Fenomenologi Horor dan Kekerasan Massa
Reza Alexander
“Kematian kini tak lebih dari …nilai tukar”
Baudrillard
Berbagai bentuk kejahatan, korupsi, kekerasan, dan penipuan akhir-akhir ini sungguh menghantam dengan keras sendi-sendi moral bangsa kita. Proses dehumanisasi dan irasionalisasi tampak menggerogoti tubuh perpolitikan dan ekonomi dengan skala gigantis, yang menoreh luka batin kolektif dalam kesadaran mental rakyat secara mendalam. Teror bom, berbagai drama kekerasan, pembantaian lewat sambung menyambung tanpa ada solusi yang signifikan, dan tanpa kemampuan untuk membangkitkan kesadaran moral apa pun. Pelenyapan harta benda dan jiwa manusia, entah itu akibat ulah manusia ataupun bencana alam, tetap berlanjut tanpa ada sesuatu pun yang mampu memutus rantainya. Kita bisa menyoroti ketidakberdayaan aparatur negara, mandulnya penegakan hukum, reaksi masyarakat yang sudah acuh tak acuh ketika bertatapan dengan euforia kekerasan dan horor yang seakan-akan tak habis-habisnya.
Kekerasan di dalam masyarakat kita seakan seperti drama tragedi yang tidak pernah berakhir. Ekses dari kekerasan beruntun semacam itu adalah trauma kolektif, yang membekas dan menorehkan luka di dalam mental serta kesadaran korban dan rakyat sebagai keseluruhan. Menapaki fenomena horor dan kekerasan semacam itu, apa sebenarnya yang terjadi di tengah bangsa ini, terutama ketika kita menyoroti fenomena negatif itu di dalam tingkat individu dan masyarakat? Perubahan kesadaran individual ataupun kultural, sosial, apa yang sedang terjadi, sehingga nilai-nilai individual, kultural, sosial, moral, dan spiritual seakan terkikis abis dalam arus kekerasan, brutalitas, dan sadisme? Bagaimana peristiwa kekerasan tersebut dapat dimengerti sebagai suatu peristiwa psikologis, sosial, dan kultural?
Di titik ini, tilikan filosofis tentang makna dari kekerasan tentu akan mampu membawa kita untuk menggali makna dan hakekat dari perubahan ini secara lebih mendalam. Tindakan kekerasan yang tengah melanda bangsa kita, dari 1965 sampai sekarang, sangatlah masif dan gigantis, sehingga diperlukan kajian empiris dan obyektif yang juga tajam. Pada tulisan ini, saya akan memaparkan berbagai kemungkinan pengkajian dan interpretasi terhadap kekerasan itu sendiri.
Bangkitnya Kekuatan Horor
Secara intuitif, kita dapat merasakan adanya kekuatan tak terlihat dan aktor-aktor kekerasan tanpa nama dibalik semua fenomena kekerasan kolektif, yang telah meracuni sendi mental moral bangsa ini. “Ini,” demikian Piliang, “adalah kekuatan-kekuatan horor”. Kekuatan horor ini belum dapat, dan mungkin tidak akan dapat, dikonseptualisasikan secara utuh, koheren, dan sistematis, tetapi kita dapat merasakan dan mencium kehadirannya. Ia telah menularkan berjuta kekerasan, kebrutalan, kecemasan, ketakutan, keputusasaan, berjuta teror, intimidasi, ancaman, kepanikan, kegilaan, walaupun tetap bermain tersembunyi di balik punggung masyarakat.
Bangsa kita berpuluh-puluh tahun hidup di bawah kungkungan berbagai kekuatan horor tersebut. Walaupun begitu, kekuatan-kekuatan horor tersebut masih diam tersembunyi, tanpa pernah menampakkan dirinya secara nyata. Yang dapat dipaparkan adalah gejala-gejala maupun sindrom-sindrom dari berbagai kekuatan horor itu, bahwa kekuatan horor tersebut detik ini sedang menciptakan dan mengkondisikan kebrutalan di berbagai lapisan masyarakat. Ia juga mampu mengerti dan memahami perasaaan, hasrat, emosi, fantasi, serta segala mimpi masyarakat, dan kemudian memanipulasi emosi kolektif masyarakat tersebut demi tujuan-tujuan dominasi dan penguasaan. Dengan menerapkan taktik strategis khas Machiavellian, kekuatan horor tersebut mehalalkan teror, intimidasi, dan penyiksaan demi merealisasikan tujuan-tujuannya. Proyek destruktif agresif mencapai tujuan dominasi itu didukung dengan finansial yang sangat sehat, dan sumber daya manusia yang sangat profesional dalam menjalankan strategi agresif destruktif.
