
Filsafat Politik Plato di dalam buku Politeia
Oleh Reza A.A Wattimena
Sedang Penelitian Filsafat Politik di München, Jerman
All we need is love, kata The Beatles, band Inggris di dekade 1960-an. Suara John Lennon yang khas dengan indah melantunkan lagu tersebut. Petikan bas dari Paul McCartney dan ketukan drum dari Ringo Star yang unik menjadi dasar dari lagu tersebut. Namun, apakah isi lirik tersebut benar, bahwa all we need is love: yang kita butuhkan hanya cinta?
Jika cinta disamakan dengan emosi sesaat atau dorongan seks belaka, maka jawabannya pasti “tidak”. Namun, saya merasa, kata “cinta” mesti diberikan makna baru yang lebih mendalam disini. Belajar dari Plato, terutama dalam bukunya yang berjudul Politeia, cinta haruslah ditafsirkan sebagai keadilan dan kebenaran. Perpaduan dua hal itu lalu akan menghasilkan kebahagiaan.
Adalah penting bagi kita di Indonesia untuk memikirkan hal ini secara mendalam, terutama menyambut pemilu 2014 yang akan menghasilkan tata politik baru di Indonesia. Pemahaman tentang keadilan, kebenaran dan kebahagiaan adalah kunci dari politik yang bersih, yang bisa memberikan kesejahteraan untuk seluruh rakyat. Ia juga adalah kunci untuk mencapai hidup yang bahagia dan bermutu. Tentang hal ini, kita bisa belajar banyak dari buku Politeia.
Politeia
Politeia ditulis oleh Plato sekitar 370 SM. Ini adalah salah satu buku yang paling baca dibaca dan diacu di dalam sejarah filsafat barat. Di dalam buku ini, Plato membahas seluruh tema di dalam sejarah filsafat yang masih digeluti sampai sekarang ini.1 Tak heran, jika Alfred North Whitehead, filsuf asal Inggris, menyatakan, bahwa seluruh sejarah filsafat barat adalah catatan kaki, atau tambahan saja, dari pemikiran Plato.
Seperti karya-karya Plato lainnya, Politeia adalah sebuah dialog. Tokoh utamanya adalah Sokrates. Buku ini ditulis di masa tua Plato. Gaya menulisnya sangat sistematik, dan terdiri dari sekitar 400 halaman. Banyak ahli yang menyatakan, bahwa buku ini adalah karya terpenting dari Plato.
Di dalam buku ini dilukiskan, bagaimana Sokrates menerima undangan untuk berdiskusi dengan beberapa orang penting di Athena pada masa itu. Ia tidak hanya mengutarakan pendapat-pendapatnya secara sistematik, tetapi juga banyak menggunakan perumpamaan dan mitos, guna menyampaikan pemikirannya. Siegfried menyatakan, bahwa Politeia dapat juga dilihat sebagai karya sastra yang bermutu tinggi, sekaligus memiliki bobot filosofis yang mendalam.
Keadilan
Topik utama dari buku ini adalah pertanyaan tentang keadilan. Ada 10 bagian (10 buku) dari Politeia yang kesemuanya mengajukan pertanyaan dan dialog tentang arti keadilan. Dua buku pertama berisi tentang berbagai paham soal keadilan yang sudah ada sebelumnya. Bagi Sokrates, semua paham tersebut tidak memadai, dan perlu untuk dipikirkan ulang dari sudut pandang yang berbeda.
Pengandaian dasar Sokrates adalah, bahwa negara itu mirip seperti manusia. Susunan negara itu sama seperti susunan diri manusia. Yang berbeda hanya ukurannya. Negara adalah manusia dalam ukuran yang besar, namun memiliki bagian-bagian yang sama.
Lalu, Sokrates mulai merumuskan bentuk negara yang ideal. Sebagian besar buku Politeia mencoba menjelaskan bentuk negara yang ideal tersebut. Baginya, negara yang ideal itu terdiri dari tiga bagian, yakni bagian penguasa, bagian penjaga dan bagian rakyat. Negara tersebut berfungsi dengan baik, jika ketiga bagian itu menjalankan tugasnya masing-masing secara teratur dan terpercaya.
