‘Mitos’ Tentang Cina

‘Mitos’ Tentang Cina

Manusia memang membutuhkan sedikit mitos dalam hidupnya. Mitos itu adalah persepsi yang tidak benar tentang realitas, tetapi diperlukan untuk menenangkan dan memberikan kedamaian.

Mitos tersebut seolah menyelubungi realitas, dan membuat kita melihat realitas melulu dengan cara yang kita inginkan. Akibatnya jelas, kita tidak melihat realitas yang sebenarnya, tetapi realitas yang kita inginkan.

Hal yang sama terjadi soal persepsi kita terhadap Cina.

Cina banyak dikenal sebagai negara dengan tingkat pertumbuhan ekonomi dan industri yang luar biasa besar. Produk-produk buatan Cina memenuhi pasar Asia, Amerika, dan Eropa dengan harga bersaing.

Dengan harga yang bersaing seperti itu, produk-produk Cina secara perlahan tapi pasti mulai merebut pasar yang tadinya didominasi oleh barang-barang buatan Amerika, Eropa, atau Jepang. Cina pun mulai dikenal sebagai raksasa ekonomi yang baru.

Akan tetapi, ada satu hal yang kiranya perlu diperhatikan di balik gemerlapnya pertumbuhan Cina. Dan satu hal itu ternyata sangat penting untuk dipikirkan lebih jauh.

“Cina tidak memiliki sistem yang baik untuk mengontrol kualitas barang-barangnya”, demikian kata Wang Hai, seorang aktivis Cina yang giat sekali memperjuangkan hak-hak kosumen. “Jika ada orang yang melaporkan kepada yang berwajib tentang barang-barang yang tidak layak dijual kepada masyarakat umum”, demikian tambahnya, “maka ia bisa menghilang, dan ditemukan telah tewas dengan sebab-sebab yang mencurigakan.” (Liu, 2007)

Skandal Produk Cina

Tampaknya, pekerjaan rumah yang harus dilakukan Wang masihlah banyak. Beberapa bulan terakhir ini, beberapa skandal tentang kualitas produk Cina banyak bermunculan. Hal ini tentunya mengkhawatirkan, tidak hanya pemerintah Cina sendiri, tetapi seluruh dunia, terutama para konsumen.

Beberapa koran besar di Amerika serikat telah mengupas berita tersebut. Mereka menunjukkan bagaimana rendahnya kualitas barang impor dari Cina, mulai dari makanan hewan yang beracun, pasta gigi beracun, dan ban mobil yang kualitasnya sangat rendah.

Fakta-fakta ini telah menimbulkan banyak pertanyaan dari berbagai pihak tentang status Cina sebagai negara yang mulai tumbuh sebagai raksasa industri di dunia. Padahal, beberapa waktu lalu, hampir semua media massa di seluruh dunia terkagum-kagum tentang bagaimana Cina dengan cepatnya bertumbuh menjadi salah satu kekuatan industri di dunia, terutama karena kemampuannya membuat produk-produk dalam jumlah massal, cepat, murah, dan kualitas yang lumayan.

Kini, gambaran besarnya mulai muncul, dan ternyata gambaran tersebut tidaklah indah. Ekonomi Cina tidaklah terkontrol dan displin, seperti yang dibayangkan banyak orang. Data-data menunjukkan bahwa sistem ekonomi Cina mengalami degradasi masif, terutama dengan tidak adanya kontrol atas kualitas barang ekspor, dan lemahnya otoritas pemerintah di dalam bidang tersebut.

Memang, negara-negara yang terlebih dahulu menjadi raksasa industri, seperti Jepang dan Korea Selatan, juga punya pengalaman yang kurang lebih sama beberapa dekade yang lalu. Akan tetapi, perbedaannya adalah, kini barang-barang Cina telah mendominasi banyak sekali sektor-sektor strategis di dunia.

Jika pemerintah Cina tidak segera melakukan hal-hal yang diperlukan untuk mengembalikan status dan kredibilitas produk-produk Cina, maka para konsumen akan tetap berada dalam bahaya, dan ekonomi Cina sendiri juga akan berada dalam bahaya.

Dalam hal ini, Cina bisa sedikit belajar dari pengalaman Amerika Serikat. Pada awal abad ke-20, publik Amerika melakukan demonstrasi besar-besaran menentang pengadaan obat-obatan palsu dan makanan-makanan yang terkontaminasi zat kimia tertentu.

Protes tersebut mencapai skala masif, sehingga lebih mirip sebagai sebuah revolusi sosial. Kesemuanya itu terkait dengan Pure Food and Drug Act pada waktu itu. Nah, tampaknya, Cina membutuhkan revolusi serupa, jika mereka hendak menyelamatkan daya kompetitif mereka di level internasional. (ibid)

Internal Cina

Hal ini tidak terjadi hanya dalam konteks barang-barang yang diekspor keluar negeri saja. Kondisinya justru lebih parah di dalam negara Cina itu sendiri.

Jika kualitas barang ekspornya sudah mencurigakan, justru barang-barang yang dikonsumsi di dalam negerti memiliki kualitas yang jauh dibawah standar ekspor, terutama produk makanan, elektronik, dan microchip.

Ada makanan seafood yang mengandung zat adiktif tertentu, sehingga melemahkan kekuatan sperma pria. Ada saus dan sambal yang mengandung zat arsenik yang serupa dengan zat yang ada di rambut manusia.

Yang parah, saus dan sambal tersebut mengandung zat hormonal yang memungkinkan anak laki-laki berusia enam tahun sudah memiliki kumis dan janggut, serta anak perempuan berusia 7 tahun memiliki buah dada. (ibid).

Obat antibiotik palsu telah mengakibatkan kematian enam orang, dan membuat penyakit 80 orang lainnya bertambah parah pada 2006 lalu. Pada 2004, obat-obatan palsu untuk bayi yang baru lahir telah membunuh setidaknya 50 bayi, dan mengakibatkan 200 bayi lainnya mengalami penyakit yang tidak jelas.

Secara umum dapatlah dikatakan, bahwa hampir semua kategori produk di Cina memiliki cacat, mulai dari permen yang membuat seorang anak tercekik dan meninggal, dan krim wajah beracun. Setidaknya, 300 juta warga Cina, menurut laporan terakhir Asian Development Bank dan World Health Organization, mengalami sakit perut rutin.

Jelas, pemerintah Cina haruslah mengambil tindakan strategis dan efektif tentang hal ini. Kita di Indonesia pun harus mulai kritis terhadap berbagai produk, terutama produk Cina, yang kita gunakan. Jangan hanya terpesona oleh mitos ‘raksasa’ Cina yang seolah-olah menutupi mata kita dari fakta yang sebenarnya.

Reza A.A Wattimena

“Kanker” di dalam Dunia Islam?

“Kanker” di dalam Dunia Islam?

Seringkali, munculnya suatu problematika hanyalah merupakan suatu reaksi terhadap aksi yang sebelumnya mendahuluinya. Begitu pula dengan problematika kontemporer sekarang ini, yang, jika ditelusuri akar-akarnya, sebenarnya merupakan reaksi atas ketidakadilan yang pernah terjadi di masa lalu, dan belum terbongkar sampai sekarang.

Baru-baru ini, kita banyak mendengar berita tentang kasus ‘terorisme’ di Inggris, yakni tentang bagaimana dua orang pria hendak menabrakkan mobilnya ke salah satu bandara besar di Inggris.

Tentu saja, kejadian tersebut bukanlah tanpa sebab. Banyak premis yang bisa diurut. Diantaranya adalah kemarahan orang-orang Muslim terhadap agresi Amerika dan sekutunya ke Irak, dukungan negara-negara Barat terhadap Israel dan kebijakan-kebijakannya yang merugikan Palestina, dan banyak hal lainnya.

Akan tetapi, yang marah terhadap kebijakan negara-negara Barat tersebut bukan hanya orang Muslim saja. Banyak kelompok di Amerika, Inggris, Eropa, dan Asia, termasuk saya, yang menolak agresi itu, dan mengkritik habis-habis semua aspeknya.

Lalu, apakah kelompok-kelompok itu kemudian ‘menciptakan’ para profesional, termasuk dokter, yang boleh begitu saja membunuh banyak orang? Apakah ada yang salah di dalam Islam itu sendiri, sehingga muncul kecenderungan destruktif semacam itu tanpa ada satu pihak pun yang mampu mencegahnya?

Mengajukan pertanyaan seperti itu memang bagaikan melemparkan dinamit ke dalam api. Akan tetapi, itu adalah pertanyaan yang sah dan perlu untuk diajukan.

‘Kanker’

Di dalam salah satu kolomnya di New York Times, Thomas Friedman menulis bahwa telah tumbuh semacam sekte pemujaan yang mematikan (death cult) di dalam Islam. Sekte tersebut menciptakan semacam ‘kanker’ di dalam peradaban Islam itu sendiri.

Komentar tajam juga keluar dari mulut Cal Thomas, seorang aktivis konservatif di Amerika Serikat. “Sampai kapan kita membiarkan orang-orang dari tanah asing, dengan kepercayaan yang juga asing, datang ke Inggris dan Amerika, membangun masjid-masjid mereka, mengajarkan kebencian, dan berkomplot untuk membunuh kita?” tanyanya.

“Baik, tidak semua Muslim dari Asia Tenggara (termasuk Indonesia) dan Timur Tengah yang mau membunuh kita. Akan tetapi, mereka bergaul dengan orang-orang yang ingin membunuh kita. Apakah ada orang di dunia ini membiarkan tumbuhnya kanker secara perlahan di dalam tubuh mereka? Mungkin tidak! Anda pasti ingin kanker itu dimusnahkan!” katanya lebih lanjut.

Di Amerika Serikat, di mana komunitas muslimnya paling mampu berasimilasi dengan masyarakat, 26 persen di antara mereka berpendapat bahwa tindakan pemboman bunuh diri dapat dibenarkan dalam situasi-situasi tertentu (Hirsh, 2007).

Para pemimpin negara-negara Arab pun bertanya-tanya, apakah Islam telah terkontaminasi oleh sekte destruktif tertentu? Apakah Islam telah kehilangan bentuknya?

“Kita sering berpikir bahwa kaum ekstrimis Islam berasal dari orang-orang miskin dan menderita”, kata salah satu diplomat Arab yang terkemuka. “Akan tetapi, setelah 9/11, kita harus menghadapi fakta bahwa orang-orang dari kelas menengah juga melakukannya. Sekarang, menyimak insiden di Inggris, ternyata para dokter juga menjadi bagian dari kaum ekstrimis. Hal ini sangat aneh. Saya tidak tahu apa yang akan terjadi di masa depan.”

Komunitas-komunitas Muslim, baik di Inggris maupun Amerika, telah menyatakan dengan tegas, bahwa mereka sama sekali tidak terlibat dengan insiden di Inggris. “Mereka bukan bagian dari kami, dan kami bukan bagian dari mereka!”, demikian pernyataan Association of Muslim Health Professionals. Tetap saja, tindak pemboman bunuh diri masihlah hal yang menjadi ketakutan di Inggris. Hal yang sama juga masih menjadi fenomena yang cukup diterima di kalangan Muslim.

Akan tetapi, tidak hanya Al Qur’an dan ajaran Islam yang mentolerir tindakan kekerasan, Tuhan agama Kristiani di dalam Perjanjian Lama adalah Tuhan yang haus darah. Ia menghancurkan kota-kota, dan memberikan hukuman-hukuman yang tidak masuk akal.

Di dalam proses perkembangannya, Islam memang telah berubah menjadi suatu ajaran yang menganjurkan perdamaian, kemakmuran, dan tidak lagi mementingkan jihad. “Ketika saya melihat kembali sejarah peradaban Islam beberapa abad ke belakang, ada suatu masa stabil sejak 1400 dan seterusnya, di mana Islam sangat mengutuk semua tindakan yang bersifat anarkis,’ demikian Richard Bulliet, seorang ahli tentang dunia Arab di Columbia University. (ibid)

Ada juga argumen yang menyatakan, bahwa sekte kematian di dalam Islam sebenarnya adalah efek negatif dari modernitas. Hal ini bisa ditelusuri kembali ke abad 19, sampai awal abad ke-20, di mana Wahabisme berkembang di Afganistan dan perkembangan industri minyak di Arab yang menghasilkan begitu banyak devisa. Semua hal ini mendorong terciptanya ekstrimisme di dalam Islam.

Bahkan, beberapa dekade lalu, tindak pemboman bunuh diri masihlah merupakan suatu tindakan yang tabu di dalam Islam. Khalid Islambouli, yang membunuh Presiden Mesir Anwar Sadat pada 1981, tidak mau melakukan bunuh diri, karena itu adalah “dosa besar di dalam Islam”. (ibid).

Ekstrimisme dan Modernitas

Ekstrimisme ini sendiri muncul dengan disingkirkannya ajaran-ajaran Islam dari ruang pulbik selama proses modernisasi di Kerajaan Ottoman Turki di abad ke-19. Pada saat yang sama, angkatan bersenjata dan sistem hukum (legal system) gaya Barat diciptakan disana.

Hal ini mengakibatkan tersingkirnya ajaran-ajaran Islam dari dunia publik, serta marginalisasi para pemikir-pemikir Muslim pada waktu itu. Padahal, para pemikir Muslim inilah yang menjadi ‘pencerah’ di dalam peradaban Islam, dan mencegah terjadinya ekstrimisme serta fanatisme di dalam dunia Islam.

Alih-alih menjadi negara yang modern, Arab justru dihantui oleh pemerintahan-pemerintahan diktator. Artinya, jika ajaran Islam disingkirkan dari dunia publik, maka pemerintahan diktator akan tercipta.

Pada dekade 1960-an, argumen ini terbukti. Negara-negara Islam menjadi negara-negara Diktator, seperti Gamal Nasser di Mesir dan Hafez Assad di Syria yang menggunakan slogan-slogan nasionalisme untuk menutupi sikap kediktatorannya.

Tidak ada kekuatan masyarakat yang cukup kuat untuk menentang para diktator ini. Ajaran-ajaran Islam, yang justru mendorong berbagai penelitian ilmiah dan kemajuan politik di abad pertengahan, tidak lagi mampu melawan.

Ajaran-ajaran Islam yang mencerahkan telah disingkirkan dari ruang publik, dan diisolasikan di dalam masjid-masjid saja.

Kekaisaran Ottoman Turki telah dihancurkan setelah perang dunia pertama. Kalifah-kalifah Islam lainnya pun telah runtuh. Akhirnya, yang memimpin dunia publik adalah bangsawan-bangsawan yang tidak menghayati semangat Islami yang utuh.

Tidak ada pemerintahan yang legitim di negara-negara Islam pada waktu itu. Di dalam situasi itulah muncul reaksi-reaksi yang dipimpin oleh orang-orang radikal, seperti Sayyib Qutb di Mesir, Ayman Zawahiri yang kemudian digantung oleh Nasser, dan yang terakhir, Osama Bin Laden yang tumbuh dan berkembang dalam Wahabisme ekstrem.

Pengaruh Wahabisme

Wahabisme itu sendiri lebih merupakan suatu sekte, dan bukan ajaran resmi di dalam Islam. Pendiri Wahabisme, yakni Mohammad Ibn Abd al-Wahhab, bukanlah seorang pemikir dominan di dalam dunia Islam pada waktu itu.

Seorang ahli Islam, Abedlwahab Meddeb, menulis di dalam bukunya yang berjudul Islam and its Discontents bahwa Wahabisme dianggap sebagai ajaran yang tidak sah dan rendah secara intelektual oleh para pemikir Muslim pada abad ke-18, terutama karena mentolerir pembunuhan terhadap siapapun yang tidak sependapat dengan ajaran itu.

Dalam perkembangannya, Wahabisme kemudian diadopsi oleh beberapa keluarga bangsawan di Arab Saudi, dan menggunakannya sebagai pembenaran bagi tindak penaklukan pada abad ke-18. Pada pertengahan abad ke-20, Arab Saudi pun berkembang pesat akibat industri minyak yang beroperasi di sana.

Hasilnya, Wahabisme pun berkembang pesat pada abad ke-20, dan menyebar ke dunia Arab lainnya, termasuk di komunitas-komunitas Muslim di negara-negara Barat. Yang menarik, di para elit Muslim di Mesir berpendapat bahwa negara-negara Arab akan tetap menjadi negara yang tidak berkembang, jika bukan karena berlimpah minyak.

Titi kulminasi terjadi, ketika pada dekade 1980-an dan 1990-an, kaum ekstrimis Wahabisme bersekutu dengan Islamisme Mesir. Persekutuan tersebut ditandai dengan perkawanan antara Osama bin Laden dan Zawahiri. Yang terakhir ini menjadi wakil dari Osama nantinya.

Kemarahan dunia Arab terhadap negara-negara Barat sebenarnya juga merupakan fenomena kontemporer. Konsep ‘benturan antar peradaban’ tidak banyak bergema di dalam dunia Arab, setidaknya sampai perang Irak mulai.

Kemarahan dunia Arab tersebut juga sebenarnya belum berusia satu abad. Awalnya adalah pada 1916, yakni pada perjanjian Sykes-Picot.

Di dalam perjanjian itu, Inggris dan Perancis setuju untuk membagi negara-negara berbahasa Arab ke dalam beberapa negara. Negara-negara itu antara lain adalah Arab Saudi, Syria, Mesir, Irak, dan Yordania. (ibid)

Berbagai kejadian juga memicu munculnya ekstrimisme di dalam Islam, seperti kemiskinan di negara-negara Arab hampir sepanjang abad ke-20, penciptaan Israel tanpa persetujuan negara-negara Arab pada 1948, dan dukungan Amerika terhadapnya.

Al-Qaeda sendiri adalah suatu reaksi terhadap perkembangan politik modern yang sebenarnya sangat dipengaruhi oleh kebijakan-kebijakan politik luar negeri negara-negara Barat. Kolonialisme Inggris, Perancis, Italia, serta perseteruan dengan Uni Soviet sepanjang perang dingin juga memberikan kontribusi yang cukup besar. Yang terakhir ini memicu lahirnya kaum jihad Mujahidin di Afganistan.

Fragmentasi

Di tengah jaring-jaring rumit problematika ini, masih adakah secercah harapan untuk mengakhiri konflik dan kebencian yang ada? Jika ditelusuri secara historis, peradaban Islam dan dunia Barat memang pernah lama hidup dalam perdamaian dan toleransi. Dengan kata lain, sejarah mayoritas kedua peradaban itu adalah sejarah perdamaian, dan bukan sejarah konflik.

Dunia Islam sendiri sebenarnya juga bukanlah dunia yang tunggal. Ada beragam posisi politik dan penafsiran terhadap ajaran Islam di dalamnya.

“Tidak pernah ada satu komunitas Muslim yang tunggal di dalam dunia Islam,” demikian tulis Fawaz Gerges, seorang ahli dunia Arab yang juga mengajar di Columbia University, “kecuali 23 tahun pertama sewaktu Muhammad masih hidup”. (ibid)

Selain di kepala para jihad fanatik, dunia Islam sebenarnya sudah selalu terfragmentasi. Hal itupun masih berlaku sampai sekarang, seperti yang dapat kita lihat dalam konflik antara Sunnia dan Shia di Irak baru-baru ini.

Fragmentasi ini juga punya sisi buruk, yakni munculnya kesulitan untuk mendeklarasikan perang terhadap kanker terorisme dan ekstrimisme di dalam Islam sendiri. Padahal, deklarasi gigantis seperti itu hanya mungkin dikumandangkan oleh komunitas-komunitas Islam sebagai suatu keseluruhan.

Nah, komunitas Muslim di seluruh dunia haruslah menemukan caranya sendiri untuk menyingkirkan ‘kanker’ fundamentalisme sekte kematian ekstrimis yang menjangkiti agama mereka. Tidak ada orang dari dunia di luar Islam, sepintar dan sehebat apapun dia, yang mampu melakukannya.

Semua pihak yang terlibat haruslah menunda prasangka negatif yang menjangkiti benak kolektif mereka, yakni prasangka dalam bentuk stigma dan diskriminasi yang masih tersebar luas, dan mulai membuka ruang-ruang komunikasi yang bebas dominasi, egaliter, dan inklusif. Hanya dengan begitulah ‘kanker’ di dunia Islam, yang sebenarnya juga disebabkan oleh kebijakan luar negeri negara-negara Barat yang represif, dapat secara perlahan disembuhkan.

Reza A.A Wattimena

Hidup ini Absurd?

Hidup ini Absurd?

“….Kepercayaan akan Allah adalah pelarian yang paling mudah untuk memecahkan persoalan, tetapi tidak tepat mengena inti permasalahan, maka juga tidak efektif sebagai jalan keluar…”
Nietzsche

“….Penderitaan di dalam hidup ini semakin tidak dapat dipahami, jika yang menderita adalah anak-anak kecil yang tak bersalah…”
Camus

Hidup ini memang penuh dengan penderitaan. Terkadang, kesulitan datang bertubi-bubi, tanpa memberikan satu ruang untuk bernafas barang sebentar pun.

Kesulitan yang satu belum selesai, kesulitan yang lain sudah datang menghadang. Kebahagiaan dan kesenangan pun datang hanya disela-sela deretan kesulitan tersebut.

Di hadapan semua kesulitan ini, bagaimanakah kita harus bersikap? Penderitaan dapatlah memukul seseorang, sehingga orang itu merasa bahwa hidup ini tidaklah bermakna.

Hidup ini absurd. Hidup ini sia-sia. Yang ada hanyalah penderitaan dan kekecewaan terus menerus.

Kesenangan hanyalah bagian kecil dari hidup. Bagi sebagian orang, tawa dan kebahagiaan itu amatlah mahal, sehingga hampir tak terbeli lagi.

Apakah hidup ini absurd? Apakah hidup ini bermakna? Apakah hidup ini layak dijalani?

Jika ya, mengapa kekecewaan, penderitaan, kesepian, serta masalah mengisi sebagian besar hidup kita? Jika tidak, mengapa kita tidak bunuh diri saja?

Toh hidup ini tidaklah bermakna. Hidup ini kan absurd.

Pertanyaan-pertanyaan seperti itu memang khas pertanyaan orang yang sedang dilanda penderitaan berat, seperti kehilangan orang tercinta, kehilangan harta benda, gagal dalam cita-cita, patah hati, dikhianati oleh teman, dan sebagainya.

Akan tetapi, pertanyaan tersebut adalah pertanyaan yang sangat mendasar, baik bagi orang yang sedang dilanda penderitaan berat, ataupun yang sedang berbahagia.

Bagi penulis, pertanyaan yang paling mendasar dari semua pertanyaan tersebut adalah, apakah hidup ini bermakna?

Jawaban orang religius

Camus, seorang filsuf dan sastrawan Perancis yang hidup di pertengahan abad ke-20, berpendapat bahwa hidup ini absurd, tidak bermakna. Pengandaian Camus adalah bahwa Allah itu tidaklah ada, maka kita tidak boleh berpegang pada sesuatu yang tidak ada.

Jika seseorang masih percaya akan Allah, maka semua kesulitan dan persoalan rumit yang kita hadapi dalam hidup masihlah selalu memiliki jalan keluar. Situasi penderitaan, situasi kesulitan, selalu sudah dihayati di dalam kerangka relasi dengan Allah tersebut, sehingga justru mempertebal keyakinan iman orang yang mengalami penderitaan.

Akan tetapi, pola jawaban seperti itu lebih tampak sebagai sebuah pelarian, terlalu lurus, dan tidak variatif. Orang yang memiliki iman selalu memandang semua permasalahan secara optimis.

