Praktek suap selalu melibatkan dua pihak, yakni yang disuap dan penyuap. Keduanya perlu ada supaya praktek suap terjadi. Tak adil jika kita hanya menyalahkan pihak yang disuap. Dalam hal ini keduanya sama bersalahnya.
Apa yang ada di balik mental para penyuap? Inilah pertanyaan yang kiranya terlupakan di balik segala analisis tentang korupsi, terutama yang terkait dengan lembaga publik. Tanpa analisis semacam ini, pengetahuan kita soal fenomena korupsi, terutama praktek suap, terjebak pada satu sisi semata. Pengetahuan yang hanya berfokus pada satu sisi sebenarnya tidak layak disebut sebagai pengetahuan, melainkan semata prasangka.
Mentalitas Jalan Pintas
Salah satu keutamaan mendasar manusia adalah keteguhan bertekun di dalam proses. Segala keberhasilan muncul melalui tempaan waktu dan peristiwa. Orang tidak bisa sukses dalam sekejap mata. Ia perlu menempuh tantangan hidup yang mungkin saja menggetarkan jiwa.
Di Indonesia sekarang ini, keutamaan semacam itu semakin langka. Orang tidak tahan bertekun di dalam proses. Orang tidak tahan hidup dalam tantangan. Akibatnya mereka mencari jalan pintas untuk mencapai sukses yang jauh dari kematangan.
Orang mau cepat kaya. Namun ia tidak mau berusaha sepenuh tenaga. Orang mau memperoleh kemudahan, tanpa memberikan kontribusi nyata. Mentalitas sukses melalui jalan pintas inilah yang kini menjadi trend di masyarakat kita.
Inilah yang menjadi pola pikir para penyuap. Mereka tidak sabar dengan birokrasi dan prosedur. Padahal birokrasi dan prosedur tidak selalu buruk, namun justru dibuat untuk menjamin hasil yang berkualitas. Para penyuap tidak sabar dengan semua itu, lalu menyuap untuk melancarkan jalan menuju sukses yang semu.
Mentalitas jalan pintas ini haruslah disadari, lalu dilenyapkan. Mentalitas jalan pintas merombak sistem dan aturan yang ada, demi kepentingan sesaat mereka. Alhasil sistem dan aturan lalu kehilangan wibawa. Jalan pintas yang diambil para penyuap menjadi preseden untuk para penyuap lainnya, guna melakukan praktek yang sama.