Suatu Refleksi Fenomenologi Eksistensial
“….untuk mencintai berarti untuk membenci musuh yang sama…”
Oleh: Reza A.A Wattimena
Dosen Filsafat Politik,
Fakultas Filsafat UNIKA Widya Mandala Surabaya
Tampaknya, roda masyarakat kita digerakkan oleh kebencian. Bagaimana tidak, setiap hari di jalan raya (Jakarta), saya melihat orang bertengkar hanya karena alasan sepele. Di dalam pertengkaran itu, mereka saling mengutuk, mencerca, menyumpahi, dan bahkan bisa saling membunuh! Saya sering menyaksikan berita pembunuhan di televisi. Seorang ayah tega membunuh anaknya sendiri demi mendapatkan uang asuransi yang dipunyai anaknya. Seorang pencopet dipukuli di tempat sampai meninggal, dan tidak ada seorang pun yang mau bertanggungjawab. Bagaimana tidak?
Perang, pembunuhan, dan sikap negatif yang didasari kebencian adalah tontonan sehari-hari yang bisa kita lihat langsung, ataupun tidak langsung melalui media. Kebohongan, prasangka, ketidaktulusan tampak mewarnai relasi manusia sehari-hari. Praktek suap menyuap dan diskriminasi mewarnai dunia hukum kita. Praktek monopoli dan kerakusan mewarnai dunia ekonomi kita. Praktek kekerasan pun mewabah di dalam dunia pendidikan kita, seperti baru-baru ini tampak dalam kasus pembunuhan di IPDN.
Di sisi lain, kalau kita mau jeli sedikit, tindak pengorbanan dan cinta sebenarnya kerap terjadi di sekitar kita. Pengorbanan seorang ibu yang harus bangun pagi2 mempersiapkan semuanya untuk anak-anak dan suaminya. Pengorbanan seorang suami yang harus banting tulang bekerja secara tulus untuk menghidupi keluarganya. Masih banyak hal positif lainnya yang sebenarnya mewarnai relasi antar manusia. Dan itu tidak bisa diabaikan begitu saja.
Memang, relasi antar manusia adalah sesuatu yang rumit untuk direfleksikan. Beragam variabel bisa dijejer, dan refleksi juga bisa dilakukan dari berbagai sudut pandang. Kerumitan hakekat relasi antar manusia adalah suatu undangan bagi kita untuk merefleksikan lebih jauh apa sebenarnya yang mendasari relasi antar manusia. Apakah kebencian, seperti yang dengan mudah kita saksikan, atau cinta yang sebenarnya juga terselip di tengah aktivitas kehidupan kita yang serba rutin dan monoton? Ataukah keduanya? Di dalam tulisan ini, dengan melakukan refleksi fenomenologi eksistensial, saya akan berargumen bahwa hakekat dari relasi antar manusia adalah sekaligus kebencian dan cinta.
Kebencian dan cinta ini bukanlah dalam arti emosionil, tetapi dalam arti fenomenologis. Artinya, kebencian dan cinta dilihat pada dirinya sendiri, dan bukan pada gejolak emosi maupun perasaan yang datang dan pergi. Kebencian dan cinta dipandang sebagai dorongan primordial yang menggerakan manusia untuk berelasi dengan manusia lainnya. Dorongan primordial ini adalah suatu dorongan metafisis yang menggerakan relasi antar manusia sekaligus menggerakkan peradaban itu sendiri. Untuk menjabarkan argumen itu, saya akan menjabarkan terlebih dahulu apa yang dimaksud dengan pendekatan fenomenologi eksistensial (1). Lalu, saya akan memaparkan hakekat kebencian dari sudut pandang fenomenologi eksistensial, terutama dari konsep tatapan yang dirumuskan oleh Sartre (2). Setelah itu, saya akan menjabarkan hakekat dari cinta sebagai modus mendasar relasi manusia (3). Tulisan ini akan ditutup dengan sebuah kesimpulan (4).
1. Fenomenologi Eksistensial
Secara etimologis, fenomenologi sebenarnya berasal dari kata Yunani, yakni phainomenon yang berarti penampakan, dan logos yang berarti rasio, atau kata-kata, atau penalaran rasional. Memang, fenomenologi berarti penyelidikan rasional untuk dapat menemukan esensi yang ada di dalam penampakan (appearance). Akan tetapi, apa itu penampakan? Di dalam fenomenologi, penampakan adalah segala sesuatu yang disadari oleh seseorang. Segala sesuatu yang tampak bagi kesadaran manusia merupakan wilayah kajian filsafat. Pada titik ini, filsafat hendak mencari pengandaian dasar yang tidak lagi mengandaikan apapun di luar dirinya.
Bagi Husserl, yang banyak dikenal sebagai bapak fenomenologi, fenomenologi adalah suatu displin yang mencoba menggambarkan apa yang tampak bagi kita melalui pengalaman tanpa dikacaukan oleh pengandaian-pengandaian awal maupun spekulasi-spekulasi hipotetis. Motto yang terkenal dari Husserl adalah “kembali kepada obyek itu sendiri”, di mana kita diajak melepaskan semua pengandaian-pengandaian kita yang mungkin sekali salah, ketika kita sedang melihat sesuatu.