Ada dua alasan yang membuat pemahaman orang religius itu tidaklah menarik ataupun mencukupi. Pertama, orang yang religius cenderung mengasalkan semuanya pada suatu entitas, yakni Allah yang belum jelas keberadaannya. Sulitlah jika kita menjadikan entitas yang belum jelas tersebut sebagai titik tolak pengandaian suatu refleksi yang mendalam dan rigorus.

Kedua, refleksi-refleksi religius tidaklah mengesankan orang yang mau mencari pendalaman yang paling dalam melalui refleksi yang ketat dan rasional. Sikap yang timbul dari orang yang religius adalah reaktif, emosional, dan tidak mencerminkan kreativitas dan orisinalitas di dalam butir-butir pemikirannya.

Hidup ini Absurd

Camus menyoroti absurditas hidup manusia ini dengan tajam. Di sini, absurditas dapatlah diartikan sebagai ketidakmampuan manusia untuk memberikan tujuan dan makna bagi hidupnya, serta ketidakmampuan manusia untuk mencari jawaban pada Tuhan.

Ia berpendapat bahwa manusia haruslah menyatakan kematian Allah, sehingga mereka mengakui dunianya sendiri. Mencari jawaban melulu kepada Allah adalah tindakan pemalas yang mau mencari gampang-gampangnya saja.

Kepercayaan akan Allah adalah pelarian yang paling mudah untuk memecahkan persoalan, tetapi tidak tepat mengena inti permasalahan, maka juga tidak efektif sebagai jalan keluar.

Penderitaan dan kekecewaan membuat dunia ini absurd. Di samping itu, absurditas ini juga dapat terungkap melalui berbagai macam hal, seperti fakta bahwa dunia ini indah, tetapi hidup manusia bersifat sementara, dan tetaplah penuh penderitaan.

Nilai keindahan ini percuma, jika manusia yang menikmatinya terlibat dan terjebak di dalam penderitaan.

Dunia ini juga absurd, karena tidak bisa menerangkan kontradiksi-kontradiksi yang ada padanya. Dunia ini tidaklah bermakna, karena tidak bisa menerangkan adanya kemalangan, bencana, ataupun tujuan manusia.

Jika ditilik lebih jauh, sebenarnya dunia ini tidak hanya absurd, tapi juga irasional. Absurditas itu muncul, karena orang mempertanyakan hidupnya, tapi tidak menemukan jawabannya.

Hidup tampak lebih seperti permainan saja. Hidup ini irasional, karena berbagai jawaban rasional yang kita berikan atas pertanyaan-pertanyaan mendasar dalam hidup cenderung tidaklah sesuai dengan apa yang sebenarnya terjadi, tetapi lebih sebagai apa yang seharusnya.

Gempa yang tiba-tiba datang menelan korban harta benda maupun jiwa manusia tak dapat diterangkan begitu saja sebagai akibat dari suatu sebab. Bagi mereka yang mengalaminya langsung, gempa tersebut sungguh absurd, dan tidak bisa diterima begitu saja.

Kematian

Kejahatan apakah yang telah dibuat oleh Bantul dan daerah sekitarnya, sehingga mereka harus menderita kerugian sebesar itu? Bagi anak-anak kecil yang menjadi korban gempa, kejahatan apakah yang telah mereka perbuat, sehingga mereka juga harus menjadi korban?

Penderitaan di dalam hidup ini semakin tidak dapat dipahami, jika yang menderita adalah anak-anak kecil yang tak bersalah.Kematian jugalah menjadi salah satu tanda keabsurditasan hidup, jika orang tidak mampu menerima kehadiran Tuhan. Menjelang kematian, setiap orang bertemu dengan kenyataan yang tidak dinginkannya.

Kematian mungkin merupakan kunci terakhir untuk menilai makna kehidupan ini. Jika kehidupan ini sungguh bermakna, mengapa ada kematian yang tiba-tiba datang dan menghancurkan semua hal yang sudah dibangun manusia di dalam hidupnya?

Apakah manusia harus menyerah begitu saja ditelan oleh kematian, dan mengakhiri hidupnya yang sudah dirangkainya sekian lama?

Pertanyaan seperti itu tidaklah boleh dijawab dengan menyatakan bahwa ada kehidupan setelah kematian. Itu ciri dari cara menjawab orang religius, yang menunjukkan kelemahan dan kemalasan berpikir.

Di samping itu, jawaban seperti itu tidak mempunyai dasar logis yang kuat, tetapi hanya merupakan ungkapan optimisme emosional belaka.

Bunuh diri

Memang, bagi banyak orang, hanya ada satu persoalan filsafat yang cukup mendesak untuk diperhatikan, yakni bunuh diri. Apakah kehidupan yang kita semua jalani itu layak atau tidak? Itulah pertanyaan utama yang harus dijawab oleh setiap orang.

Akan tetapi, ternyata persoalannya jauh lebih rumit daripada yang kita bayangkan.

Jika kehidupan yang kita alami ternyata penuh dengan “bencana gempa” dan menjadi kehidupan yang brengsek, kehidupan yang penuh dengan penderitaan, kehidupan yang pahit, yang penuh dengan kebencian, dendam, dan sebagainya, apakah hidup ini masih memiliki makna, sehingga orang patut memperjuangkan dan menghayati hidup ini?

Sungguh suatu pertanyaan yang absurd
Heroisme dalam Keabsurditasan

Kita memang harus menentukan sikap dalam menghadapi hidup yang absurd ini. Saya, seperti Camus, tidak mengakui adanya Tuhan.

Setiap pendapat yang menolak adanya Tuhan akan melihat terbukanya suatu wilayah baru di dalam kehidupan untuk direfleksikan.

Wilayah baru itu oleh para filsuf diisi oleh macam-macam hal. Marx mengisinya dengan menyatakan perjuangan kelas proletar untuk menghancurkan kelas borjuis.

Sementara itu, Nietzche mengisi wilayah baru itu dengan cita-cita pembinaan “manusia atas”, atau overman, yakni manusia yang menentukan dirinya sendiri yang selera dan kualitas dirinya melampaui manusia-manusia lainnya yang tidak mampu berpikir sendiri.

Ide seperti memang tidak dilarang, tetapi tidaklah terlalu perlu juga. Jika masa sekarang itu absurd, bukankah masa depan itu juga absurd?

Masa depan itu tidak pernah dapat dipahami. Seorang yang menyadari dunianya sebagai absurd tidak pernah merasa bisa berbuat lain kecuali bergulat dengan hidupnya yang absurd, yang ada di depan matanya.

Karena hidup ini absurd, maka segala bentuk agama, cita-cita ke masa depan, dan ideologi-ideologi yang menjanjikan harapan di masa depan jugalah absurd.

Manusia yang absurd tidaklah memiliki pretensi moral. Ia tidak mau sok membicarakan apa yang harus dilakukan oleh kita semua untuk dapat memaknai hidup ini.

Manusia yang menyadari bahwa dunia ini absurd tidak mau mengajarkan nilai-nilai moral kepada orang lain. Moral yang formal jugalah dipandangnya sebagai absurd.

Orang tidak pernah mampu secara absolut menentukan apa yang benar dan apa yang baik, karena nilai-nilai selalu berubah dan diputabalikkan demi kepentingan suatu pihak tertentu.

Nilai disini harus dilihat bukan sebagai sesuatu yang absolut, melainkan yang selalu bergerak menyesuaikan diri dengan sejarah.

Manusia tidaklah dapat menganggap diri sebagai seorang pahlawan di dalam dunia yang absurd ini, tetapi sebagai manusia absurd. Manusia absurd adalah manusia yang menyadari keabsurditasan hidup ini, sehingga ia bertindak hanya untuk masa kini, dan dengan itu meninggalkan masa lampau dan masa depan.

Rumusan yang paling tepat dalam berhadapan dengan absurditas hidup ini adalah memberontak. Manusia yang menyadari absurditas hidupnya dapat menjadi menyerah dan putus asa, tetapi dapat juga menjadi pemberontak.

Dengan memberontak terhadap kehidupan yang absurd ini, kita dapat menjadi orang yang memiliki pendirian moral kuat di tengah keputusasaan dan kesepian.

Ada dua hal yang dapat disimpulkan dari tesis tentang pemberontakan ini. Pertama, pemberontakan ini haruslah dikobarkan terus menerus.

Caranya, kita haruslah menyadari kodrat dunia kita yang absurd ini, dan kemudian menolak untuk terhanyut di dalam tragedinya.

Kedua, pemberontakan juga harus diarahkan kepada kematian. Kita haruslah berani berteriak bahwa kita ini hidup di hadapan wajah kematian.

Begitu pula, kita harus berani berteriak bahwa kita ini tetap bertahan, walaupun hidup tampak tidak bermakna.

Simpul akhir

Berbicara tentang absurditas tidaklah berarti kita berbicara untuk sesuatu, tetapi kita berbicara tentang pengalaman. Dan pengalaman, terutama pengalaman kematian, adalah pengalaman yang paling pribadi dan tak terkomunikasikan, kecuali bagi orang yang mengalaminya langsung.

Titik tolak diskursus tentang absurditas adalah pengalaman akan kehidupan yang pahit, yang penuh dengan penderitaan dan kemalangan. Pengalaman ini adalah pengalaman yang wajar. Terjadinya penderitaan di muka bumi, seperti gempa di Yogya dan tsunami di Aceh, tidak dapat diperkirakan ataupun dipikirkan.

Penderitaan itu ada begitu saja, dan kemudian mengambil tempatnya di dalam kehidupan manusia. Akan tetapi, bagaimana kita bersikap terhadap penderitaan, sehingga penderitaan itu menjadi tampak wajar?

Camus, yang terang-terangan tidak mengakui keberadaan Tuhan, tidak harus heran dengan pertanyaan ini. Ia sendiri terlibat di dalam penderitaan, dan kemudian menyatakan pemberontakannya terhadap kenyataan yang pahit ini.

Akan tetapi, apakah kenyataan duniawi semacam itu haruslah dinilai melulu secara negatif?

Di dunia, ada segi-segi keindahan yang harus dipertahankan. Inilah dunia itu sendiri, yang membuat manusia dan semua mahluk hidup berjuang untuk tetap tinggal di dalamnya, serta membenci kematian.

Keindahan ini adalah padang rumput hijau, yang tidak tersentuh oleh gempa bumi maupun tsunami. Sungai yang bening. Laut yang bersih.

Dengan kata lain, ada sikap mendua terhadap segala sesuatu di dunia ini, yang membuat manusia sekaligus memberontak, tetapi juga mencintai dunia.

Ingat, cinta di dunia mengandaikan orang pernah merasakan penderitaan. Dan penderitaan mengandaikan orang pernah merasakan cinta. Jika ada kemenduaan di dalam semua aspek hidup manusia, maka yang harus dilakukan adalah memilih aspek apa yang akan saya peluk, dan perjuangkan. Lalu, absurdkah hidup ini? Saya harap anda sudah bisa menjawabnya.

Menelusuri Seluk Beluk Kejahatan Struktural

Menelusuri Seluk Beluk

Kejahatan Struktural

Reza A.A Wattimena

Memang, orang sulit untuk melawan kebiasaan lingkungannya sendiri. Jika orang hidup diantara maling, kemungkinan besar memang dia akan menjadi maling. Jika ia hidup dikalangan orang “baik-baik”, kemungkinan besar dia akan jadi orang “baik-baik”. Akan tetapi, sulit melawan bukan berarti tidak mungkin. Selalu ada kemungkinan bagi seseorang untuk mempertanyakan lingkungannya, dan kemudian bertindak lain. Jika berbicara tentang kejahatan struktural, kita akan berhadapan dengan fakta bahwa kemampuan mengambil jarak tersebut sangatlah mahal, dan bahkan hampir tidak mungkin.

Kejahatan struktural adalah akibat langsung dari politik kekuasaan. Kejahatan struktural tidak bisa diminta pertanggungjawabannya hanya dari individu, melainkan secara sosial. Jadi, refleksi tentang kejahatan struktural adalah refleksi etika sosial, bukan etika individual. Refleksi atas kejahatan struktural ini mulai, ketika orang menyadari bahwa ‘yang sosial’ bukan lagi dipahami sebagai kumpulan orang-orang, melainkan memiliki ciri substantifnya sendiri. Substansi itu adalah tindakan sosial dan struktur-struktur sosial.

Di dalam kejahatan struktural, upaya untuk mencari ‘dalang’ sebenarnya tidaklah mudah. Struktur-struktur yang memungkinan terjadinya tindakan kekerasan itu tampak memberikan pembenaran bagi pelaku kejahatan. Pada titik ini, yang harus menjadi refleksi adalah interaksi antar pelaku yang memungkinkan struktur kekerasan tersebut terbentuk. Jika ada kejahatan, biasanya orang cenderung mengkaitkan kejahatan tersebut dengan tindakan seseorang. Pada level ini, ada pengandaian antropologis manusia dari kejahatan struktural yang layak ditelusuri, yakni manusia sebagai mahluk yang memiliki kehendak, konteks atau situasi, dan tujuan atau hasil di dalam hidupnya.

Manusia: Kehendak, Situasi, dan Tujuan

Suatu tindakan bisa dituntut pertanggungjawabannya, jika tindakan tersebut dikehendaki dan secara bebas dilakukan oleh seseorang. Pada titik ini, subyek pelaku diandaikan memiliki kehendak yang otonom dan pengetahuan yang mencukupi atas apa yang ia lakukan. Kehendak bebas manusia ditentukan oleh obyeknya. Obyek adalah apa yang diinginkan, maka kehendak, dan bukan realitas fisik. Obyek adalah sesuatu yang bersifat metafisis. “Saya ingin membeli rumah”, rumah disini bukanlah obyek tindakan moral. Tindakan membeli disini adalah bebas, jika tindakan tersebut memang benar-benar dikehendaki dan diketahui secara mencukupi oleh subyek pelaku. Kehendak membeli inilah yang menjadi penilaian tindakan.

Di samping memiliki kehendak bebas, manusia adalah mahluk yang dipengaruhi oleh situasi atau konteks di luar dirinya. Situasi atau konteks ini tidak melulu dimengerti sebagai ruang saja, tetapi juga situasi dan konteks waktu. Tindakan manusia selalu dapat dilihat dari tiga dimensi waktu, yakni yang lalu, sekarang, dan masa depan. Tindakan yang dilakukan di masa lalu harus dapat diberipertanggungjawaban, walaupun pelaku yang sekarang tidak lagi menghendakinya. Kejahatan masa lalu selalu dapat diminta pertanggungjawabannya, karena subyek menjadi insiator terjadinya kejahatan, bekerja sama melakukan kejahatan, ataupun tidak berusaha mencegah terjadinya kejahatan di masa lalu.

Manusia juga merupakan mahluk yang selalu berupaya merumusan tujuan dari tindakan-tindakannya. Dengan mengetahui tujuan dari tindakan seseorang, kita selalu sudah bisa meramalkan hasilnya. Pada titik ini, kita bisa melihat adanya ambiguitas dari hasil tindakan manusia. Ambiguitas ini disebut Ricoeur sebagai otonomisasi tindakan. Artinya, di dalam tindakan manusia, seringkali akibat-akibatnya berbeda dengan tujuan awal tindakan tersebut dilakukan. Tindakan terlepas dari maksud awal pelaku, dan kemudian mempunyai otonominya sendiri.

Kejahatan Struktural

Lalu, apa kaitan pengandaian antropologis tersebut dengan terciptanya kejahatan struktural? Ketiga hal diatas akan dipahami secara berbeda, jika kejahatan yang terjadi bukanlah hasil tindakan perseorangan, melainkan kejahatan yang melibatkan faktor luar dari diri manusia, yakni yang kita sebut sebagai kejahatan struktural. Pada level ini, struktur dapat dipahami sebagai “aturan-aturan dan sumber daya yang berperan di dalam reproduksi sistem-sistem sosial, serta bentuk-bentuk yang terinstitusionalisasi dalam masyarakat”(Giddens, 1984, hal. 185).

Definisi Giddens dapat sangat berguna bagi kita untuk memperlihatkan faktor-faktor yang menentukan di dalam kejahatan struktural ini. Kejahatan struktural bisa dipahami melalui dua definisi, yakni sebagai kejahatan moral yang melawan hukum, yang merupakan akibat dari, baik kejahatan pribadi, maupun kolektif yang menghasilkan struktur-struktur yang mengkondisikan tindakan dan perilaku individu/kolektif ke arah kejahatan. Kejahatan struktural juga bisa dimengerti keseluruhan faktor negatif yang terdapat di dalam institusi-institusi masyarakat secara internal, serta berfungsi melawan keadilan dan kesejahteraan bersama. Perlu diingatkan, jika kita berbicara tentang kejahatan struktural, maka persoalannya tidak cukup hanya berkutat sekitar kehendak baik, hati nurani, dan kebebasan pelaku. Dalam konteks ini, situasi yang tercipta di sekitar subyek menjadi premis yang perlu diperhitungkan.

Kejahatan struktural ini menjadi semacam praktek sosial yang berulang dan terpola, yang mempengaruhi secara mengkondisikan pelaku yang ada di dalamnya. Premis-premis seperti keutamaan pribadi, kehendak baik, tidak akan mampu menghancurkan kejahatan struktural. Kedudukan pelaku di dalam konstelasi sosial politis sangat berpengaruh terhadap terciptanya, sekaligus pelanggengan struktur-struktur kejahatan (Haryatmoko, 2003, hal. 41). Oleh sebab itu, kejahatan yang dilakukan individu menciptakan, melanggengkan, dan membuat struktur kejahatan struktural semakin sulit dihancurkan, sehingga struktur kejahatan semakin tersebar, dan menjadi awal mula bagi bentuk-bentuk kejahatan lain.

Ada tesis yang cukup menarik disini, yakni dialektika antara pelakku, yakni individiu, dan struktur. Struktur-struktur bisa ada, karena diciptakan, dilanggengkan, dan diubah oleh pelaku-pelaku sosial, yakni individu-individu. Sebaliknya, pelaku-pelaku tidaklah melulu bebas, melainkan dikondisikan di dalam struktur tersebut. Perubahan struktural hanya dapat dicapai, jika ada semakin banyak orang yang mampu mengambil jarak, bersikap kritis terhadap apa yang mereka lakukan. Hal yang sama juga berlaku terhadap kejahatan struktural, yang hanya mampu ditumpas, jika semakin banyak orang yang mengambil jarak dan kritis terhadap tindak kejahatan tersebut, lalu memilih untuk berbuat sebaliknya.

Kejahatan struktural memiliki akibat negatif yang lebih besar daripada kejahatan individu, karena mekanismenya yang membuat orang hampir tidak mungkin lagi berbuat sebaliknya. Kejahatan struktural bekerja melawan keadilan, dan menghancurkan struktur dasar suatu masyarakat. Contoh yang paling jelas adalah soal diskriminasi dalam segala bentuknya, termasuk di dalamnya adalah rasisme. Institusi-institusi yang diskriminatif tersebut sudah merupakan sumber kepincangan, karena merupakan titik awal keberuntungan bagi yang satu, dan penyebab kemalangan bagi yang lain (Rasuanto, 1999).

Dengan demikian, kejahatan struktural adalah kondisi yang menghambat terciptanya keadilan, kesamaan, ataupun kesejahteraan bersama. Kondisi-kondisi tersebut bukannya tidak bisa diubah, tetapi justru bisa, jika semakin banyak orang bersikap kritis terhadap apa yang mereka lakukan, baik itu di dunia kerja, maupun di dalam rumah tangga. Sudahkan anda peka atas kejahatan struktural yang mungkin saja terjadi di dalam rutinitas anda? Jika anda sudah peka, maukah anda bertindak sebaliknya? Itu pertanyaan lain lagi.

Berani Menjadi Diri Sendiri!! Diskursus tentang Otentisitas dan Makna Hidup

Berani Menjadi Diri Sendiri!!
Diskursus tentang Otentisitas dan Makna Hidup

Mengutip kalimat terkenal yang dilontarkan Marx, “Para filsuf,” demikian Marx, “hanya menafsirkan dunia dengan cara yang berbeda-beda, padahal yang penting adalah mengubahnya”. Kalimat tersebut juga pernah diacu Dr. Simon Lilik pada salah satu kolom Vox di Kompas. Marx berpendapat bahwa yang harus diubah adalah realitas sosial, yakni struktur politik dan ekonomi yang membuat manusia terasing dari dirinya sendiri. Pada tulisan ini, saya ingin memberikan tafsiran baru atas kata ‘nya’ dari ‘mengubah-nya’. Yang harus diubah bukanlah realitas sosial, melainkan sudut pandang individu, atau cara seseorang melihat dirinya sendiri dan dunianya. Kita jangan terlalu berambisi dan terburu-buru ingin mengubah realitas sosial, melainkan carilah dulu jati diri dan identitas diri kita sendiri terlebih dahulu. Mungkin, kita adalah bagian dari permasalahan yang tengah menjangkiti realitas sosial yang kita hidupi. Atau jangan-jangan, justru kitalah bagian dari realitas sosial yang harus diubah! “Refleksi diri,” demikian tulis Thomas Hidya Tjahya, “dan proses pencarian untuk menjadi diri sendiri menjadi sangat penting sebelum kita berintensi dan bertindak untuk mengubah realitas”.

Di tataran filosofis, Marx, dengan kalimatnya itu, sebenarnya ingin mengkritik filsafat Hegel. Ia melancarkan kritik ideologi dengan tujuan mempertajam refleksi Hegel tentang keterasingan, dan menemukan sumber inspirasi sekaligus analisanya dari realitas politik dan ekonomi masyarakat. Kritik semacam itu memang sah-sah saja, akan tetapi baik Marx ataupun Hegel gagal melihat dimensi pergulatan eksistensial dan subyektivitas manusia. Yang terakhir ini menjadi fokus perhatian dari seorang filsuf yang bernama Kierkegaard. “Berfilsafat dengan cara Hegel,” demikian tulis Hidya Tjahya, “bagaikan naik ke puncak gunung dan memandang ke bawah”. Di atas puncak gunung, orang dapat melihat keseluruhan pengaturan suatu wilayah. Memang, dari jauh, semuanya kelihatan indah, rapi, dan teratur. Yang tidak tampak dimata kita adalah apa yang sebenarnya terjadi di bawah atap rumah, atau lebih dalam lagi, apa yang sedang berkecamuk di dalam hati penghuni rumah itu: suami istri yang sedang bertengkar meributkan masalah ekonomi keluarga, seorang pemuda yang sedang putus cinta akibat ditinggal pacarnya, seorang pemudi yang kebingungan menentukan masa depannya, seorang bapak yang baru saja kehilangan pekerjaannya, dan resah harus bagaimana menghidupi keluarganya.

Dalam sistem masyarakat yang secara global bersifat rasional, segala sesuatu sudah mendapatkan tempatnya yang pas. Individu, dengan segala keunikan dan kompleksitasnya, pun terhisap di dalam “gambar besar” dunia manusia tersebut, sehingga manusia kehilangan hakekatnya sebagai mahluk personal, yang memiliki kebebasan dalam menentukan dirinya sendiri. Upaya untuk memahami kehidupan manusia tidak bisa hanya dilakukan secara global saja, melainkan personal dan eksistensial. Pengalaman manusia terlalu kaya dan fluktuatif untuk bisa dipahami secara rasional. Eksistensinya sangat terfragmentasi, sehingga ia merindukan suatu kesatuan yang menyeluruh, yang dapat menjadi makna bagi hidupnya.

