Psikologi dan Psikiatri sebagai Pseudosains

Image result for surrealism deception art, photography | Illusion  photography, Photography inspiration, Beautiful photography
Olivia Barry

Oleh Reza A.A Wattimena

Tulisan ini lahir dari rasa prihatin. Psikologi dan Psikiatri telah menipu begitu banyak orang. Di Indonesia, budaya berpikir kritis sangat tidak berkembang, sehingga kita begitu mudah ditipu oleh sesuatu. Kebodohan kita di Indonesia ini dimanfaatkan oleh ilmu psikologi dan psikiatri untuk mengeruk uang dari penderitaan yang kita alami.

Psikologi dan Psikiatri adalah pseudosains. Semakin lama, saya semakin yakin atas pandangan ini. Pseudosains adalah ilmu palsu. Ia mengaku diri sebagai ilmu pengetahuan. Padahal, aslinya, ia hanya sebentuk penipuan belaka. Lanjutkan membaca Psikologi dan Psikiatri sebagai Pseudosains

Trauma dan Jiwa Manusia

softwarewelt.de
softwarewelt.de

Belajar dari Franz Ruppert

Oleh Reza A.A Wattimena

Dosen Filsafat Politik di Fakultas Filsafat Unika Widya Mandala Surabaya, sedang di München, Jerman

Masa lalu itu penting. Kita dibentuk oleh masa lalu kita. Tentu saja, kita tetap punya kebebasan. Tetapi, kebebasan itu pun juga dibatasi oleh masa lalu kita.

Salah satu bagian masa lalu yang amat penting untuk disadari adalah tentang kehidupan orang tua kita. Sedari kecil, kita membangun hubungan dengan orang tua kita. Mereka, tentu saja, bukan manusia sempurna, tetapi memiliki segala bentuk kekurangan. Kekurangan itu pula yang membentuk kita sebagai manusia, sekaligus cara kita berpikir, merasa, dan melihat dunia, ketika kita dewasa, termasuk segala ketakutan dalam hidup kita.

Di dalam bukunya yang berjudul Trauma, Angst und Liebe: Unterwegs zu gesunder Eigenständigkeit. Wie Aufstellungen dabei helfen (2013), Franz Ruppert, Professor Psikologi sekaligus praktisi psikoloanalitik (Psychoanalytiker) di München, berpendapat, bahwa orang tua juga bisa mewarisi trauma yang mereka punya kepada anaknya. Jadi, orang tua tidak hanya mewariskan ciri fisik, tetapi juga ciri psikologis kepada anaknya. Ciri psikologis itu bisa berupa karakter diri, tetapi juga trauma. Lanjutkan membaca Trauma dan Jiwa Manusia

Ateisme dan Problematik di Belakangnya

Narasi Diskusi System Thinking Ateisme

Sabtu 9 April Pk. 09.00-11.30

Oleh Reza A.A Wattimena

Ateisme adalah tema yang kontroversial. Orang yang mengaku dirinya ateis sering dicap tidak bermoral, dan jelmaan setan. Namun kenyataan berbicara berbeda. Ternyata ada orang yang menyatakan dirinya ateis hidup amat bermoral, dan memiliki etos kerja amat baik. Apa yang terjadi? Darimana ia memperoleh sumber nilai moralnya, jika bukan dari agama?

Inilah pertanyaan-pertanyaan yang diajukan oleh Edvin Mario Suryawan, ketika menjadi pembicara dalam diskusi System Thinking Ateisme, yang dilakukan di Fakultas Psikologi, UNIKA Widya Mandala Surabaya dalam kerja sama dengan Fakultas Filsafat di universitas yang sama. Pertanyaan ini lahir dari penelitian yang dilakukan oleh Edvin untuk skripsinya di Fakultas Psikologi. Diskusi berjalan dari pk. 09.15-11.30 pada Sabtu 9 April 2011. Lanjutkan membaca Ateisme dan Problematik di Belakangnya

Peranan Filsafat bagi Perkembangan Ilmu Psikologi

Google Images

Peranan filsafat bagi

Perkembangan Ilmu Psikologi

Reza A.A Wattimena

Filsafat bisa menegaskan akar historis ilmu psikologi. Seperti kita tahu, psikologi, dan semua ilmu lainnya, merupakan pecahan dari filsafat. Di dalam filsafat, kita juga bisa menemukan refleksi-refleksi yang cukup mendalam tentang konsep jiwa dan perilaku manusia. Refleksi-refleksi semacam itu dapat ditemukan baik di dalam teks-teks kuno filsafat, maupun teks-teks filsafat modern. Dengan mempelajari ini, para psikolog akan semakin memahami akar historis dari ilmu mereka, serta pergulatan-pergulatan macam apa yang terjadi di dalamnya. Saya pernah menawarkan kuliah membaca teks-teks kuno Aristoteles dan Thomas Aquinas tentang konsep jiwa dan manusia. Menurut saya, teks-teks kuno tersebut menawarkan sudut pandang dan pemikiran baru yang berguna bagi perkembangan ilmu psikologi.

