Peranan Filsafat bagi Perkembangan Ilmu Psikologi

Google Images

Peranan filsafat bagi

Perkembangan Ilmu Psikologi

Reza A.A Wattimena

Filsafat bisa menegaskan akar historis ilmu psikologi. Seperti kita tahu, psikologi, dan semua ilmu lainnya, merupakan pecahan dari filsafat. Di dalam filsafat, kita juga bisa menemukan refleksi-refleksi yang cukup mendalam tentang konsep jiwa dan perilaku manusia. Refleksi-refleksi semacam itu dapat ditemukan baik di dalam teks-teks kuno filsafat, maupun teks-teks filsafat modern. Dengan mempelajari ini, para psikolog akan semakin memahami akar historis dari ilmu mereka, serta pergulatan-pergulatan macam apa yang terjadi di dalamnya. Saya pernah menawarkan kuliah membaca teks-teks kuno Aristoteles dan Thomas Aquinas tentang konsep jiwa dan manusia. Menurut saya, teks-teks kuno tersebut menawarkan sudut pandang dan pemikiran baru yang berguna bagi perkembangan ilmu psikologi.

Secara khusus, filsafat bisa memberikan kerangka berpikir yang sistematis, logis, dan rasional bagi para psikolog, baik praktisi maupun akademisi. Dengan ilmu logika, yang merupakan salah satu cabang filsafat, para psikolog dibekali kerangka berpikir yang kiranya sangat berguna di dalam kerja-kerja mereka. Seluruh ilmu pengetahuan dibangun di atas dasar logika, dan begitu pula psikologi. Metode pendekatan serta penarikan kesimpulan seluruhnya didasarkan pada prinsip-prinsip logika. Dengan mempelajari logika secara sistematis, para psikolog bisa mulai mengembangkan ilmu psikologi secara sistematis, logis, dan rasional. Dalam hal ini, logika klasik dan logika kontemporer dapat menjadi sumbangan cara berpikir yang besar bagi ilmu psikologi.

Filsafat juga memiliki cabang yang kiranya cukup penting bagi perkembangan ilmu psikologi,yakni etika. Yang dimaksud etika disini adalah ilmu tentang moral. Sementara, moral sendiri berarti segala sesuatu yang terkait dengan baik dan buruk. Di dalam praktek ilmiah, para ilmuwan membutuhkan etika sebagai panduan, sehingga penelitiannya tidak melanggar nilai-nilai moral dasar, seperti kebebasan dan hak-hak asasi manusia. Sebagai praktisi, seorang psikolog membutuhkan panduan etis di dalam kerja-kerja mereka. Panduan etis ini biasanya diterjemahkan dalam bentuk kode etik profesi psikologi. Etika, atau yang banyak dikenal sebagai filsafat moral, hendak memberikan konsep berpikir yang jelas dan sistematis bagi kode etik tersebut, sehingga bisa diterima secara masuk akal. Perkembangan ilmu, termasuk psikologi, haruslah bergerak sejalan dengan perkembangan kesadaran etis para ilmuwan dan praktisi. Jika tidak, ilmu akan menjadi penjajah manusia. Sesuatu yang tentunya tidak kita inginkan.

Salah satu cabang filsafat yang kiranya sangat mempengaruhi psikologi adalah eksistensialisme. Tokoh-tokohnya adalah Soren Kierkegaard, Friedrich Nietzsche, Viktor Frankl, Jean-Paul Sartre, dan Rollo May. Eksistensialisme sendiri adalah cabang filsafat yang merefleksikan manusia yang selalu bereksistensi di dalam hidupnya. Jadi, manusia dipandang sebagai individu yang terus menjadi, yang berproses mencari makna dan tujuan di dalam hidupnya. Eksistensialisme merefleksikan problem-problem manusia sebagai individu, seperti tentang makna, kecemasan, otentisitas, dan tujuan hidup. Dalam konteks psikologi, eksistensialisme mengental menjadi pendekatan psikologi eksistensial, atau yang banyak dikenal sebagai terapi eksistensial. Berbeda dengan behaviorisme, terapi eksistensial memandang manusia sebagai subyek yang memiliki kesadaran dan kebebasan. Jadi, terapinya pun disusun dengan berdasarkan pada pengandaian itu. Saya pernah memberikan kuliah psikologi eksistensial, dan menurut saya, temanya sangat relevan, supaya ilmu psikologi menjadi lebih manusiawi. Ini adalah pendekatan alternatif bagi psikologi klinis.