Pertanyaan mengenai makna hidup hanya dapat dijawab dengan menengok ke dalam subyektivitas, dan dengan memperhatikan kehidupan spiritual batiniah seseorang. Subyektivitas, menurut seorang filsuf Perancis yang bernama Descartes, terletak di dalam kemampuan manusia berpikir secara logis, rasional, dan terpilah-pilah. Ia merumuskannya dalam sebuah kalimat padat, “Aku berpikir maka aku ada”. Akan tetapi, subyektivitas manusia pun terlalu kaya dan kompleks untuk termuat begitu saja di dalam rumusan itu. Subyetivitas manusia juga menempati dimensi yang berlawanan dengan optimisme Descartes itu, yakni dalam keberaniannya untuk bergulat dengan pilihan-pilihan hidup, pun ketika pilihan tersebut harus dibuat dalam keadaan kurangnya informasi, yang pada akhirnya menimbulkan penderitaan. Rumusan yang berlawan dengan optimisme kerasionalan manusia itu dipadatkan dalam kalimat berikut, “Aku memilih maka aku ada”. Tugas membuat pilihan ini ada pada setiap manusia, dan berlangsung dalam proses pergulatan batin untuk menentukan sebuah keputusan atau pilihan hidup. Otentisitas manusia hanya dapat diraih dalam keberaniannya untuk membuat keputusan dan pilihan-pilihan penting dalam hidupnya.

Problem tentang otentisitas yang berkaitan dengan makna hidup sudah menjadi problem sepanjang sejarah filsafat. Akan tetapi, pendekatan yang dilakukan selalu saja dari sudut pandang global, abstrak, metafisik, sehingga kehilangan dimensi personalitasnya. Yang saya maksud disini adalah bukan makna yang dijawab secara abstrak dengan rumusan konseptual yang rasional, melainkan apa artinya anda, saya, dan dia adalah manusia, yang masing-masing mempunyai jawaban untuk dirinya sendiri secara personal, atau dengan kata lain, sebuah panggilan hidup.

Dunia sosial

Dalam dunia sosial, orang dapat begitu saja terlarut di dalam publik, kerumunan, dan sistem sosial, sehingga lupa pada pencarian identitas dan otentisitas hidupnya. Negara yang menghomogenisasi rakyatnya dari sudut agama maupun etnik, atau lingkungan kerja otoriter, yang menuntut kesetiaan total dari seorang individu, merupakan musuh bagi identitas serta otentisitas hidup seseorang. Resiko yang dapat muncul jika orang hidup di lingkungan seperti itu adalah kehilangan jati diri. Jika sudah seperti itu, orang tidak lagi memiliki keberanian untuk menyatakan siapa dirinya, dan apa yang dipikirkannya. Bahkan, individu-individu yang sudah hidup terlarut di dalam ayunan sistem dapat dengan mudah mengidentifikasikan dirinya dengan sistem tersebut.

Mungkin, manusia memang lebih senang hidup terlarut dalam sistem, daripada menyatakan siapa dirinya. Di dalam sistem, individu tidak pernah kesepian, ia selalu berada bersama rekan yang lain, sehingga ia tak perlu berjuang sendiri melawan arus. Ia akan selamat hanya dengan mengikuti saja arus yang mengalir. Tentu saja, ia tidak akan peduli jika hidup yang dihayati hanya begitu-begitu saja, tanpa gairah untuk menghidupinya.

Hidup begitu saja memang mudah. Akan tetapi, hidup dalam kesadaran yang otentik akan eksistensinya yang khas sebagai manusia itulah yang paling sulit. Menurut Kierkegaard, salah seorang filsuf eksistensialis, manusia adalah pengada yang memiliki kesadaran, bukan saja terhadap apa yang ada di sekitarnya, melainkan juga kesadaran atas diri dan eksistensinya sendiri. Dengan kata lain, manusia memiliki kemampuan untuk melampaui segala bentuk hasrat-hasrat spontan, yang seringkali mendikte dirinya. Kesadaran dan refleksi akan memberi kesempatan kepada manusia untuk mengatur, dan memproyeksikan hidupnya ke masa depan. Kesadaran, dengan demikian, menjadi basis bagi kebebasan manusia untuk menentukan hidupnya dan menjadi dirinya sendiri.

Menjadi Diri Sendiri

Lalu, mengapa manusia perlu menjadi diri sendiri? Karena manusia memiliki roh, demikian tulis Kierkegaard. Roh, di dalam diri manusia, menyadari dirinya sendiri sebagai sebuah sintesa antara yang mewaktu dan yang abadi. Relasi antara yang mewaktu dan yang abadi di dalam diri manusia inilah yang terus menerus dihadirkan oleh roh ini. Itulah Diri manusia.

Syarat untuk menjadi diri sendiri adalah keheningan. Di dalam keheningan, orang dapat menggunakan kesadarannya untuk berefleksi. Kemampuan untuk menjadi hening, bagi Kierkegaard, merupakan elemen yang sangat penting bagi perjalanan untuk berani menjadi diri sendiri. Hanya orang yang hening dapat berbicara secara benar dan mendalam, karena ia sepenuhnya sadar akan apa yang dibicarakannya.

Fungsi Ruang Publik bagi Masyarakat Demokratis

sn_new_public_sphere.jpg (650×300)

Fungsi Ruang Publik

bagi Masyarakat Demokratis

Reza A.A Wattimena

“Tidak ada demokrasi tanpa ruang publik yang kritis!” Pernyataan itu kiranya tidak berlebihan, terutama jika sadar pentingnya peran partisipasi masyarakat keseluruhan didalam proses pengaturan politik dan ekonomi yang adil.

Partisipasi masyarakat yang kritis tersebut dapat menemukan salurannya didalam konsep ruang publik. Memang, ruang publik ini bukanlah konsep khas dari teori demokrasi modern, tetapi sudah ada sejak dahulu, namun perkembangan kesadaran masyarakat akan kontrol terhadap negara dan ekonomi semakin menunjukkan betapa penting ruang publik ini dijaga fungsi kritisnya.

Di negara-negara demokrasi modern, komunikasi dalam ruang publik dapat dibagi menjadi dua aliran besar (Dahlgren, 1995), yakni melalui media-media yang demokratis, yang juga melibatkan proses komunikasi berbasiskan komputer (CMC), dan gerakan-gerakan sosial yang menggunakan media ini secara efektif untuk menciptakan perubahan sosial. Pada tulisan ini, saya akan memfokuskan diri pada yang pertama.

Untuk memperdalam wacana sampai menyentuh akar-akar epistemologis maupun ontologisnya, saya akan menggunakan kerangka pemikiran filsuf Jerman Jürgen Habermas, terutama dalam karyanya The Structural Transformation of Public Sphere.

Ruang publik

Habermas merumuskan unsur normatif dari ruang publik, yakni sebagai bagian dari kehidupan sosial, dimana setiap warga negara dapat saling berargumentasi tentang berbagai masalah yang terkait dengan kehidupan publik dan kebaikan bersama, sehingga opini publik dapat terbentuk. Ruang publik ini dapat terwujud, ketika warga berkumpul bersama untuk berdiskusi tentang masalah-masalah politik.

Refleksi Habermas tentang ruang publik berdasarkan deskripsi historisnya selama abad ke-17 dan ke-18, ketika cafe-cafe, komunitas-komunitas diskusi, dan salon menjadi pusat berkumpul dan berdebat tentang masalah-masalah politik. Refleksi atas deskripsi historis tersebut diperluas Habermas untuk merumuskan konsep ideal partisipasi publik didalam masyarakat demokratis dewasa ini.

Arti penting dari refleksi Habermas ini terletak pada konsepsinya tentang proses diskursus, yang diidealkannya haruslah berbentuk perdebatan yang rasional dan kritis. Perdebatan ini dipagari oleh aturan-aturan yang melarang penggunaan bahasa yang bersifat emotif, dan fokus terhadap isi serta kerangka yang rasional saja.

Partisipan debat juga diharuskan memiliki kepentingan bersama atas kebenaran, yang berarti mereka juga harus dapat menunda perbedaan status, sehingga mereka berbicara dalam keadaan setara. Sikap kritis juga merupakan salah satu unsur kunci yang memegang peranan, sehingga berbagai bentuk argumentasi yang disodorkan dapat diuji melalui debat publik, dan partisipan dapat menemukan makna secara bersama sebagai hasil dari proses debat rasional kritis tersebut (calhoun, 1993).

Media dan Demokrasi


Habermas juga sangat menekankan peran kritis dari media didalam ruang publik. Ia membedakan antara media dimasa-masa awal yang memusatkan diri pada berbagai isu kontroversi dan debat politik rasional, dan media dewasa ini yang seringkali menjadikan berita sebagai barang dagangan saja.

Ia kemudian mendeskripsikan perkembangan surat kabar pada awal abad ke-17 di Jerman, dan berkomentar “pers telah pertama kali dalam sejarah menciptakan badan publik yang kritis yang terlibat dalam debat kritis tentang masalah-masalah politik” (Habermas, 1989) Kondisi semacam itu tidak bertahan lama.

Kontroversi semakin berkurang didalam media dewasa ini. Media tidak lagi mengambil posisi dan berargumentasi atas posisinya, melainkan menghindar, karena menurut mereka, semakin mereka mengambil jarak, semakin berita itu akan mengandung kebenaran.

Editorial diberbagai media jarang sekali menyediakan ruang yang kondunsif untuk menciptakan debat politik rasional kritis yang melibatkan warga negara lainnya. (Calhoun, 1993)

Masalah Peran Media

Peran dari media tradisional, seperti televisi, majalah, dan surat kabar, didalam masyarakat demokratis tampak semakin problematik. Problematikanya terletak pada sejauh mana media tersebut mampu menjadi tempat bagi sikap kritis publik ataupun debat rasional tentang berbagai problem yang berkaitan dengan kehidupan bersama.

Demokrasi memang telah menjadi “ideologi” dominan didalam kehidupan politik modern. Akan tetapi, jarak antara perumusan ideologi yang luhur dengan implementasi praktisnya tampak sangat jelas, sehingga semakin banyak orang yang bertanya, “apakah cita-cita ideal demokrasi dapat tercapai, terutama dengan meningkatkan peran praksis komunikatif didalam ruang publik?” (Blumler dan Gurevitch)

Banyak pusat dari ruang publik masih ada sampai sekarang, seperti cafe, salon, tetapi kini tempat tersebut tidak lagi menjadi ruang untuk partisipasi masyarakat untuk melakukan debat rasional. Habermas sendiri juga menyatakan bahwa televisi dan berbagai media elektronik telah mengisolasikan warga negara dari warga negara lainnya, sehingga “ruang publik telah kehilangan fungsi politiknya.” (Poster, 1993)

Alih-alih menjadi ruang bagi partisipasi masyarakat didalam debat rasional, media telah melakukan proses reifikasi terhadap berita-berita yang mereka tayangkan, yakni menjadikan media sebagai ruang iklan, dimana politisi dapat menjual ide-ide mereka untuk dibeli oleh rakyat. Konsekuensinya, politisi jujur yang tidak sering tampil di media serta secara aktif “menjual” ide-idenya di televisi akan cepat kehilangan pamornya, seberapapun jenius ide-ide yang dikembangkannya.

Politisi yang tidak bisa menjadi selebriti media akan mendapatkan nasib yang sama. Dengan demikian, berbagai debat publik di televisi ataupun di koran tidak memenuhi syarat-syarat dari debat rasional kritis yang dirumuskan oleh Habermas.

Partisipasi tanpa Perubahan

Berbagai peristiwa dimanipulasi sedemikian rupa untuk memenuhi standar tayang yang memukau penonton. Perdebatan telah diatur terlebih dahulu, sehingga dapat menimbulkan efek dramatis terhadap para penontonnya, dapat meningkatkan rating, tetapi tidak memberikan kontribusi nyata bagi pemahaman publik tentang inti permasalahan, ataupun menyumbang didalam proses pembentukan opini publik yang otentik.

Tema-tema politik yang diperdebatkan bukanlah yang penting bagi masyarakat, tetapi topik yang paling laku dijual, yang paling banyak menyerap penonton, dan paling banyak menyerap iklan. Semua hal ini membuat debat publik di televisi dan surat kabar menjadi sebentuk partisipasi semu, yang tidak menyumbangkan apapun bagi perkembangan kesadaran publik.

Program debat politik pun dapat juga ditelaah sebagai upaya untuk menciptakan semacam ilusi kolektif dari partisipasi kritis publik, yang membuat warga seolah-olah merasa bahwa hak-hak politik demokratis mereka telah terpenuhi. (Dahlgren, 1995)

Peran Ruang publik didalam demokrasi

Habermas menekankan bahwa pendapat pribadi seseorang, setelah disosialisasikan secara publik, belumlah dapat dijadikan sebagai opini publik hasil proses debat didalam ruang publik. Opini semacam itu belumlah menempuh proses pembentukan opini melalui debat kritis rasional.

Ia juga menyatakan bahwa jika demokrasi ingin diterapkan didalam masyarakat kompleks dan majemuk seperti dewasa ini, proses mencapai kesepakatan bersama melalui kehadiran fisik partisipaan haruslah dilampaui, yakni warga negara, yang karena berbagai alasan tidak bisa hadir secara fisik didalam proses deliberasi, dapat menyumbangkan opininya secara tidak langsung, yakni secara virtual. (Habermas, 1990)

Virtualitas kehadiran partisipan tersebut bukanlah tanpa kritik. Habermas sendiri melihat kemunduran akibat rekayasa media atas subyek partisipan, dan kemudian menjatuhkan semua tanggungjawab pada para wartawan, yang kerap kali memanipulasi data untuk mendapatkan berita yang lebih sensional, dan lebih menjual.

Kondisi semacam itu tidak akan pernah dapat menciptakan suatu bentuk opini publik yang otentik, yang sungguh-sungguh mengena ke inti permasalahan, dan kemudian mencari solusi dari inti permasalah tersebut. Opini publik yang otentik hanya dapat terbentuk, jika partisipan rasional ikut serta didalam debat politik rasional, yang menyangkut kepentingan bersama diantara pihak-pihak yang berbeda secara rasional.

“Proses komunikasi masyarakat, sesuai dengan ide akarnya, adalah sebuah prinsip demokrasi yang tidak hanya mengandaikan bahwa semua orang dapat berbicara, dengan kesempatan yang sama, tentang persoalan pribadinya, keinginan dan keyakinannya, proses komunikasi yang otentik hanya dapat dicapai didalam kerangka bahwa semua pendapat pribadi ataupun kelompok dapat berkembang didalam debat rasional kritis dan kemudian membentuk opini publik.” (Habermas, 1989)

Pada awal abad ke-19, opini publik yang terbentuk dari debat rasional kritis menjadi proses resmi didalam parlemen-parlemen di Jerman dan Inggris. Berbagai pidato politik dibacakan didepan parlemen, seperti yang juga dilakukan sekarang, dengan pertimbangan rasional atas kepentingan publik sebagai keseluruhan, sehingga pengaruhnya semakin besar didalam kehidupan masyarakat untuk mendorong kemajuan di semua bidang kehidupan sosial. (Habermas, 1989)

“Pembentukan opini publik dengan segala mekanismenya melampaui periklanan belaka. Opini publik dapat terbentuk dengan secara sistematis menciptakan isu-isu krusial dan substansial yang menyangkut kepentingan masyarakat sebagai keseluruhan” (Habermas, 1989)

Didalam upayanya untuk membentuk opini publik yang otentik, media tampak belum maksimal menjalankan fungsinya, terutama karena media tidak memberikan ruang yang cukup untuk proses debat rasional, dan proses diskursif didalam pembentukan opini, dan yang lebih penting lagi didalam proses pembentukan kehendak politik. Proses komunikasi didalam ruang publik berarti proses pembentukan opini publik yang otentik, yang dimatangkan didalam proses debat kritis itu sendiri.

“Keputusan politik yang otentik tidak mencerminkan kehendak dari semua, melainkan hasil dari pertimbangan semua pihak. Ini adalah proses dimana kehendak semua orang dibentuk dan dirundingkan untuk menjamin legitimitas dari hasilnya, daripada kumpulan semua kehendak yang sudah ada sebelumnya.” (Habermas, 1989)

Menurut Habermas, upaya untuk merevitalisasi ruang publik terletak pada upaya pembentukan konsensus rasional bersama, daripada memanipulasi opini masyarakat umum demi kepentingan kekuasaan ataupun peraihan keuntungan finansial semata. Untuk itu, ia membedakan dua macam opini publik, yakni sebagai opini publik yang bersikap kritis terhadap kekuatan politik dan ekonomi, dan opini publik yang dapat dimanipulasi untuk mendukung orang-orang, institusi, ataupun ideologi tertentu, yang notabene ini bukanlah opini publik sama sekali.

Ruang publik memiliki fungsi yang sangat besar didalam masyarakat demokratis, yakni sebagai ruang dimana opini publik yang otentik, yang bersikap kritis terhadap kekuatan politik maupun ekonomi demi mencapai keseimbangan dan keadilan sosial, dapat terbentuk dan tersebar luas kepada seluruh warga negara, sekaligus sebagai penekan terhadap segala bentuk manipulasi ruang publik, yang seringkali digunakan untuk membenarkan aspek kekuasaan tertentu, dan itu juga berarti, membenarkan ketidakadilan tertentu.

Mengapa Agama Seringkali Menjadi Pembenaran bagi Tindakan Kekerasan?

Mengapa Agama Seringkali Menjadi Pembenaran bagi Tindakan Kekerasan?

Kita sering mendengar berita bahwa kelompok tertentu melakukan kekerasan atas nama ajaran agama yang mereka anut. Kita juga sering mendengar berita, para teroris melakukan pengeboman yang menewaskan banyak orang tidak bersalah atas nama Tuhan, yang dilembagakan dalam agama tertentu. Dari semua itu muncul pertanyaan di kepala saya, mengapa agama seringkali menjadi pembenaran bagi tindakan kekerasan?

Agama memang seringkali tampil ke publik di dalam dua wajah yang amat sangat berbeda. Di satu sisi, agama adalah tempat, dimana orang dapat menemukan makna hidup, harapan, dan kedamaian. Banyak orang menemukan kekuatan dan sandaran hidup, terutama ketika mereka berhadapan dengan kesulitan hidup dan penderitaan, di dalam agama. Akan tetapi, di sisi lain, agama seringpula terkait dengan tindak kekerasan, terutama agama di Indonesia. Argumentasi kontra atas sisi lain agama ini adalah bahwa agama mengajarkan perdamaian sekaligus melawan kekerasan, tetapi pemeluknya menyalahgunakannya untuk kepentingan pihak tertentu, sehingga yang terjadi adalah kekerasan. Pada titik ini, kita bisa bertanya, dapatkah agama begitu saja dipisahkan dari pemeluknya?

Sejujurnya, nilai-nilai agama baru dapat menjadi konkret, jika pemeluknya menghayatinya, serta merealisasikannya di dalam tindakan. Jika agama mengajarkan orang untuk saling menghormati satu sama lain, maka realitasnya berbicara berbeda. Pada titik ini, ada jarak yang cukup besar antara ajaran dan tindakan. Kita semua sudah melihat betapa besar peran agama dalam menebarkan kebencian, membangkitkan salah pengertian, dan menciptakan konflik. Seringkali muncul argumentasi yang mencoba menerangkan peristiwa tersebut. Banyak ahli berpendapat bahwa sebab sesungguhnya bukanlah agama, melainkan pertarungan politik, kesenjangan ekonomi, serta kecemburuan sosial. Argumentasi tersebut sebenarnya kurang tepat, karena yang terjadi adalah agama justru memberikan dukungan bagi masing-masing pihak yang tengah bersengketa. Bukannya menghindarkan konflik, agama justru memberikan pembenaran ideologi, simbolis, dan bahkan teologis. Pembenaran ini tidak hanya berfungsi sebagai pembenaran, tetapi juga mempertajam permusuhan, serta membuat motif pertentangan menjadi sakral, yakni untuk membela iman dan kebenaran, bahkan demi Tuhan sendiri.

Setelah motif pertentangan menjadi sakral, konflik pun tampak lebih rasional dan wajar untuk dilaksanakan. Penghancuran kelompok lain atas nama iman, ataupun atas nama Tuhan, menjadi tujuan utama. Semua bentuk dialog diharamkan, dan dianggap pengkhianatan. Yang terjadi sesungguhnya, motif pertentangan justru menjadi irasional, karena terjadi penacampuradukkan antara kepentingan pribadi, kelompok, dengan kehendak Tuhan. Pencampuradukkan tersebut adalah tanda tidak adanya unsur kritis serta kaburnya penafsiran yakni kehendak Tuhan hendak ditangkap langsung di dalam ketidakmampuan manusia. Memang, agama selalu mengajarkan yang baik. Akan tetapi, seperti sudah disinggung diatas, ada jarak yang cukup besar antara ajaran dan tindakan. Jarak yang cukup besar antara ajaran dan tindakan inilah yang membuat kemungkinan terjadinya tindakan kekerasan semakin besar.

Agama dan Kekerasan

Ambiguitas agama tersebut tampaknya menunjukkan satu hal yang tidak dapat dilihat dengan mata telanjang, yakni adanya mekanisme tertentu di dalam agama yang memang mudah sekali digunakan sebagai mekanisme kekerasan. Mekanisme disini setidaknya menyangkut peran agama di dalam kehidupan bermasyarakat. Kaitan antara agama dan kekerasan bisa dijelaskan dengan dua fungsi ini, yakni agama sebagai pembentuk identitas, dan agama sebagai legitimasi etis hubungan sosial (Haryatmoko, 2003).

Agama kerap kali berperan sebagai pembentuk identitas kelompok sosial tertentu. Identitas memberikan rasa aman. Rasa aman ini memungkinan terbentuknya pandangan hidup, status sosial, cara berpikir, serta etos tertentu. Agama menjadi pembentuk identitas yang semakin dominan, ketika disandingkan dengan identitas etnis, seperti Bali Hindu, Aceh Islam, dan Flores Katolik. Pada titik ini, pertentangan antar pribadi dapat melebar menjadi pertentangan antar agama. Agama menjadi masalah kebanggaan, martabat, dan harga diri. Identitas agama tidak dapat dilepaskan dari masalah stabilitas sosial dan status sosial, serta alasan keberadaan para pemeluknya. Maka, jika identitas agama seseorang tidak dihormati, konflik akan serta merta terjadi, karena penghinaan tersebut mengancam martabat, harga diri, serta alasan keberadaannya pemeluknya.

Disamping menjadi pembentuk identitas, agama bisa menjadi legitimasi etis hubungan sosial. Tidak bisa dipungkiri lagi, tatanan masyarakat di Indonesia selalu memerlukan dukungan dari agama. Akan tetapi, jangan lupa, identifikasi sistem sosial, politik, atau ekonomi dengan ajaran agama tertentu akan memancing ketidaksetujuan dari pemeluk agama lainnya. Contoh yang paling mudah tentang hal ini adalah tentang hak asasi manusia. Konsep HAM seringkali diidentikkan dengan Barat, dan Barat ini seringkali diidentikkan dengan Kristiani. Argumentasi semacam ini kerap menimbulkan penolakan dari negara-negara Islam maupun negara Timur lainnya. Pada dasarnya, penolakan tersebut bukanlah terhadap isi dari konsep HAM tersebut, melainkan karena nilai-nilainya yang berasal dari agama ataupun budaya yang berbeda dengan agama dan budaya saya. Jika saya setuju dengan HAM, maka agama dan budaya yang saya anut akan tampak direndahkan. Cara berpikir seperti ini akan cenderung menimbulkan konflik. Di lain sisi, kegagalan atau keberhasilan sistem sosial tertentu akan cenderung untuk dikaitkan dengan agama tertentu.