Secara khusus, filsafat bisa memberikan kerangka berpikir yang sistematis, logis, dan rasional bagi para psikolog, baik praktisi maupun akademisi. Dengan ilmu logika, yang merupakan salah satu cabang filsafat, para psikolog dibekali kerangka berpikir yang kiranya sangat berguna di dalam kerja-kerja mereka. Seluruh ilmu pengetahuan dibangun di atas dasar logika, dan begitu pula psikologi. Metode pendekatan serta penarikan kesimpulan seluruhnya didasarkan pada prinsip-prinsip logika. Dengan mempelajari logika secara sistematis, para psikolog bisa mulai mengembangkan ilmu psikologi secara sistematis, logis, dan rasional. Dalam hal ini, logika klasik dan logika kontemporer dapat menjadi sumbangan cara berpikir yang besar bagi ilmu psikologi.

Filsafat juga memiliki cabang yang kiranya cukup penting bagi perkembangan ilmu psikologi,yakni etika. Yang dimaksud etika disini adalah ilmu tentang moral. Sementara, moral sendiri berarti segala sesuatu yang terkait dengan baik dan buruk. Di dalam praktek ilmiah, para ilmuwan membutuhkan etika sebagai panduan, sehingga penelitiannya tidak melanggar nilai-nilai moral dasar, seperti kebebasan dan hak-hak asasi manusia. Sebagai praktisi, seorang psikolog membutuhkan panduan etis di dalam kerja-kerja mereka. Panduan etis ini biasanya diterjemahkan dalam bentuk kode etik profesi psikologi. Etika, atau yang banyak dikenal sebagai filsafat moral, hendak memberikan konsep berpikir yang jelas dan sistematis bagi kode etik tersebut, sehingga bisa diterima secara masuk akal. Perkembangan ilmu, termasuk psikologi, haruslah bergerak sejalan dengan perkembangan kesadaran etis para ilmuwan dan praktisi. Jika tidak, ilmu akan menjadi penjajah manusia. Sesuatu yang tentunya tidak kita inginkan.

Salah satu cabang filsafat yang kiranya sangat mempengaruhi psikologi adalah eksistensialisme. Tokoh-tokohnya adalah Soren Kierkegaard, Friedrich Nietzsche, Viktor Frankl, Jean-Paul Sartre, dan Rollo May. Eksistensialisme sendiri adalah cabang filsafat yang merefleksikan manusia yang selalu bereksistensi di dalam hidupnya. Jadi, manusia dipandang sebagai individu yang terus menjadi, yang berproses mencari makna dan tujuan di dalam hidupnya. Eksistensialisme merefleksikan problem-problem manusia sebagai individu, seperti tentang makna, kecemasan, otentisitas, dan tujuan hidup. Dalam konteks psikologi, eksistensialisme mengental menjadi pendekatan psikologi eksistensial, atau yang banyak dikenal sebagai terapi eksistensial. Berbeda dengan behaviorisme, terapi eksistensial memandang manusia sebagai subyek yang memiliki kesadaran dan kebebasan. Jadi, terapinya pun disusun dengan berdasarkan pada pengandaian itu. Saya pernah memberikan kuliah psikologi eksistensial, dan menurut saya, temanya sangat relevan, supaya ilmu psikologi menjadi lebih manusiawi. Ini adalah pendekatan alternatif bagi psikologi klinis.

Dalam metode, filsafat bisa menyumbangkan metode fenomenologi sebagai alternatif pendekatan di dalam ilmu psikologi. Fenomenologi sendiri memang berkembang di dalam filsafat. Tokoh yang berpengaruh adalah Edmund Husserl, Martin Heidegger, Alfred Schultz, dan Jean-Paul Sartre. Ciri khas fenomenologi adalah pendekatannya yang mau secara radikal memahami hakekat dari realitas tanpa terjatuh pada asumsi-asumsi yang telah dimiliki terlebih dahulu oleh seorang ilmuwan. Fenomenologi ingin memahami benda sebagai mana adanya. Slogan fenomenologi adalah kembalilah kepada obyek itu sendiri. Semua asumsi ditunda terlebih dahulu, supaya obyek bisa tampil apa adanya kepada peneliti. Metode fenomenologi dapat dijadikan alternatif dari pendekatan kuantitatif, yang memang masih dominan di dalam dunia ilmu psikologi di Indonesia. Dengan menggunakan metode ini, penelitian psikologi akan menjadi semakin manusiawi, dan akan semakin mampu menangkap apa yang sesungguhnya terjadi di dalam realitas.