Dalam metode, filsafat bisa menyumbangkan metode fenomenologi sebagai alternatif pendekatan di dalam ilmu psikologi. Fenomenologi sendiri memang berkembang di dalam filsafat. Tokoh yang berpengaruh adalah Edmund Husserl, Martin Heidegger, Alfred Schultz, dan Jean-Paul Sartre. Ciri khas fenomenologi adalah pendekatannya yang mau secara radikal memahami hakekat dari realitas tanpa terjatuh pada asumsi-asumsi yang telah dimiliki terlebih dahulu oleh seorang ilmuwan. Fenomenologi ingin memahami benda sebagai mana adanya. Slogan fenomenologi adalah kembalilah kepada obyek itu sendiri. Semua asumsi ditunda terlebih dahulu, supaya obyek bisa tampil apa adanya kepada peneliti. Metode fenomenologi dapat dijadikan alternatif dari pendekatan kuantitatif, yang memang masih dominan di dalam dunia ilmu psikologi di Indonesia. Dengan menggunakan metode ini, penelitian psikologi akan menjadi semakin manusiawi, dan akan semakin mampu menangkap apa yang sesungguhnya terjadi di dalam realitas.

Filsafat juga bisa mengangkat asumsi-asumsi yang terdapat di dalam ilmu psikologi. Selain mengangkat asumsi, filsafat juga bisa berperan sebagai fungsi kritik terhadap asumsi tersebut. Kritik disini bukan diartikan sebagai suatu kritik menghancurkan, tetapi sebagai kritik konstruktif, supaya ilmu psikologi bisa berkembang ke arah yang lebih manusiawi, dan semakin mampu memahami realitas kehidupan manusia. Asumsi itu biasanya dibagi menjadi tiga, yakni asumsi antropologis, asumsi metafisis, dan asumsi epistemologis. Filsafat dapat menjadi pisau analisis yang mampu mengangkat sekaligus menjernihkan ketiga asumsi tersebut secara sistematis dan rasional. Fungsi kritik terhadap asumsi ini penting, supaya ilmu psikologi bisa tetap kritis terhadap dirinya sendiri, dan semakin berkembang ke arah yang lebih manusiawi.

Dalam konteks perkembangan psikologi sosial, filsafat juga bisa memberikan wacana maupun sudut pandang baru dalam bentuk refleksi teori-teori sosial kontemporer. Di dalam filsafat sosial, yang merupakan salah satu cabang filsafat, para filsuf diperkaya dengan berbagai cara memandang fenomena sosial-politik, seperti kekuasaan, massa, masyarakat, negara, legitimasi, hukum, ekonomi, maupun budaya. Dengan teori-teori yang membahas semua itu, filsafat sosial bisa memberikan sumbangan yang besar bagi perkembangan psikologi sosial, sekaligus sebagai bentuk dialog antar ilmu yang komprehensif.

Filsafat ilmu, sebagai salah satu cabang filsafat, juga bisa memberikan sumbangan besar bagi perkembangan ilmu psikologi. Filsafat ilmu adalah cabang filsafat yang hendak merefleksikan konsep-konsep yang diandaikan begitu saja oleh para ilmuwan, seperti konsep metode, obyektivitas, penarikan kesimpulan, dan konsep standar kebenaran suatu pernyataan ilmiah. Hal ini penting, supaya ilmuwan dapat semakin kritis terhadap pola kegiatan ilmiahnya sendiri, dan mengembangkannya sesuai kebutuhan masyarakat. Psikolog sebagai seorang ilmuwan tentunya juga memerlukan kemampuan berpikir yang ditawarkan oleh filsafat ilmu ini. Tujuannya adalah, supaya para psikolog tetap sadar bahwa ilmu pada dasarnya tidak pernah bisa mencapai kepastian mutlak, melainkan hanya pada level probabilitas. Dengan begitu, para psikolog bisa menjadi ilmuwan yang rendah hati, yang sadar betul akan batas-batas ilmunya, dan terhindar dari sikap saintisme, yakni sikap memuja ilmu pengetahuan sebagai satu-satunya sumber kebenaran.