Tugas bagian penjaga, dapat juga disebut sebagai kelas penjaga, adalah menjaga keamanan seluruh negara. Ia tidak boleh begitu saja memulai peperangan atau melakukan kekerasan, jika tindakan tersebut justru mendorong terciptanya ketidakamanan bagi negara. Penjaga bukanlah tentara perang, melainkan penjaga perdamaian.
Dari kelas penjaga ini, ada orang-orang tertentu yang kemudian diangkat menjadi kelas penguasa. Mereka dianggap sebagai orang-orang yang lebih unggul dalam hal kecerdasan dan keutamaan hidup. Mereka dianggap lebih bijaksana, sehingga layak untuk menjadi pemimpin negara. Mereka adalah para filsuf yang memiliki pengetahuan mendalam soal politik dan filsafat.
Inilah pendapat Plato yang paling terkenal di dalam filsafat politik, yakni soal konsep filsuf-raja. Sebagai pemimpin negara, ia tidak boleh memiliki hak milik pribadi. Ia juga tidak boleh memiliki kemewahan-kemewahan hidup lainnya. Ini semua dilakukan untuk mencegah korupsi di dalam politik yang akan menghancurkan seluruh negara.
Penguasa negara justru harus menjalani hidup yang sederhana. Plato percaya pada hukum baja kekuasaan, bahwa siapa yang memiliki kemewahan, pasti akan menginginkannya lebih banyak lagi, dan pasti akan mengorbankan kepentingan orang lain. Kekuasaan, dengan demikian, harus dipisahkan dari kemewahan. Hanya dengan begitu, kekuasaan bisa dijauhkan dari korupsi, dan digunakan untuk memimpin serta mengembangkan negara.
Para penguasa hidup dengan akal budinya. Para penjaga hidup dengan kekuatannya, atau dengan vitalitasnya sebagai manusia. Dan rakyat hidup dengan mengikuti hasrat-hasratnya. Setiap bagian dari diri manusia ini, dan juga kelas-kelas di dalam masyarakat, memiliki keutamaannya masing-masing.
Keutamaan seorang penguasa adalah kebijaksanaan yang diperoleh melalui akal budinya. Keutamaan seorang penjaga adalah keberanian dengan berpijak pada vitalitas hidupnya. Sementara, keutamaan rakyat adalah kesederhanaan atau kemampuan menahan diri dari dorongan hasrat-hasratnya.
Dalam konteks ini, keadilan adalah keseimbangan yang harmonis di antara tiga kelas itu dengan keutamaannya masing-masing. Di dalam negara yang adil, para penguasa membuat keputusan dengan kebijaksanannya, para penjaga menjalankan dan keputusan tersebut dengan keberaniannya, serta rakyat mengikuti keputusan tersebut sesuai dengan aturan yang telah dibuat oleh para penguasa. Setiap orang menjalankan apa yang menjadi bagian dan keutamaan hidupnya.
Jiwa Manusia
Jiwa manusia pun juga harus memiliki pola semacam ini. Akal budi menentukan tindakan manusia. Kekuatan hidup mendorongnya untuk berani menjalankan keputusan-keputusannya. Dan keutamaan pengendalian diri digunakan untuk mengatur hasrat-hasratnya.
Keseimbangan yang harmonis diantara ketiga hal ini adalah keadilan. Jika manusia juga menjalankan cara berpikir ini, maka ia tidak hanya akan menjadi manusia yang adil, tetapi juga bahagia. Keseimbangan adalah keadilan sekaligus kebahagiaan. Inilah inti dari filsafat politik Plato.
Buku Politeia tidak hanya berisi filsafat politik, tetapi juga pemikiran Plato di bidang metafisika (filsafat tentang hakekat dari seluruh kenyataan yang ada) dan epistemologi (filsafat pengetahuan). Ia merumuskan argumennya dalam kaitan dengan pendidikan para pemimpin politik, yakni pendidikan para filsuf raja itu sendiri. Di dalamnya, ada juga teori Plato soal Ide-ide (Ideen) dan perumpaan tentang gua (Höhlengleichnis) yang amat terkenal itu.
