Tukang Suap

bribe Oleh: REZA A.A WATTIMENA

Praktek suap selalu melibatkan dua pihak, yakni yang disuap dan penyuap. Keduanya perlu ada supaya praktek suap terjadi. Tak adil jika kita hanya menyalahkan pihak yang disuap. Dalam hal ini keduanya sama bersalahnya.

Apa yang ada di balik mental para penyuap? Inilah pertanyaan yang kiranya terlupakan di balik segala analisis tentang korupsi, terutama yang terkait dengan lembaga publik. Tanpa analisis semacam ini, pengetahuan kita soal fenomena korupsi, terutama praktek suap, terjebak pada satu sisi semata. Pengetahuan yang hanya berfokus pada satu sisi sebenarnya tidak layak disebut sebagai pengetahuan, melainkan semata prasangka.

Mentalitas Jalan Pintas

Salah satu keutamaan mendasar manusia adalah keteguhan bertekun di dalam proses. Segala keberhasilan muncul melalui tempaan waktu dan peristiwa. Orang tidak bisa sukses dalam sekejap mata. Ia perlu menempuh tantangan hidup yang mungkin saja menggetarkan jiwa.

Di Indonesia sekarang ini, keutamaan semacam itu semakin langka. Orang tidak tahan bertekun di dalam proses. Orang tidak tahan hidup dalam tantangan. Akibatnya mereka mencari jalan pintas untuk mencapai sukses yang jauh dari kematangan.

Orang mau cepat kaya. Namun ia tidak mau berusaha sepenuh tenaga. Orang mau memperoleh kemudahan, tanpa memberikan kontribusi nyata. Mentalitas sukses melalui jalan pintas inilah yang kini menjadi trend di masyarakat kita.

Inilah yang menjadi pola pikir para penyuap. Mereka tidak sabar dengan birokrasi dan prosedur. Padahal birokrasi dan prosedur tidak selalu buruk, namun justru dibuat untuk menjamin hasil yang berkualitas. Para penyuap tidak sabar dengan semua itu, lalu menyuap untuk melancarkan jalan menuju sukses yang semu.

Mentalitas jalan pintas ini haruslah disadari, lalu dilenyapkan. Mentalitas jalan pintas merombak sistem dan aturan yang ada, demi kepentingan sesaat mereka. Alhasil sistem dan aturan lalu kehilangan wibawa. Jalan pintas yang diambil para penyuap menjadi preseden untuk para penyuap lainnya, guna melakukan praktek yang sama.

Feodalisme Modern

Di dalam masyarakat demokratis yang sehat, birokrasi menjamin, bahwa semua orang akan mendapatkan giliran, lepas apapun status ekonomi ataupun kulturalnya. Semua orang setara di hadapan hukum dan birokrasi negara, begitu prinsipnya. Ini semua menjamin bahwa diskriminasi harus dilenyapkan, apapun bentuk diskriminasi itu. Jika ini diterapkan maka keadilan tidak lagi sekedar retorika.

Di Indonesia sekarang ini, orang-orang yang memiliki uang dan kuasa merasa diri lebih tinggi dari warga negara lainnya. Mereka merasa sebagai bangsawan-bangsawan modern yang patut untuk mendapatkan privilese yang tidak seharusnya ada. Salah satu bentuk konkret dari sikap para bangsawan modern semu ini adalah praktek suap untuk memudahkan usaha mereka. Ketika uang bukan lagi masalah, maka mereka rela membayar berapapun untuk memperoleh jalan pintas di hadapan birokrasi negara.

Pola berpikir semacam ini saya sebut sebagai pola berpikir feodalisme modern. Ketika monarki sudah berganti, para bangsawan tidaklah lenyap, melainkan berganti muka menjadi para manajer perusahaan raksasa, ataupun pemuka-pemuka agama yang merasa punya kuasa. Mereka merasa memiliki status lebih tinggi, dan berani menyuap untuk mewujudkan kepentingan mereka, apapun itu. Feodalisme modern semacam ini akan merugikan demokrasi dan sistem hukum yang ada, serta menciptakan ketidakadilan di masyarakat.

Maka masyarakat tidak boleh terpesona oleh gelar-gelar manajer, pendidikan, ataupun keagamaan. Bagaimana pun orang-orang yang menyandang gelar tersebut tetaplah warga negara yang harus berdiri setara dengan warga negara lainnya di hadapan hukum. Feodalisme modern semacam ini perlu dikikis dan dilenyapkan. Hanya dengan begitu demokrasi serta kewibaan hukum bisa dipulihkan, dan kita bisa mulai bekerja secara konkret menciptakan kesejahteraan bersama.

Akal Budi Teknis-instrumental

Pada hakekatnya manusia adalah mahluk rasional yang mampu berpikir. Ia mampu memahami alam dan dirinya sendiri secara mendalam, walaupun tidak menyeluruh. Inilah wujud konkret dari diktum klasik Filsafat Yunani Kuno, bahwa manusia adalah binatang yang berakal. Dengan akal budinya manusia mempertahankan dan mengembangkan keberadaannya di dunia.

Namun sayangnya di Indonesia sekarang ini, akal budi itu jarang digunakan. Orang tidak lagi berpikir secara mendalam. Yang menjadi fokus mereka hanya hal-hal teknis. Mereka berfokus pada bagaimana mencapai sesuatu, tanpa pernah bertanya, apa esensi dari sesuatu itu, dan mengapa kita perlu melakukannya.