Terakhir, filsafat bisa menawarkan cara berpikir yang radikal, sistematis, dan rasional terhadap ilmu psikologi, sehingga ilmu psikologi bisa menjelajah ke lahan-lahan yang tadinya belum tersentuh. Teori psikologi tradisional masih percaya, bahwa manusia bisa diperlakukan sebagai individu mutlak. Teori psikologi tradisional juga masih percaya, bahwa manusia bisa diperlakukan sebagai obyek. Dengan cara berpikir yang terdapat di dalam displin filsafat, ‘kepercayaan-kepercayaan’ teori psikologi tradisional tersebut bisa ditelaah kembali, sekaligus dicarikan kemungkinan-kemungkinan pendekatan baru yang lebih tepat. Salah satu contohnya adalah, bagaimana paradigma positivisme di dalam psikologi kini sudah mulai digugat, dan dicarikan alternatifnya yang lebih memadai, seperti teori aktivitas yang berbasis pada pemikiran Marxis, psikologi budaya yang menempatkan manusia di dalam konteks, dan teori-teori lainnya.***

Penulis adalah Dosen Filsafat Politik, Fakultas Filsafat UNIKA Widya Mandala Surabaya


Diterbitkan oleh

Reza A.A Wattimena

Pendiri Rumah Filsafat. Peneliti di bidang Filsafat Politik, Filsafat Ilmu dan Kebijaksanaan Timur. Alumni Sekolah Tinggi Filsafat Driyarkara Jakarta, Doktor Filsafat dari Hochschule für Philosophie München, Philosophische Fakultät SJ München, Jerman. Beberapa karyanya: Menjadi Pemimpin Sejati (2012), Filsafat Anti Korupsi (2012), Tentang Manusia (2016), Filsafat dan Sains (2008), Zen dan Jalan Pembebasan (2017-2018), Melampaui Negara Hukum Klasik (2007), Demokrasi: Dasar dan Tantangannya (2016), Bahagia, Kenapa Tidak? (2015), Cosmopolitanism in International Relations (2018), Protopia Philosophia (2019), Memahami Hubungan Internasional Kontemporer (20019), Mendidik Manusia (2020), Untuk Semua yang Beragama (2020), Terjatuh Lalu Terbang (2020), Urban Zen (2021), Revolusi Pendidikan (2022), Filsafat untuk Kehidupan (2023), Teori Transformasi Kesadaran (2023) dan berbagai karya lainnya.

33 tanggapan untuk “Peranan Filsafat bagi Perkembangan Ilmu Psikologi”

  1. thank you.
    artikel ini helpful banget buat tugas akhir aku.
    bisa dijadiin referensi juga nih.
    super big thanks for the writer:D

    Suka

  2. g baru baca tulisan lo yg inih,,, hmm.. g prnah bikin tulisan persis kaya yg trakir lo tulis tuh,,tentang betapa kentalnya positivistik dlm piskologi… itu tugas akhir di kuliah filsafat ilmu Pak MIkael Dua,,,, bhwa psikologi dibuat positivistik banget oleh Wundt dg bikin laboratorium psikologi eksperimen pertama, konsep2 psikologi diboyong ke dalam lab dan dicoba diukur2… jd sejak saat itu psikologi mulai positivistik dan kadang lupa sama akarnya,,mulai semena2 menilai manusia dr data dan itung2an,, padahal hakikatnya bukan itu,,,mana bisa objek ilmunya yg namanya “manusia” itu dibikin sesederhana ituh,,mari kembali ke akar kita,,,,,hwahahahahha,,,,,,

    Suka

  3. Tulisan ini cukup lumayan dan khas tulisan orang filsafat. Tapi barangkali tidak begitu masuk ke cara berpikir orang2 psikologi sendiri, terutama di negeri ini. Kayaknya akan bertepuk sebelah tangan.

    Suka

  4. saya memang terlatih di filsafat, dan bukan psikologi. Tulisan ini pernah dipresentasikan di depan para pimpinan fakultas psikologi di salah satu universitas ternama di Jakarta. Mereka cukup antusias dan menanggapi secara positif. Diskusi pun berlangsung hangat sekaligus mendalam.

    Suka

  5. Sewaktu saya menulis ini, saya tidak menggunakan buku apapun. Seluruh isi tulisan ini mengalir begitu saja dari kepala saya. Salah satu sumber yang cukup banyak saya gunakan adalah buku saya sendiri Filsafat dan Sains (Jakarta, Grasindo, 2008). Sisanya muncul dari diskusi bersama teman-teman.

    Suka

  6. 1. Sebenarnya, apa saja pertanyaan-pertanyaan yang khas dari ilmu psikologi? Untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan yang khas itu, bagaimana caranya?

    2. Ada setidaknya dua pengetahuan yaitu pengetahuan empirik-faktual dan logis-formal (lihat Isaiah Berlin dalam The Power of Idea di bab tentang the purpose of philosophy ) Nah pertanyaan-pertanyaan khas tadi (no.1) bisa dijawab dengan kategori pengetahuan yang mana dan mengapa demikian ya pak?

