan bekerja dan sibuk dalam urusan-urusan dunia. Dengan hidup sukses orang bisa membuktikan, bahwa ia adalah orang yang terpilih oleh Tuhan. “Kalvinisme”, demikian tulis Allen, ketika menafsirkan pemikiran Weber, “dengan demikian membawa orang untuk menjadi amat individualistik di dalam mencapai prestasi untuk melawan kegelisahan yang sifatnya religius.”[16] Orang menjadi penyendiri di dalam meniti sukses karirnya di dunia, supaya ia layak menjadi orang yang terpilih oleh Tuhan untuk memasuki surga. Pola berpikir religius semacam ini mempengaruhi etos kerja dan gaya hidup seseorang, yang nantinya mendorong lahirnya kapitalisme modern.
Saya ingin kembali ke pemikiran Weber. Seperti sudah kita lihat sebelumnya, orang-orang Protestan pengikut Luther dan orang-orang Kalvinis amat menekankan pentingnya asketisme duniawi (mati raga duniawi). Di dalam ajaran Protestan klasik, setiap orang diajak untuk mengatur dirinya secara ketat. Mereka tidak memiliki kesempatan untuk berkonsultasi dengan pendeta untuk melepaskan kecemasan hidup mereka, seperti yang masih terjadi di Gereja Katolik Roma sampai sekarang. Satu-satunya tempat mereka menemukan kedamaian adalah di dalam bekerja dengan rajin di dalam hidup. Maka dari itu sikap malas dan membuang-buang waktu adalah suatu dosa yang amat besar. Semua upaya harus diarahkan untuk mencapai keberhasilan duniawi.
Dalam arti ini menurut Allen, dapatlah dikatakan, bahwa asketisme yang ditunjukkan para rahib Katolik di biara-biara berubah menjadi asketisme duniawi di dalam berbisnis di pasar. Kesucian bukanlah melulu soal surga dan neraka, tetapi juga keberhasilan di dalam dunia ini. Jika uang anda banyak, maka anda juga memuliakan Tuhan di dunia ini melalui kerja dan usaha yang anda lakukan. Orang tidak boleh hidup dengan berfoya-foya menikmati barang-barang duniawi. Namun tetap saja seperti dikatakan Allen di dalam tafsirannya atas tulisan Weber, banyaknya harta menunjukkan banyaknya berkat yang diberikan Tuhan kepada orang tersebut. Orang boleh memiliki banyak harta, tetapi tidak boleh menikmatinya tanpa kontrol.
Dengan demikian dapatlah dikatakan, bahwa kapitalisme adalah akibat tidak langsung dari Reformasi Protestan. Sebaliknya juga dapat dikatakan, bahwa tidak ada orang yang memeluk Protestanisme untuk menjadi seorang kapitalis. Namun seperti ditekankan oleh Allen, di dalam tafsirannya terhadap pemikiran Weber, dampak tidak langsung dari etos Protestanisme adalah suatu sikap hidup yang amat sesuai untuk berkembangnya kapitalisme modern.[17] Dalam tulisannya ia menyatakan begini, “Protestanisme membawa orang pada pengumpulan modal melalui dorongan asketik untuk menyimpan uang.”[18] Asketisme (sikap mati raga) yang diajarkan oleh Protestanisme justru menciptakan pribadi yang amat rajin, teliti, hemat, dan sadar di dalam bekerja, sekaligus taat beragama pada waktu yang sama. Bahkan sikap kontrol diri yang amat ketat di dalam Protestanisme juga melahirkan tata kelola organisasi yang amat rasional, efisien, baik dalam konteks pengelolaan modal, maupun pengaturan tenaga kerja.