Filsafat juga bisa mengangkat asumsi-asumsi yang terdapat di dalam ilmu psikologi. Selain mengangkat asumsi, filsafat juga bisa berperan sebagai fungsi kritik terhadap asumsi tersebut. Kritik disini bukan diartikan sebagai suatu kritik menghancurkan, tetapi sebagai kritik konstruktif, supaya ilmu psikologi bisa berkembang ke arah yang lebih manusiawi, dan semakin mampu memahami realitas kehidupan manusia. Asumsi itu biasanya dibagi menjadi tiga, yakni asumsi antropologis, asumsi metafisis, dan asumsi epistemologis. Filsafat dapat menjadi pisau analisis yang mampu mengangkat sekaligus menjernihkan ketiga asumsi tersebut secara sistematis dan rasional. Fungsi kritik terhadap asumsi ini penting, supaya ilmu psikologi bisa tetap kritis terhadap dirinya sendiri, dan semakin berkembang ke arah yang lebih manusiawi.

Dalam konteks perkembangan psikologi sosial, filsafat juga bisa memberikan wacana maupun sudut pandang baru dalam bentuk refleksi teori-teori sosial kontemporer. Di dalam filsafat sosial, yang merupakan salah satu cabang filsafat, para filsuf diperkaya dengan berbagai cara memandang fenomena sosial-politik, seperti kekuasaan, massa, masyarakat, negara, legitimasi, hukum, ekonomi, maupun budaya. Dengan teori-teori yang membahas semua itu, filsafat sosial bisa memberikan sumbangan yang besar bagi perkembangan psikologi sosial, sekaligus sebagai bentuk dialog antar ilmu yang komprehensif.

Filsafat ilmu, sebagai salah satu cabang filsafat, juga bisa memberikan sumbangan besar bagi perkembangan ilmu psikologi. Filsafat ilmu adalah cabang filsafat yang hendak merefleksikan konsep-konsep yang diandaikan begitu saja oleh para ilmuwan, seperti konsep metode, obyektivitas, penarikan kesimpulan, dan konsep standar kebenaran suatu pernyataan ilmiah. Hal ini penting, supaya ilmuwan dapat semakin kritis terhadap pola kegiatan ilmiahnya sendiri, dan mengembangkannya sesuai kebutuhan masyarakat. Psikolog sebagai seorang ilmuwan tentunya juga memerlukan kemampuan berpikir yang ditawarkan oleh filsafat ilmu ini. Tujuannya adalah, supaya para psikolog tetap sadar bahwa ilmu pada dasarnya tidak pernah bisa mencapai kepastian mutlak, melainkan hanya pada level probabilitas. Dengan begitu, para psikolog bisa menjadi ilmuwan yang rendah hati, yang sadar betul akan batas-batas ilmunya, dan terhindar dari sikap saintisme, yakni sikap memuja ilmu pengetahuan sebagai satu-satunya sumber kebenaran.

Terakhir, filsafat bisa menawarkan cara berpikir yang radikal, sistematis, dan rasional terhadap ilmu psikologi, sehingga ilmu psikologi bisa menjelajah ke lahan-lahan yang tadinya belum tersentuh. Teori psikologi tradisional masih percaya, bahwa manusia bisa diperlakukan sebagai individu mutlak. Teori psikologi tradisional juga masih percaya, bahwa manusia bisa diperlakukan sebagai obyek. Dengan cara berpikir yang terdapat di dalam displin filsafat, ‘kepercayaan-kepercayaan’ teori psikologi tradisional tersebut bisa ditelaah kembali, sekaligus dicarikan kemungkinan-kemungkinan pendekatan baru yang lebih tepat. Salah satu contohnya adalah, bagaimana paradigma positivisme di dalam psikologi kini sudah mulai digugat, dan dicarikan alternatifnya yang lebih memadai, seperti teori aktivitas yang berbasis pada pemikiran Marxis, psikologi budaya yang menempatkan manusia di dalam konteks, dan teori-teori lainnya.***

