
Oleh Reza A.A Wattimena
Dosen Hubungan Internasional, Universitas Presiden, Cikarang
Pepatah hukum klasik mengatakan, Pacta sunt servanda: Perjanjian dimaksudkan untuk dijalankan. Ketika kita menyetujui sesuatu, kita terikat untuk menjalankannya.
Awal 2017 ini, Donald Trump, presiden Amerika Serikat, menolak mematuhi perjanjian dengan Australia. Ia tidak mau menerima pengungsi yang terdampar di salah satu pulau dekat Australia, sebagai bagian dari perjanjian AS dengan Australia, sewaktu Obama masih menjadi presiden.
Trump melanggar janji. Tindakannya membuat hubungan AS dan Australia retak.
Di tingkat nasional, pelanggaran janji juga merupakan sesuatu yang biasa terjadi. Para politisi mengabaikan janjinya kepada rakyat, ketika mereka sudah terpilih menduduki jabatan tertentu.
Para wakil rakyat juga berubah menjadi sombong dan tak peduli, ketika mereka duduk di parlemen. Rakyat pun merasa sakit hati, karena seringkali ditipu oleh para politisi yang doyan ingkar janji.
Hal yang sama juga terjadi di dalam hubungan antar manusia. Rumah tangga pecah, karena salah satu pasangan berselingkuh, atau melanggar janji yang telah mereka ucapkan sebelumnya.
Akibatnya, semua pihak menderita, terutama ketika keluarga tersebut sudah memiliki anak. Ingkar janji biasanya terjadi, karena rayuan nikmat sesaat, walaupun kemudian menghancurkan segalanya.
Hubungan bisnis pun tak jauh dari ingkar janji. Pembeli ditipu rayuan iklan dan promosi.
Kontrak bisnis diingkari demi meraup keuntungan sesaat semata. Tipu menipu telah menjadi paradigma bisnis yang baru, sehingga menghasilkan suasana dunia usaha yang penuh kekotoran dan kebohongan.
Krisis Komitmen
Hidup bersama menjadi mungkin, karena ada perjanjian antar manusia yang ada di dalamnya. Ketika perjanjian itu dilanggar, maka hidup bersama pun akan sulit dijalankan.
Konflik lalu terjadi, akibat janji-janji palsu yang bertebaran. Orang hidup dalam ketakutan dan kecemasan, karena kata dan komitmen yang kehilangan artinya.
Jelaslah, kita hidup di abad krisis komitmen. Ratusan perjanjian dibuat antara berbagai pihak.
Namun, ketika keadaan berubah, semua dipatahkan, tanpa ada keraguan. Mengapa krisis komitmen di berbagai tingkat kehidupan ini bisa terjadi?
Akar dari Krisis Komitmen
Ada tiga hal yang mesti diperhatikan. Pertama, janji diingkari, ketika kepentingan sempit menjadi yang utama, dan kepentingan bersama yang lebih luas terabaikan.
Kepentingan sempit adalah kepentingan untuk mempertahankan diri dengan mengorbankan kepentingan maupun diri orang lain. Ketika kepentingan sempit menjadi satu-satunya yang penting, maka janji dengan pihak lain pun dengan mudah terabaikan.
Kedua, kita hidup di abad yang penuh ketakutan (die Zeit der Angst). Senjata tidak menjamin keamanan, dan kemakmuran tidak menjamin ketenangan batin.
Sebaliknya yang terjadi. Semakin banyak senjata kita buat, semakin kita pun merasa tidak aman. Semakin makmur hidup kita secara ekonomi, semakin kita merasa takut akan kehilangan itu semua.
Ketiga, ketakutan itu membuat kita lupa akan nilai-nilai terpenting dalam hidup, seperti kejujuran, kesetiaan dan ketulusan. Akibatnya, tindakan kita dipenuhi dengan kekacauan berpikir yang akan menciptakan masalah yang lebih besar.
Membongkar Ketakutan
Untuk mengembalikan janji dan komitmen sebagai sesuatu yang mesti dijalankan, akar dari rasa takut yang ada perlu untuk dibongkar. Kita, dan terutama para pemimpin dunia, perlu menyadari tiga hal penting dalam hidup.
Pertama, dunia adalah perubahan itu sendiri. Ketakutan berarti menyangkal fakta alamiah tersebut.
Orang perlu untuk bersiap menghadapi perubahan yang pasti terjadi di semua tingkat kehidupan manusia. Disini dibutuhkan ketenangan batin dan kejernihan berpikir.
Kedua, dunia adalah kesalingterhubungan itu sendiri. Dunia adalah jaringan antara segala sesuatu yang terkait dengan segala sesuatu.
Perubahan di satu tempat akan membawa perubahan di tempat lain. Jika ini disadari, maka rasa takut akan secara alami sirna, karena kita tidak pernah sendirian menghadapi segala tantangan kehidupan.
Tiga, kita juga perlu menyadari jati diri kita yang sebenarnya. Kita bukanlah identitas sosial kita yang rapuh dan sementara, melainkan mahluk semesta yang terhubung dengan seluruh jagad raya.
Damai di Hati, Damai di Bumi
Orang ingkar janji, karena mengira, kepentingannya lebih tinggi dari pihak lain. Ia lupa, bahwa orang lain juga terhubung dengan dia.
Kesulitan orang lain juga adalah kesulitannya. Penderitaan orang lain juga adalah penderitaannya.
Orang juga ingkar janji, karena ia merasa takut. Ketakutan membuat kejernihan berpikir hilang, dan orang melakukan tindakan-tindakan bodoh yang merusak banyak hal.
Jalan keluar dari semua ini adalah perubahan pemahaman tentang kehidupan itu sendiri. Orang perlu menyadari, siapa mereka sebenarnya.
Baru dengan begitu, mereka bisa menemukan kedamaian yang sejati di hatinya. Tanpa kedamaian di hati setiap orang, perdamaian dunia tidak akan pernah tercipta.
Janji-janji palsu yang terucap mengancam peradaban manusia. Jika ini tidak ditangani dengan cermat, alternatifnya hanya satu: ketegangan dan konflik yang berkelanjutan antar manusia.
Apakah itu yang kita inginkan?
Halo Pak Reza.
Saya setuju dengan Pak Reza ttg era yg penuh ketakutan ini. Saya sendiri sementara takut, tepatnya takut salah mengambil keputusan. Konteksnya saya diperhadapkan pilihan berkarya di dua tempat, situasi secara finansial sama. Tapi yang paling menonjol berbeda dari keduanya adalah yang ingin saya bergabung karena membutuhkan saya (no other option) dan yang satu lagi menginginkan kelebihan yg saya miliki walaupun tidak terlalu membutuhkan saya (many other option). Bagaimana saya mengupayakan kejernihan berpikir di dalam situasi penuh ketakutan ini. Saya ingin mendengar perspektif Pak Reza.
SukaSuka
mana pekerjaan yang memungkinkan anda untuk membantu lebih banyak orang?
SukaSuka