Kesimpulannya, akar dari sebab musabab mengapa agama kerap kali digunakan untuk membenarkan tindakan kekerasan adalah fanatisme. Fanatisme adalah ibu dari konflik dan kekerasan. Fanatisme tidak hanya berkembang di kalangan orang-orang yang tidak berpendidikan cukup, tetapi di kalangan orang yang tidak memiliki otonomi dan orang yang tidak mempertanyakan lagi kebenaran dari apa yang dikatakan orang lainnya. Seorang fanatik adalah orang yang tidak mampu mengambil jarak terhadap apa yang diyakininya sendiri, sehingga ia tidak lagi kritis lagi terhadap keyakinan dan tindakannya. Dengan demikian, semua orang berpeluang menjadi seorang fanatik terhadap apa yang diyakininya sendiri. Pertanyaan kemudian, fanatikkah anda??

Fungsi Ruang Publik bagi Masyarakat Demokratis

Fungsi Ruang Publik
bagi Masyarakat Demokratis

“Tidak ada demokrasi tanpa ruang publik yang kritis!” Pernyataan itu kiranya tidak berlebihan, terutama jika sadar pentingnya peran partisipasi masyarakat keseluruhan didalam proses pengaturan politik dan ekonomi yang adil.

Partisipasi masyarakat yang kritis tersebut dapat menemukan salurannya didalam konsep ruang publik. Memang, ruang publik ini bukanlah konsep khas dari teori demokrasi modern, tetapi sudah ada sejak dahulu, namun perkembangan kesadaran masyarakat akan kontrol terhadap negara dan ekonomi semakin menunjukkan betapa penting ruang publik ini dijaga fungsi kritisnya.

Di negara-negara demokrasi modern, komunikasi dalam ruang publik dapat dibagi menjadi dua aliran besar (Dahlgren, 1995), yakni melalui media-media yang demokratis, yang juga melibatkan proses komunikasi berbasiskan komputer (CMC), dan gerakan-gerakan sosial yang menggunakan media ini secara efektif untuk menciptakan perubahan sosial. Pada tulisan ini, saya akan memfokuskan diri pada yang pertama.

Untuk memperdalam wacana sampai menyentuh akar-akar epistemologis maupun ontologisnya, saya akan menggunakan kerangka pemikiran filsuf Jerman Jürgen Habermas, terutama dalam karyanya The Structural Transformation of Public Sphere.

Ruang publik

Habermas merumuskan unsur normatif dari ruang publik, yakni sebagai bagian dari kehidupan sosial, dimana setiap warga negara dapat saling berargumentasi tentang berbagai masalah yang terkait dengan kehidupan publik dan kebaikan bersama, sehingga opini publik dapat terbentuk. Ruang publik ini dapat terwujud, ketika warga berkumpul bersama untuk berdiskusi tentang masalah-masalah politik.

Refleksi Habermas tentang ruang publik berdasarkan deskripsi historisnya selama abad ke-17 dan ke-18, ketika cafe-cafe, komunitas-komunitas diskusi, dan salon menjadi pusat berkumpul dan berdebat tentang masalah-masalah politik. Refleksi atas deskripsi historis tersebut diperluas Habermas untuk merumuskan konsep ideal partisipasi publik didalam masyarakat demokratis dewasa ini.

Arti penting dari refleksi Habermas ini terletak pada konsepsinya tentang proses diskursus, yang diidealkannya haruslah berbentuk perdebatan yang rasional dan kritis. Perdebatan ini dipagari oleh aturan-aturan yang melarang penggunaan bahasa yang bersifat emotif, dan fokus terhadap isi serta kerangka yang rasional saja.

Partisipan debat juga diharuskan memiliki kepentingan bersama atas kebenaran, yang berarti mereka juga harus dapat menunda perbedaan status, sehingga mereka berbicara dalam keadaan setara. Sikap kritis juga merupakan salah satu unsur kunci yang memegang peranan, sehingga berbagai bentuk argumentasi yang disodorkan dapat diuji melalui debat publik, dan partisipan dapat menemukan makna secara bersama sebagai hasil dari proses debat rasional kritis tersebut (calhoun, 1993).

Media dan Demokrasi


Habermas juga sangat menekankan peran kritis dari media didalam ruang publik. Ia membedakan antara media dimasa-masa awal yang memusatkan diri pada berbagai isu kontroversi dan debat politik rasional, dan media dewasa ini yang seringkali menjadikan berita sebagai barang dagangan saja.

Ia kemudian mendeskripsikan perkembangan surat kabar pada awal abad ke-17 di Jerman, dan berkomentar “pers telah pertama kali dalam sejarah menciptakan badan publik yang kritis yang terlibat dalam debat kritis tentang masalah-masalah politik” (Habermas, 1989) Kondisi semacam itu tidak bertahan lama.

Kontroversi semakin berkurang didalam media dewasa ini. Media tidak lagi mengambil posisi dan berargumentasi atas posisinya, melainkan menghindar, karena menurut mereka, semakin mereka mengambil jarak, semakin berita itu akan mengandung kebenaran.

Editorial diberbagai media jarang sekali menyediakan ruang yang kondunsif untuk menciptakan debat politik rasional kritis yang melibatkan warga negara lainnya. (Calhoun, 1993)

Masalah Peran Media

Peran dari media tradisional, seperti televisi, majalah, dan surat kabar, didalam masyarakat demokratis tampak semakin problematik. Problematikanya terletak pada sejauh mana media tersebut mampu menjadi tempat bagi sikap kritis publik ataupun debat rasional tentang berbagai problem yang berkaitan dengan kehidupan bersama.

Demokrasi memang telah menjadi “ideologi” dominan didalam kehidupan politik modern. Akan tetapi, jarak antara perumusan ideologi yang luhur dengan implementasi praktisnya tampak sangat jelas, sehingga semakin banyak orang yang bertanya, “apakah cita-cita ideal demokrasi dapat tercapai, terutama dengan meningkatkan peran praksis komunikatif didalam ruang publik?” (Blumler dan Gurevitch)

Banyak pusat dari ruang publik masih ada sampai sekarang, seperti cafe, salon, tetapi kini tempat tersebut tidak lagi menjadi ruang untuk partisipasi masyarakat untuk melakukan debat rasional. Habermas sendiri juga menyatakan bahwa televisi dan berbagai media elektronik telah mengisolasikan warga negara dari warga negara lainnya, sehingga “ruang publik telah kehilangan fungsi politiknya.” (Poster, 1993)

Alih-alih menjadi ruang bagi partisipasi masyarakat didalam debat rasional, media telah melakukan proses reifikasi terhadap berita-berita yang mereka tayangkan, yakni menjadikan media sebagai ruang iklan, dimana politisi dapat menjual ide-ide mereka untuk dibeli oleh rakyat. Konsekuensinya, politisi jujur yang tidak sering tampil di media serta secara aktif “menjual” ide-idenya di televisi akan cepat kehilangan pamornya, seberapapun jenius ide-ide yang dikembangkannya.

Politisi yang tidak bisa menjadi selebriti media akan mendapatkan nasib yang sama. Dengan demikian, berbagai debat publik di televisi ataupun di koran tidak memenuhi syarat-syarat dari debat rasional kritis yang dirumuskan oleh Habermas.

Partisipasi tanpa Perubahan

Berbagai peristiwa dimanipulasi sedemikian rupa untuk memenuhi standar tayang yang memukau penonton. Perdebatan telah diatur terlebih dahulu, sehingga dapat menimbulkan efek dramatis terhadap para penontonnya, dapat meningkatkan rating, tetapi tidak memberikan kontribusi nyata bagi pemahaman publik tentang inti permasalahan, ataupun menyumbang didalam proses pembentukan opini publik yang otentik.

Tema-tema politik yang diperdebatkan bukanlah yang penting bagi masyarakat, tetapi topik yang paling laku dijual, yang paling banyak menyerap penonton, dan paling banyak menyerap iklan. Semua hal ini membuat debat publik di televisi dan surat kabar menjadi sebentuk partisipasi semu, yang tidak menyumbangkan apapun bagi perkembangan kesadaran publik.

Program debat politik pun dapat juga ditelaah sebagai upaya untuk menciptakan semacam ilusi kolektif dari partisipasi kritis publik, yang membuat warga seolah-olah merasa bahwa hak-hak politik demokratis mereka telah terpenuhi. (Dahlgren, 1995)

Peran Ruang publik didalam demokrasi

Habermas menekankan bahwa pendapat pribadi seseorang, setelah disosialisasikan secara publik, belumlah dapat dijadikan sebagai opini publik hasil proses debat didalam ruang publik. Opini semacam itu belumlah menempuh proses pembentukan opini melalui debat kritis rasional.

Ia juga menyatakan bahwa jika demokrasi ingin diterapkan didalam masyarakat kompleks dan majemuk seperti dewasa ini, proses mencapai kesepakatan bersama melalui kehadiran fisik partisipaan haruslah dilampaui, yakni warga negara, yang karena berbagai alasan tidak bisa hadir secara fisik didalam proses deliberasi, dapat menyumbangkan opininya secara tidak langsung, yakni secara virtual. (Habermas, 1990)

Virtualitas kehadiran partisipan tersebut bukanlah tanpa kritik. Habermas sendiri melihat kemunduran akibat rekayasa media atas subyek partisipan, dan kemudian menjatuhkan semua tanggungjawab pada para wartawan, yang kerap kali memanipulasi data untuk mendapatkan berita yang lebih sensional, dan lebih menjual.

Kondisi semacam itu tidak akan pernah dapat menciptakan suatu bentuk opini publik yang otentik, yang sungguh-sungguh mengena ke inti permasalahan, dan kemudian mencari solusi dari inti permasalah tersebut. Opini publik yang otentik hanya dapat terbentuk, jika partisipan rasional ikut serta didalam debat politik rasional, yang menyangkut kepentingan bersama diantara pihak-pihak yang berbeda secara rasional.

“Proses komunikasi masyarakat, sesuai dengan ide akarnya, adalah sebuah prinsip demokrasi yang tidak hanya mengandaikan bahwa semua orang dapat berbicara, dengan kesempatan yang sama, tentang persoalan pribadinya, keinginan dan keyakinannya, proses komunikasi yang otentik hanya dapat dicapai didalam kerangka bahwa semua pendapat pribadi ataupun kelompok dapat berkembang didalam debat rasional kritis dan kemudian membentuk opini publik.” (Habermas, 1989)

Pada awal abad ke-19, opini publik yang terbentuk dari debat rasional kritis menjadi proses resmi didalam parlemen-parlemen di Jerman dan Inggris. Berbagai pidato politik dibacakan didepan parlemen, seperti yang juga dilakukan sekarang, dengan pertimbangan rasional atas kepentingan publik sebagai keseluruhan, sehingga pengaruhnya semakin besar didalam kehidupan masyarakat untuk mendorong kemajuan di semua bidang kehidupan sosial. (Habermas, 1989)

“Pembentukan opini publik dengan segala mekanismenya melampaui periklanan belaka. Opini publik dapat terbentuk dengan secara sistematis menciptakan isu-isu krusial dan substansial yang menyangkut kepentingan masyarakat sebagai keseluruhan” (Habermas, 1989)

Didalam upayanya untuk membentuk opini publik yang otentik, media tampak belum maksimal menjalankan fungsinya, terutama karena media tidak memberikan ruang yang cukup untuk proses debat rasional, dan proses diskursif didalam pembentukan opini, dan yang lebih penting lagi didalam proses pembentukan kehendak politik. Proses komunikasi didalam ruang publik berarti proses pembentukan opini publik yang otentik, yang dimatangkan didalam proses debat kritis itu sendiri.

“Keputusan politik yang otentik tidak mencerminkan kehendak dari semua, melainkan hasil dari pertimbangan semua pihak. Ini adalah proses dimana kehendak semua orang dibentuk dan dirundingkan untuk menjamin legitimitas dari hasilnya, daripada kumpulan semua kehendak yang sudah ada sebelumnya.” (Habermas, 1989)

Menurut Habermas, upaya untuk merevitalisasi ruang publik terletak pada upaya pembentukan konsensus rasional bersama, daripada memanipulasi opini masyarakat umum demi kepentingan kekuasaan ataupun peraihan keuntungan finansial semata. Untuk itu, ia membedakan dua macam opini publik, yakni sebagai opini publik yang bersikap kritis terhadap kekuatan politik dan ekonomi, dan opini publik yang dapat dimanipulasi untuk mendukung orang-orang, institusi, ataupun ideologi tertentu, yang notabene ini bukanlah opini publik sama sekali.

Ruang publik memiliki fungsi yang sangat besar didalam masyarakat demokratis, yakni sebagai ruang dimana opini publik yang otentik, yang bersikap kritis terhadap kekuatan politik maupun ekonomi demi mencapai keseimbangan dan keadilan sosial, dapat terbentuk dan tersebar luas kepada seluruh warga negara, sekaligus sebagai penekan terhadap segala bentuk manipulasi ruang publik, yang seringkali digunakan untuk membenarkan aspek kekuasaan tertentu, dan itu juga berarti, membenarkan ketidakadilan tertentu.

Fenomenologi Horor dan Kekerasan Massa

Fenomenologi Horor dan Kekerasan Massa

Reza Alexander

“Kematian kini tak lebih dari …nilai tukar”
Baudrillard

Berbagai bentuk kejahatan, korupsi, kekerasan, dan penipuan akhir-akhir ini sungguh menghantam dengan keras sendi-sendi moral bangsa kita. Proses dehumanisasi dan irasionalisasi tampak menggerogoti tubuh perpolitikan dan ekonomi dengan skala gigantis, yang menoreh luka batin kolektif dalam kesadaran mental rakyat secara mendalam. Teror bom, berbagai drama kekerasan, pembantaian lewat sambung menyambung tanpa ada solusi yang signifikan, dan tanpa kemampuan untuk membangkitkan kesadaran moral apa pun. Pelenyapan harta benda dan jiwa manusia, entah itu akibat ulah manusia ataupun bencana alam, tetap berlanjut tanpa ada sesuatu pun yang mampu memutus rantainya. Kita bisa menyoroti ketidakberdayaan aparatur negara, mandulnya penegakan hukum, reaksi masyarakat yang sudah acuh tak acuh ketika bertatapan dengan euforia kekerasan dan horor yang seakan-akan tak habis-habisnya.

Kekerasan di dalam masyarakat kita seakan seperti drama tragedi yang tidak pernah berakhir. Ekses dari kekerasan beruntun semacam itu adalah trauma kolektif, yang membekas dan menorehkan luka di dalam mental serta kesadaran korban dan rakyat sebagai keseluruhan. Menapaki fenomena horor dan kekerasan semacam itu, apa sebenarnya yang terjadi di tengah bangsa ini, terutama ketika kita menyoroti fenomena negatif itu di dalam tingkat individu dan masyarakat? Perubahan kesadaran individual ataupun kultural, sosial, apa yang sedang terjadi, sehingga nilai-nilai individual, kultural, sosial, moral, dan spiritual seakan terkikis abis dalam arus kekerasan, brutalitas, dan sadisme? Bagaimana peristiwa kekerasan tersebut dapat dimengerti sebagai suatu peristiwa psikologis, sosial, dan kultural?

Di titik ini, tilikan filosofis tentang makna dari kekerasan tentu akan mampu membawa kita untuk menggali makna dan hakekat dari perubahan ini secara lebih mendalam. Tindakan kekerasan yang tengah melanda bangsa kita, dari 1965 sampai sekarang, sangatlah masif dan gigantis, sehingga diperlukan kajian empiris dan obyektif yang juga tajam. Pada tulisan ini, saya akan memaparkan berbagai kemungkinan pengkajian dan interpretasi terhadap kekerasan itu sendiri.

Bangkitnya Kekuatan Horor

Secara intuitif, kita dapat merasakan adanya kekuatan tak terlihat dan aktor-aktor kekerasan tanpa nama dibalik semua fenomena kekerasan kolektif, yang telah meracuni sendi mental moral bangsa ini. “Ini,” demikian Piliang, “adalah kekuatan-kekuatan horor”. Kekuatan horor ini belum dapat, dan mungkin tidak akan dapat, dikonseptualisasikan secara utuh, koheren, dan sistematis, tetapi kita dapat merasakan dan mencium kehadirannya. Ia telah menularkan berjuta kekerasan, kebrutalan, kecemasan, ketakutan, keputusasaan, berjuta teror, intimidasi, ancaman, kepanikan, kegilaan, walaupun tetap bermain tersembunyi di balik punggung masyarakat.

Bangsa kita berpuluh-puluh tahun hidup di bawah kungkungan berbagai kekuatan horor tersebut. Walaupun begitu, kekuatan-kekuatan horor tersebut masih diam tersembunyi, tanpa pernah menampakkan dirinya secara nyata. Yang dapat dipaparkan adalah gejala-gejala maupun sindrom-sindrom dari berbagai kekuatan horor itu, bahwa kekuatan horor tersebut detik ini sedang menciptakan dan mengkondisikan kebrutalan di berbagai lapisan masyarakat. Ia juga mampu mengerti dan memahami perasaaan, hasrat, emosi, fantasi, serta segala mimpi masyarakat, dan kemudian memanipulasi emosi kolektif masyarakat tersebut demi tujuan-tujuan dominasi dan penguasaan. Dengan menerapkan taktik strategis khas Machiavellian, kekuatan horor tersebut mehalalkan teror, intimidasi, dan penyiksaan demi merealisasikan tujuan-tujuannya. Proyek destruktif agresif mencapai tujuan dominasi itu didukung dengan finansial yang sangat sehat, dan sumber daya manusia yang sangat profesional dalam menjalankan strategi agresif destruktif.

Kekerasan yang dituai dari kekuatan horor tersebut bukan hanya kekerasan fisik, melainkan juga kekerasan simbolik dan kekerasan yang menyerang psikis manusia. Kebrutalan tidak hanya menyentuh arena fisik dalam bentuk lahirnya senjata-senjata pemusnah massal baru, melainkan juga kebrutalan tanda. Aspek brutal dalam bentuk tindakan penjarahan juga tidak hanya menghantam penjarahan harta benda, melainkan juga penjarahan yang bersifat spiritual. Tindakan agresif destruktif tidak hanya dalam bentuk aksi terorisme, melainkan juga agresivitas ekonomi. Aspek kegilaan juga tidak hanya meyentuh kegilaan mental, tetapi juga kegilaan akan kekuasaan. Tak bisa dipungkiri lagi, realitas telah menyediakan dunia yang penuh dengan horor di depan mata kita.

Efek dari praktek kekuatan-kekuatan horor tersebut telah menyentuh kesadaran mental masyarakat kita, sehingga “masyarakat kita,” demikian Berger & Luckman, “tercetak oleh karakter sosial yang sangat keras ini”. Kejahatan telah berubah wujudnya menjadi suatu aksi terorganisir secara rapi, serta dikembangkan dengan tingkat komplekstisitas, baik itu teknologi, manajemen, dan politik, yang terus menerus meningkat.

Jika kita menoleh ke dalam ranah perkembangan kesadaran masyarakat Indonesia, kita akan melihat perubahan sosial yang cukup esktrem. “Dari kondisi hanyut di dalam ekstasi kemewahan,” demikian Piliang, “menuju ekstrem lain berupa ekstrasi pembunuhan, kriminalitas, pembakaran”. Dari gejala ini, kita bisa menyimpulkan bahwa bangsa kita telah kehilangan sesuatu yang sangat penting, yakni akal sehat dan kontrol diri. Kita tenggelam di dalam dua ekstrem pada momen yang sama, yakni ekstremitas kemewahan di satu sisi, dan ekstermitas kekerasan di sisi lain, tanpa bisa mengendalikan diri.

“Kekerasan dan agresivitas,” demikian Erich Fromm, “bukanlah satu sifat yang berdiri sendiri, melainkan suatu bagian dari sebuah sindrom”. Artinya, kita menemukan gejala kekerasan dan agresivitas hidup bersamaan dengan kualitas-kualitas lain di dalam sebuah sistem, seperti hirarki yang kaku, terlalu kuatnya penguasaan, terpecahnya masyarakat di dalam kelas-kelas, dan sebagainya. “Agresi,” demikian tulisnya, “harus dipahami sebagai bagian dari karakter sosial yang dibentuk secara kultural, berupa nilai-nilai yang ditanamkan pada masyarakat kekerasan, dengan demikian tidak dapat dipisahkan dari kondisi sosial dengan segala bentuk konflik, pertentangan, serta perubahan yang ada di dalamnya”.

Dalam banyak kasus kekerasan di Indonesia, kita dapat melihat adanya aspek-aspek eksternal yang merangsang berkembangnya kekerasan, seperti ketidakadilan, kesenjangan, kesewenang-wenangan, dan sebagainya. Konflik merupakan aspek eksternal yang paling memungkinkan sebagai penyulut api tindakan kekerasan massal. Sebut saja konflik agama di Tasikmalaya, Timor Timur, Situbondo, dan Ketapang. Juga tengoklah konflik suku di Irian dan Sanggau-Ledo, konflik ras di Jakarta, Medan dan Solo, konflik antar kampung di Tanah Abang dan Manggarai, dan berderet-deret peristiwa negatif berdarah akibat konflik lainnya. Yang harus menjadi fokus kita dibalik semua peristiwa negatif bersimbah darah ini adalah penciptaan konflik yang diusung oleh kekuatan-kekuatan horor tertentu di tangan para penguasa, baik itu politik maupun ekonomi.

Ada aspek-aspek internal subyektif yang menjadi penyulut lahirnya tindakan kekerasan. “Berbagai tindakan kekerasan,” demikian Fromm, “banyak dilatarbelakangi oleh dorongan untuk mencapai keadaan trance, ini adalah penghancuran yang bersifat ekstasis”. Apa itu ekstasis? Ekstasi adalah suatu keadaan mental yang mencapai puncak ketika jiwa secara tiba-tiba naik menuju tingkat pengalaman yang melampaui kenyataan sehari-hari, sehingga mencapai tingkat kebahagiaan yang luar biasa, diiringi trance, dan kemudian pencerahan. Ciri utama dari orang yang sedang mengalami ekstasi adalah bahwa orang itu bukan lagi dirinya yang sebelumnya. Ia menjadi sesuatu yang lain. Dalam konteks Indonesia, berdasarkan data wawancara, banyak pihak yang melakukan tindak kekerasan merasa bahwa mereka dikuasai oleh suatu kekuatan tertentu, yang membawanya pada semacam kepuasan puncak. Pada titik puncak ekstasis itu, kita tidak lagi menjadi diri kita seutuhnya, kita dikuasai oleh kenikmatan dalam bentuk tindak kekejaman dan brutal.
“Ada dua bentuk agresivitas dalam masyarakat,” demikian Fromm, “pertama adalah tindakan agresif defensif yang merupakan tindak kekerasan atas nama mempertahankan diri. Kedua agresi jahat yakni kejahatan demi kejahatan itu sendiri”. Dalam konteks Indonesia, contoh dari tindak kekerasan yang pertama adalah tindakan para santri yang mempertahankan dirinya dari serbuan ninja, atau tindakan para anggota dan partisan PDI Perjuangan dalam melindungi kantornya. Contoh tindak kekerasan yang kedua adalah penjarahan, pembakaran rumah, pengrusakan kantor polisi, dan sebagainya. Akan tetapi, kedua bentuk kekerasan ini dapat terjadi bersamaan dan diciptakan dengan mengacu pada suatu skenario kekuasaan tertentu, yang diciptakan oleh para penguasa.