Ide yang tertinggi menerangi pikiran para filsuf-raja tersebut, sehingga mereka bisa menemukan kebijaksanaan dengan berpijak pada akal budi. Ide yang tertinggi ini disebut Plato sebagai “yang baik” itu sendiri. Mata kita melihat benda-benda yang ada di kenyataan. Akan tetapi, ia tidak dapat melakukannya sendirian. Ia membutuhkan bantuan lain yang disebut Plato sebagai pancaran dari “yang baik” itu sendiri.
“Yang baik” itu seperti matahari yang menghasilkan cahaya. Berkat cahaya itu, kita lalu bisa melihat benda-benda di kenyataan. Berkat “yang baik” ini, kita lalu bisa mengetahui hal-hal di kenyataan. Pada titik ini, Plato berbicara soal perumpamaan gua.
Gua Plato
Beberapa orang duduk di dalam gua. Tangan dan kakinya diikat oleh rantai. Ia tidak bisa bergerak, dan hanya bisa melihat lurus ke depan. Di depannya, ada api yang menjadi satu-satunya sumber cahaya di gua itu.
Namun, di antara orang-orang yang terikat rantai dan api tersebut terdapat dinding. Akibatnya, yang mereka lihat hanyalah bayang-bayang dari pantulan cahaya api di gua yang gelap tersebut. Ia tidak bisa melihat hal-hal lainnya, selain bayangan yang ada di depan matanya. Ia mengira bayang-bayang tersebut sebagai kenyataan dan kebenaran.
Ada satu orang yang bisa melepaskan ikatan rantainya, dan mengubah posisi pandangannya. Ia pun melihat api yang ada secara langsung. Ia pun sadar, bahwa yang ia lihat selama ini hanyalah bayangan pantulan semata, dan bukan kenyataan. Teman-temannya berkata, bahwa bayang-bayang itulah kenyataan dan kebenaran yang sesungguhnya. Orang itu tidak lagi percaya, karena ia sudah melihat api di dalam gua itu.
Setelah itu, ia mulai berjalan keluar dari gua. Ia melihat matahari di luar gua di hari yang cerah. Awalnya, ia tidak lagi dapat melihat, karena terlalu silau. Namun, dengan berlalunya waktu, ia mulai terbiasa dengan cahaya matahari yang ada, dan mulai melihat kenyataan yang sesungguhnya.
Ketika masih hidup terikat rantai di dalam gua, ia hanya mengetahui bayang-bayang, karena itu satu-satunya yang dialaminya. Namun, sekarang ia sadar, bahwa dulu, ia telah hidup dalam ilusi. Ia hidup dalam kenyamanan bayang-bayang yang jauh dari kebenaran dan kenyataan. Namun, kini ia sadar, bahwa ada kenyataan lain yang jauh lebih kaya daripada kenyataan bayang-bayang yang ia alami dulu.
Dengan cerita ini, Plato ingin menggambarkan proses orang belajar filsafat. Ia harus menghancurkan rantai-rantai yang mengikat dirinya. Ia harus melihat api di dalam gua yang menjadi sumber dari bayang-bayang (lambang dari pengetahuan yang palsu) yang dilihatnya. Lalu, ia harus keluar untuk melihat matahari. Di titik ini, matahari adalah simbol dari kebenaran dan kebijaksanaan yang menjadi tujuan dari filsafat.
Setelah itu, ia memutuskan untuk kembali ke gua, guna membantu teman-teman lainnya, supaya bisa melepaskan diri dari bayang-bayang, dan melihat matahari. Namun, di dalam gua, ia tidak lagi dapat melihat, karena matanya telah terbiasa dengan matahari. Gua, tempat ia tinggal dulu, kini terasa terlalu gelap. Ia mencoba menjelaskan kepada teman-temannya, bahwa mereka hidup dalam bayang-bayang palsu, dan bahwa mereka harus berusaha melepaskan diri dari rantai yang membelenggu mereka, dan keluar dari gua, guna melihat matahari. Namun, teman-temannya berpendapat, bahwa ia telah menjadi gila.