Penulis adalah Dosen Filsafat Politik, Fakultas Filsafat UNIKA Widya Mandala Surabaya


Filsafat Trauma Sosial

Filsafat Trauma Sosial

Sebuah kemungkinan

pemikiran bagi konsep Trauma Sosial

Reza A. A Wattimena

Untuk memahami trauma, menurut Mehta, kita perlu pertama-tama menggunakan pendekatan epistemologis (Mehta, 2006). Di dalam filsafat, epistemologi adalah cabang dari filsafat yang hendak merefleksikan segala sesuatu yang berkaitan dengan pengetahuan manusia. Pertanyaan-pertanyaan dasar, seperti bagaimana kita bisa sampai pada pengetahuan, apa batas-batas pengetahuan manusia, dan apa perbedaan antara pengetahuan ilmiah dan pengetahuan yang tidak ilmiah, adalah pertanyaan-pertanyaan yang menjadi bahan refleksi epistemologi. Dengan demikian, epistemologi dapat juga disebut sebagai teori tentang pengetahuan (theory of knowledge). (Wattimena, 2008)

Konsep trauma juga dapat direfleksikan dengan pendekatan epistemologis. Dengan pendekatan ini, menurut Mehta, kita bisa sampai pada pengertian yang cukup spesifik tentang trauma, dan perbedaannya jika dibandingkan dengan kesedihan, ataupun shock. Kita hendak mencari definisi yang cukup rigid tentang trauma. Dengan rigid, Mehta mengartikannya sebagai berikut; jika ada sesuatu yang memiliki kondisi-kondisi yang diperlukan untuk terjadinya trauma, maka itu pastilah dapat dikategorikan sebagai trauma, dan bukan kesedihan, shock, ataupun depresi. Kita akan memulai refleksi tentang trauma dengan terlebih dahulu memahami kondisi-kondisi kemungkinan (condition of possibilities) bagi terciptanya trauma.

Pertama-tama, trauma bukanlah sesuatu yang muncul dari kekosongan, melainkan memiliki sebab yang jelas. Trauma adalah akibat yang disebabkan oleh faktor-faktor tertentu. Tanpa faktor-faktor tersebut, trauma tidak akan pernah tercipta. Artinya, penyebab dari trauma adalah sesuatu ‘yang lain’ dari trauma itu sendiri.Kedua, trauma memiliki kecenderungan untuk mengalami peningkatan intensitas. Selama sebab dari trauma itu masih ada, selama itu pula intensitas trauma akan terus meningkat. Ketiga, trauma akan terus ada, walaupun sebabnya sudah tidak ada. Jadi, walaupun sebabnya sudah tidak ada, trauma akan terus ada. Trauma tidak langsung lenyap, ketika sebabnya sudah tidak ada. “Selama korban dan keturunannya masih hidup”, demikian tulis Mehta, “trauma tidak akan hilang, tetapi menyelinap secara tidak kelihatan ke dalam waktu dan ketidaksadaran.” (ibid) Dan keempat, trauma akan berlangsung selama-lamanya. Bahkan jika orang yang mengalami dan keturunannya sudah tidak ada, trauma terus ada, dan berubah menjadi semacam legenda tragis dari masa lalu, serta terus menghantui peradaban selanjutnya. Jadi, trauma memiliki karaker ‘keabadian’. Dengan karakter ini, kita bisa dengan mudah membedakan trauma dari shock, kesedihan, ataupun stress, yang walaupun membuat korban mengalami penderitaan, tetapi penderitaan tersebut tidak berlangsung ‘abadi’.

Trauma, selain mempunyai sebab, juga membutuhkan korban. Tanpa korban, trauma tidak akan pernah tercipta. Korban dari trauma juga bukanlah sembarang korban, melainkan korban manusia (human victim). Secara psikologis, trauma adalah penghayatan subyektif-negatif atas suatu peristiwa obyektif. Dan hanya manusialah yang memiliki ‘privilese’ untuk mengalami itu. Walaupun korbannya adalah manusia, trauma tidak harus dialami oleh satu orang saja. Trauma bisa dialami oleh sebuah desa, sebuah suku, sebuah bangsa, dan bahkan di alami oleh ‘kemanusiaan’ sebagai keseluruhan.