Kekerasan yang dituai dari kekuatan horor tersebut bukan hanya kekerasan fisik, melainkan juga kekerasan simbolik dan kekerasan yang menyerang psikis manusia. Kebrutalan tidak hanya menyentuh arena fisik dalam bentuk lahirnya senjata-senjata pemusnah massal baru, melainkan juga kebrutalan tanda. Aspek brutal dalam bentuk tindakan penjarahan juga tidak hanya menghantam penjarahan harta benda, melainkan juga penjarahan yang bersifat spiritual. Tindakan agresif destruktif tidak hanya dalam bentuk aksi terorisme, melainkan juga agresivitas ekonomi. Aspek kegilaan juga tidak hanya meyentuh kegilaan mental, tetapi juga kegilaan akan kekuasaan. Tak bisa dipungkiri lagi, realitas telah menyediakan dunia yang penuh dengan horor di depan mata kita.
Efek dari praktek kekuatan-kekuatan horor tersebut telah menyentuh kesadaran mental masyarakat kita, sehingga “masyarakat kita,” demikian Berger & Luckman, “tercetak oleh karakter sosial yang sangat keras ini”. Kejahatan telah berubah wujudnya menjadi suatu aksi terorganisir secara rapi, serta dikembangkan dengan tingkat komplekstisitas, baik itu teknologi, manajemen, dan politik, yang terus menerus meningkat.
Jika kita menoleh ke dalam ranah perkembangan kesadaran masyarakat Indonesia, kita akan melihat perubahan sosial yang cukup esktrem. “Dari kondisi hanyut di dalam ekstasi kemewahan,” demikian Piliang, “menuju ekstrem lain berupa ekstrasi pembunuhan, kriminalitas, pembakaran”. Dari gejala ini, kita bisa menyimpulkan bahwa bangsa kita telah kehilangan sesuatu yang sangat penting, yakni akal sehat dan kontrol diri. Kita tenggelam di dalam dua ekstrem pada momen yang sama, yakni ekstremitas kemewahan di satu sisi, dan ekstermitas kekerasan di sisi lain, tanpa bisa mengendalikan diri.
“Kekerasan dan agresivitas,” demikian Erich Fromm, “bukanlah satu sifat yang berdiri sendiri, melainkan suatu bagian dari sebuah sindrom”. Artinya, kita menemukan gejala kekerasan dan agresivitas hidup bersamaan dengan kualitas-kualitas lain di dalam sebuah sistem, seperti hirarki yang kaku, terlalu kuatnya penguasaan, terpecahnya masyarakat di dalam kelas-kelas, dan sebagainya. “Agresi,” demikian tulisnya, “harus dipahami sebagai bagian dari karakter sosial yang dibentuk secara kultural, berupa nilai-nilai yang ditanamkan pada masyarakat kekerasan, dengan demikian tidak dapat dipisahkan dari kondisi sosial dengan segala bentuk konflik, pertentangan, serta perubahan yang ada di dalamnya”.
Dalam banyak kasus kekerasan di Indonesia, kita dapat melihat adanya aspek-aspek eksternal yang merangsang berkembangnya kekerasan, seperti ketidakadilan, kesenjangan, kesewenang-wenangan, dan sebagainya. Konflik merupakan aspek eksternal yang paling memungkinkan sebagai penyulut api tindakan kekerasan massal. Sebut saja konflik agama di Tasikmalaya, Timor Timur, Situbondo, dan Ketapang. Juga tengoklah konflik suku di Irian dan Sanggau-Ledo, konflik ras di Jakarta, Medan dan Solo, konflik antar kampung di Tanah Abang dan Manggarai, dan berderet-deret peristiwa negatif berdarah akibat konflik lainnya. Yang harus menjadi fokus kita dibalik semua peristiwa negatif bersimbah darah ini adalah penciptaan konflik yang diusung oleh kekuatan-kekuatan horor tertentu di tangan para penguasa, baik itu politik maupun ekonomi.