Etos kerja yang melahirkan kapitalisme adalah sikap hemat, pantang menyerah, teliti, dan rajin. Semua ini lahir menurut Weber dari etos Protestanisme yang meminta orang untuk bermati raga di dalam hidup ini, tidak di dalam biara, tetapi di dalam aktivitas duniawi sehari-hari, seperti bekerja, berdagang, belajar, dan sebagainya. Naluri di belakang lahirnya kapitalisme modern adalah sesuatu yang sebenarnya amat suci, yakni hidup dengan moralitas asketik demi kemuliaan Tuhan yang lebih besar. Kapitalisme adalah suatu paham yang berpijak pada dasar-dasar moral Protestanisme. Bahkan para kapitalis awal menganggap, bahwa keanggotaan orang pada Gereja Protestan mencerminkan tingkat moralitasnya yang sudah tinggi. Maka orang tidak perlu ragu untuk berbisnis dengannya, memberikannya pekerjaan, atau meminjamkannya uang.[19]
Namun penting untuk dicatat, bahwa bagi Weber, kapitalisme modern tidak secara langsung terhubung dengan Protestanisme, walaupun awalnya, kapitalisme modern berhutang pada etos Protestanisme. Ketika kapitalisme sudah lahir, maka ia membentuk logika berpikirnya sendiri, yakni penumpukan modal tanpa batas, lepas dari etos Protestanisme yang “melahirkannya”. Sebaliknya bagi Weber –sebagaimana dibaca oleh Allen- agama-agama di Asia, terutama di India dan China yang menjadi fokus penelitian Weber, tidak mendukung perkembangan ekonomi. Itulah sebabnya mengapa kapitalisme lahir di Eropa, dan bukan di Asia.
Buku The Protestant Ethic and The Spirit of Capitalism, menurut Allen, memiliki dua tujuan. Yang pertama adalah untuk menjelaskan lahirnya kelas borjuasi yang memiliki nilai-nilai moral tertentu yang khas. Yang kedua buku ini ingin memberikan penjelasan alternatif terhadap gerak sejarah manusia yang berbeda dari ajaran Marx tentang materialisme historis (sejarah manusia bergerak, karena ditentukan oleh aspek-aspek material masyarakat).[20] Bagi Weber argumen Marx yang menyatakan, bahwa sejarah manusia ditentukan oleh aspek ekonomi amatlah naif. Sebaliknya gerak sejarah manusia ditentukan oleh nilai-nilai yang sifatnya lebih spiritual, seperti etos kerja maupun gaya hidup yang amat dipengaruhi oleh nilai-nilai budaya maupun religius yang ada. Bahkan perilaku ekonomi suatu masyarakat tidak pernah dapat dilepaskan dari nilai-nilai kultural maupun religius yang ada di masyarakat tersebut.
Weber adalah seorang pemikir yang amat terpengaruh oleh tradisi Idealisme Jerman. Di dalam tradisi ini, gerak sejarah dipengaruhi oleh roh jaman, dan bukan aspek materialnya semata. Kalvinisme dan Protestanisme adalah roh jaman yang melahirkan kapitalisme modern yang kemudian mandiri, dan memiliki logikanya sendiri. Roh jaman itu lahir sebagai pemberontakan terhadap Gereja Katolik yang pada masa itu ama terkait dengan feodalisme serta aristokrasi yang sudah berjalan berabad-abad di Eropa.
Pemberontakan itu kemudian disambut baik oleh para pangeran-pangeran Jerman yang membenci monarki, petani-petani, dan terutama para pedagang yang memiliki modal secara ekonomi, tetapi tak memperoleh penghormatan politis yang secukupnya. Reformasi Protestan, Kalvinisme, lahirnya kapitalisme modern dapat dilihat sebagai antitesis, sekaligus roh pemberontakan, dari tata feodal monarki Eropa Katolik pada masa itu.[21] Pada hemat saya Weber, dengan analisisnya, berhasil memperlihatkan benang tipis hubungan antara perilaku ekonomi masyarakat di satu sisi, dan kehidupan religius masyarakat itu di sisi lain.
Namun menurut Allen analisis Weber itu juga tidak sepenuhnya bebas kepentingan. Ada dugaan mendasar bahwa ia ingin memberikan pendasaran moral terhadap kapitalisme modern, bahwa kapitalisme modern memiliki akar religius yang luhur. Saya rasa dugaan ini cukup sah, asal tidak digunakan untuk sepenuhnya mendiskreditkan pemikiran Weber. Juga sebagaimana dicatat oleh Allen, Weber ingin mematahkan argumen Marx yang menyatakan, bahwa ekonomi adalah penggerak masyarakat dan sejarah manusia itu sendiri. Namun disini juga kelemahannya muncul; ia melupakan aspek-aspek material yang kiranya memungkinkan lahirnya kapitalisme modern.[22]
Weber juga melihat bahwa walaupun ada berbagai versi Protestanisme, namun ada beberapa nilai yang mendasarinya, dan kemudian mendorong lahirnya kapitalisme modern. Nilai teologis Protestanisme ini merasuk begitu dalam ke hati orang-orang Eropa pada masa itu (abad 17-18), dan menjadi dasar spiritual, moral, sekaligus rasional bagi kapitalisme modern. “Tuhan” (nilai-nilai Protestan) dan uang (kapitalisme modern) terkait erat, tanpa bisa terpisahkan.