Sakit Jiwakah kita? Fenomenologi Kegilaan

Menapaki dan menghayati berbagai tindak kekerasan dan kejahatan di masyarakat mungkin bisa membuat kita sejenak berkaca dan bertanya, sakit jiwakah kita? Jawaban atas pertanyaan itu sangat tergantung dari bagaimana kita memaknai konsep sakit jiwa. Jika sakit jiwa dimaknai sebagai kondisi manusia yang didikte oleh hasrat, emosi, dan amarahnya, maka pertanyaan itu akan mengundang jawaban yang positif. Dalam arti tertentu, berbagai bentuk perisitiwa horor negatif destruktif yang terjadi di masyarakat kita dapat dilihat sebagai suatu gejala kegilaan institusional yang tengah menjangkiti dasar-dasar mental bangsa kita.

“Kesehatan jiwa di dalam suatu masyarakat,” demikian Fromm, “dapat tercapai bila anggota masyarakat tersebut berkembang ke arah kedewasaan yang utuh, sesuai dengan hukum dan sifat-sifat kodrati manusia. Di titik lain, kesakitjiwaan masyarakat terjadi akibat kegagalan mencapai tingkat perkembangan tersebut”. Di dalam konteks Indonesia, kegagalan mencapai tingkat kedewasaan yang dirumuskan Fromm tersebut tampak dari mandegnya pelaksanaan hukum, serta terjadinya peristiwa-peristiwa negatif di tataran politik-sosial-ekonomi, yang sudah irasional dan tidak manusiawi. Lebih dari itu, hukum kini justru menjadi “anjing penjaga” yang menjamin tetap berlangsungnya proses penggilaan masyarakat tersebut. Kategori kegilaan yang saya acu disini adalah gila harta, gila kedudukan, gila kekuasaan, gila hormat, gila popularitas, dan sebagainya. Bentuk-bentuk kegilaan seperti ini telah menjangkiti dan menusuk masyarakat kita, serta menjadi parasit yang terus menjalar dan menghisap pada setiap tingkatan lapisan pemerintahan kita.

“Gangguan pada pikiran,” demikian tulis Foucault, “adalah akibat dari penyerahan buta kita pada hasrat-hasrat kita sendiri, ketidakmampuan mengontrol dan menjinakkan hawa nafsu kita, dan merupakan kondisi menuju kegilaan”. Kegilaan, dimana didalamnya jiwa didikte oleh hasrat, berupaya keras mencari penyaluran untuk hasrat-hasrat yang tak tertahankan tersebut. Penyaluran hasrat yang berlebihan itu, di tataran sosial, dapat dilihat dalam segala bentuk kompromi hukum, pemutarbalikan hukum dan fakta, sehingga menciptakan lubang bagi lahirnya kejahatan. Dalam kondisi kegilaan, manusia terpenjara di dalam fragmen-fragmen fantasi, imajinasi, dan sesuatu yang tidak nyata. Kegilaan muncul ketika manusia terobsesi dengan kebanggaan, citra, dan prestise yang bersifat semu, sehingga yang terbentuk adalah kesadaran akan realitas yang bersifat semu, tidak nyata.

Jika kita menoleh ke era orde baru, pembangunan fisiknya, yang dalam arti tertentu mengagumkan, adalah sebuah bentuk paling nyata tentang tanda-tanda kegilaan di tataran kolektif. Artinya, pembangunan yang dilaksanakan ditopang dengan perhitungan dan manajemen yang handal, tetapi tidak dilengkapi dengan kondisi kesadaran mental yang memadai. Pembangunan, alih-alih dilaksankan atas dasar kehendak baik dan ketulusan, ternyata merupakan bentuk pelepasan kehendak untuk kuasa yang tak dapat dikontrol lagi. Hal tersebut dapat kita cermati pada proyek-proyek pembangunan yang dilaksanakan pada masa itu, yakni gedung-gedung yang berlomba mencetak rekor ketinggian, pusat perbelajaan yang berlomba-lomba mencari gelar termewah, lapangan golf yang semakin hari semakin memperluas areanya, dan sebagainya. Ilusi kebanggaan semu tersebut, pada akhirnya, harus dibayar dengan korban bangsa sendiri yang terintimidasi oleh kemiskinan, perampasan hak milik, ancaman, teror, penculikan paksa, pembredelan pers, dan sebagainya.

“Di dalam kegilaan,” demikian Foucault, “orang menipu dirinya sendiri. Orang gila dituntun oleh kepalsuan citra maka ia memenjarakan dirinya di dalam lingkaran kesadaran palsu…. Kegilaan adalah kondisi dimana hasrat dibawa menuju kebutaan”. Pemerintah kita telah juga dirasuki oleh kebutaan semacam itu. Nafsu untuk berkuasa yang tak tertahankan lagi ditambah dengan kebutaan akan mengubah paradigma pembangunan kita menjadi paradigma kekerasan.

“Kegilaan,” demikian tulis Julia Kristeva, “telah memenjarakan manusia di dalam sikap kebinatangan, berkubang di dalam muntahannya sendiri, mengembara melampaui segala fantasi kekerasan, darah dan kematian. Manusia berkubang di dalam lembah kekelaman dengan tidak ada sisa tentang rasa puas, ilusi, atau harapan. Inilah sebuah horor neraka yang tanpa Tuhan….tidak ada tempat bagi rasa memaafkan ”. Di dalam kancah perpolitikan kita, paradigma kekerasan dapat diimbangi dan disembunyikan dengan berbagai bentuk topeng dan kosmetik politis, yang akhirnya menghidangkan kesemuan dan kepalsuan. Sifat agresif destruktif realitas perpolitikan kita, seperti pengkhianatan, pembantaian, penjarahan, penggusuran ilegal, dibungkus dengan senyum, dan dengan hati sedingin gunung es. Di titik ini, wajah-wajah kebencian masyarakat bersatu dengan wajah kepuasan mayoritas yang berdiam diri.

Lunturnya Moralitas

Berkembangnya irasionalitas dan kegilaan di tataran kolektif kesadaran masyarakat kita juga merubah disposisi moral yang telah ada di dalamnya. Fakta bahwa semakin kaburnya batas-batas moral tidaklah dapat dipungkiri lagi. Melihat fenomena ini, saya meminjam analisis dari George Bataille, ia menulis “berkembangnya suatu kondisi dimana ukuran-ukuran moralitas yang ada tidak dapat dipegang lagi, situasi yang berkembang telah melampaui batas-batas baik dan buruk, benar dan salah, indah dan jelek”. Ia menamakan kondisi ini sebagai hipermoralitas, yakni semakin kaburnya batas-batas antara yang baik dan buruk tersebut telah menyudutkan masyarakat kita ke arah krisis legitimasi moral. “Krisis legitimasi (moral),” demikian Jürgen Habermas, “menyebabkan tidak didengarnya lagi oleh masyarakat nasihat-nasihat moral dari pihak yang berwewenang (penguasa), oleh karena mereka sendiri yang justru dianggap mempercontohkan tindakan-tindakan pelanggaran moral”.

Efek dari pencemaran tangan penguasa di dalam kancah nilai-nilai moral tradisional telah memicu gerakan pembebasan total dari nilai-nilai moralitas konvensional. Ketika aparat yang berwewenang tidak lagi mampu menyelesaikan persoalan hukum dan keadilan, masyarakat lalu mencari celah untuk menciptakan keadilan dengan caranya sendiri. Sikap masyarakat ini didorong oleh tendensi apatisme terhadap hukum. “Moralitas yang mengambang ini,” demikian Julia Kristeva, “adalah abjeksi moral, dimana individu atau masyarakat tenggelam di dalam jurang moralitas yang paling rendah, lenyapnya batas antara baik dan buruk,…”. Mengambangnya nilai-nilai moralitas konvensional telah melahirkan apa yang disebut sebagai ambiguitas moral, yakni penghujatan yang didampingi dengan senyum, penjarahan dan penggusuran atas nama pembangunan, pembunuhan dan penyiksaan atas nama persatuan dan kesatuan bangsa, kejahatan yang dibungkus dengan embel-embel kepahlawanan, dan sebagainya.

Abjeksi moral adalah suatu kondisi dimana hukum dan moralitas dimanipulasi, dipermainkan, diputarbalikan, serta dibelokan arahnya demi kepentingan kekuasaan. Gerak manipulatif penuh penipuan tersebut telah meremukan kepercayaan masyarakat yang sesungguhnya sangatlah tipis. Bentuk ketidakpercayaan kolektif masyarakat atas pemerintahnya ini telah mencabut legitimasi pemerintah itu sendiri, yang dianggap telah mempermainkan moralitas. “Sebuah permainan keadilan,” demikian J.F Lyoard, “dimana hukum dianggap tak lebih dari sebuah ajang permainan bahasa”. Inilah asumsi yang bercokol di dalam benak masyarakat sekarang ini.

Penentuan apa yang benar dan salah, apa yang baik dan buruk, dilakukan dengan menempuh permainan kata-kata, karena dianggap dapat menyembunyikan, menunda, mengambangkan, atau bahkan membelokan persoalan keadilan yang sesungguhnya sangat mendesak. Misalnya penggunaan kalimat, “akan diusut tuntas,” “sedang dalam penyelidikan,” “sedang dikumpulkan bukti-bukti”, dan sebagainya “merupakan,” demikian Piliang, “suatu cara mengambangkan persoalan sampai pada suatu ketika persoalan tersebut dilupakan”.

Selain itu, pihak yang berwewenang juga dicurigai bermain dengan aturan hukum yang telah sah dan disepakati bersama. Permainan tersebut bukan untuk mencari dan menemukan kebenaran serta keadilan, melainkan justru untuk menyembunyikan kadilan dan kebenaran, serta membuatnya tunduk di bawah kepentingan dominasi kekuasaan. Ada campur baur, kekaburan, dengan penentuan seenaknya saja siapa yang berbuat jahat, korupsi, melanggar hukum, dan melakukan tindak kekerasan. “Kamu jahat,” demikian Nietzsche, “maka saya adalah kebalikan dari kamu, sebab itu saya tidak jahat”. Dengan demikian, ukuran kebenaran dan keadilan tidak lagi mengacu pada apa yang disepakati bersama dalam rumusan hukum, melainkan berdasar pada selera siapa yang sedang berkuasa saat itu.

Berada di dalam kondisi pengambangan moralitas dan hukum semacam itu, masyarakat cenderung mencari pemecahan atas persoalan-persoalan keadilan dengan caranya sendiri. Krisis legitimasi terhadap hukum dan tatanan pemerintah yang berlaku bermuara pada meluasnya bahasa-bahasa rakyat itu sendiri untuk mencari keadilan, yakni bahasa keadilan rakyat. Bahasa keadilan rakyat adalah bahasa kekerasan, penjarahan, pembakaran, pembunuhan, penghancuran. Perasaan kolektif yang negatif dan emosi kolektif yang dipendam telah semakin memperpanas kondisi mental masyarakat kita, sehingga muncul iklim kekerasan yang terus meningkat, seperti dendam kolektif, kekerasan, kemarahan, rasa tidak aman, kesenjangan sosial, keputusasaan, dan sebagainya.

Kemana Bangsa Kita Mengarah?

“Kekerasan dan kejahatan,” demikian tulis Michel Serres, “tidak akan pernah dapat dilenyapkan”. Maksimal yang dapat dilakukan adalah meminimalisir efek-efek destruktifnya, sehingga realitas negatif tersebut masih berada di dalam kontrol tatanan yang legitim.

“Tindakan kejahatan dan kekeraan,” demikian Tulis Fromm, “akan sangat dipengaruhi oleh karakter kolektif suatu bangsa”. Tingkat kemajuan suatu bangsa sama sekali tidak berbanding terbalik dengan tingkat kejahatan yang eksis di rahim bangsa tersebut. Semakin modern suatu bangsa tidak berarti semakin minimnya kejahatan. Yang terjadi justru sebaliknya. “Di negara-negara dengan tingkat kemakmuran tinggi,” tambahnya, “justru disana berkembang lebih banyak sindrom sakit jiwa dan kejahatan sadistik”.

Sistem ekonomi dan politik yang berlaku di dalam masyarakat juga akan sangat berpengaruh pada tingkat pertumbuhan prosentase kekerasan. Di dalam sebuah negara yang menganut sistem ekonomi kapitalisme yang belum dewasa seperti Indonesia, peluang konflik dan kekerasan massa juga terbuka lebih lebar. Misalnya kasus kerusuhan yang terjadi Pinrang. Tindak kekerasan massa yang terjadi disini merupakan efek dari kekecewaan terhadap logika kapitalisme, seperti munculnya bank-bank gelap yang bertujuan utama meraup keuntungan sebesar-besarnya tanpa mengindahkan etika dan moralitas. Bank-bank gelap tersebut telah mengubah karakter mental penduduk, dari semula pekerja keras, ulet, namun ramah, menjadi beringas dan haus uang serta kekuasaan. Di bawah bendera kapitalisme yang tidak dewasa ini, masyarakat tidak lagi dapat secara jernih membedakan yang mana yang baik dan yang mana yang buruk, karena logika materialisme telah merasuk ke dalam pikiran hampir setiap individu dalam masyarakat. Oleh karena itu, untuk mewujudkan ide-ide masyarakat tanpa kekerasan, kita perlu mengupayakan pendekatan yang menyeluruh terhadap budaya maupun mentalitas kekerasan yang telah terlanjur menjangkiti benak masyarakat kita. Dengan kata lain, sebuah fenomena tindak kekerasan harus dilihat dalam struktur tindak kekerasan yang lebih luas, seperti kekerasan politik, kekerasan ekonomi, kekerasan kultural, kekerasan media, dan sebagainya. Harus dibangun sebuah sistem ekonomi dan politik yang dapat meminimalisir penggunaan, kalau perlu menyingkirkan, kekerasan. Kalau budaya kekerasan di dalam sistem ekonomi dan politik masih dilestarikan, yang terjadi adalah merajalelanya mentalitas kekerasan tersebut di dalam setiap dimensi kehidupan mental dan fisik masyarakat kita. Pada titik ini, lembaga-lembaga keagamaan yang kritis terhadap ketidakadilan dan inklusif harus ditunjang keberadaannya, terutama untuk mencegah dan meminimalisir bertumbuhnya tindak kejahatan yang berskala global. Akan tetapi, sebelum itu mulailah dari apa yang kita sentuh sehari-hari. Segala sesuatu yang besar berawal dari langkah kecil, begitu pula dengan upaya-upaya pembasmian kekerasan.

Daftar Pustaka
Michel Serres, Conversations of Science Culture and Time, The University of Michigan Press, 1990.
Yasraf Amir Piliang, Transpolitika: Dinamika Politik di dalam Era Virtualitas, Yogyakarta, Jalasutra, 2005
Friedrich Nietzsche, Genealogy of Moral, Anchor Double Days, 1956.
J.F Lyotard, Just Gaming, University of Minnesota Press, 1981.
Jürgen Habermas, Legitimation Crisis, Polity Press, 1981.
George Bataille, Literature and Evil, Marion Boyars, 1993
Julia Kristeva, Power of Horrors: An Essay on Abjection, Columbia University Press, 1982
Michel Foucault, Madness and Civilization. A History of Insanity in the Age of Reason, Routledge, 1989
Erich Fromm, The Sane Society, A Fawcett Premiere Book, 1955
Erich Fromm, The Anatomy of Human Destructiveness, Holt, Reinhardt & Winston, 1989
Peter Berger & Thomas Luckman, The Social Construction of Reality, Penguin Books, 1981

Israel dan Palestina Perjuangan Berdarah Menemukan “Rumah”

Israel dan Palestina
Perjuangan Berdarah
Menemukan “Rumah”

Mengapa situasi Israel dan Palestina sekarang ini begitu rumit? Jawaban atas pertanyaan itu haruslah kita tempatkan dalam konteks historis, terutama apa yang pernah terjadi pada Perang Timur Tengah 1967.

Dalam perang itu, Israel telah melumpuhkan angkatan bersenjata Mesir, Yordania, dan Suriah hanya dalam waktu enam hari. Akan tetapi, selama lebih dari 40 tahun setelah hari itu, dampak negatif dari perang tersebut masih mempengaruhi situasi sekarang ini.

Sekitar 250.000 warga Palestina harus hidup dalam pengungsian. Hal yang sama terjadi pada sekitar 100.000 warga Suriah. Sampai masalah ini terselesaikan, Timur Tengah tidak akan mencapai perdamaian.

Bisa dikatakan bahwa dalam hal ini, Israel telah menjadi negara penjajah.

Israel merebut Semenanjung Sinai dan Jalur Gaza dari Mesir. Mereka juga merebut Dataran Tinggi Golan dari Suriah, serta Tepi Barat dan Yerusalem Timur dari Yordania.

Perang Lainnya

Pada 1973, Israel berperang dengan Mesir dan Suriah. Akan tetapi, musuh terbesar Israel sebenarnya adalah Palestina yang pada waktu itu dipimpin oleh Yasser Arafat.

Pada 1967, tentara Israel juga menahan tentara Arab dalam jumlah besar.

Semua kejadian ini tentu saja menyakitkan bagi warga Palestina. Ada satu pelajaran yang kiranya dapat mereka tarik, bahwa mereka harus berjuang dengan tangan mereka sendiri, karena tidak ada negara lain yang akan berjuang demi mereka, walaupun negara-negara itu adalah sekutu mereka.

Negara-negara Arab, yang pada waktu itu menjadi sekutu dari ‘lawan-lawan’ Israel juga mengalami kegagalan dalam melawan Israel. Ini adalah salah satu faktor utama yang menjadi titik awal perkembangan Islam Politis pada 1967. Orang-orang sekuler yang berpikiran maju tidak lagi mampu memberikan jawaban secara meyakinkan terhadap krisis yang terjadi.

Yang menarik, Perang Timur Tengah ini juga dikaitkan dengan cerita Kitab Suci Perjanjian lama, yakni Israel sebagai Daud yang mengalahkan negara-negara Arab yang dianggap sebagai Goliath. Memang, negara-negara Arab memiliki angkatan bersenjata yang besar. Akan tetapi, mereka tidak siap secara mental untuk bertempur.

Pada 1967, Israel belum seperti sekarang. Israel adalah negara benteng. Televisi belum ada pada waktu itu. Para jendral dan politisi Israel juga tidak menyebarkan berita-berita yang sesuai dengan kepentingan mereka terhadap wartawan, seperti sekarang ini.

Israel memenangkan peperangan. Israel pun mulai membangun hubungan strategis dengan Amerika Serikat. Israel berjuang sedapat mungkin dan menghalalkan segala cara untuk menciptakan pemukinan permanen bagi orang-orang Yahudi.

Tepat empat tahun setelah perang tersebut berakhir, Dean Rusk, Menlu Amerika Serikat pada waktu itu, telah memperingatkan bahwa Palestina tidak akan diam dengan kekalahan ini.

Empat tahun setelah pernyataan tersebut dikeluarkan, Israel menempatkan sekitar 450.000 orang di tanah yang mereka rebut pada 1967. Dalam hal ini, Israel telah mengabaikan semua ketentuan internasional, dan hanya mempertimbangkan kepentingan mereka sendiri.

450.000 pemukim ini dilindungi dengan berbagai cara, termasuk dengan angkatan bersenjata, dan intelijen. Orang-orang yang memberontak ditindak dengan tegas. Tentu saja, pemberontakan ini adalah sesuatu yang sah, mengingat bahwa mereka dijajah di tanah yang telah mereka tempati selama ratusan tahun, dan tiba-tiba direbut oleh Israel.

Bangsa Palestina sendiri menganggap pemukiman Israel tersebut memperburuk kondisi mereka, terutama karena pemukiman itu berkembang dengan pesat.

Kini, setelah empat puluh tahun, Israel tidak lagi bisa mengandalkan dukungan internasional yang mereka peroleh pada 1967. Israel tidak bisa lagi membenarkan tindakan berdarah mereka untuk menemukan ‘rumah’…

Reza A.A Wattimena

“Rasionalitas Komunikatif” Jürgen Habermas, Masihkah Relevan?

habermas-cartoon.jpg (500×660)

“Rasionalitas Komunikatif”

Jürgen Habermas, Masihkah Relevan?

Reza A.A Wattimena

Jürgen Habermas hadir sebagai seorang filsuf Jerman yang mau menyegarkan kembali kebuntuan epistemologis Teori Kritis Mazhab Frankfurt generasi pertama. Kebuntuan epistemologis Mazhab Frankfurt tersebut terletak pada ketidakmampuan mereka merumuskan sebuah solusi dari analisis “dialektika negatif” yang mereka refleksikan sendiri.

“Dialektika negatif” tersebut, jika mau dirumuskan secara singkat, sebenarnya mau menekankan pesimisme masyarakat terhadap rasionalitas yang sebelumnya dianggap mampu menyelamatkan manusia dari kebodohan dan kemiskinan, tetapi kini telah menjadi sumber dari malapetaka didalam peradaban manusia itu sendiri. Berbagai bentuk teknologi hasil temuan dari “rasionalitas” kini justru seakan-akan memakan tuannya sendiri, seperti bom atom, yang notabene adalah hasil penemuan brilian dari pengembangan dari teori Einstein, kini menjadi mesin penghancur manusia yang paling efektif.

Dengan demikian, bagi Teori Kritis Mazhab Frankfur generasi pertama, krisis didalam peradaban manusia modern sudahlah total, terutama karena tidak ada lagi yang bisa dijadikan sandaran harapan untuk mencapai pembebasan. Rasionalitas justru telah menjadi senjata yang paling ampuh untuk menghancurkan manusia itu sendiri.

Miskonsepsi Rasionalitas

Habermas melihat bahwa kebuntuan yang dialami Teori Kritis Frankfurt generasi pertama, yang dipelopori oleh Adorno, Horkheimer, dan Marcuse, tersebut sebenarnya berpijak pada kesalahan epistemologis didalam mengartikan rasionalitas. Bagi para pendahulunya tersebut, rasionalitas lebih dipandang sebagai rasionalitas instrumental, yakni bentuk rasionalitas yang mengutamakan kontrol, dominasi atas alam ataupun manusia untuk menghasilkan efektifitas dan efisiensi, dan prioritas pada hasil yang paling maksimal.

Jika menggunakan konsep rasionalitas semacam itu, maka manusia akan terasing satu sama lain, terutama karena mereka memperlakukan manusia lainnya sebagai benda untuk mencapai tujuan mereka masing-masing. Maka tidaklah heran jika Teori Kritis generasi pertama tersebut jatuh kedalam kebuntuan dan pesimisme total terhadap rasionalitas.

Pesimisme tersebut akhirnya dialihkan oleh Teori Kritis Mazhab Frankfurt generasi pertama ke dorongan-dorongan manusia yang lebih bersifat libidinal, seperti eros, nafsu, dan estetika. Mereka pun “melompat” kedalam term-terms yang lebih estetis, libidinal, dan menolak rasionalitas sebagai elemen kunci pembebasan manusia.

Terobosan Habermas: Rasionalitas Komunikatif

Habermas melihat miskonsepsi atas rasionalitas tersebut, dan kemudian merumuskan potensi emansipatoris dari rasionalitas yang tidaklah instrumental, yakni rasionalitas komunikatif. Rasionalitas komunikatif ini sudah tertanam didalam akal budi manusia itu sendiri, dan didalam kemampuan mereka berkomunikasi satu sama lain, sehingga akan selalu ada dan tidak mungkin dihilangkan selama manusia itu masih ada.