Ada aspek-aspek internal subyektif yang menjadi penyulut lahirnya tindakan kekerasan. “Berbagai tindakan kekerasan,” demikian Fromm, “banyak dilatarbelakangi oleh dorongan untuk mencapai keadaan trance, ini adalah penghancuran yang bersifat ekstasis”. Apa itu ekstasis? Ekstasi adalah suatu keadaan mental yang mencapai puncak ketika jiwa secara tiba-tiba naik menuju tingkat pengalaman yang melampaui kenyataan sehari-hari, sehingga mencapai tingkat kebahagiaan yang luar biasa, diiringi trance, dan kemudian pencerahan. Ciri utama dari orang yang sedang mengalami ekstasi adalah bahwa orang itu bukan lagi dirinya yang sebelumnya. Ia menjadi sesuatu yang lain. Dalam konteks Indonesia, berdasarkan data wawancara, banyak pihak yang melakukan tindak kekerasan merasa bahwa mereka dikuasai oleh suatu kekuatan tertentu, yang membawanya pada semacam kepuasan puncak. Pada titik puncak ekstasis itu, kita tidak lagi menjadi diri kita seutuhnya, kita dikuasai oleh kenikmatan dalam bentuk tindak kekejaman dan brutal.
“Ada dua bentuk agresivitas dalam masyarakat,” demikian Fromm, “pertama adalah tindakan agresif defensif yang merupakan tindak kekerasan atas nama mempertahankan diri. Kedua agresi jahat yakni kejahatan demi kejahatan itu sendiri”. Dalam konteks Indonesia, contoh dari tindak kekerasan yang pertama adalah tindakan para santri yang mempertahankan dirinya dari serbuan ninja, atau tindakan para anggota dan partisan PDI Perjuangan dalam melindungi kantornya. Contoh tindak kekerasan yang kedua adalah penjarahan, pembakaran rumah, pengrusakan kantor polisi, dan sebagainya. Akan tetapi, kedua bentuk kekerasan ini dapat terjadi bersamaan dan diciptakan dengan mengacu pada suatu skenario kekuasaan tertentu, yang diciptakan oleh para penguasa.
Sakit Jiwakah kita? Fenomenologi Kegilaan
Menapaki dan menghayati berbagai tindak kekerasan dan kejahatan di masyarakat mungkin bisa membuat kita sejenak berkaca dan bertanya, sakit jiwakah kita? Jawaban atas pertanyaan itu sangat tergantung dari bagaimana kita memaknai konsep sakit jiwa. Jika sakit jiwa dimaknai sebagai kondisi manusia yang didikte oleh hasrat, emosi, dan amarahnya, maka pertanyaan itu akan mengundang jawaban yang positif. Dalam arti tertentu, berbagai bentuk perisitiwa horor negatif destruktif yang terjadi di masyarakat kita dapat dilihat sebagai suatu gejala kegilaan institusional yang tengah menjangkiti dasar-dasar mental bangsa kita.
“Kesehatan jiwa di dalam suatu masyarakat,” demikian Fromm, “dapat tercapai bila anggota masyarakat tersebut berkembang ke arah kedewasaan yang utuh, sesuai dengan hukum dan sifat-sifat kodrati manusia. Di titik lain, kesakitjiwaan masyarakat terjadi akibat kegagalan mencapai tingkat perkembangan tersebut”. Di dalam konteks Indonesia, kegagalan mencapai tingkat kedewasaan yang dirumuskan Fromm tersebut tampak dari mandegnya pelaksanaan hukum, serta terjadinya peristiwa-peristiwa negatif di tataran politik-sosial-ekonomi, yang sudah irasional dan tidak manusiawi. Lebih dari itu, hukum kini justru menjadi “anjing penjaga” yang menjamin tetap berlangsungnya proses penggilaan masyarakat tersebut. Kategori kegilaan yang saya acu disini adalah gila harta, gila kedudukan, gila kekuasaan, gila hormat, gila popularitas, dan sebagainya. Bentuk-bentuk kegilaan seperti ini telah menjangkiti dan menusuk masyarakat kita, serta menjadi parasit yang terus menjalar dan menghisap pada setiap tingkatan lapisan pemerintahan kita.
“Gangguan pada pikiran,” demikian tulis Foucault, “adalah akibat dari penyerahan buta kita pada hasrat-hasrat kita sendiri, ketidakmampuan mengontrol dan menjinakkan hawa nafsu kita, dan merupakan kondisi menuju kegilaan”. Kegilaan, dimana didalamnya jiwa didikte oleh hasrat, berupaya keras mencari penyaluran untuk hasrat-hasrat yang tak tertahankan tersebut. Penyaluran hasrat yang berlebihan itu, di tataran sosial, dapat dilihat dalam segala bentuk kompromi hukum, pemutarbalikan hukum dan fakta, sehingga menciptakan lubang bagi lahirnya kejahatan. Dalam kondisi kegilaan, manusia terpenjara di dalam fragmen-fragmen fantasi, imajinasi, dan sesuatu yang tidak nyata. Kegilaan muncul ketika manusia terobsesi dengan kebanggaan, citra, dan prestise yang bersifat semu, sehingga yang terbentuk adalah kesadaran akan realitas yang bersifat semu, tidak nyata.