Pada titik ini, anda seharusnya bisa meraba, bahwa definisi trauma bukanlah suatu definisi yang spesifik dan bisa dirampatkan ke dalam satu kalimat, melainkan definisi yang melibatkan beberapa parameter. Saya ingin menambahkan satu parameter lagi. Trauma itu adalah sesuatu yang tidak dapat dilihat oleh mata inderawi. Trauma bukanlah suatu entitas fisik, maka trauma tidak pernah dapat dilihat, diraba, atau dihancurkan oleh kekuatan fisik. Sebab dari trauma mungkin bisa merupakan sebab material, seperti akibat ledakan bom atom, tetapi trauma itu sendiri tidaklah material. Trauma lebih tepat digambarkan sebagai sebuah perasaan. Trauma mempengaruhi emosi dan pikiran manusia. Pengaruh yang terutama sekali adalah pengaruh yang membawa pikiran dan emosi manusia pada kondisi-kondisi negatif, seperti kecemasan, ketidakberdayaan, dan dendam.

Ambillah contoh tentang teror. Apapun sebabnya, suatu peristiwa yang bersifat teroristik selalu mengakibatkan hadirnya perasaan takut dan sedih di dalam diri korban. Perasaan takut dan sedih tersebut seolah menyiksa korban untuk jangka waktu yang lama, dan bahkan seumur hidupnya. Bahkan ribuan tahun setelah Kekaisaran Roma menghancurkan Peradaban Yunani Kuno, reruntuhan akibat peristiwa kehancuran tersebut tetap menjadi saksi mata dari kesedihan dan penderitaan yang tidak lenyap dimakan oleh waktu. Reruntuhan seolah bersaksi tentang penderitaan yang mereka rasakan. Trauma yang diakibatkan oleh hancurnya suatu peradaban tidaklah terlihat oleh mata, namun menghantui kemanusiaan selama-lamanya.

Lalu, bagaimana dengan trauma individual? Bagaimana dengan trauma, seperti yang dicontohkan oleh Mehta, yagn dialami oleh seorang ibu yang harus memilih satu di antara dua anaknya yang lahir cacat? Di titik ini, trauma hanya dialami oleh sekelompok orang tertentu. Akan tetapi, karakternya tetap, trauma yang dirasakan oleh ibu tersebut tidak terlihat oleh mata, tetapi sebabnya terlihat. Trauma tersebut juga terasa oleh ibu itu seumur hidupnya.

Ada seorang ibu yang terpaksa harus membunuh anaknya sendiri untuk menyelamatkan anak tersebut dari perbudakan. Trauma yang dialami ibu itu memang bersifat individual, tetapi gaung dari trauma tersebut berbunyi melewati ruang dan waktu, serta kemudian bermukim di hati semua orang tertindas di muka bumi ini, yang sampai sekarang masih berjuang untuk meraih kebebasan untuk diri maupun anak-anak mereka. Cerita sedih ini bermukim di hati sanubari perasaan kemanusiaan kita. Dilihat secara parsial, peristiwa ini tidaklah signifikan untuk dunia. Akan tetapi, dilihat secara kolosal, trauma yang dirasakan ibu tersebut mempengaruhi seluruh kemanusiaan kita selamanya. Korban pengejaran dan penahaman orang-orang yang dituduh PKI pada 1965 dan tahun-tahun berikutnya mengalami trauma, karena menyaksikan secara langsung bagaiman kemanusiaan diinjak-injak oleh kekuasaan. Mereka menyaksikan bagaimana orang ditembak, dan mayatnya dibuang begitu saja. Kejadian tersebut berlangsung selama beberapa tahun, tetapi traumanya dirasakan terus oleh bangsa Indonesia sampai sekarang, dan bahkan sampai selama-lamanya. Jenis trauma ini adalah trauma sosial yang berskala massal, dan bekasnya terus terngiang di dalam rasa kemanusiaan kita. (Wattimena, 2006)

Dengan demikian, segala sesuatu yang memiliki sebab, membuat manusia menderita untuk jangka waktu yang lama, membuat manusia merasa sedih, cemas, dan takut, serta menghantui generasi mendatang, dapatlah disebut sebagai trauma. Trauma mencakup pula semua bentuk penyiksaan, seperti penyiksaan pada anak, perbudakan, kemiskinan, perang, pembersihan etnis, dan penciptaan kamp-kamp konsentrasi. Trauma itu, pada hakekatnya, adalah bersifat sosial. Semua bentuk trauma personal memang dialami secara konkret oleh individu singular, tetapi akibat dan gaung dari trauma tersebut terasa di dalam resonansi rasa kemanusiaan kita. Trauma personal, pada hakekatnya, mungkin adalah trauma sosial.