Pendek kata akal budi telah berubah menjadi semata teknis-instrumental, yakni hanya sebagai alat untuk membenarkan tujuan-tujuan yang seringkali tidak masuk akal. Akal budi tidak lagi digunakan secara maksimal untuk memahami alam dan diri secara mendalam. Akal budi hanya digunakan untuk memanipulasi dan menciptakan intrik, guna mencapai tujuan-tujuan khas kekuasaan semu semata.

Inilah akal budi khas para penyuap. Para penyuap tidak saja melanggar sistem hukum dan mencoreng reputasi demokrasi, melainkan juga menyangkal kodrat alami mereka sebagai mahluk yang mampu berpikir secara mendalam tentang nilai-nilai kehidupan. Akal budi mereka dipasung menjadi teknis dan instrumental semata. Walaupun tampak gemerlap dan mewah, hidup mereka sebenarnya tak bermakna.

Inilah pola berpikir yang bercokol di hati dan kepala para penyuap. Dengan mentalitas jalan pintas untuk mencapai kuasa, kebanggaan diri semua khas bangsawan-bangsawan monarki kuno, serta akal budi yang tidak lagi berpikir menyeluruh dan mendalam soal kehidupan, mereka melakukan praktek suap, tanpa peduli akibatnya. Jika itu dibiarkan maka keadilan tidak akan tercipta. Tanpa keadilan masyarakat akan memberontak.

Inilah yang kiranya terjadi di berbagai negara di Afrika Utara dan Timur Tengah sekarang ini. Jangan sampai hal yang serupa terjadi Indonesia. ***

Penulis

Reza A.A Wattimena

Dosen Filsafat Politik,

Fakultas Filsafat UNIKA Widya Mandala, Surabaya

Gambar dari http://travelmass.files.wordpress.com/2009/12/bribe.gif?w=450

Diterbitkan oleh

Reza A.A Wattimena

Peneliti di bidang Filsafat Politik, Filsafat Ilmu dan Kebijaksanaan Timur. Alumni Sekolah Tinggi Filsafat Driyarkara Jakarta, Doktor Filsafat dari Hochschule für Philosophie München, Philosophische Fakultät SJ München, Jerman. Beberapa karyanya: Menjadi Pemimpin Sejati (2012), Filsafat Anti Korupsi (2012), Tentang Manusia (2016), Filsafat dan Sains (2008), Zen dan Jalan Pembebasan (2017-2018), Melampaui Negara Hukum Klasik (2007), Demokrasi: Dasar dan Tantangannya (2016), Bahagia, Kenapa Tidak? (2015), Cosmopolitanism in International Relations (2018), Protopia Philosophia (2019), Memahami Hubungan Internasional Kontemporer (20019), Mendidik Manusia (2020), Untuk Semua yang Beragama (2020), Terjatuh Lalu Terbang (2020), Urban Zen (2021), Revolusi Pendidikan (2022) dan berbagai karya lainnya.

2 tanggapan untuk “Tukang Suap”

  1. Mengapa kita bisa menyuap? Karena ada yang menawarkan kemungkinan kemudahan melalui setoran duit. Andai hal demikian tidak ada, maka penyuapan akan menjadi hal yang tidak dianggap mudah.

    Seorang sahabat ayah saya, orang Bali, mengatakan bahwa apabila seorang dari kasta Waisya menyuap seorang Ksatrya; yang salah pertama-tama adalah orang yang berasal dari kasta Ksatrya itu. Ini karena sebagai orang yang berasal dari kasta yang lebih tinggi, dia sudah seharusnya lebih paham mengapa penyuapan ini tidak layak. Dia seharusnya paham bahwa ini merendahkan nilai-nilai yang harus dia junjung sebagai kasta yang lebih tinggi.

    Ini menarik karena sesuangguhnya strata-strata ini bukan semata mencerminkan siapa yang lebih tinggi dari siapa, tapi juga siap yang harusnya memberi pengaruh positif pada siapa. Pada kasus negeri kita, orang-orang yang seharusnya melihat dirinya sebagai kelompok terhormat pelayan publik dan penjaga wibawa negara, ternyata bermental bagai kuli atau buruh kasar yang melakukan pekerja asal dibayar.

    Sedihnya, saya pernah bertemu kuli atau pekerja kasar yang lebih punya kehormatan dan harga diri 😦

    Suka

  2. ya. Penyuapan juga terjadi karena para pejabat publik tidak merasa, bahwa mereka memiliki status terhormat sebagai penjaga keadaban publik. Mungkin kita perlu melakukan revolusi definisi tentang apa artinya menjadi pegawai negeri dan pejabat publik.

    Beberapa teman saya ingin jadi pegawai negeri, supaya bisa cepat kaya melalui korupsi. Kasian sekali bangsa kita memang.

    Suka

Tinggalkan Balasan

Isikan data di bawah atau klik salah satu ikon untuk log in:

Logo WordPress.com

You are commenting using your WordPress.com account. Logout /  Ubah )

Gambar Twitter

You are commenting using your Twitter account. Logout /  Ubah )

Foto Facebook

You are commenting using your Facebook account. Logout /  Ubah )

Connecting to %s

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.