Jika kita menoleh ke era orde baru, pembangunan fisiknya, yang dalam arti tertentu mengagumkan, adalah sebuah bentuk paling nyata tentang tanda-tanda kegilaan di tataran kolektif. Artinya, pembangunan yang dilaksanakan ditopang dengan perhitungan dan manajemen yang handal, tetapi tidak dilengkapi dengan kondisi kesadaran mental yang memadai. Pembangunan, alih-alih dilaksankan atas dasar kehendak baik dan ketulusan, ternyata merupakan bentuk pelepasan kehendak untuk kuasa yang tak dapat dikontrol lagi. Hal tersebut dapat kita cermati pada proyek-proyek pembangunan yang dilaksanakan pada masa itu, yakni gedung-gedung yang berlomba mencetak rekor ketinggian, pusat perbelajaan yang berlomba-lomba mencari gelar termewah, lapangan golf yang semakin hari semakin memperluas areanya, dan sebagainya. Ilusi kebanggaan semu tersebut, pada akhirnya, harus dibayar dengan korban bangsa sendiri yang terintimidasi oleh kemiskinan, perampasan hak milik, ancaman, teror, penculikan paksa, pembredelan pers, dan sebagainya.
“Di dalam kegilaan,” demikian Foucault, “orang menipu dirinya sendiri. Orang gila dituntun oleh kepalsuan citra maka ia memenjarakan dirinya di dalam lingkaran kesadaran palsu…. Kegilaan adalah kondisi dimana hasrat dibawa menuju kebutaan”. Pemerintah kita telah juga dirasuki oleh kebutaan semacam itu. Nafsu untuk berkuasa yang tak tertahankan lagi ditambah dengan kebutaan akan mengubah paradigma pembangunan kita menjadi paradigma kekerasan.
“Kegilaan,” demikian tulis Julia Kristeva, “telah memenjarakan manusia di dalam sikap kebinatangan, berkubang di dalam muntahannya sendiri, mengembara melampaui segala fantasi kekerasan, darah dan kematian. Manusia berkubang di dalam lembah kekelaman dengan tidak ada sisa tentang rasa puas, ilusi, atau harapan. Inilah sebuah horor neraka yang tanpa Tuhan….tidak ada tempat bagi rasa memaafkan ”. Di dalam kancah perpolitikan kita, paradigma kekerasan dapat diimbangi dan disembunyikan dengan berbagai bentuk topeng dan kosmetik politis, yang akhirnya menghidangkan kesemuan dan kepalsuan. Sifat agresif destruktif realitas perpolitikan kita, seperti pengkhianatan, pembantaian, penjarahan, penggusuran ilegal, dibungkus dengan senyum, dan dengan hati sedingin gunung es. Di titik ini, wajah-wajah kebencian masyarakat bersatu dengan wajah kepuasan mayoritas yang berdiam diri.
Lunturnya Moralitas
Berkembangnya irasionalitas dan kegilaan di tataran kolektif kesadaran masyarakat kita juga merubah disposisi moral yang telah ada di dalamnya. Fakta bahwa semakin kaburnya batas-batas moral tidaklah dapat dipungkiri lagi. Melihat fenomena ini, saya meminjam analisis dari George Bataille, ia menulis “berkembangnya suatu kondisi dimana ukuran-ukuran moralitas yang ada tidak dapat dipegang lagi, situasi yang berkembang telah melampaui batas-batas baik dan buruk, benar dan salah, indah dan jelek”. Ia menamakan kondisi ini sebagai hipermoralitas, yakni semakin kaburnya batas-batas antara yang baik dan buruk tersebut telah menyudutkan masyarakat kita ke arah krisis legitimasi moral. “Krisis legitimasi (moral),” demikian Jürgen Habermas, “menyebabkan tidak didengarnya lagi oleh masyarakat nasihat-nasihat moral dari pihak yang berwewenang (penguasa), oleh karena mereka sendiri yang justru dianggap mempercontohkan tindakan-tindakan pelanggaran moral”.