Daftar Acuan:

http://chir.ag/papers/philosophy-trauma.shtml

Anorexia Kudus dan Kesucian Manusia

Anorexia Kudus dan Kesucian Manusia

 
Bulan Maret 1918, Therese Neumann jatuh pingsan, ketika ia berada di rumah pamannya. Pada 1919, ia buta sepenuhnya. Dan sejak 1922 sampai waktu kematiannya, 1962, ia mengklaim tidak pernah makan ataupun minum apapun (mulai dari 1926), kecuali Sakramen Ekaristi di dalam Gereja Katolik Roma.

 

Sebelum ia meninggal, ia beberapa kali berbicara dalam bahasa Yunani Kuno dan bahasa Aram, bahasa yang tidak pernah ia pelajari sedikit pun semasa hidupnya. Fenomena apakah ini?

 

Ada yang bilang, ini adalah fenomena simbol kesucian manusia. Ada juga yang bilang, ini adalah bukti kuatnya pengaruh pengalaman religius bagi diri manusia. Pengalaman religius, apa itu?

 

Memang, manusia memiliki banyak pengalaman. Pengalaman tersebut dimungkinkan, tepat karena manusia itu dinamis dan terbuka untuk berbagai kemungkinan.

 

Di dalam dirinya, ia bisa merasa sedih, bahagia, hampa, ataupun berduka. Seringkali, perasaan yang ada pun tumpang tindih, ia bisa sekaligus bahagia dan bersedih, ia juga bisa merasa berduka sekaligus bersuka ria. Yang terakhir ini kiranya menjadi perasaan kolektif bangsa Indonesia pada momen meninggalnya Soeharto beberapa waktu yang lalu.

 

Salah satu jenis pengalaman yang paling menarik untuk dikaji adalah pengalaman religius. Beberapa orang juga menyebutnya sebagai pengalaman mistik, yakni suatu momen, ketika manusia merasa bersatu dengan Tuhan, atau merasa begitu dekat denganNya.

 

Hanya sedikit orang yang bisa sungguh memaknai pengalaman semacam ini. Lebih sedikit lagi orang yang mampu mengulangnya secara konstan, dan menjadikan pengalaman ini bagian dari hidupnya.

 

Di dalam kajian psikologi agama, pengalaman religius bukanlah pengalaman mistik yang tak terjangkau oleh manusia. Sebaliknya, pengalaman religius merupakan bagian dari dinamika psikis manusia, dan bisa direkayasa dengan cara-cara yang tepat.

 

Dengan kata lain, setiap orang bisa mendapatkan dan merasakan pengalaman religius, jika ia mengerti cara-cara yang perlu ditempuh untuk memperolehnya. Dari sudut pandang ini, pengalaman religius bukanlah monopoli para kudus ataupun orang suci semata, melainkan pengalaman yang universal dapat dirasakan oleh semua manusia, asal dia mengerti dan mau berusaha mendapatkannya.

 

Ada beberapa cara yang bisa ditempuh. Salah satu cara yang paling sering ditempuh adalah dengan melakukan gerak tubuh secara konstan dan dengan irama yang tetap. Yang terakhir ini bisa menciptakan keadaan ekstase, trance, dan bisa membuat orang menjadi pingsan, ataupun amnesia sementara.

 

Berpuasa dan Anorexia Kudus

 

Cara yang juga biasa ditempuh supaya orang bisa sungguh memahami dan memaknai pengalaman religius adalah dengan berpuasa.

 

Disini, puasa bisa diartikan sebagai suatu tindak untuk memperoleh displin spiritual, atau sebagai tanda kepatuhan religius kepada Tuhan yang diimani oleh seseorang. Puasa juga bisa menjadi simbol bagi beberapa hal yang obyektif yang menyangkut dinamika psikis manusia, seperti simbol berduka, pemurnian diri, penitensi atau pengampunan dosa, niat untuk mendapatkan wahyu atau inspirasi dari Tuhan, dan untuk mengurangi dorongan seksual.

 

Jadi jelas, puasa seringkali berkait erat dengan penghayatan religius seseorang. Puasa pun seringkali diidentikan dengan agama, walaupun tidak selalu seperti itu.  

 

Ada ragam tipe puasa, yang tentu saja disesuaikan dengan ragam agama yang ada di dunia. Di dalam agama Islam, puasa merupakan salah satu tindakan wajib untuk memenuhi lima pilar Islam. Di Gereja Katolik Ortodoks di Ethiopia, puasa dua belas jam sehari adalah hal yang biasa, supaya orang bisa memperoleh pengampunan dari Tuhan.