Proyek pencerahan memang membawa dampak buruk bagi peradaban manusia, tetapi dampak baiknya juga tidak dapat dilupakan begitu saja. Perang memang memakan korban yang semakin besar, tetapi kemampuan manusia untuk menggunakan akal budinya juga bertambah, dan dimana sumber masalah ada, biasanya disitulah sumber solusinya.

Jika yang salah adalah rasionalitas manusia yang telah menjadi melulu instrumental, maka solusinya adalah rasionalitas yang bersifat komunikatif yang terletak didalam kemampuan manusia untuk mencapai kesalingpengertian terhadap manusia lainnya, yakni didalam bahasa. Dengan merumuskan rasionalitas komunikatif sebagai inti dari seluruh pemikirannya, Habermas berhasil membuat terobosan dari kebuntuan para pendahulunya di Teori Kritis Frankfurt, dan kemudian melebarkan analisis Teori Kritis sampai menyentuh refleksi filsafat bahasa, teori diskursus dan moralitas, serta Refleksi tentang ruang publik, dimana rasionalitas menemukan ruang implementasinya, yakni didalam prakteks dialog dan debat publik untuk mencapai kesaling pengertian.

Rasionalitas Komunikatif Dalam Perdebatan

Terobosan yang diberikan Habermas dengan konsep rasionalitas komunikatifnya tersebut memang membuka ruang-ruang baru bagi analisis Teori Kritis. Banyak pihak yang memuji terobosan ini sebagai salah satu terobosan teoritis terbaik didalam sejarah filsafat.

Seperti yang sering dialami oleh para pemikir, adanya pujian juga berarti adanya kritik. Teori Habermas yang brilian ini pun tidak bebas dari kritik, terutama dari kritik yang dilontarkan oleh para pemikir post-modern, seperti Derrida, Lyotard, ataupun Foucault.

Para pemikir postmodern ini curiga dengan segala bentuk teori yang mengklaim mampu menawarkan solusi yang bersifat universal, ontologis, dan berasal dari refleksi metafisika. Konsep rasionalitas komunikatif pun mereka tuduh sebagai solusi universal yang menggendong elemen penindasan dibaliknya.

Elemen penindasan tersebut terletak pada klaim universalnya yang dianggap mengeliminasi perbedaan, lokalitas, serta segala sesuatu yang bersifat partikular. Jika refleksi filsafat jatuh pada satu konsep kunci yang dianggap mampu mendefinisikan dan menjadi solusi bagi semua permasalah manusia yang berbeda-beda, maka solusi tersebut sebenarnya sudah menjadi problem baru, dimana perbedaan manusia dengan segala pluralitas kehendak, kebertubuhan, ideologi, pemahaman, latar belakang sosial direduksi kedalam term-term yang mengklaim dirinya universal, padahal sebenarnya menindas.

Para pemikir postmodern pun mencap Habermas sebagai salah satu filsuf yang berpikir dalam paradigma filsafat subyek yang cenderung mengeliminir perbedaan, dan karena itu menindas. Dengan kata lain, Habermas telah merumuskan sebuah pemikiran yang membenarkan penindasan atas nama universalitas.

Habermas pun tidak diam saja menerima kritik yang tampak berat sebelah tersebut. Didalam perdebatannya dengan Derrida, Habermas berpendapat bahwa para filsuf postmodern adalah pemikir yang tidak mampu merumuskan konsep yang rigorus didalam menganalisis suatu permasalahan, dan karena itu mereka bermain dengan kategori-kategori yang puitis, estetis, serta tidak sistematis.

Konflik antara para pemikir postmodern dengan Habermas tersebut menjadi sangat kontroversial pada dekade 1980-an. Didalam sejarah filsafat, periode tersebut lebih dikenal sebagai “diskursus post-modern”.

Masihkah relevan?

Lepas dari perdebatan yang kontroversial tersebut, masihkah relevan konsep rasionalitas komunikatif Habermas diera sekarang ini? Ataukah, searah dengan kritik para filsuf postmodern, konsep tersebut sudah usang, dan tidak lagi dapat dijadikan sandaran untuk menganalisis serta memberikan solusi terhadap berbagai masalah yang kita hadapi sekarang ini?

Justru, ditengah semakin banyak problem yang muncul akibat perbedaan persepsi, ideologi, agama, serta kepentingan inilah konsep tersebut dapat digunakan sebagai salah satu alternatif solusi yang paling jitu. Didalam masyarakat majemuk seperti Indonesia, kemampuan berkomunikasi yang baik untuk mencapai kesalingpengertian bersama mutlak diperlukan, sehingga integrasi masyarakat yang terdiri dari elemen-elemen sosial yang berbeda dapat terus dipertahankan.

Kritik para pemikir postmodern tersebut memang layak diperhatikan, tetapi kritik tersebut lebih berada ditataran refleksi filosofis, dan tidak menyangkal kegunaan praktisnya sebagai alternatif solusi didalam menjembatani perbedaan yang ada melalui komunikasi yang sehat, inklusif, bebas dominasi, egaliter, serta dilandasi kejujuran, ketepatan, kebenaran, dan komprehensibilitas. Dengan demikian, konsep ini masihlah sangat relevan untuk masyarakat kita.

Yang harus juga diingat adalah, rasionalitas janganlah dihapus dari kehidupan manusia, melainkan juga digunakan untuk menghadapai bahaya-bahaya yang seringkali dilahirkannya sendiri. Kita harus lebih jeli membedakan yang mana “berkat” dari “kutuk” yang menimpa kita. Kemampuan membedakan sesuatu yang distingsinya halus semacam itu mungkin tidak lagi dimiliki oleh masyarakat kita yang dibombardir terus menerus oleh logika neoliberalisme, dimana keuntungan finansial menjadi satu-satunya tujuan utama……sayang memang

Mengapa Koruptor Tidak Merasa Bersalah?

Mengapa Koruptor Tidak Merasa Bersalah?


Korupsi menjadi masalah “klasik” bangsa kita. Korupsi ini seakan sudah mengaliri nadi bangsa kita, seperti layaknya darah. Akan tetapi, apa itu korupsi? Dan mengapa banyak orang yang melakukannya tidak merasa bersalah?

Secara sederhana, korupsi dapatlah dipahami sebagai upaya menggunakan sumber daya, karena posisinya untuk menyalahgunakan informasi, keputusan, pengaruh, uang, ataupun kekayaan semata-mata demi kepentingan dirinya. Satu hal yang pasti, korupsi tidaklah pernah dapat dilepaskan dari interaksi kekuasaan. Para politikus, yang masih bermental animal laborans (Hannah Arendt, 1958), dimana orientasi kebutuhan hidup dan obesesi akan konsumsi masih mendominasi, cenderung menjadikan politik sebagai mata pencaharian utama. Akibatnya, korupsi pun tidak terelakkan lagi. Kemungkinan korupsi semakin besar, ketika fasilitas kekuatan fisik (senjata), fasilitas politik (menduduki jabatan tertentu), dan ideologi (mencari legitimasi dari ideologi atau agama tertentu) sudah ada. Tiga faktor ini adalah ‘modal’ bagi seseorang untuk melakukan korupsi. Ironisnya, modalitas tersebut seringkali dianggap sebagai sesuatu yang layak diperoleh karena upaya atau suatu prestasi tertentu, sehingga penggunaannya untuk dapat mendatangkan kekayaan pribadi dianggap biasa saja. Ini salah satu sebab mengapa koruptor tidak merasa bersalah.

Mengapa koruptor tidak merasa bersalah? Satu jawaban sudah disinggung diatas, yakni karena ia merasa korupsi adalah sesuatu yang wajar sebagai upah atas prestasi ataupun usahanya. Di samping itu, karena begitu banyaknya orang yang melakukan korupsi, sehingga perbuatan tersebut sudah dianggap banal, atau biasa saja. Karena banyak orang melakukannya, maka tindakan ini bukanlah kejahatan lagi. Ada premis yang salah disini, kebiasaan menciptakan hak. Jika kita mengatakan bahwa semua orang bertanggungjawab atas praktek korupsi yang terjadi, baik secara langsung, yakni dengan menjadi pelaku korupsi tersebut, ataupun secara tidak langsung, yakni dengan tidak melakukan mekanisme kontrol yang cermat serta tidak melakukan tuntutan yang berarti terhadap para koruptor, bukankah sama juga kita mengatakan bahwa tidak ada yang bertanggungjawab? Alasan bahwa “semua orang” melakukannya menjadikan pembenaran tanggungjawab pribadi, serta banalisasi kejahatan. Karena banyak orang melakukannya, serta hal tersebut sudah menjadi kebiasaan, maka yang jahat bisa seolah-olah berubah menjadi baik. Di sini, yang sebenarnya terjadi adalah hati nurani pelaku telah terbungkam oleh kebiasaan jahat tersebut.

Kejahatan=Kebiasaan


Aristoteles berpendapat bahwa keutamaan tidaklah diraih dari pengetahuan, seperti pendapat Sokrates, melainkan dari kebiasaan. Keutamaan adalah kebiasaan melakukan yang baik. Tesis ini sebenarnya berangkat dari kritiknya terhadap pandangan yang mengatakan bahwa jika orang mengetahui tentang apa itu dan bagaimana berbuat baik, maka ia akan secara otomatis menjadi orang baik. Tesis Aristoteles ini dapat juga ditempatkan untuk mengritik para pemuka masyarakat dan pemuka agama, yang kerap berbicara tentang hal-hal baik, namun tidak pernah melaksanakan apa yang ia katakan di dalam kehidupannya. Konsistensi tidakan baik tidak akan terjamin hanya oleh pengetahuan, kepandaian berbicara, ataupun status sosial. Ada jarak yang sangat dalam antara “tahu” dan “melakukan”. Logikanya, jika keutamaan merupakan hasil dari pembiasaan, maka kejahatan pun juga merupakan hasil dari pembiasaan (Haryatmoko, 2003).

Memang, kebiasaan akan menciptakan semacam struktur, baik itu struktur internal maupun struktur eksternal, yang membuat orang menjadi mudah untuk melakukan aktivitas. Struktur membuat orang tidak perlu lagi berpikir, mengambil jarak, ataupun memberi makna setiap kali ia bertindak. Giddens menyebut hal ini sebagai kesadaran praktis (Giddens, 1986). Seperti ketika orang berjalan, ia tidak perlu lagi berpikir tentang bagaimana cara berjalan, atau kaki mana yang harus dilangkahkan terlebih dahulu, atau bagaimana posisi tubuh yang tepat ketika berjalan. Kesadaran praktis membuat hidup terasa lebih mudah, tetapi sekaligus membuat kesadaran menjadi tidak kritis. Logika yang sama juga dapat kita terapkan dalam hal korupsi. Jika bisa hidup enak dari korupsi, serta banyak pula orang yang melakukannya, maka tidak perlulah kita sok-sok mengambil jarak, ataupun bertanya tentang kepantasan tindakan kita tersebut. Setiap kali kita bertanya tentang kepantansan tindakan, setiap kali pula kita dipaksa untuk berpikir, dan berpikir adalah kegiatan yang melelahkan. Setiap kali berpikir, orang dipaksa untuk merubah cara pandangnya. Perubahan cara pandang itu membuat kita gelisah. Daripada gelisah, tidak ada salahnya kalau kita meneruskan kebiasaan yang enak itu. Di dalam proses mencari pembenaran dari tindakan ini, maka wajarlah jika koruptor tidak merasa bersalah.

Impunitas

Di samping sudah menjadi kebiasaan, banyak koruptor di Indonesia menikmati impunitas, dalam arti tidak adanya sanksi hukum atas tindakannya tersebut. Hal tersebut membawa kita pada kesimpulan lain, yakni lemahnya kontrol terhadap mekanisme birokrasi kita. Korupsi, jika ketahuan, dan dampaknya bisa menyeret banyak orang lain untuk terkena hukuman, lebih baik didiamkan saja. Pun seandainya tertangkap dan dikenakan proses hukum, kemungkinan besar koruptor tersebut akan lepas dari hukuman. Hal tersebut bisa terjadi, karena kehebatan pengacara yang mampu memberikan bukti-bukti yang menyangkal tuduhan, serta berbagai hal lainnya yang berbuntut pada lepasnya para koruptor dari jerat hukuman.

Realitas di Indonesia berbicara, proses hukum semacam itu dapat digunakan untuk tujuan-tujuan yang sama sekali berlainan dari tujuannya semula, yakni justru menjadi tempat pembersihan diri para koruptor. Semua prosedur hukum telah dijalankan, namun tetap tidak terbukti. Masyarakat pun bertanya-tanya, “kok keputusan terkesan tidak adil?” Karena tidak terbukti secara hukum bahwa ia melakukan korupsi, maka para koruptor tidak lagi merasa bersalah atas tindakannya. Ia tidak sadar, keadilan tidak akan pernah dapat tetampung di dalam prosedur hukum.

Membuat Proyek Amal

Argumen yang sering digunakan para koruptor untuk membenarkan tindakannya adalah, “uangnya tidak dimakan sendiri kok. Orang lain juga dapat. Saya menyumbangkan sebagian (Ingat, sebagian!) kepada lembaga amal, panti asuhan, membantu korban bencana alam, dan sebagainya.” Logikanya, jika sebagian hasil korupsi telah disumbangkan untuk proyek amal tersebut, beban rasa bersalah karena telah melakukan korupsi otomatis terangkat. Perasaan bersalah semakin hilang, ketika koruptor tersebut, dengan uang hasil korupsinya, bisa menciptakan lapangan kerja baru bagi orang-orang sekitarnya. Dampaknya kan positif. Pengangguran dapat pekerjaan. Piring nasi banyak keluarga pun bisa terisi kembali. Di level politik, jika uang hasil korupsi bisa digunakan untuk memenangkan partai, sehingga partai tersebut bisa menang pemilu, maka perasaan bersalah tersebut akan semakin terhapus. Jika sudah begitu, maka uang untuk menyuap wakil rakyat bisa tercukupi. Lingkaran setan korupsi tersebut terus diperkokoh kekuasaan yang ada, sehingga terbuka lagi untuk praktek korupsi di kemudian hari. Lingkaran setan ini juga menjadi contoh bagi pejabat-pejabat di daerah untuk mendanai proses politik mereka.

Tugas politikus untuk memperjuangkan kepentingan rakyat juga dapat terpenuhi. Sembako gratis bisa dibagikan. Pengobatan gratis untuk rakyat juga bisa diadakan. Semua ini dilakukan sebagai tanda bahwa koruptor tersebut memperhatikan rakyat. Di samping itu, koruptor dapat menghilangkan rasa salahnya, jika ia bersembunyi di balik kepentingan partai tertentu. Dengan bersembunyi di balik kepentingan partai tertentu, ia kemudian merasa hanya menjadi bagian kecil dari mesin kejahatan raksasa. Di titik ini, perasaan bersalah tidaklah relevan, karena toh tidak akan dapat mengubah situasi. Pertanyaan yang bisa diajukan disini, apakah karena banyak orang berbuat jahat, dan tindakan baik sama sekali tidak bisa mengubah situasi, lalu tindakan jahat bisa dibenarkan? Menurut Marx, ketidakmampuan manusia untuk mengubah situasi, baik di dalam ataupun di luar dirinya, adalah tanda dari alienasi manusia. Artinya, manusia menjadi terasing, baik terhadap dirinya sendiri, maupun terhadap orang lain. Alienasi yang membuat manusia tidak berdaya terhadap lingkungannya dapat diubah dengan cara mengorganisir diri, sehingga terbentuk kesadaran kelas, yang kemudian berkembang menjadi gerakan kelas. Gerakan kelas tersebut terbentuk untuk meminta akuntabilitas para koruptor, yang cenderung untuk berlindung di balik pembenaran-pembenaran diri mereka.

Korban tidak Jelas

Argumennya kontra korupsi jelas, semua tindakan korupsi di level politik selalu merugikan warga. Pertanyaan kemudian, jika yang dirugikan itu negara, maka definisikan negara? Jika korupsi itu merugikan seluruh rakyat, definisikan terlebih dahulu rakyat? Rakyat, negara, itu adalah orang banyak. Orang banyak bukanlah definisi yang jelas. Koruptor tidak mau ambil pusing. Orang banyak itu tidak berwajah, maka dapat juga disebut anonim (Haryatmoko, 2003). Jika anonim, tidak jelas, mengapa harus merasa bersalah, toh yang dirugikan tidak kelihatan? Apakah ada hubungan langsung antara uang hasil korupsi dengan rakyat? Jika korupsi tersebut adalah berupa uang yang diperoleh kepada pengusaha, bukankah pengusaha tersebut dapat membebankan ongkos tersebut kepada konsumen? Pada titik ini, kita berhadapan lagi dengan anonimitas, yakni konsumen, yang juga adalah orang banyak. Perlu juga ditekankan, orang banyak itu tidak punya wajah.

Jabatan strategis memungkinkan seseorang mengambil uang negara, memeras pengusaha, dan menyalahgunakan dana rakyat. Hal tersebut semakin dibenarkan, ketika uang pengusaha yang diambil adalah hutang dari bank. Ada logika mitos disini, yakni utang tidaklah perlu dikembalikan, jika perusahaan pailit, atau sengaja dibuat menjadi pailit. Agunan tersebut dibiarkan saja disita, toh nilainya hanya 20 persen dari jumlah pinjaman yang diberikan. Ada logika mitos kedua disini, yakni memeras mereka yang mengambil uang masyarakat berarti memeras pemeras. Hal tersebut tentu tidaklah dilarang, karena koruptor membela masyarakat. Begini, uang yang hendak dilarikan oleh konglomerat ke luar negeri “diselamatkan” oleh para pejabat, yang notabene adalah koruptor. “Diselamatkan” disini berarti uang tersebut akan dimakan oleh rakyat sendiri, setidaknya keluarga si pejabat. Lagipula, uang hasil korupsi tersebut cenderung kecil, jika dibandingkan uang yang dimiliki oleh para konglomerat. Nah, jika konglomerat yang uang gelapnya saja banyak tidak pernah dihukum, lalu mengapa koruptor yang pencuriannya hanya pada level kecil saja dihukum? Ada dua sebab yang bisa diangkat disini, yakni aparat penegak hukum yang sudah busuk, karena juga memakan uang hasil korupsi, dan korban dari korupsi sesungguhnya tidaklah terlalu jelas. Oleh sebab itu, koruptor tidaklah perlu merasa bersalah.

Para koruptor, karena jabatan dan status sosial mereka, cenderung untuk merasa tidak tersentuh oleh hukum. Jika bekerja bagi institusi tersebut, mereka cenderung akan merasa bahwa institusi tersebut akan melindungi mereka. Jika sampai detik terakhir hati kecil para koruptor masih tetap terganggu, maka mereka akan menggunakan uang hasil korupsi tersebut untuk kepentingan agama mereka, seperti pembangunan rumah ibadat, maka mereka merasa dosa atas korupsi tersebut sudahlah tertebus. Setelah proses pengalihan dana korupsi untuk pembangunan rumah ibadat sudah selesai dilakukan, maka koruptor meminta pemuka agamanya untuk mengutipkan ayat-ayat suci untuk membenarkan tindakan amal tersebut. Kalau sudah seperti itu, hati akan tenang! Kalau uang tersebut digunakan untuk membangun masjid, maka koruptor akan meminta ulama untuk memberkati masjid tersebut, maka uang tersebut tidak akan kelihatan sebagai hasil dari korupsi.

Argumentasi yang saya kembangkan diatas sebenarnya hanyalah mau mengungkapkan mentalitas kolektif dari masyarakat yang memungkinkan terjadinya korupsi. Di Indonesia, karena dipraktekkan oleh banyak orang di dalam berbagai level, korupsi sifatnya sudah melembaga di dalam struktur kehidupan sosial masyarakat. Oleh sebab itu, mahasiswa yang berteriak-teriak dalam demo untuk menangkapi para koruptor akan terperangkap di dalam jaring korupsi yang sama, jika mereka sudah memasuki otoritas politik. Ingat, para koruptor sekarang ini adalah orang-orang yang sama, yang pada tahun 1966, 1974, dan 1998 yang berteriak “Berantas KKN!”, “Tangkap para Koruptor!” Ironis memang.

Pendidikan Dengan Perspektif Kemanusiaan

Pendidikan Dengan Perspektif Kemanusiaan

Satu artikel menarik di majalah mingguan Newsweek tampak langsung menjerat perhatian saya, ketika pertama kali membacanya. Judul tulisan tersebut adalah Teaching Humanity, karya dari Nussbaum, seorang professor Hukum dan Etika di Universitas Chicago.

Artikel tersebut menekankan betapa pentingnya pendidikan kemanusiaan di era globalisasi ini. Ditengah orang-orang dengan pola pikir bahwa pendidikan yang terpenting adalah menghasilkan uang, tulisan Nussbaum ini tampak menjadi semacam oasis bagi orang-orang merindukan cita-cita awal dan paling dasar dari pendidikan, yakni kemanusiaan.

Kembali ke Cita-cita Awal

Harus diakui, kita semua hidup dalam dunia yang seluruh logikanya mengacu pada satu hal, yakni motif keuntungan ekonomi. Akibatnya, seluruh proses hidup bersama kita, termasuk pendidikan, pun diarahkan melulu pada motif tersebut.

Fakultas yang menjadi prioritas utama adalah fakultas teknik dan sains, karena dianggap dapat membawa keuntungan langsung jangka pendek yang kasat mata bagi bangsa, dan terutama bagi pribadi.

Saya tidak ada masalah dengan pendidikan sains dan teknik yang baik, dan saya juga tidak mau menyarankan agar negara menghentikan proses pengembangan dua bidang tersebut. Akan tetapi, saya khawatir, bahwa pendidikan dimensi-dimensi lain didalam diri manusia, yang sebenarnya sangatlah penting dan signifikan, akan kehilangan kompetisi dan kompetensinya, sehingga kualitasnya menurun.

Pendidikan dimensi-dimensi lain didalam diri manusia tersebut antara lain kemampuan yang terkait dengan rasa kemanusiaan dan seni, yang notabene sangatlah penting bagi penciptaan kehidupan bersama yang harmonis. Kedua hal tersebut akan bermuara pada kemampuan praktis untuk berpikir kritis, kemampuan untuk mentransendensi kesetiaan sebagai warga lokal, serta kemampuan untuk melihat masalah tidak sebagai anggota dari satu kelompok kecil saja, tetapi sebagai bagian “dari seluruh dunia”.

Dan, mungkin ini adalah yang terpenting, kemampuan untuk merasa simpati melihat penderitaan orang lain, dan kemudian terdorong berbuat sesuatu untuk mengubahnya.

Semua kemampuan tersebut dapat disebut sebagai “imajinasi naratif” (narrative imagination), yang membuat kita untuk dapat mengerti dengan baik keadaan orang lain, serta mengerti sungguh-sungguh apa yang menjadi gejolak emosi serta keinginan mereka. Proses pengembangan simpati merupakan tugas utama pendidikan publik di negara-negara (negara-kota) Yunani Kuno, seperti Athena, sekaligus juga merupakan elemen kunci bagi demokrasi Yunani Kuno.