Efek dari pencemaran tangan penguasa di dalam kancah nilai-nilai moral tradisional telah memicu gerakan pembebasan total dari nilai-nilai moralitas konvensional. Ketika aparat yang berwewenang tidak lagi mampu menyelesaikan persoalan hukum dan keadilan, masyarakat lalu mencari celah untuk menciptakan keadilan dengan caranya sendiri. Sikap masyarakat ini didorong oleh tendensi apatisme terhadap hukum. “Moralitas yang mengambang ini,” demikian Julia Kristeva, “adalah abjeksi moral, dimana individu atau masyarakat tenggelam di dalam jurang moralitas yang paling rendah, lenyapnya batas antara baik dan buruk,…”. Mengambangnya nilai-nilai moralitas konvensional telah melahirkan apa yang disebut sebagai ambiguitas moral, yakni penghujatan yang didampingi dengan senyum, penjarahan dan penggusuran atas nama pembangunan, pembunuhan dan penyiksaan atas nama persatuan dan kesatuan bangsa, kejahatan yang dibungkus dengan embel-embel kepahlawanan, dan sebagainya.
Abjeksi moral adalah suatu kondisi dimana hukum dan moralitas dimanipulasi, dipermainkan, diputarbalikan, serta dibelokan arahnya demi kepentingan kekuasaan. Gerak manipulatif penuh penipuan tersebut telah meremukan kepercayaan masyarakat yang sesungguhnya sangatlah tipis. Bentuk ketidakpercayaan kolektif masyarakat atas pemerintahnya ini telah mencabut legitimasi pemerintah itu sendiri, yang dianggap telah mempermainkan moralitas. “Sebuah permainan keadilan,” demikian J.F Lyoard, “dimana hukum dianggap tak lebih dari sebuah ajang permainan bahasa”. Inilah asumsi yang bercokol di dalam benak masyarakat sekarang ini.
Penentuan apa yang benar dan salah, apa yang baik dan buruk, dilakukan dengan menempuh permainan kata-kata, karena dianggap dapat menyembunyikan, menunda, mengambangkan, atau bahkan membelokan persoalan keadilan yang sesungguhnya sangat mendesak. Misalnya penggunaan kalimat, “akan diusut tuntas,” “sedang dalam penyelidikan,” “sedang dikumpulkan bukti-bukti”, dan sebagainya “merupakan,” demikian Piliang, “suatu cara mengambangkan persoalan sampai pada suatu ketika persoalan tersebut dilupakan”.
Selain itu, pihak yang berwewenang juga dicurigai bermain dengan aturan hukum yang telah sah dan disepakati bersama. Permainan tersebut bukan untuk mencari dan menemukan kebenaran serta keadilan, melainkan justru untuk menyembunyikan kadilan dan kebenaran, serta membuatnya tunduk di bawah kepentingan dominasi kekuasaan. Ada campur baur, kekaburan, dengan penentuan seenaknya saja siapa yang berbuat jahat, korupsi, melanggar hukum, dan melakukan tindak kekerasan. “Kamu jahat,” demikian Nietzsche, “maka saya adalah kebalikan dari kamu, sebab itu saya tidak jahat”. Dengan demikian, ukuran kebenaran dan keadilan tidak lagi mengacu pada apa yang disepakati bersama dalam rumusan hukum, melainkan berdasar pada selera siapa yang sedang berkuasa saat itu.
Berada di dalam kondisi pengambangan moralitas dan hukum semacam itu, masyarakat cenderung mencari pemecahan atas persoalan-persoalan keadilan dengan caranya sendiri. Krisis legitimasi terhadap hukum dan tatanan pemerintah yang berlaku bermuara pada meluasnya bahasa-bahasa rakyat itu sendiri untuk mencari keadilan, yakni bahasa keadilan rakyat. Bahasa keadilan rakyat adalah bahasa kekerasan, penjarahan, pembakaran, pembunuhan, penghancuran. Perasaan kolektif yang negatif dan emosi kolektif yang dipendam telah semakin memperpanas kondisi mental masyarakat kita, sehingga muncul iklim kekerasan yang terus meningkat, seperti dendam kolektif, kekerasan, kemarahan, rasa tidak aman, kesenjangan sosial, keputusasaan, dan sebagainya.
Kemana Bangsa Kita Mengarah?