Bersambung
[1] Untuk selanjutnya saya mengikuti uraian Allen, Kieran, Max Weber: A Critical Introduction, Pluto Press, London, 2004, hal. 32.
[2] Ibid.
[3] Lihat Gane, Mike, Auguste Comte, Routledge, London, 2006.
[4] Allen, Kieran, Max Weber:…, hal. 32.
[5] Ibid, hal. 33.
[6] Ibid.
[7] Ibid.
[8] Ibid, hal. 34.
[9] Ibid, hal. 35.
[10] Ibid.
[11] Ibid, hal. 36.
[12] Ibid.
[13] Ibid.
[14] Ibid.
[15] Ibid.
[16] Ibid, hal. 37.
[17] Ibid, hal. 38.
[18] Ibid.
[19] Ibid, hal. 39.
[20] Untuk ini silahkan lihat buku Magnis-Suseno, Franz, Pemikiran Karl Marx.
[21] Ibid, hal. 39.
[22] Ibid, hal. 41.
Kalau diijinkan utk ikut urun-pikir, mungkin ada beberapa hal yang dapat saya tambahkan mengenai Calvinisme.
Sebagai sebuah wawasan dunia, Calvinisme pada dasarnya berpijak pada “sovereignty of God” di satu pihak dan pada “responsibility of man” di pihak yang lain. Kedua dasar pijak ini oleh Calvin dilihat secara paradoks; karena Allah berdaulat mutlak maka manusia harus memberikan respon dengan tanggung-jawab penuh. Permasalahannya, di dalam perkembangannya muncul banyak interpretasi terhadap pandangan Calvin. Tetapi penekanan yang dilakukan hanya mengacu pada salah satu dasar pijak saja. Penekanan pada dasar pijak pertama mengakibatkan predestinasi – yang sebenarnya tidak mendapat porsi besar dalam Institutio, karya John Calvin – dianggap sebagai inti Calvinisme. Disisi lain, penekanan berlebihan pada dasar pijak kedua (antara lain) membentuk etos kerja yg terlepas dari esensinya. Etos kerja yang ‘cacat’ ini kemudian bersambut dalam era humanistik masa itu yang kemudian semakin berkembang pada enlightenment. Ekses negatif dari pengadopsian etos kerja ini yg kemudian berpengaruh dalam pembentukan sistem pemikiran kapitalistik.
Salam…
SukaSuka
Sejauh ini kapitalisme telah membuktikan ketangguhannya ketika dihadapkan dengan antitesisnya yaitu sosialisme. dan disini terlihat menarik, karena sejauh kita tahu bahwa sosialisme yang waktu itu tumbuh di negara negara seperti uni soviet, bahkan indonesia selalu diidentikkan dengan atheisme “tidak bertuhan”. Yang mana pada bahasan kali ini adalah bahasan tentang hubungan antara “Tuhan dan Uang” atau “Tuhan dan Kapitalisme”. Seolah olah kita melihat sistem kapitalisme dan sosialisme adalah kata lain untuk Tuhan dan Tak Bertuhan. Dari yang semula hanya berada dalam ranah ekonomi kemudian merembet ke persoalan Agama atau Ketuhanan. Apakah hal ini merupakan sifat bawaan yang dimiliki oleh sistem ekonomi tersebut ataukah hanya sekedar asosiasi yang dibuat oleh pihak-pihak tertentu……………………….
SukaSuka
Terima kasih atas informasinya. Manusia memang suka begitu. Ia mengambil apa yang ia perlu dari ajaran-ajaran agung di dalam sejarah (agama dan filsafat), lalu menggunakannya untuk membenarkan tindakannya yang tak selalu baik.
SukaSuka
Pertanyaan anda amat menarik. Terima kasih. Saya pikir argumen bahwa kapitalisme identik dengan Tuhan, sementara sosialisme identik dengan ateisme tidaklah tepat. Karena kalau dipikir lebih jauh, di dalam kapitalisme, uang adalah Tuhan. Semua orang mencari dan mencintainya. Sementara di dalam sosialisme, walaupun tidak eksplisit menyatakan bertuhan, nilai-nilai keadilan dan kemanusiaan amat dijunjung tinggi, sehingga tampak lebih “bertuhan” daripada kapitalisme itu sendiri. Silahkan baca tulisan saya di dalam website ini yang berjudul “paradoks”
SukaSuka