Konsep pendidikan imajinasi naratif ini juga merupakan inti dari teori pendidikan modern di negara-negara Barat ataupun non-barat, seperti yang telah diungkapkan John Dewey dan Rabindranath Tagore, yang sangat menekankan pentingnya pendidikan seni. Salah satu cara terbaik untuk mengembangkan rasa simpati seseorang adalah melalui pendidikan musik, analisa literatur-literatur sastra, theater, serta pendidikan seni menari.

Setiap kebudayaan memiliki titik lemahnya sendiri didalam memandang keberagaman, yakni eksistensi kelompok, baik didalam ataupun diluar kebudayaan tersebut, yang dipandang rendah, dan diperlakukan secara diskriminatif. Pendidikan kemanusiaan yang baik akan memilih cara mendidik yang mampu membangun pemikiran kritis terhadap kejanggalan semacam ini, dan memberikan perspektif menyeluruh yang mungkin sebelumnya tidak terlihat.

Ralph Ellson, didalam novelnya yang berjudul Invisible Man, menulis, “Novel semacam ini dapat membentuk persepsi, harapan, sekaligus hiburan,” dimana, “kita bisa melawan semua halangan yang mengancam perwujudan cita-cita demokrasi kita yang luhur.” Melalui daya imajinasi dari membaca novel-novel bermutu, kita bisa mendapatkan inspirasi tentang pengalaman kelompok lain yang tersingkirkan, yang sebenarnya sulit untuk didapatkan didalam hidup sehari-hari, terutama ketika kehidupan bersama kita diwarnai oleh kecurigaan, prasangka, dan dendam, yang membuat sikap simpati menjadi sulit terbentuk.

Untuk melatih “kepekaan” para siswa, kita harus secara hati-hati memberikan masukan-masukan dalam bentuk seni dan ilmu-ilmu kemanusiaan, yang akan membawa siswa berkontak dengan isu-isu yang krusial, seperti gender, ras, etnisitas, serta relasi antara kebudayaan yang berbeda. Pendidikan seni juga dapat membentuk siswa menjadi peka, baik terhadap kebebasan ekspresi pribadinya, dan harmonisasi komunitas hidupnya.

Seni, Kemanusiaan, dan Demokrasi

Demokrasi memiliki kekuatan imaginatif sekaligus rasional yang sangat besar. Akan tetapi, demokrasi juga rawan dengan irasionalitas mayoritas, kegopohan, egoisme, dan kecerobohan. Pendidikan yang melulu dipusatkan untuk mencari keuntungan ekonomi dipasar bebas global akan meningkatkan sisi buruk dari demokrasi tersebut, sekaligus mengancam akar-akar dari prinsip demokrasi itu sendiri.
Kita harus membuka ruang yang lebih lebar bagi pendidikan yang mengembangkan kemampuan berpikir kritis masyarakat, membentuk perspektif dan pemahaman yang menyeluruh tentang dunia tempat kita hidup, serta meningkatkan rasa simpati kita terhadap penderitaan orang lain. Jika kita menutup ruang bagi pendidikan seni dan ilmu-ilmu kemanusiaan, semua cita-cita luhur tersebut akan kandas.

Nussbaum menulis hal yang baik sekali tentang hal ini, “Memang, terkadang pendidikan seni dan ilmu-ilmu kemanusiaan tidak menghasilkan banyak uang. Tetapi, kedua hal tersebut menghasilkan hal yang jauh lebih berharga, yakni membuat hidup kita lebih bermakna untuk dijalani.” (Nussbaum, 2006)

“Tujuan” Hidup

“Tujuan” Hidup

Satu artikel kecil di Web Site majalah Economist langsung menyentak saya, ketika membacanya. Artikel tersebut ditulis oleh seorang pemegang Phd di bidang literatur, serta master di bidang musik.

Ia menulis tentang hidup, dan tujuan hidup. Saya pun tertarik untuk merefleksikannya secara pribadi.

Pertanyaannya sederhana, apakah yang akan terjadi pada saya sepuluh tahun lagi? Saya pun mencoba menjawab. Mungkin, saya akan ada di pendesaan di Bali, bertani, beternak, dan menulis kolom untuk majalah atau koran setempat. Atau, mungkin saya sudah meninggal.

Siapa tahu?

Tujuan Hidup

Dulu, saya adalah orang yang selalu punya target penting dalam hidup saya. Saya adalah orang yang punya tujuan yang jelas, punya cita-cita. Saya masih ingat dengan jelas, lima tahun lalu, saya yakin sekali bahwa suatu saat, saya akan menjadi seorang imam Katolik.

Keyakinan semacam itu memang menguatkan saya, setidaknya untuk saat itu.

Saya pun mulai menyarankan pada orang-orang di sekitar saya, teman-teman terdekat saya, kakak perempuan saya, untuk segera menetapkan tujuan jangka panjang di dalam hidup mereka, seperti yang telah saya lakukan. Bagi saya, tujuan hidup adalah motivasi paling kuat yang mendorong saya untuk maju dan berkembang.

Nietzsche, seorang filsuf Jerman abad ke-19, pernah menulis bahwa jika saya mengetahui mengapa saya hidup, maka saya akan bertahan dalam semua keadaan. Mengapa itu adalah tujuan hidup yang membuat saya mempu bertahan dalam semua gejolak kehidupan.

Saya pun mulai membuat jadwal, seperti tujuan jangka pendek, jangka menengah, dan tujuan jangka panjang. Semua tujuan tersebut harus terus dicek kembali, dan dilihat sejauh mana sudah berjalan.

Tanpa Tujuan?


Ternyata, kehidupan itu memang jauh lebih luas dari jadwal. Beragam kejadian merusak semua jadwal yang telah saya buat, mulai kegagalan-kegagalan tujuan jangka pendek, sampai saya terpaksa harus membuat jadwal lagi.

Saya harus keluar dari seminari, dan dengan demikian, cita-cita dan tujuan hidup saya untuk menjadi imam kandas sudah. Beberapa kali saya berhubungan serius dengan wanita, dan beberapa diantaranya sudah hendak melangkah ke tahap pernikahan. Itu pun harus kandas di tengah jalan.

Pada titik ini, saya teringat apa yang pernah dikatakan oleh John Lennon, “kehidupan yang sesungguhnya sedang berjalan, justru ketika anda sedang membuat rencana-rencana.” Dan, seperti yang ditulis Wolfee dalam satu tulisan di majalah Economics yang baru saya baca, “perumusan tujuan adalah suatu kesia-siaan yang dipaksakan!” (Wolfee, 2007)
Memang, proses pemenuhan tujuan membuat hidup anda seolah-olah bergerak sangat cepat. Dalam arti ini, hidup adalah proses perpindahan yang begitu cepat dari A sampai ke Z.

Dalam perjalanan itu, kita tidak boleh pelan-pelan jalan sambil menikmati B. Tidak ada waktu untuk mengenal G lebih jauh, yang ada adalah Jalan Terus! Terus! Terus!

Kesadaran Baru

Saya pun mulai merubah pandangan. Yang penting bukankah apa tujuan jangka panjang saya tercapai? Apa saya terkenal dan kaya, seperti yang menjadi tujuan banyak orang? Yang penting adalah, apakah saya bahagia?

Mungkin, hal ini terdengar sudah umum. Akan tetapi, di tengah kehidupan kota Jakarta yang terus dibayangi kompetisi, orang sangat sulit menyadari apa yang baru saya katakan di atas.

Saya pun mulai menyadari, bahwa saya akan lebih mampu menerima dan menikmati kehidupan yang saya miliki, jika saya mencoba untuk tidak melihat terlalu jauh ke depan. Kesadaran semacam ini sungguh membebaskan dan melegakan. Hidup pun tampak lebih indah.

“Hidup”, demikian tulis Wolfee, “mungkin dapat dipandang sebagai sebuah jalan tol yang panjang. Akan tetapi, sekarang saya telah meletakkan peta dan semua tujuan saya. Jika ada pemandangan indah di tengah perjalanan, saya akan berhenti sejenak untuk memfotonya, dan menikmatinya.” (Ibid)

Kemana saya sepuluh tahun lagi? Mungkin saja, saya akan bermain musik di Kanada. Mungkin saja, saya akan menjadi wartawan di New York Times.

Siapa tahu?

Yang jelas, saya terbuka untuk semua kemungkinan. Yang wajib saya pikirkan adalah masalah disini dan sekarang ini, dan membiarkan masalah esok untuk diurus hari esok. Setuju?

Reza A.A Wattimena

Manusia dan Uang

Manusia dan Uang

Sudah beberapa kali ini, semua rencana saya gagal karena keterbatasan uang. Teman-teman saya selalu bilang, “sekarang ini, semua orang punya prinsip UUD”, yang artinya Ujung-Ujungnya Duit. “Kalo ga punya uang, lo ga bisa apa-apa”.

Uang memang telah menjadi bagian penting bagi hidup manusia. Banyak orang rela mengorbankan hal-hal yang terpenting di dalam hidup untuk mendapatkannya.

Uang bisa membuat manusia menjadi kejam. Ia bisa mendikte orang untuk melakukan hal-hal tertentu yang tidak pernah dibayangkan orang itu sebelumnya.

Uang membuat manusia cemburu, iri, benci, dendam, dan mendorong manusia untuk memusnahkan sesamanya. Saya yakin banyak orang akan setuju dengan saya, ketika saya bilang bahwa sekarang ini yang menentukan segala-galanya adalah uang.

Lepas dari itu semua, muncul sebuah pertanyaan di benak saya.

Pertanyaannya begini, bisakah kita mengubah fungsi uang? Saya melihat dan mengalami sendiri bagaimana fungsi uang seperti yang difungsikan sekarang ini begitu jahat. Ia mempunyai potensi destruktif yang sangat besar, dan mudah sekali mengubah manusia menjadi ‘bukan manusia’.

Apalagi setelah membaca tulisan Herry Priyono tentang homo oeconomicus di dalam buku Sesudah Filsafat dan membaca tulisan Aristoteles tentang ekonomi di dalam Politics, saya semakin yakin bahwa kita harus meredefinisikan arti dan peran uang di dalam keseluruhan kosmos yang kita hidupi ini.

Dasarnya begini, kertas uang tidaklah berharga. Yang berharga adalah benda yang nilainya diwakilkan oleh uang tersebut, seperti emas, ataupun yang lainnya.

Akan tetapi, emas dan apapun yang nilainya diwakilkan kertas uang, sehingga uang tersebut menjadi berharga, pun disandarkan pada satu hal yang membuat ia berharga, yakni kesepakatan bersama bahwa benda itu berharga. Jadi, berharga atau tidaknya suatu benda sangat tergantung pada kesepakatan yang dibuat.

Lebih jauh lagi, kesepakatan bersama dibuat berdasarkan persepsi, dan persepsi selalu sudah menyangkut cara berpikir. Maka, cara berpikir manusialah yang sesungguhnya menentukan apakah sesuatu itu disepakati bersama atau tidak sebagai yang berharga.

Kembali ke soal uang tadi, jika uang telah berevolusi fungsinya menjadi sedemikian destruktif, dan bahkan efek destruktifnya lebih besar dari efek positif yang dihasilkannya, lalu apakah uang masih perlu? Jika masih perlu, bukankah fungsinya di dalam keseluruhan kosmos yang kita hidupi ini harus dievaluasi kembali, yang itu juga berarti mengevaluasikan kembali seluruh kesepakatan yang telah dibuat manusia tentang uang, dan berarti juga mempertanyakan kembali cara berpikir manusia tentang uang yang sudah begitu saja dianggap benar selama berabad-abad dan bahkan ribuan tahun ini?

Tujuannya sederhana, supaya uang tidak menjadi elemen penghancur kehidupan manusia. Memang, pertanyaannya bisa dua, apakah uang yang menghancurkan hidup manusia, atau persepsi manusia tentang uang yang menghancurkan hidupnya sendiri?

Berbekal dari pemikiran Kant, manusia tidak pernah mengetahui benda pada dirinya sendiri. Yang ia tahu adalah benda bagi dirinya dalam bentuk kategori-kategori transendental di dalam ruang dan waktu (Kant, Critique of Pure Reason).

Dengan kata lain, kita tidak pernah tahu benda yang utuh dan murni. Yang kita dapat ketahui adalah benda bagi kita, yakni bagaimana kita mempersepsikan benda itu sesuai dengan kapasitas, ataupun, mengikuti Kant, sesuai dengan kategori-kategori transendental yang telah melekat di dalam kemampuan rasionalitas kita.

Begitu pula dengan uang. Kita tidak pernah sungguh-sungguh mengerti apakah uang yang menghancurkan hidup kita. Akan tetapi, yang kita tahu adalah bahwa persepsi kita tentang uanglah yang menciptakan kerakusan, perang, pembunuhan, dan sebagainya.

Lalu, jika uang itu menyangkut kesepakatan, dan kesepakatan menyangkut persepsi, serta persepsi menyangkut cara berpikir, bukankah kita harus meredefinisikan kembali seluruh cara berpikir kita tentang peran uang di dalam transaksi ekonomi pada khususnya, dan di dalam kosmos pada umumnya?

Pertanyaannya kembali, masihkah uang diperlukan di dalam kosmos yang kita hidupi ini, terutama jika kemungkinan aspek negatif dan destruktif yang diakibatkannya sangat besar, dan bahkan lebih besar dari pada aspek positifnya? Jika ya, perlukah seluruh dunia meredefinisikan kembali arti uang dan perannya di dalam kosmos kehidupan manusia?

Sistem, Totalitarianisme, dan Kontrol

Sistem, Totalitarianisme, dan Kontrol


Nietzsche, filsuf Jerman, pernah menulis, “Segala keinginan untuk membuat sistem adalah kekurangan dalam ketulusan.” Kehendak yang berkobar-kobar untuk membuat dan mempertahankan sistem dan stabilitas adalah sebentuk tanda, bahwa orang itu kurang tulus. Ketidaktulusan itu sebenarnya terwujud dalam ketidakmampuan berimprovisasi, bergerak, bermanuver di luar sistem, sehingga ketidakmampuan itu disembunyikan, dan diganti dengan kehendak-akan-sistem yang menguat. Akan tetapi, dapatkah orang hidup tanpa sistem?

Sistem membantu orang untuk menentukan hal-hal yang sudah dianggap pasti, dirumuskan, dan kemudian dilegalkan keberlakuannya. Sistem menetapkan hal-hal itu, sehingga orang tidak perlu bertanya, berpikir, ataupun berdiskusi kembali tentang hal-hal rutin yang sudah biasa dilakukan. Lalu, dimana bahayanya?

Bahayanya adalah, jika orang menggunakan logika berpikir sistemik diluar keperluan sistemik tersebut. Artinya, orang tidak lagi mau mempertanyakan hal-hal yang mereka sudah anggap rutin, karena itu dianggap akan merusak sistem, merusak tatanan, merusak stabilitas. Ketakutan akan kerusakan sistem tersebut sebenarnya merupakan selubung dari kehendak dominatif untuk tetap memegang kekuasaan. Karena, kalau sistem stabil, saya tetap berkuasa, dan tak perlu takut akan kehilangan kekuasaan. Akan tetapi, jika sistem mulai goyang, banyak orang mulai mempertanyakan legitimasi kekuasaan saya, maka kekuasaan saya pun terancam.

Kehendak-akan-sistem = Totalitarianisme?


Gejala takut akan ketidakstabilan ini adalah akar dari totalitarianisme. Masih segar di ingatan kita, ketika orde baru menggunakan retorika “demi stabilitas nasional” untuk menumpas orang-orang tidak bersalah, yang memiliki pandangan politik yang berbeda dengan mereka, misalnya korban ’65.

Totalitarianisme bermula, ketika orang merasa bahwa pluralisme opini dan praksis mengancam keamanannya dan kestabilan sistem hidupnya. Memang, ketakutan akan disintegrasi tidak melulu bermuara pada totalitarianisme, tetapi tetap merupakan unsur kuat pembentukannya. Nietzche sendiri merumuskan hal ini dengan bagus sekali dengan konsep “kebutuhan untuk percaya”nya. Percaya disini adalah pegangan atau panduan, tepatnya suatu sistem.

Ketakutan akan disintegrasi sistem juga akan membuat masyarakat menjadi stagnan. Sejarah telah membuktikan, perubahan sosial terjadi, ketika ada orang-orang yang mulai kritis terhadap sistem yang ada, entah karena ketidakadilannya, ataupun masalah-masalah sosial lainnya. Kritis terhadap sistem membuka kemungkinan baru akan perubahan ke arah perwujudan cita-cita bersama. Sadar atau tidak, pionir perubahan adalah orang-orang yang hidup mengambil jarak terhadap sistem.

Lalu, kira-kira, salahkah Nietzsche, ketika ia merumuskan pernyataan tersebut? Jawabannya ya dan tidak. Ya, karena sistem bisa dijadikan tameng bagi kekuasaan yang tengah memerintah sekaligus memangkas kreativitas dan kemungkinan perubahan. Tidak, karena orang, bagaimanapun hebatnya dia, tidak bisa hidup tanpa sistem. Sistem memungkinkan orang yang berbeda kepentingan untuk hidup bersama tanpa kekerasan. Di sisi lain, sistem yang tidak adil juga memungkinkan terjadinya konflik tanpa subyek pelaku jelas, yang bisa dimintai pertanggungjawaban.

Pertanggungjawaban juga dapat dituntut, jika sistem yang ada memungkinkan hal tersebut. Mungkin, satu-satunya cara terbaik untuk menempatkan sistem secara seimbang adalah dengan menciptakan mekanisme kontrol atas sistem tersebut. Mekanisme kontrol bertujuan untuk memastikan akuntabilitas sistem dan pelaku-pelakunya. Artinya, siapapun yang berkuasa, siapapun yang duduk dalam sistem, tidak bisa seenaknya saja menggunakan otoritas mereka untuk kepentingan yang salah, melainkan dibawah sorotan kontrol pihak-pihak lainnya, sehingga kinerja mereka tetap berada di dalam rel, dan sistem sendiri tetap seimbang.

Demokrasi, pada hakekatnya, adalah perwujudan mekanisme kontrol tersebut secara masif. Tidak ada demokrasi jika tidak ada kontrol kekuasaan. Kontrol kekuasaan adalah nyawa demokrasi. Kontrol tersebut meluas mulai dari sistem politik, militer, sampai ke sistem ekonomi. Tujuannya cuma satu, yakni untuk menjamin bahwa sistem yang ada tidak digunakan sebagai tameng status quo, ataupun digunakan untuk memangkas perbedaan dan kreativitas, melainkan sungguh-sungguh untuk menciptakan kehidupan bersama yang lebih baik antara orang-orang yang saling berbeda kepentingan dan latar belakang.

Mekanisme Kontrol Sistem

Siapakah, atau apakah, mekanisme kontrol sistem tersebut? Demokrasi, secara definitif, adalah pemerintahan oleh yang diperintah. Didalam definisi tersebut, jawabannya sebenarnya sudah jelas, yakni rakyat sendiri. Rakyatlah yang memiliki otoritas paling tinggi untuk mengontrol sistem politik, ekonomi, maupun militer, dan bukan sebaliknya. Mengontrol disini bukanlah memaksakan kebijakan, tapi bisa juga seperti itu, melainkan memantau gerak-gerik, dan menjamin bahwa semua kebijakan berada dibawah satu visi yang sama, yakni kesejahteraan bersama, bukan beberapa pihak saja.

Akan tetapi, apa itu “rakyat”? Kata-kata itu bersayap, dalam arti bermakna ganda. Jika kita mengatakan bahwa semua rakyat bertanggungjawab, maka bisa saja juga dikatakan, bahwa tidak ada yang bertanggungjawab. Michel Foucault, filsuf Perancis, pernah menulis, “Semua sama dengan tidak ada.” Artinya, jika kita mengatakan semua orang yang melakukan, maka sama saja tidak ada yang melakukan.

Kata-kata “rakyat” pun juga sama. Jangan sampai para pengatur sistem yang otoritatif menggunakan ambiguitas tersebut demi kepentingan-kepentingan mereka, dan seraya membelokkan sistem menjadi abdi bagi kepentingan privat, dan melupakan kepentingan bersama. Dengan kata lain, definisi “rakyat” disini haruslah jelas. Kejelasan tidak hanya di dalam definisi konseptual, tetapi bisa ditunjuk secara empirik.

Pada titik ini, rumusan Jürgen Habermas, filsuf Jerman, bisa membantu. Rakyat, menurutnya, bisa didefinisikan sebagai, semua pihak yang terkait dengan pembuatan suatu kebijakan. Semua disini tidaklah berarti seluruh rakyat, walaupun pada akhirnya sampai ke level itu, melainkan pihak-pihak yang terkena langsung dampak dari suatu kebijakan.

Misalnya, ketika pemerintah hendak mengeluarkan UU yang berkaitan dengan nelayan di suatu desa, maka legitimasi dari UU tersebut dapat diraih, jika semua pihak yang terkait dengan kebijakant tersebut, yakni para nelayan, pemerintah daerah, menyetujui tanpa syarat kebijakan tersebut setelah melalui apa yang disebut Habermas sebagai diskursus yang bebas dominasi dan setara. Semua pihak puas, walaupun masing-masing mungkin harus mengorbankan beberapa serpih keuntungan mereka. Inilah yang disebut sebagai prinsip diskursus didalam demokrasi deliberatif.

Habermas memang mereduksi. Reduksinya terletak pada ketidakmungkinan mencapai proses dan situasi seperti itu. Akan tetapi, ketidakmungkinan itu janganlah ditempatkan sebagai sesuatu yang mustahil, melainkan sebagai kriteria ideal. Artinya, prinsip tersebut dapat ditempatkan sebagai acuan dari kondisi kita bersama, sebagai ukuran untuk menilai sudah sejauh manakah proses demokrasi, dimana semua bentuk sistem memiliki elemen kontrol, terwujud.

Dicari: Pemimpin yang Punya Karakter!

Dicari: Pemimpin yang Punya Karakter!

Ada yang mengatakan, cermin baik buruknya sebuah negara dapat dilihat dari moralitas dan tindakan para pemimpinnya. Jika yang tampak dimuka ada perilaku egosentris, saling sikut menyikut mencari proyek, mencari kedudukan, maka kita pun bisa menilai hanya sejauh itulah karakter moral dan tindakan para pemimpin kita.

Mereka sering berkata bahwa berbagai konflik kepentingan dan perbedaan pendapat adalah bagian yang sehat dari demokrasi. Akan tetapi, yang sesungguhnya terjadi adalah aksi memperebutkan kekuasaan yang diwarnai kepentingan egosentris dan kesombongan. Konflik dan perdebatan yang terjadi bukanlah dinamika demokrasi, melainkan perang untuk perebutan kekuasaan atas nama kepentingan diri sendiri, yang menghalalkan semua cara tanpa mementingkan moralitas tindakan.

Jangan-jangan, demokrasi di Indonesia hanyalah selubung dari kepongahan dan kerakusan para pemimpinnya? Bisa jadi.

Kita ambil saja contoh, tarif dasar listrik dan telepon terus meningkat tanpa ada peningkatan pelayanan (justru yang terjadi adalah penurunan kualitas, lihat saja pemadaman listrik beberapa hari belakangan ini), harga sembako mahal dan tidak stabil, bencana banjir, yang kesemuanya diabaikan saja oleh penguasa negeri ini sambil mereka sibuk-sibuk mencari keuntungannya sendiri. Intinya, ada jarak yang sangat besar antara tindakan pemimpin dan aspirasi yang dipimpinnya.

Jadi, sah-sah saja dong kalau saya membuat semacam iklan, DICARI: Pemimpin yang Punya Karakter?