“Kekerasan dan kejahatan,” demikian tulis Michel Serres, “tidak akan pernah dapat dilenyapkan”. Maksimal yang dapat dilakukan adalah meminimalisir efek-efek destruktifnya, sehingga realitas negatif tersebut masih berada di dalam kontrol tatanan yang legitim.
“Tindakan kejahatan dan kekeraan,” demikian Tulis Fromm, “akan sangat dipengaruhi oleh karakter kolektif suatu bangsa”. Tingkat kemajuan suatu bangsa sama sekali tidak berbanding terbalik dengan tingkat kejahatan yang eksis di rahim bangsa tersebut. Semakin modern suatu bangsa tidak berarti semakin minimnya kejahatan. Yang terjadi justru sebaliknya. “Di negara-negara dengan tingkat kemakmuran tinggi,” tambahnya, “justru disana berkembang lebih banyak sindrom sakit jiwa dan kejahatan sadistik”.
Sistem ekonomi dan politik yang berlaku di dalam masyarakat juga akan sangat berpengaruh pada tingkat pertumbuhan prosentase kekerasan. Di dalam sebuah negara yang menganut sistem ekonomi kapitalisme yang belum dewasa seperti Indonesia, peluang konflik dan kekerasan massa juga terbuka lebih lebar. Misalnya kasus kerusuhan yang terjadi Pinrang. Tindak kekerasan massa yang terjadi disini merupakan efek dari kekecewaan terhadap logika kapitalisme, seperti munculnya bank-bank gelap yang bertujuan utama meraup keuntungan sebesar-besarnya tanpa mengindahkan etika dan moralitas. Bank-bank gelap tersebut telah mengubah karakter mental penduduk, dari semula pekerja keras, ulet, namun ramah, menjadi beringas dan haus uang serta kekuasaan. Di bawah bendera kapitalisme yang tidak dewasa ini, masyarakat tidak lagi dapat secara jernih membedakan yang mana yang baik dan yang mana yang buruk, karena logika materialisme telah merasuk ke dalam pikiran hampir setiap individu dalam masyarakat. Oleh karena itu, untuk mewujudkan ide-ide masyarakat tanpa kekerasan, kita perlu mengupayakan pendekatan yang menyeluruh terhadap budaya maupun mentalitas kekerasan yang telah terlanjur menjangkiti benak masyarakat kita. Dengan kata lain, sebuah fenomena tindak kekerasan harus dilihat dalam struktur tindak kekerasan yang lebih luas, seperti kekerasan politik, kekerasan ekonomi, kekerasan kultural, kekerasan media, dan sebagainya. Harus dibangun sebuah sistem ekonomi dan politik yang dapat meminimalisir penggunaan, kalau perlu menyingkirkan, kekerasan. Kalau budaya kekerasan di dalam sistem ekonomi dan politik masih dilestarikan, yang terjadi adalah merajalelanya mentalitas kekerasan tersebut di dalam setiap dimensi kehidupan mental dan fisik masyarakat kita. Pada titik ini, lembaga-lembaga keagamaan yang kritis terhadap ketidakadilan dan inklusif harus ditunjang keberadaannya, terutama untuk mencegah dan meminimalisir bertumbuhnya tindak kejahatan yang berskala global. Akan tetapi, sebelum itu mulailah dari apa yang kita sentuh sehari-hari. Segala sesuatu yang besar berawal dari langkah kecil, begitu pula dengan upaya-upaya pembasmian kekerasan.
Daftar Pustaka
Michel Serres, Conversations of Science Culture and Time, The University of Michigan Press, 1990.
Yasraf Amir Piliang, Transpolitika: Dinamika Politik di dalam Era Virtualitas, Yogyakarta, Jalasutra, 2005
Friedrich Nietzsche, Genealogy of Moral, Anchor Double Days, 1956.
J.F Lyotard, Just Gaming, University of Minnesota Press, 1981.
Jürgen Habermas, Legitimation Crisis, Polity Press, 1981.
George Bataille, Literature and Evil, Marion Boyars, 1993
Julia Kristeva, Power of Horrors: An Essay on Abjection, Columbia University Press, 1982
Michel Foucault, Madness and Civilization. A History of Insanity in the Age of Reason, Routledge, 1989
Erich Fromm, The Sane Society, A Fawcett Premiere Book, 1955
Erich Fromm, The Anatomy of Human Destructiveness, Holt, Reinhardt & Winston, 1989
Peter Berger & Thomas Luckman, The Social Construction of Reality, Penguin Books, 1981
Menyukai ini:
Suka Memuat...