Apakah Hidup Ini Sia-sia?

Tibetan Monks Painstakingly Create Incredible Mandalas Using Millions of  Grains of Sand

Oleh Reza A.A Wattimena

Albert Camus, pemikir eksistensialis Perancis, punya pandangan menarik. Baginya, hanya ada satu hal yang penting untuk dipikirkan dalam hidup, yakni apakah kita harus bunuh diri, atau tidak? Apakah hidup layak dijalani, atau tidak? Ia bertanya seperti itu, karena hidup ini absurd. Ia tidak masuk akal.

Sejak kecil, kita belajar. Kita bekerja. Kita terus mengembangkan diri. Namun, akhirnya, kita harus sakit, menua dan kemudian meninggal. Bukankah ini absurd? Lanjutkan membaca Apakah Hidup Ini Sia-sia?

Tiga Buku Filsafat Terbaru

Buku Filsafat Terbaru: Menelusuri Pragmatisme, Pengantar Pada Pemikiran Pragmatisme dari Peirce Hingga Habermas

Penulis: Anastasia Jessica Adinda S.

Dosen di Fakultas Filsafat Unika Widya Mandala Surabaya

COVER Pragmatisme_aDalam kehidupan sehari-hari kata pragmatis sudah biasa kita dengar. Kata ‘Pragmatis’ sering dikaitkan dengan kepentingan praktis, keengganan berproses, atau orientasi yang semata-mata pada pencapaian hasil. Maka menjadi pertanyaan, apakah pengertian pragmatisme memang seperti yang banyak dipahami saat ini? Memang tak dapat disangkal bahwa prakmatisme banyak mewarnai kehidupan manusia abad ini. Ilmu pengetahuan, pendidikan, politik, ekonomi, hukum, kesenian, bahkan agama tak luput dari pengaruh pragmatisme. Karena kuatnya pengaruh pragmatisme, perhatian manusia terarah pada ‘gagasan yang dapat berfungsi dalam tindakan dan dapat menyelesaikan persoalan’. Prinsip-prinsip pragmatisme ini melandasi keputusan-keputusan yang dibuat oleh individu, kelompok masyarakat, bahkan negara. Buku ini menyajikan pengertian awal tentang pragmatisme, prinsip-prinsip dasar pragmatisme, sekaligus kritik atas pemikiran pragmatisme yang mengabsolutkan konsekuensi praktis dan daya guna.

Bisa dilihat di: Penerbit Kanisius

Lanjutkan membaca Tiga Buku Filsafat Terbaru

Cinta Benci

love-or-hate-red Suatu Refleksi Fenomenologi Eksistensial

“….untuk mencintai berarti untuk membenci musuh yang sama…”

Oleh: Reza A.A Wattimena

Dosen Filsafat Politik,

Fakultas Filsafat UNIKA Widya Mandala Surabaya

Tampaknya, roda masyarakat kita digerakkan oleh kebencian. Bagaimana tidak, setiap hari di jalan raya (Jakarta), saya melihat orang bertengkar hanya karena alasan sepele. Di dalam pertengkaran itu, mereka saling mengutuk, mencerca, menyumpahi, dan bahkan bisa saling membunuh! Saya sering menyaksikan berita pembunuhan di televisi. Seorang ayah tega membunuh anaknya sendiri demi mendapatkan uang asuransi yang dipunyai anaknya. Seorang pencopet dipukuli di tempat sampai meninggal, dan tidak ada seorang pun yang mau bertanggungjawab. Bagaimana tidak?

Perang, pembunuhan, dan sikap negatif yang didasari kebencian adalah tontonan sehari-hari yang bisa kita lihat langsung, ataupun tidak langsung melalui media. Kebohongan, prasangka, ketidaktulusan tampak mewarnai relasi manusia sehari-hari. Praktek suap menyuap dan diskriminasi mewarnai dunia hukum kita. Praktek monopoli dan kerakusan mewarnai dunia ekonomi kita. Praktek kekerasan pun mewabah di dalam dunia pendidikan kita, seperti baru-baru ini tampak dalam kasus pembunuhan di IPDN.

Di sisi lain, kalau kita mau jeli sedikit, tindak pengorbanan dan cinta sebenarnya kerap terjadi di sekitar kita. Pengorbanan seorang ibu yang harus bangun pagi2 mempersiapkan semuanya untuk anak-anak dan suaminya. Pengorbanan seorang suami yang harus banting tulang bekerja secara tulus untuk menghidupi keluarganya. Masih banyak hal positif lainnya yang sebenarnya mewarnai relasi antar manusia. Dan itu tidak bisa diabaikan begitu saja.

Memang, relasi antar manusia adalah sesuatu yang rumit untuk direfleksikan. Beragam variabel bisa dijejer, dan refleksi juga bisa dilakukan dari berbagai sudut pandang. Kerumitan hakekat relasi antar manusia adalah suatu undangan bagi kita untuk merefleksikan lebih jauh apa sebenarnya yang mendasari relasi antar manusia. Apakah kebencian, seperti yang dengan mudah kita saksikan, atau cinta yang sebenarnya juga terselip di tengah aktivitas kehidupan kita yang serba rutin dan monoton? Ataukah keduanya? Di dalam tulisan ini, dengan melakukan refleksi fenomenologi eksistensial, saya akan berargumen bahwa hakekat dari relasi antar manusia adalah sekaligus kebencian dan cinta.

Kebencian dan cinta ini bukanlah dalam arti emosionil, tetapi dalam arti fenomenologis. Artinya, kebencian dan cinta dilihat pada dirinya sendiri, dan bukan pada gejolak emosi maupun perasaan yang datang dan pergi. Kebencian dan cinta dipandang sebagai dorongan primordial yang menggerakan manusia untuk berelasi dengan manusia lainnya. Dorongan primordial ini adalah suatu dorongan metafisis yang menggerakan relasi antar manusia sekaligus menggerakkan peradaban itu sendiri. Untuk menjabarkan argumen itu, saya akan menjabarkan terlebih dahulu apa yang dimaksud dengan pendekatan fenomenologi eksistensial (1). Lalu, saya akan memaparkan hakekat kebencian dari sudut pandang fenomenologi eksistensial, terutama dari konsep tatapan yang dirumuskan oleh Sartre (2). Setelah itu, saya akan menjabarkan hakekat dari cinta sebagai modus mendasar relasi manusia (3). Tulisan ini akan ditutup dengan sebuah kesimpulan (4).

Lanjutkan membaca Cinta Benci