Argumen ini sebenarnya ditujukan untuk mengkritik filsafat yang dominan semasa Husserl hidup, yakni realisme yang mengafirmasi adanya obyek pada dirinya sendiri yang bersifat independen dari subyek, dan idealisme, yakni yang mengafirmasi prioritas atas subyek, dan menolak adanya realitas di luar subyek. Alih-alih membuat spekulasi filosofis tentang hakekat dari seluruh realitas, seperti para filsuf pada umumnya, filsafat, menurut Husserl, haruslah mendeskripsikan realitas pada kondisinya yang paling murni.
Menurut Schroeder, fenomenologi dibagi menjadi dua, yakni fenomenologi transendental dan fenomenologi eksistensial. Para fenomenolog transendental yakin, bahwa prosedur khusus dalam bentuk penundaan semua bentuk kepercayaan akan membantu kita dalam memahami realitas secara lebih baik. Sementara, para fenomenolog eksistensial hendak memeluk kompleksitas kehidupan, dan yakin bahwa tindak menunda asumsi itu adalah sesuatu yang tidak mungkin dilakukan. Yang sama diantara dua pembagian itu adalah, bahwa semua fenomenolog hendak menyelidiki pengalaman yang mereka alami dan hayati sendiri, sekaligus juga mentransendir pengalaman itu untuk dapat mencapai pemahaman universal. Ketidaksetujuan dapat diselesaikan dengan perbandingan yang lebih detil atas berbagai refleksi pengalaman tersebut. (Schroeder, 2005)
Secara umum, fenomenologi eksistensial sangat dipengaruhi oleh Martin Heidegger, terutama di dalam bukunya yang berjudul Sein und Zeit (1927). Berbeda dengan fenomenologi yang dirumuskan oleh Edmund Husserl, Heidegger lebih menekankan ontologi daripada epistemologi. Ia berpendapat bahwa fenomenologi dapat digunakan untuk menganalisis manusia untuk mencapai pengertian fundamental tentangnya, yakni tentang makna keberadaannya, modus mengada keberadaannya, dan otentisitasnya.
Fenomenologi Heidegger menantang berbagai aliran filsafat yang sudah ada sebelumnya. Fenomenologi semacam ini melibatkan suatu bentuk kontemplasi rasional yang hendak melihat dunia secara dingin, transparan, dan seobyektif mungkin. Dunia pun dipandang sebagai suatu bentuk obyek murni. Heidegger juga berpendapat bahwa dunia tidaklah netral dan bebas nilai, melainkan terdiri dari berbagai relasi yang sangat rumit. Di dalamnya, manusia bukanlah seorang pengamat yang pasif, tetapi sebagai partisipan yang secara aktif ikut memberikan pengaruh pada perubahan di dalam dunia. (ibid)
Refleksi fenomenologi tentang manusia dimulai dari pengalaman keseharian yang paling sering dialami, lalu maju secara bertahap sampai pada struktur yang paling mendasar dari pengalaman tersebut. Nah, fenomenologi yang didasarkan pada eksistensi faktual manusia ini juga dapat disebut sebagai fenomenologi eksistensial. Jadi, Heidegger pertama-tama menggunakan metode fenomenologi yang dirumuskan Husserl, lalu mengembangkannya untuk menganalisis pengalaman keseharian manusia sampai pada esensinya yang paling mendalam.
Di samping Heidegger, Sartre juga dikenal sebagai filsuf yang mengembangkan fenomenologi eksistensial. Tujuan dari fenomenologi Sartre adalah menyingkapkan pengalaman pra-reflektif yang luput dari kaca mata sains dan ilmu-ilmu positif. Di sini, fenomenologi berfungsi sebagai displin yang mau menyingkapkan kesadaran pra-reflektif manusia seakurat mungkin. Penyingkapan itu dilakukan melalui deskripsi, termasuk juga deskripsi atas hakekat kesadaran, relasi kesadaran dengan dunia, hakekat relasi antar manusia, dan kebebasan manusia. Gaya berpikir seperti inilah yang akan saya gunakan untuk meyingkapkan dorongan purba yang mendorong relasi antar manusia, yakni kebencian dan cinta.