 

Seperti halnya semua berkah selalu membutuhkan pengorbanan, puasa pun juga memiliki dampak negatif bagi orang yang melakukannya. Di beberapa tempat, tindak puasa secara bersama bisa mengakibatkan terjadinya kelaparan massal, menyebarkan penyakit menular, serta keterbelakangan mental dan fisik.

 

Secara personal, tindak berpuasa juga bisa menimbulkan perasaan depresi, gejala fisik yang melambat, malnutrisi, ataupun neurotik pada tingkat tertentu. Malnutrisi pun juga bisa dengan mudah ditemukan di dalam kebudayaan yang menjadikan puasa sebagai ritual wajib dan rutin mereka.

 

Gejala malnutrisi semacam ini seringkali disebut sebagai Anorexia Kudus (holy anorexia). Jadi, orang berpuasa secara total, sampai ia menunjukkan tanda-tanda malnutrisi, untuk menunjukkan kesetiaannya pada Tuhan, atau untuk memperdalam penghayatan religius yang ia miliki.

 

Gejala ini banyak ditemukan di dalam kehidupan orang-orang kudus Gereja Katolik Roma, atau para sufi di dalam Agama Islam. Mereka berpuasa secara total untuk memperoleh kesempurnaan spiritual dan religius. Bisa juga dikatakan, anorexia kudus ini adalah suatu cara yang dilakukan oleh manusia untuk memanipulasi Tuhan, supaya Ia mau mematuhi dan mewujudkan keinginan manusia.

 

Tindak berpuasa juga bisa menciptakan perasaan tenang dan damai di dalam diri manusia. Ketenangan dan kedamaian yang diperoleh melalui tindakan ini bisa mendorong peningkatan kesadaran, spiritualitas, dan konsentrasi seseorang.

 

 

Alasan Politik

 

Selain didorong oleh alasan religius, tindak berpuasa juga kerap digunakan untuk merealisasikan alasan-alasan politik. Pada beberapa kesempatan, tindak berpuasa secara kolektif juga merupakan simbol dari perlawanan terhadap represi ataupun ketidakadilan.

 

Di beberapa kebudayaan, kaum wanita seringkali melakukan puasa total untuk menunjukkan perlawanannya terhadap perjodohan yang dibuat oleh orang tua mereka. Toh, sikap berpuasa menjangkau mulai dari alasan religius yang paling suci sampai alasan politik yang paling revolusioner. Hakekat terdalam dari tindakan ini adalah kesediaan manusia untuk berkorban untuk mewujudkan dunia yang lebih baik. Pertanyaannya tetap: bersediakah anda berkorban?

 

Reza A.A Wattimena

Pengajar di UNIKA Atma Jaya, Jakarta

“Memanipulasi” Tuhan?

“Memanipulasi” Tuhan?

“Kesunyian adalah esensi dari mistisme”

Wulff

 

Kita berharap banyak pada Tuhan. Melalui doa, puasa, dan sedekah kepada yang papa, kita berharap Tuhan menganugerahkan kebahagiaan dan kesejahteraan kepada kita.

 

Berbagai peradaban di dunia sudah sejak dulu melakukan pemujaan kepada dewa-dewa, supaya mereka memperoleh kemakmuran dan kekuatan. Beberapa diantaranya bahkan melakukan pengorbanan manusia untuk mencapai cita-cita itu.

 

Akan tetapi, melalui ritual dan pemujaan itu, apakah kita pernah merasa sungguh dekat padaNya? Apakah melalui doa-doa dan sikap hidup kita, kita pernah merasakan kebersatuan denganNya? Atau justru, yang kita lakukan seringkali adalah “menyuap” Tuhan dengan doa dan sikap kita, supaya Ia memenuhi keinginan kita? Jangan-jangan, hubungan kita dengan Tuhan tak ubahnya seperti hubungan budak dengan majikannya, yang kerap kali tanpa kedekatan emosional dan ‘keintiman’ sama sekali?

 

Di dalam kajian psikologi agama, perasaan dekat dengan Tuhan itu ternyata adalah suatu perasaan psikis manusia yang bisa direkayasa sesuai kehendak, asal kita tahu cara yang tepat untuk melakukannya. Dengan kata lain, perasaan mistik, yakni perasaan dekat dan “intim” dengan Tuhan, bukanlah monopoli para orang kudus ataupun sufi, tetapi bisa diperoleh oleh siapapun tanpa pandang bulu!