Jika diperhatikan, Indonesia semakin hari kok semakin “gelap” saja. Kita hampir sama sekali tidak melihat peningkatan mutu kehidupan, yang terjadi justru penurunan kualitas. Semuanya serba rumit, berkelit-kelindan, karena kehilangan visi dan orientasi. Kebijakan-kebijakan yang dirumuskan juga tampak hanya memperhatikan visi jangka pendek, serta kenikmatan beberapa golongan penguasa saja. Rakyat kecil pun tak lagi berharap yang muluk-muluk, yang penting hari ini masih bisa makan. Politik di Indonesia kini bagaikan letupan gunung merapi kesombongan dan egosentrisme para pemimpinnya. Perdebatan politik di Indonesia bukanlah tentang visi bangsa dan cita-cita ideal yang harus dicapai bersama serta bagaimana mencapainya, melainkan konflik untuk mengurus “kue kekuasaan” yang sudah dimiliki, dan bagaimana mempertahankannya.

Mengapa bangsa ini tampak sulit sekali bersatu untuk memecahkan masalah bersama secara bersama pula? Saya, dan mungkin banyak orang lain, menduga, kita tidak punya pemimpin yang berkarakter. Kita disini hanya punya pemimpin “setengah matang”. Hampir semua pemimpin kita dari tingkat pusat sampai level RT/RW adalah pemimpin yang “separuh matang”. Satu hal yang pasti bisa kita simpulkan dari tindak-tanduk mereka, yakni mereka tidak punya karakter.

Bagi pemimpin setengah matang ini, uang, kekuasaan, serta kenikmatan pribadilah yang ingin diraih, dan bukan kesejahteraan bersama serta masyarakat yang harmonis. Semua idealisme dalam bentuk nilai-nilai, moralitas, serta cita-cita luhur lenyap dihadapan uang dan kekuasaan. Tak berlebihan jika Benny Susetyo menulis, “ketaatan para pemimpin kita bukanlah etika moralitas demokrasi, melainkan Dewa Uang” (Susetyo, 2044).

Di mata mereka, uang adalah segala-galanya. Mereka kehilangan hati nurani demi mendapatkan uang lebih dan lebih lagi. Status sosial dan pengaruh bisa dibeli dengan uang, jadi buat apa sibuk-sibuk memikirkan hati nurani, begitu argumentasi yang kerap dijadikan pembenaran. Mereka lupa, ketika uang dijadikan acuan utama di dalam dunia politik, kesejahteraan bersama tidak akan pernah tercapai, dan konflik akan terus berdatangan dari berbagai penjuru. Pemimpin yang berkarakter pun tinggal harapan belaka. Mereka memimpin bukan karena pengabdian, tetapi karena mencari uang. Dengan kata lain, mereka berjuang untuk uang, dan bukan untuk rakyat yang mereka pimpin.

Menanggapi iklan yang saya tayangkan diatas, apa kira-kira kriteria pemimpin yang berkarakter? Pemimpin berkarakter adalah pemimpin yang mau berefleksi atas segala tindakan mereka secara terus menerus, terutama tindakan yang berkaitan dengan kepentingan banyak orang. Refleksi menjamin terjadinya pengolahan hati nurani. Demi hati nurani yang jernih, ia rela kehilangan uang dan kekuasaan. Kekuasaan yang sejati terletak pada kejernihan hati nurani.

Banyak pemimpin kita yang membalikkan logika diatas. Mereka berpendapat bahwa lebih baik kehilangan kejernihan hati nurani daripada harus kehilangan uang dan kekuasaan. Dengan menjadi pemimpin, uang jadi mudah dicari, reputasi pun bisa dibeli dengan jalan menyuap.

Akan tetapi, reputasi tidak akan pernah dapat dibeli dengan uang. Pemimpin “setengah matang” tersebut telah kehilangan kredibilitasnya di mata publik, karena semua perkataannya adalah retorika belaka. Konsistensi hampir tidak ditemukan di dalam kata-kata dan tindakan mereka. Satu-satunya konsistensi yang mereka punya adalah bahwa mereka selalu berjuang untuk kepentingan diri maupun kelompoknya sendiri. Salah persepsi tentang perjuangan inilah yang membuat rakyat tidak lagi percaya kepada mereka.

Saya hanya bisa berharap sekaligus terus berusaha dengan apa yang saya miliki bahwa mereka bisa kembali pada prinsip, kekuaasan yang sejati adalah kejernihan hati nurani, sambil sekali lagi mencantumkan iklan, DICARI: PEMIMPIN YANG PUNYA KARAKTER!

Menjadi Beriman secara Humanis?

Menjadi Beriman secara Humanis?

Banyak orang berpendapat bahwa menjadi seorang humanis adalah sesuatu yang baik. Akan tetapi, apa sesungguhnya yang dimaksud dengan ‘menjadi humanis’? Apakah itu berarti menjadikan manusia sebagai tujuan pada dirinya sendiri, sebagai pusat yang paling berharga dan menjadi tolok ukur yang utama?

Kaum Sofis, yang hidup di jaman Sokrates di Yunani beberapa abad sebelum Masehi, pernah menulis sebuah argumen yang menjelaskan hal ini. Argumen itu bunyinya begini, “manusia adalah tolok ukur bagi segala sesuatu, baik sehingga ia menjadi baik, ataupun buruk sehingga itu disebut sebagai buruk.”

Akan tetapi, sungguhkah manusia dapat menjadi tolok ukur dari segala sesuatu, seperti yang dirumuskan oleh kaum sofis itu? Bagaimana dengan pertimbangan lainnya, seperti Tuhan misalnya? Dengan kata lain, dapatkah kita menjadi seorang humanis dan seorang yang beriman kepada Tuhan sekaligus?

Sekilas, dua hal ini memang tampak kontradiktif. Menjadi humanis berarti kita menempatkan manusia sebagai tolok ukur dan pusat penilaian. Sementara, seorang yang beriman kepada Tuhan, yakni seorang teis, menjadikan ajaran Tuhan, yang tercantum di dalam suatu agama tertentu, sebagai tolok ukur dan pusat penilaiannya.

Di dalam paham humanisme, manusia memiliki tempat yang sangat penting. Dia adalah pusat , dan semuanya berada dalam posisi subordinat jika dibandingkan dengan manusia. Tolok ukur dari suatu tindakan adalah, seberapa jauh tindakan tersebut membawa dampak baik bagi perkembangan dan kebahagiaan manusia.

Di dalam paham teisme, Tuhan dan hukum-hukum Nya adalah pusat dan tolok ukur utama. Namun, karena Tuhan tidak berbicara langsung kepada kita, ajaranNya biasa dirumuskan di dalam agama. Seringkali, dalam penerapannya, teisme cenderung mengorbankan manusia individual demi terlaksananya hukum-hukum Tuhan, yang tercantum di dalam suatu agama tertentu.

Keduanya tampak berbeda. Akan tetapi, adakah titik singgung di antara keduanya? Ataukah keduanya adalah sesuatu yang sama sekali berbeda, sehingga tidaklah mungkin orang bisa menganut keduanya tanpa terjatuh ke dalam inkonsistensi?

Mungkin, di agama-agama tertentu, di mana setiap individu melebur menjadi bagian dari komunitas, dan taat mutlak pada ajaran agamanya tanpa penilaian kritis, keduanya tidak bisa disandingkan tanpa terjatuh ke dalam inkonsistensi. Suatu agama, yang memaksakan ajaran-ajarannya, yang tentunya dengan klaim bahwa ajaran mereka berasal dari Tuhan, secara otoriter, cenderung melenyapkan individu di dalam dogma komunitasnya.

Dalam arti tertentu, hal semacam itu adalah suatu penindasan, yakni pelenyapan kebebasan dan daya kreatif manusia atas nama ajaran atau dogma otoriter tertentu. Dalam arti ini, saya merasa yakin bahwa penganut agamanya akan cenderung tidak humanis, karena mereka taat buta pada ajaran ‘tuhan’, yang mungkin lebih merupakan ajaran sekelompok elit religius tertentu.

Dalam agama seperti ini, manusia mudah sekali dikorbankan demi cita-cita luhur suatu hukum ‘tuhan’ tertentu. Pada titik ini, kita tentunya bisa bersikap kritis, ‘tuhan’ siapakah yang dimaksud? Dan jika hukum ‘tuhan’ itu dipatuhi, pihak-pihak manakah yang akan diuntungkan?

Dan jika ada yang diuntungkan secara berat sebelah, maka pasti ada yang dirugikan. Lalu, apakah kita dapat menerima adanya korban, karena ketidakadilan yang telah inheren di dalam cara beragama semacam itu? Pandangan ini tentunya sama sekali tidak humanis.

Di sisi lain, pada agama-agama tertentu, hukum-hukum ‘tuhan’ justru digunakan untuk mendorong kebebasan serta proses kreatif manusia. Yang menjadi pusat dan tolok ukur tetap ajaran ‘tuhan’, tetapi semuanya difokuskan untuk bagaimana membuat manusia menjadi lebih berkembang sebagai mahluk ciptaan Tuhan, yang ditugaskan untuk merawat dan membangun seluruh ciptaanNya. Apakah agama semacam ini bisa kita kategorikan sebagai agama yang humanis?

Apakah, dalam konteks kedua, menjadi seorang humanis dan sekaligus seorang beriman adalah sebentuk kontradiksi internal? Atau, pada tataran praktis, apakah menjadi seorang humanis sekaligus seorang yang beriman kepada Tuhan adalah sebentuk inkonsistensi?

Jika kita menggunakan pola ajaran agama yang mengklaim dirinya sebagai penerapan hukum-hukum Tuhan secara otoriter, maka kita tidak akan pernah menjadi seorang humanis, karena kebebasan kita dilenyapkan, dan kita tidak lebih dari robot yang patuh apa kata pemiliknya. Daya kritis dimusnahkan, perbedaan pendapat dibungkam, yang kesemuanya secara perlahan tapi pasti akan membawa kehancuran bagi agama itu sendiri.

Akan tetapi, jika kita menggunakan pola kedua, di mana agama dan ajaran-ajaran Tuhan justru diterapkan untuk menjamin kebahagiaan dan perkembangan manusia, siapapun dia dan apapun statusnya, serta membantu manusia memelihara alam dan mengembangkannya, maka ya!, kita bisa menjadi seorang yang beriman sekaligus seorang humanis. Pada level ini, kedua hal di atas, yakni humanisme dan teisme, tidakah perlu dipertentangkan.

Pada akhirnya, kita bisa menjadi seorang humanis tanpa perlu “membunuh Tuhan” (Nietzsche) toh….

Filsafat Fragmentaris, sebuah Kritik

Filsafat Fragmentaris atau
Fragmen-fragmen Filsafat?
Kritik Terhadap Filsafat Fragmentaris

Dunia filsafat memang ‘dunia pertanyaan’. Bahkan, sampai sekarang, definisi atas filsafat itu sendiri pun pun masih juga menjadi pertanyaan yang belum, dan tak akan pernah, selesai dijawab.

Buku Dr. F. Budi Hardiman yang berjudul Filsafat Fragmentaris ini dapat ditempatkan sebagai salah satu upaya untuk menjawab pertanyaan mendasar yang masih menghantui para filsuf tersebut, yakni apa sesungguhnya yang dimaksud dengan filsafat, dan mengapa artinya menjadi seperti itu.

“Menurut pengertian yang terkandung di dalamnya”, demikian tulis Budi Hardiman, “filsafat (philosophia) adalah cinta (philia) kebijaksanaan (sophia).” (hal. 13) Dan orang yang berfilsafat, atau filsuf, adalah orang yang mencintai kebijaksanaan, yakni orang yang belum memiliki kebijaksanaan, tetapi orang yang sedang berupaya mencari kebijaksanaan.

Artinya, filsafat adalah sebuah proses pencarian yang tidak pernah berakhir, yakni suatu fragmen yang pada dirinya sendiri tidak, dan tidak akan pernah, utuh. “Tugas filsafat’, demikian tulisnya lagi, “adalah menemukan hakekat segala sesuatu, namun apa yang disebut hakekat itu tidak pernah dapat dideskripsikan sebagaimana adanya.” (hal. 14)

Itulah argumen inti yang ingin ditawarkan Budi Hardiman melalui buku ini. Dengan penjabaran yang lugas, tajam, dan otoritatif, ia menjabarkan argumennya tersebut pada bagian pendahuluan.

Akan tetapi, apakah judul tersebut tepat untuk buku yang pada hakekatnya merupakan kumpulan tulisan pengarang yang pernah dimuat di berbagai media tersebut? Marilah kita uji argumen tersebut dihadapan ‘pengadilan akal budi’ yang bebas dan terbuka.

Fragmen-fragmen Filsafat?

Seperti dikatakan sebelumnya, buku Filsafat Fragmentaris adalah sebuah kumpulan tulisan pengarang yang pernah dipublikasikan di berbagai media (hal. 221-222). Budi Hardiman menulis berbagai tema, mulai dari tentang fenomenologi persepsi Maurice Merleau Ponty (hal. 35), pemikiran Hegel dan Kant tentang kesadaran (hal. 67), teori Estetika Walter Benjamin dan Adorno (hal.88), pemikiran Habermas tentang Demokrasi Deliberatif (hal 115), filsafat politik Carl Schmitt, filsafat politik Jacques Derrida, dan filsafat hukum.

Tentu saja, dengan gaya penulisan yang tajam, kuat, dan unik yang dimiliki Budi Hardiman, tema-tema penting di dalam filsafat tersebut digali, diolah, direfleksikan, dan dipaparkan dengan sangat baik dengan acuan pada teks-teks asli yang mungkin tidak perlu diragukan lagi kredibilitasnya. Penulis buku ini memang sangat ahli tentang tradisi filsafat Jerman, terbukti dari teks-teks asli filsuf tersebut yang digunakan sebagai acuan.

Pertanyaan yang ingin saya ajukan adalah, apakah dari kumpulan tulisan filsafat semacam itu, kita bisa merumuskan suatu argumen bahwa filsafat itu pada hakekatnya bersifat fragmentaris, seperti yang dilakukan oleh Budi Hardiman, pengarang buku ini? Memang, jika dipikirkan dalam-dalam, hakekat filsafat adalah fragmentaris, dan tepat itulah yang membedakan filsafat dari ideologi dan agama yang memiliki klaim absolut atas pernyataan-pernyataannya. Itulah argumen yang juga ditawarkan oleh Budi Hardiman.

Akan tetapi, argumen terakhir ini tidak akan pernah bisa didapatkan dari sebuah kumpulan tulisan filsafat yang kemudian didaur ulang menjadi sebuah buku. Pada hemat saya, tesis bahwa filsafat pada hakekatnya bersifat fragmentaris haruslah dijabarkan lebih jauh dengan mengolahnya dari bab per bab dengan mendetil, barulah kesimpulan atau argumen utama buku ini memperoleh keabsahannya, dan bukan dengan kumpulan tulisan-tulisan filsafat yang sudah pernah dipublikasikan sebelumnya.

Alasan inilah yang mendorong saya untuk berargumen, bahwa judul yang tepat untuk buku ini bukanlah Filsafat Fragmentaris, seperti yang diberikan oleh pengarang, melainkan Fragmen-fragmen Filsafat, yakni potongan-potongan refleksi filsafat yang menjangkau berbagai tema dan kemudian disatukan dalam satu buku. Rupanya, ketika berdiskusi di Teater Utan Kayu April 2007 lalu, Rm Sudarminta, kolega pengarang buku ini di STF Driyarkara, memiliki argumen yang serupa dengan saya, sehingga beliau menanyakan itu, ketika diskusi sedang berjalan.

Mengapa lebih tepat disebut sebagai fragmen-fragmen filsafat? Yah, fragmen itu sendiri adalah suatu potongan, suatu pecahan, dan tulisan di dalam buku ini sebenarnya merupakan potongan-potongan penting di dalam sejarah filsafat yang memang layak untuk disimak dan direfleksikan lebih jauh.

Akan tetapi, tesis bahwa filsafat itu pada hakekatnya bersifat fragmentaris adalah tesis yang, pada hemat saya, terburu-buru untuk dirumuskan, dan terkesan agak dipaksakan untuk buku ini. Jika dibahasakan secara ketat, dari potongan-potongan refleksi di dalam bidang filsafat, kita tidak akan pernah bisa mengambil kesimpulan yang bersifat ontologis, atau mendasar, tentang hakekat filsafat itu sendiri.

Suatu ‘Eksperimen’ Berpikif Filosofis


Saya sendiri berpendapat bahwa buku ini lebih tepat disebut sebagai sebuah ‘eksperimen’ di dalam berpikir filosofis, terutama karena memang yang disajikan di dalam buku ini adalah potongan dari ekperimen berpikir Budi Hardiman tentang berbagai tema yang penting dan menarik di dalam sejarah filsafat barat.

Lepas dari argumen yang saya ajukan ini, buku Filsafat Fragmentaris tetaplah layak disambut oleh para peminat filsafat dan siapapun yang tertantang untuk berpikir orisinil-filosofis tentang tema-tema yang dekat dengan kehidupan yang kita jalani sehari-hari. Buku untuk siapapun yang berani berpikir orisinil….

Reza Antonius Alexander Wattimena

Teman, Teruslah Bercerita!

Resensi Buku Antonius Sumarwan SJ, Menyeberangi Sungai Air Mata. Kisah tragis Tapol ’65 dan upaya rekonsiliasi, Yogyakarta, Kanisius, 2007. 408 halaman
Contoh buku bisa didapatkan dari penerbit Kanisius

Teman, Teruslah Bercerita!

“Marilah kita terus berkisah”, demikian tulis Elie Wiesel, “semua yang lain bisa menunggu. Marilah kita berkisah- itulah tugas utama kita.. sehingga kita ingat betapa rapuh manusia ketika berhadapan dengan kejahatan yang mengepung dari berbagai penjuru. Marilah kita berkisah sehingga para eksekutor tidak dibiarkan menjadi pemilik kata terakhir. Kata terakhir adalah milik korban. Terserah pada para saksi untuk menangkapnya, membentuknya, menyebarkannya, … dan mengkomunikasikannya kepada yang lain.” (hal. 380)

Itulah yang kiranya dilakukan Antonius Sumarwan bersama beberapa temannya di dalam buku Menyeberangi Sungai Air Mata, Kisah Tragis Tapol ’65 dan Upaya Rekonsiliasi. Suatu buku yang dengan detil mendeskripsikan sekaligus mengajukan analisis terhadap pengalaman korban peristiwa negatif pasca G30S/1965.

Memang, salah satu tindakan yang paling sulit dilakukan oleh manusia adalah menghadapi trauma masa lalu yang pernah mencengkramnya, memasungnya, dan membuat dia seolah-olah menjadi tak berdaya lagi. Walaupun sulit dan penuh dengan duri, hal ini tetaplah mutlak diperlukan, karena hanya dengan dihadapilah suatu trauma akibat peristiwa negatif di masa lalu bisa direlakan.

Analisis yang Terlibat

Satu pendekatan yang menurut saya istimewa di dalam buku ini adalah bahwa Sumarwan menuliskan pengalaman korban, menganalisisnya, menulis refleksi pribadinya, dan mengajukan tuntutan etis moral atas semuanya itu dengan gaya yang sangat indah, lentur, lincah, dan seolah dekat dengan kita. Memang, bukan argumentasi yang ketat dan analisis yang rigor yang ingin dicapai penulis disini, tetapi kemampuan untuk menyentuh hati pembaca untuk mau ambil bagian dari perjuangan yang panjang dan berat, tetapi mutlak harus dilakukan. (hal. 11).

Seperti yang ditulis St. Sunardi di dalam pengantarnya, “buku ini menawarkan penulisan ulang sejarah atau kisah tidak secara kering, melainkan dengan keterlibatan penuh.” (ibid). Keterlibatan yang terkadang mengundang tangis dan penyesalan, tetapi merupakan pintu gerbang pembuka ke arah rekonsiliasi dan tanggung jawab yang tidak bisa ditawar menawar lagi.

Singkatnya, buku ini mengajak kita untuk bercerita. Bercerita mengungkap apa yang pernah terjadi namun, baik sengaja ataupun tidak, dilupakan begitu saja. Bercerita tentang apa? Tentang siapa?

Sebut saja namanya, Christina Sumarmiyati, Tin Wartinah, Surati yang salah ciduk, Cokrowiyono si kepala dusun, dan semua orang yang hidupnya pernah dalam satu titik aliran sungai sejarah disiksa oleh ketidakadilan rezim dan tuduhan politis yang tak manusiawi. Cerita mereka-mereka yang hampir tidak bisa melawan, ketika harus berhadapan dengan peristiwa yang sedikit pun tidak mereka kehendaki dan bayangkan akan pernah terjadi pada mereka. (hal. 55-159).

Ya, cerita para korban yang ditangkap, disiksa, dihukum tanpa pengadilan, dicap sebagai ‘setan’, dan hampir tak ada satupun upaya nyata untuk mengembalikan harkat dan martabat mereka yang terinjak-injak oleh tangan berdarah rezim yang tak berperkemanusiaan. Membaca buku ini, saya jadi teringat refleksi Immanuel Kant, salah satu filsuf terbesar sepanjang sejarah filsafat, tentang filsafat moral.

Kant pernah menulis bahwa “bertindaklah selalu sedemikian rupa sehingga engkau memperlakukan manusia, baik dalam dirimu, maupun dalam diri segenap orang lain, selalu sekaligus sebagai tujuan, dan tak pernah semata-mata sebagai sarana” (Kant, Metaphysics of Morals, hal. 36). Artinya, setiap orang, siapapun dia, apapun latarbelakangnya, harus dipandang sebagai tujuan pada dirinya sendiri, dan tidak pernah boleh digunakan sebagai alat bagi tujuan lain di luar orang itu sendiri.

Membaca buku tulisan Sumarwan ini, dan membandingkannya dengan kutipan yang langsung saya ambil dari tulisan Kant tersebut, hati saya jadi teriris rasanya. Narasi yang ada di dalam buku ini merupakan tanda bahwa kita selama ini masih memandang manusia sebagai alat untuk pencapaian kekuasaan, alat pembenaran tindakan kejam, sebagai alat untuk melanggengkan otoritas yang sebenarnya tidak sah, dan tidak pernah boleh menjadi sah selama darah dan daging manusia adalah harga yang harus dibayar.

Penderitaan tidak boleh pernah menjadi Trauma!

Akan tetapi, janganlah kita terlarut dan terjebak dalam retorika penderitaan dan trauma negatif yang mungkin tidak ada ujungnya ini. “Sahabatku”, demikian tulis Sumarwan, “catatan ini tidak kumaksudkan untuk membawamu larut di dalam kesedihan” (hal. 207), tetapi mengajak kita untuk berjuang dengan hati, pikiran, kaki dan tangan kita untuk menjawab harapan para korban, mendampingi, dan berjuang untuk mereka.

Sumarwan mengajak kita untuk berani berharap menghadapi tantangan yang menghalangi di dalam proses perjuangan mengungkap kebenaran dan mewujudkan cita-cita rekonsiliasi serta akuntabilitas atas semua peristiwa pelanggaran HAM, terutama korban ’65. Namun, api di dalam dada haruslah tetap berkobar dan dijaga nyalanya dengan terus menerus tanpa kenal lelah menceritakan kisah-kisah korban yang terlupakan (hal. 380). Harapan indah yang butuh terus direalisasikan oleh kita semua, pembacanya.

Reza Antonius Alexander Wattimena
Peminat HAM