Keluar dari Dunia Para Tikus

paul-jackson-dissection-art-20Oleh Reza A.A Wattimena

Percakapan dengan teman berakhir dengan kegelisahan. Ia merasa, hidupnya berhenti. Ia sudah bekerja keras. Namun, karirnya tidak berkembang.

Ia pun berpikir untuk berpindah kerja. Tujuannya supaya bisa menaiki tangga karir. Ia ingin punya posisi lebih tinggi dengan pendapatan lebih besar. Kerakusan menyiksa hati dan pikirannya.

Ia merasa harus terus membuktikan diri. Untuk itu, ia harus bekerja lebih keras. Target kerja dilampauinya. Semua tugas dikerjakannya sebaik mungkin, bahkan lebih dari harapan atasannya.

Untuk bisa meningkatkan karir, kinerja bagus tidak cukup. Ia harus berpolitik di tempatnya bekerja. Ia harus berani memfitnah, menipu dan bahkan menjegal kawannya sendiri di tempat kerja. Nuraninya dipasung oleh rasa rakus yang justru menyiksa hidupnya.

Bagaimana dengan keluarga? Tentu saja, tak ada waktu untuk keluarga. Istri dan anak terbengkalai. Selama ia punya uang banyak, begitu pikirnya, maka keluarganya akan baik-baik saja.

Tubuhnya pun mulai tersiksa. Baru saja, ia masuk IGD, karena sakit maag akut. Sekitar dua bulan lalu, ia operasi usus buntu. Di dalam perjalanan menaiki tangga karir, tubuh pun siap dikorbankan.

Kata dokter, ia mengalami stress tinggi. Tak heran, lambungnya terluka. Pola hidup semacam ini, sesungguhnya, sangatlah tidak sehat. Apa guna uang begitu banyak, dan kekuasaan begitu besar, namun tubuh dan pikiran rusak?

Mentalitas Tikus

Di dalam perjalanan menaiki tangga karir, orang kehilangan hidupnya. Mutu hidupnya menurun. Ia menyiksa keluarganya, dan lingkungan sekitarnya. Inilah yang saya sebut sebagai hidup ala tikus (rat life).

Istilah umumnya adalah perlombaan tikus (rat race). Ini adalah pola hidup dari orang yang mengejar karir di dalam hidupnya. Untuk itu, mereka mengorbankan segalanya. Walaupun mereka menang, mereka tetap tikus yang telah menyiksa diri dan orang-orang sekitarnya. Apa gunanya?

Ada lima hal yang perlu diperhatikan. Pertama, karir adalah temuan ideologi kapitalisme turbo. Karir bukanlah sesuatu yang muncul secara alami di dalam hidup manusia. Ia diciptakan oleh para kapitalis di abad 20, supaya orang siap bekerja, memperkaya kaum kapitalis, dan mengorbankan hidupnya. Proses menaiki tangga karir adalah perbudakan terselubung.

Dua, perlombaan tikus akan melahirkan masyarakat yang egoistik. Orang hanya memikirkan kepentingan dirinya masing-masing. Jegal, fitnah dan kebohongan menjadi hal biasa, baik di dalam bisnis maupun politik. Mutu kebudayaan sebuah masyarakat pun akan menurun, dan membusuk pada akhirnya.

Tiga, di dalam masyarakat semacam itu, solidaritas adalah barang langka. Orang hidup dalam ruang privatnya masing-masing. Demokrasi pun terancam. Masyarakat gampang terpecah, karena fitnah dan adu domba yang tak berkesudahan.

Empat, keterpecahan ini pun melebar. Keluarga menjadi rapuh. Tingkat perceraian dan konflik di dalam rumah tangga menjadi begitu tinggi. Anak-anak pun kerap menjadi korban dari sikap egois ekstrem kedua orang tuanya yang telah menjadi budak dari kapitalisme.

Lima, semua keadaan ini akan menciptakan generasi penuh trauma. Tantangan bersama, seperti masalah lingkungan dan konflik, tak dapat ditangani dengan baik. Secara keseluruhan, mutu hidup manusia terus menurun. Di tengah berbagai masalah yang ada, sekelompok orang terus mengeruk keuntungan ekonomi di atas penderitaan seluruh dunia.

Keluar dari Dunia Tikus

Jalan keluarnya hanya satu, yakni keluar dari dunia tikus. Kita keluar dari perlombaan menaiki tangga karir. Kita mencari keseimbangan di dalam hidup, baik unsur sosial, spiritual, ekonomi dan sebagainya. Kita berhenti untuk dibutakan oleh uang dan kekuasaan yang membawa begitu banyak petaka untuk dunia.

