Inspirasi dari Semarang: Gegar Komunikasi Politik

12352268
4.bp.blogspot.com

Oleh: Saifur Rohman

Pernyataan Ketua DPR digugat sejumlah lembaga swadaya masyarakat karena dinilai melecehkan status tenaga kerja Indonesia.

Pernyataan itu dia keluarkan dalam konteks menanggapi persoalan TKI yang mencuat akhir- akhir ini (Kompas, 1/3).

Sebelumnya, Sekretaris Kabinet Dipo Alam disomasi dan akhirnya dilaporkan kepada polisi gara-gara mengancam boikot sejumlah media massa.

Pada saat bersamaan, sejumlah elite politik tantang-menantang untuk keluar dari Sekretariat Gabungan Koalisi Partai Politik Pendukung Pemerintah.

Kasus-kasus yang berdekatan waktu itu membuktikan betapa elite politik dan pemerintahan selama ini mengalami krisis komunikasi. Apabila direfleksikan dalam pembangunan demokrasi kita, dapat dikatakan mereka belum mampu membangun komunikasi politik yang efektif.

Mengapa? Pertanyaan itu penting untuk menjawab pertanyaan selanjutnya: apa implikasinya bagi perkembangan demokrasi apabila hal ini terus terjadi?

Strategi komunikasi lemah

Kasus tersebut sebetulnya bukan peristiwa yang pertama kali terjadi. Dengan demikian, berdasarkan rentetan kasus yang terjadi dulu dan sekarang, bisa ditarik suatu hipotesis sederhana: bahwa para elite kita tak memiliki kemampuan membangun strategi berkomunikasi yang kondusif untuk merealisasikan idealisme demokrasi di negeri ini.

Mereka gagal menerjemahkan peristiwa-peristiwa aktual di masyarakat menjadi rumusan pernyataan yang jelas dan bisa dipahami secara normatif. Kegagalan itu bahkan memberikan bukti tidak adanya kejelasan visi membangun bangsa ini.

Dalam kancah filsafat politik, kita tahu dari Jurgen Habermas dalam buku klasiknya, Theory of Communicative Action (1988), bahwa membangun demokrasi partisipatoris memerlukan kemampuan komunikasi politik yang kuat. Konteks ideal yang dibayangkan Habermas adalah terjadinya dialog antara pembicara dan penutur secara intensif, terbuka, dan setara. Apabila konteks ideal itu tidak terwujud, Habermas menawarkan tiga uji keabsahan terhadap pernyataan dialogis tersebut, yakni uji kejelasan arti, kesungguhan maksud, dan kebenaran faktual.

Uji kejelasan diperlukan karena ada dugaan bahwa kalimat yang diutarakan tidak sesuai dengan arti yang berlaku umum (1988: 232).

Jika kalimat sudah memiliki kejelasan leksikal, perlu ditelusuri pada tingkat uji kedua karena bisa jadi kalimat yang diungkapkan tak sesuai dengan yang dimaksud penutur.

Jika pernyataan sesuai dengan maksudnya, diperlukan uji ketiga untuk mengonfirmasi makna dengan fakta-fakta empiris.

Dalam teori pragmatika yang dikembangkan ilmu bahasa, hal ini selaras dengan teori sederhana tindak tutur (speech act) yang pernah dikembangkan oleh Austin dalam How to Do Things with Words (1980). Dikatakan, ada tiga unsur yang perlu ditelusuri dalam berbahasa, yakni maksud penutur, tuturan itu sendiri, dan pemaknaan pendengar. Karena itu, menurut Austin, ”Keterampilan bertindak tutur secara signifikan meminimalisasi konflik dalam pembangunan demokrasi (1980: 43).”

Relevansinya dalam komunikasi politik akhir-akhir ini, tampak para elite kita tidak memiliki kompetensi berkomunikasi yang memadai. Buktinya, seorang pejabat pemerintah lebih memilih jalur hukum daripada membangun ruang dialog untuk mengklarifikasi pernyataannya. Hal itu karena penutur beranggapan tak ada ambiguitas arti dalam pernyataan.

Bukti lain, wakil rakyat yang tetap mempertahankan pernyataannya daripada mengakui bahwa pernyataan itu tak sesuai dengan arti yang berlaku umum.

Bukti-bukti tersebut mengindikasikan lemahnya pemahaman atas strategi komunikasi politik yang sehat. Wajar bilamana yang terjadi kemudian adalah kontradiksi pernyataan dalam organisasi pemerintahan itu sendiri.

Kontraproduktif

Kurangnya kemampuan berkomunikasi memberikan dampak kontraproduktif. Demokrasi yang didasari oleh dialog partisipatif antara pemerintahan dan rakyat tak mendapatkan dukungan yang signifikan dari para pengelola. Kenyataannya, pengelola negara minim kemampuan berkomunikasi dengan warga. Maka, ajang demokrasi hanya menjadi legitimasi ”kebebasan berpendapat” tanpa kemampuan memahami cara berpendapat yang elegan.

Jika kemampuan para elite cukup memadai, tidak akan terjadi akrobat kata-kata yang berujung pada konflik berkepanjangan. Semestinya, karena pengelola negara mampu memahami maksud-maksud warga, mereka akan menjalankan keinginan rakyat sebagai pedoman.

Persoalannya, maksud rakyat yang diungkapkan melalui bahasa selama ini hanya dipahami sebagai kumpulan aksara yang bisa dipermainkan sesuai dengan maksud penutur.

Mengikuti wawasan dekonstruksi Jacques Derrida, politik dipahami sebagai permainan tanda. Bahasa telah menjadi arena permainan baru dalam skema politik tawar-menawar.

Inilah jawaban kenapa kasus-kasus besar bangsa ini hanya berhenti dalam perdebatan rapat dan istilah-istilah mentereng dalam keputusan. Maksud warga negara hanya diterjemahkan dalam permainan bahasa tanpa kejelasan, kesungguhan, bahkan tanpa kebenaran.

Saifur Rohman Pengajar Filsafat; Menetap di Semarang

Sumber : http://cetak.kompas.com/read/2011/03/07/03335445/gegar.komunikasi.politik


Iklan

Diterbitkan oleh

Reza A.A Wattimena

Pendiri Rumah Filsafat. Peneliti di bidang Filsafat Politik, Filsafat Ilmu dan Kebijaksanaan Timur. Alumni Sekolah Tinggi Filsafat Driyarkara Jakarta, Doktor Filsafat dari Hochschule für Philosophie München, Philosophische Fakultät SJ München, Jerman. Beberapa karyanya: Menjadi Pemimpin Sejati (2012), Filsafat Anti Korupsi (2012), Tentang Manusia (2016), Filsafat dan Sains (2008), Zen dan Jalan Pembebasan (2017-2018), Melampaui Negara Hukum Klasik (2007), Demokrasi: Dasar dan Tantangannya (2016), Bahagia, Kenapa Tidak? (2015), Cosmopolitanism in International Relations (2018), Protopia Philosophia (2019), Memahami Hubungan Internasional Kontemporer (20019), Mendidik Manusia (2020), Untuk Semua yang Beragama (2020), Terjatuh Lalu Terbang (2020), Urban Zen (2021), Revolusi Pendidikan (2022), Filsafat untuk Kehidupan (2023), Teori Transformasi Kesadaran (2023) dan berbagai karya lainnya.

Tinggalkan Balasan

Isikan data di bawah atau klik salah satu ikon untuk log in:

Logo WordPress.com

You are commenting using your WordPress.com account. Logout /  Ubah )

Foto Facebook

You are commenting using your Facebook account. Logout /  Ubah )

Connecting to %s

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.