    Suka

  7. 1. Saya tidak mendalami psikologi secara khusus, jadi tidak bisa menjawab pertanyaan itu. Maaf.

    2. Pada hemat saya bisa keduanya. Seluruh ilmu pengetahuan dibangun atas dua fondasi Berlin tersebut, yakni data empiris dan kerangka logis konseptual. Tanpa keduanya tidak akan ada ilmu pengetahuan.

    Begitu dari saya.. terima kasih

    Suka

  8. Saya mau mencoba jawab yang nomor satu.

    Pokok ilmu psikologi adalah konstruksi perilaku. Perilaku sendiri merupakan integrasi dari komponen kognisi, afeksi/emosional dan konasi/psikomotor.
    Maka salah satu pertanyaan psikologi adalah : “Mengapa manusia tidak selalu berlaku rasional?” Salah satu alternatifnya jawabannya adalah: “Karena manusia membangun konstruksi perilakunya tidak hanya dari manifestasi rasio, tapi juga manifestasi emosional dan elaborasi secara psikomotorik. Menilik semata dari rasio tidak mencukupi dalam melihat keutuhan konstruksi perilaku”

    Suka

  9. Thank you James.

    Yang menarik adalah pertanyaan yang bisa diajukan pada pengandaian dari definisi tersebut, apakah perilaku itu merupakan integrasi atau disintegrasi? 🙂 Para pemikir posmo akan menolak konsep integrasi, karena itu masih terjebak pada presumption of coherence, seolah perilaku itu memiliki dasar yang stabil.

    Mungkin lebih tepat dikatakan, bahwa perilaku merupakan produks dari integrasi plus kontingensi, sehingga aspek patahan, ketidakterdugaan, sudah selalu tertampung di dalamnya.

    Just a thought!

    Suka

  10. Benar sekali. Itu sebuah isu pokok. Dalam konteks psikologi konvensional (istilah saya), disintegrasi itulah yang kemudian dialihrupakan dalam klasifikasi gangguan perilaku. Jadi yang integratif itu sehat, yang disintegratif itu tidak sehat. Tentu para pemikir posmo nggak setuju ini hehehehe…..
    Tapi di kalangan psikologi kontemporer, disintegrasi tidak dimaknai sebagai disintegrasi, tapi lebih sebagai dinamika perubahan psikis yang emerging. Ini bisa dilihat dalam pandangan psikologi positif, psikologi evolusi dan psikologi integral yang makin naik daun di abad 21 ini.

    Suka

  11. baru kali ini saya betah membaca tulisan berbau filsafat…
    karena saya selalu berfikir filsafat itu rumit…
    saat filsafat menerangkan mengenai psikologi (bidang ilmu yang saya sedang tekuni),
    ternyata asyik juga…

    apa bapak memang sering menulis mengenai asal psikologi dari filsafat seperti ini ?
    apa ada tulisan lain yang semisal ini yang mungkin bisa saya nikmati ?
    Terima kasih…

    Suka

  12. Filsafat tidak rumit. Filsafat itu mengubah cara berpikir, dan berarti juga mengubah hidup seseorang. Saya hanya punya tulisan ini tentang psikologi. Tapi anda bisa menikmati tulisan2 liannya.

    Thx dan salam hangat

    Suka

  13. Cukup ngenes dan prihatin baca beberapa komentar yang kurang cerdas dan ditambah bahasa yang bisa dibilang alay. Sudah jelas dicantumkan profil Pak Reza yang menurut saya SUPER karena beliau meraih gelar doktor dari Jerman dan sudah menerbitkan banyak buku serta berpengalaman menjadi pembicara. Masih saja ada yang bertanya daftar pustaka dan malah ada yang mengira beliau mahasiswa unair, dsb. Di sini terlihat bahwa educated people pun masih minim dalam budaya membaca, memahami, dan berpikir sebelum berbicara atau berkomentar. Maaf jika komentar saya kurang berkenan, saya hanya bermaksud menghormati dan mengapresiasi tulisan dan karya-karya Pak Reza yang menurut saya sangat bermanfaat bagi mahasiswa seperti saya. Terima kasih 🙂

    Suka

Tinggalkan Balasan

Isikan data di bawah atau klik salah satu ikon untuk log in:

Logo WordPress.com

You are commenting using your WordPress.com account. Logout /  Ubah )

Foto Facebook

You are commenting using your Facebook account. Logout /  Ubah )

Connecting to %s

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.