Kita bekerja untuk memenuhi kebutuhan hidup. Kita tidak hidup untuk bekerja, apalagi untuk menaiki tangga karir. Semua dikembalikan pada tempat awalnya. Kekacauan berpikir tentang hubungan antara kerja dan hidup hanya bermuara pada petaka untuk semua.

Kita juga perlu paham pada pola kapitalisme turbo sekarang ini. Iming-iming iklan dan gaya hidup mewah harus terus dipandang secara kritis. Di balik gemerlap dunia mewah, ada ketidakadilan dan perbudakan yang menjadi latar belakangnya. Jangan sampai kita terjebak, dan menjadi tikus-tikus yang mengejar uang, serta mengorbankan hidup kita.

Lebih dari itu, kita perlu sadar, bahwa kita bukanlah pekerjaan yang kita geluti. Pekerjaan hanya untuk memenuhi kebutuhan tubuh. Pekerjaan juga hanya untuk mengembangkan bakat yang telah kita punya. Diri kita yang asli, yang berada sebelum semua konsep dan pikiran, itu seluas semesta itu sendiri. Jangan sampai itu terlupakan di dalam hidup yang sementara ini.

***

cropped-rf-logo-done-rumah-filsafat-2-1.png

Rumah Filsafat kini bertopang pada Crowdfunding, yakni pendanaan dari publik yang terbuka luas dengan jumlah yang sebebasnya. Dana bisa ditransfer ke rekening pribadi saya: Rekening BCA (Bank Central Asia) 0885100231 atas nama Reza Alexander Antonius. Lebih lengkapnya lihat di https://rumahfilsafat.com/rumah-filsafat-dari-kita-untuk-kita-dan-oleh-kita-ajakan-untuk-bekerja-sama/

Iklan

Diterbitkan oleh

Reza A.A Wattimena

Pendiri Rumah Filsafat. Peneliti di bidang Filsafat Politik, Filsafat Ilmu dan Kebijaksanaan Timur. Alumni Sekolah Tinggi Filsafat Driyarkara Jakarta, Doktor Filsafat dari Hochschule für Philosophie München, Philosophische Fakultät SJ München, Jerman. Beberapa karyanya: Menjadi Pemimpin Sejati (2012), Filsafat Anti Korupsi (2012), Tentang Manusia (2016), Filsafat dan Sains (2008), Zen dan Jalan Pembebasan (2017-2018), Melampaui Negara Hukum Klasik (2007), Demokrasi: Dasar dan Tantangannya (2016), Bahagia, Kenapa Tidak? (2015), Cosmopolitanism in International Relations (2018), Protopia Philosophia (2019), Memahami Hubungan Internasional Kontemporer (20019), Mendidik Manusia (2020), Untuk Semua yang Beragama (2020), Terjatuh Lalu Terbang (2020), Urban Zen (2021), Revolusi Pendidikan (2022), Filsafat untuk Kehidupan (2023), Teori Transformasi Kesadaran (2023) dan berbagai karya lainnya.

12 tanggapan untuk “Keluar dari Dunia Para Tikus”

  1. saya mengerti dan bisa mengikuti makna thema diatas. betapa menderitanya teman anda, bahkan menarik keluarga nya utk ikut masuk jurang.
    fenomena diatas umumnya berachir di rs jiwa.
    sebetul nya teman tsb perlu “pertolongan profi” sebelum berlarut2.
    kehidupan spiritual nya perlu di pelihara dan di kembangkan….lagi haus, “hanya salah ambil minuman”
    terima kasih, selamat berkarya !!!

    haus, panas, sangat panas….

    Suka

  2. Terima kasih Mas Reza, tulisan yang sangat menggugah.. Mengingatkan kembali bahwa pencapaian yang paling hakiki bukanlah semata karir dan ekonomi, tetapi ada sesuatu yang jauh lebih besar dari itu, yakni bagaimana agar keberadaan kita di dunia bisa memberi arti dan manfaat bagi orang lain.. Ini sekaligus membuka mata saya, untuk meninggalkan beberapa pekerjaan yang sebenarnya tidak memiliki manfaat bagi perkembangan diri sehingga saya bisa punya lebih banyak waktu untuk diri sendiri dan bersama keluarga.. Karena pada dasarnya pekerjaan itu adalah bola karet, yang jika ia jatuh suatu saat akan memantul kembali ke atas.. Bola kaca adalah keluarga, saudara, sahabat, dan orang-orang yang penting dalam kehidupan pribadi kita.. Sukses terus mas, dan tetap menulis untuk mencerahkan.. Salam dari Aceh..

    Suka

Tinggalkan Balasan

Isikan data di bawah atau klik salah satu ikon untuk log in:

Logo WordPress.com

You are commenting using your WordPress.com account. Logout /  Ubah )

Foto Facebook

You are commenting using your Facebook account. Logout /  Ubah )

Connecting to %s

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.