 

Pertanyaannya lalu, bagaimana kita melakukannya? David M. Wulff, seorang ahli psikologi agama, berpendapat bahwa ada beberapa cara spesifik yang bisa ditempuh, yakni berpuasa, mengurangi waktu tidur, mengisolasikan diri dari dunia sosial, dan mengatur napas secara tepat.

 

Mencapai Pengalaman Religius

 

Dengan berpuasa, orang bisa mengatur dorongan badaniahnya. Ia bisa melatih diri untuk menahan dorongan survival manusia yang paling dasar, dan kemudian memperoleh pengalaman religius.

 

Berbagai tradisi religius di dunia memiliki ragam tradisi puasa yang juga berbeda. Akan tetapi, esensi dari semuanya adalah, bahwa manusia harus dapat berkorban untuk mencapai kebahagiaan yang paling otentik, yakni pengalaman mistik bersatu dengan Tuhan.

 

Cara kedua untuk memperoleh pengalaman religius adalah dengan mengurangi waktu tidur. Di banyak tradisi religius besar di dunia, cara ini dianggap sebagai persiapan yang paling ideal untuk memulai suatu ritual khusus yang bersifat religius.

 

Mengurangi waktu tidur juga dianggap sebagai bagian dari displin asketik yang mungkin dilakukan manusia,  yakni suatu cara mendisplinkan diri untuk memperoleh keutamaan-keutamaan moral ataupun religius. Beberapa mistikus Kristen, seperti Saint Peter dari Alcantara, Therese Neumann, dan Catherine dari Siena, konon hanya tidur satu jam sehari.

 

Cara ketiga untuk memperoleh pengalaman religius atau pengalaman mistik adalah dengan mengisolasikan diri dari dunia sosial. Dunia sosial, yang penuh dengan kesibukan dan hiruk pikuk peradaban, dianggap mengganggu relasi manusia dengan Tuhan, oleh karena itu, dunia sosial haruslah ditinggalkan.

 

Seperti kedua cara sebelumnya, tindak mengisolasikan diri dari dunia sosial memiliki tujuan dasar yang sama, yakni untuk memperdalam kesadaran religius. “Kesunyian”, demikian tulis Wulff, “adalah esensi dari mistisisme” (Wulff, 1999)

 

Biasanya, orang mengisolasikan diri mereka dari dunia sosial dengan pergi ke gunung, hutan, ataupun gurun. Di tempat-tempat terpencil itu, mereka berdoa dan berkontemplasi hampir sepanjang waktu.

 

Kajian psikologi agama juga membuktikan, bahwa beberapa di antara orang-orang yang pernah mencoba menarik diri dari dunia sosial akan mengalami halusinasi, depersonalisasi, dan gejolak emosi yang bersifat ekstrem. Jadi, cara ini memang tidak mudah, dan menuntut pengorbanan besar.

 

Cara terakhir untuk memperoleh pengalaman religius adalah dengan melakuan pengaturan napas secara tepat. Dibarengi dengan mengucapkan beberapa kata dalam ritme yang tetap, proses pengaturan napas bisa membawa manusia ke dalam keadaan ekstase yang dalam arti tertentu bisa meningkatkan kesadaran religiusnya.

 

Taoisme di Cina sudah lama mengenal cara semacam ini. Para guru Tao melakukan pengaturan napas supaya mereka bisa memperoleh kedekatan dengan alam, dan memperkuat vitalitas tubuh mereka.

 

Tidak ada satu pun tradisi religius di dunia yang memberikan perhatian besar kepada pengaturan napas, seperti yang ada di dalam tradisi Yoga di India. Para Yoga dan Yogi melakukan meditasi, berkonsentrasi penuh, untuk mendapatkan perasaan harmonis, meningkatkan kesadaran religius, dan mencapai perasaan ekstasis.

 

Jadi?

 

Jadi, apakah doa dan pujian kita kepada Tuhan sungguh hanya suatu tindak ‘manipulasi’, atau berangkat dari kerinduan eksistensial kita untuk menyentuh dan mencintai Dia seutuhnya?

 

Bisakah kita melatih diri kita sendiri, melalui cara-cara yang telah dipaparkan sebelumnya, supaya kita sungguh memperoleh kedekatan denganNya, dan membangun relasi yang tidak asal “meminta”, atau instrumental saja?

 

Jika hubungan kita dengan Tuhan hanya bersifat instrumental saja, tidak heran bahwa di Indonesia, kemunafikan religius bagaikan duri di dalam daging religiositas manusia yang menusuk dan merusak secara perlahan… tapi pasti!

 

Reza A.A Wattimena

Pengajar di UNIKA Atma Jaya, Jakarta