Ia diminta untuk diam. Bahkan, ia diancam dengan kekerasan. Dengan ini, Plato menggambarkan secara tepat kehidupan seorang filsuf. Para filsuf, melalui proses refleksi dan berpikir dengan akal budi, telah melihat kebenaran dan kebijaksanaan di luar. Lalu, ia kembali ke masyarakat untuk menyampaikan kebenaran itu. Namun, masyarakat mengira, bahwa sang filsuf telah menjadi gila, dan mengabaikan semua ucapannya.
Pada bagian terakhir buku Politeia, Plato kembali menyampaikan pemikirannya soal keabadian jiwa. Inti dari pemikirannya adalah soal proses kelahiran kembali dari manusia, setelah ia mati. Ia juga menyampaikan pendapatnya soal jiwa yang terus bergerak dan berpindah, setelah manusia mati. Pada titik ini, mitos Yunani Kuno dan filsafat rasional kembali bercampur baur di dalam filsafat Plato.
Refleksi
Dari Plato, di dalam bukunya yang berjudul Politeia, kita bisa belajar soal inti dari keadilan. Menurut Plato, inti dari keadilan adalah harmoni, yakni ketika setiap orang menjalankan kewajibannya sebagai warga negara dengan baik. Ketika penguasa memerintah dengan bijak, ketika para prajurit menjaga perdamaian (dan bukan mengobarkan perang), dan ketika rakyat hidup dengan pengendalian diri, kita lalu bisa mendirikan masyarakat yang adil.
Pada tingkat pribadi, keadilan adalah kebahagiaan jiwa. Ini hanya dapat dicapai, jika manusia bisa mengontrol vitalitas diri dan hasrat-hasratnya dengan akal budi. Ketika manusia bisa memutuskan dengan akal budi, menerapkan keputusan itu dengan keberanian dan vitalitas hidupnya, serta menata hasrat-hasrat dirinya dengan pengendalian diri, maka ia akan hidup dengan bahagia.
Plato juga mengajak kita untuk bersikap kritis dengan segala pikiran dan kepercayaan kita. Dengan perumpamaan gua, ia melihat pikiran dan kepercayaan kita sebagai rantai yang mengikat kita, sehingga tak bisa bergerak. Kita pun lalu hidup dalam bayang-bayang kepalsuan saja di dalam gua yang gelap. Namun, dengan usaha kita, rantai bisa dihancurkan, dan kita bisa keluar dari gua, guna melihat matahari yang adalah lambang dari kebenaran dan kebijaksanaan. Akan tetapi, ini sama sekali bukan proses yang mudah.
Ketika orang kembali dari luar gua ke dalam gua, ia akan dianggap gila. Ini sama dengan para filsuf yang telah mendalami filsafat, lalu mencoba menjelaskan apa yang ia perolah di dalam prosesnya, dan dianggap gila serta aneh oleh teman-temannya sendiri. Namun, Plato juga menegaskan, negara yang adil hanya dapat melalui kepemimpinan seorang filsuf-raja, yakni orang yang memiliki pengetahuan mendalam tentang filsafat dan politik. Ia adalah orang yang telah keluar dari gua (kepalsuan) dan melihat matahari (kebenaran), lalu kembali untuk berpolitik.
Belajar dari Plato, kita perlu untuk mencapai harmoni, baik di dalam jiwa dan di dalam kehidupan pribadi. Harmoni adalah keadilan sekaligus kebahagiaan. Kita perlu berpikir dengan menggunakan akal budi kita, supaya bisa menata hasrat-hasrat yang bergerak keras di dalam diri kita. Akal budi ini bukan hanya akal budi pribadi saja, tetapi akal budi politik, yang digunakan untuk menata kehidupan bersama.
1 Saya mengikuti uraian König, Siegfried, Hauptwerke der Philosophie: Von der Antike bis 20. Jahrhundert, 2013 dan Plato, Republic, Cambridge University Press, Cambridge, 2011. Editor dari buku ini adalah James Adam.
Wadooooow bagus banget pak mencerahkan dan tulisannya mudah dipahami. Trims banget.
SukaSuka
sama2. salam kenal ya
SukaSuka