2.Fenomenologi Kebencian
Tulisan-tulisan Sartre tentang “tatapan” (look) dapat membantu kita menemukan makna kebencian secara fenomenologis. Dalam hal ini, tatapan bukanlah sekedar tindak melihat atau menatap tanpa arti saja, tetapi suatu tatapan kebencian (look of hatred). Para fenomenolog sebelum Sartre, seperti Heidegger dan Husserl, mengandaikan pribadi lain dan dunia bersama sebagai suatu kondisi yang sudah ada, dan tidak lagi perlu dipertanyakan. Pengandaian umum ini ditolak oleh Sartre. Menurutnya, keberadaan manusia lain barulah berarti, ketika saya menyadari keberadaannya, yakni ketika pribadi lain tersebut menjadi tampak bagi saya, dan tidak sebelumnya. Manusia lain selalu menyingkapkan dirinya sebagai “sesuatu yang menatap saya”. Kesadaran bahwa seseorang sedang menatap saya bukanlah suatu kesadaran langsung, seperti ketika saya menyadari bahwa ada orang bermata hitam tengah menatap saya. Kesadaran bahwa ada orang yang sedang mengintip saya, bahwa ada langkah kaki di depan pintu rumah saya, bahwa ada gerakan di balik tembok kamar saya, juga adalah kesadaran bahwa ada “sesuatu yang menatap saya”. Dengan demikian, menurut Sartre, kesadaran akan tatapan bukanlah kesadaran akan keberadaan suatu benda obyektif di dunia, melainkan suatu kesadaran mental bahwa saya sedang ditatap. (Sartre, 1952)
Apa artinya, jika saya mengatakan bahwa saya sedang ditatap? Sartre jelas mempunyai definisi tersendiri atas konsep “tatapan”. “Bayangkan”, tulisnya, “karena didorong oleh rasa ingin tahu, saya melihat ke kamar sebelah melalui lubang kunci… tiba-tiba, saya mendengar derap langkah kaki di belakang saya. Kesunyian pun mencekam: seseorang sedang melihat saya! Pada saat saya sadar bahwa saya sedang dilihat oleh orang lain, saya telah menjadi obyek dari orang lain.” (ibid)
Pengalaman ditatap oleh orang lain membuat saya sadar akan keberadaan subyektifitas orang lain. Di bawah tatapan orang lain, saya tidak lebih dari sebuah benda di dalam dunianya. Saya pun mengalami kematian subyektifitas. Sebagai manusia, saya adalah tuan atas diri saya, dan saya mengendalikan berbagai kemungkinan yang saya punyai. Sebagai manusia, saya juga adalah mahluk pencari makna yang dinamis. Semua ini berubah, ketika orang lain dengan subyektifitasnya sendiri hadir dan menatap saya.
Pertama, keberadaan orang lain membuat saya tidak lagi menguasai obyek-obyek di sekitar saya. Obyek-obyek di sekitar saya pun juga pada akhirnya ditentukan oleh subyektifitas lain, dan tidak lagi tunduk pada definisi yang saya buat. Pena yang biasa saya pakai untuk menulis pun ternyata bisa digunakan oleh orang lain untuk mengganjal buku. Definisi pena tidak lagi tunduk pada definisi yang saya rumuskan. Kedua, tatapan orang lain berarti kematian dari hakekat saya sebagai subyek yang bebas. Di bawah tatapan orang lain, saya tidak lagi mengendalikan situasi saya secara penuh, dan saya tidak lagi mengendalikan semua kemungkinan dengan tangan saya sendiri.
Ketika dilihat oleh orang lain, perasaan malu di dalam diri saya pun timbul. Rasa malu ini timbul, karena saya sadar bahwa saya telah menjadi obyek penilaian dan tatapan orang lain. Bagi orang lain, saya tak berbeda dari meja yang terletak di tengah ruangan, atau bangkai hewan yang tergeletak membusuk di halaman rumah. Bagi orang lain, saya adalah satu benda di antara benda-benda lainnya. Jika ada satu orang saja, maka saya sudah menjadi obyek dan kehilangan subyektifitas saya. Dengan demikian, saya selalu berada dalam bahaya. Bahaya ini bukanlah suatu keadaan yang mengancam, tetapi struktur hakiki saya sebagai manusia yang selalu berada-untuk-orang-lain. Di bawah tatapan orang lain, kebebasan saya sebagai manusia menurun sampai ke level benda-benda, karena saya tak lebih adalah suatu “benda” bagi orang lain. Saya tidak memiliki kendali atas apa yang orang lain pikirkan tentang saya, ketika orang itu menatap saya. Kebebasan saya, dengan demikian, tidak lagi memiliki kepenuhannya.
Hanya ada satu cara, supaya saya bisa memperoleh kembali subyektifitas dan kebebasan saya, yakni saya harus mereduksikan orang lain sebagai obyek di bawah tatapan saya. Dengan cara ini, saya tidak lagi hanya menjadi obyek yang kehilangan kebebasan, tetapi saya juga mengakibatkan orang lain menjadi obyek sekaligus kehilangan kebebasannya. Dengan demikian, hakekat dari relasi antar manusia sebenarnya adalah konflik, yakni konflik saling mengobyekkan. Cinta adalah sesuatu yang palsu, dan setiap kehendak untuk mencintai adalah kehendak untuk menguasai orang lain, yakni suatu kehendak untuk menguasai kebebasannya.
Sartre juga menulis mengenai pengalaman “ke-kitaan”. Di dalam “ke-kitaan” itu, ada pihak ketiga yang menatap saya. Tatapan pihak ketiga itu seolah-olah menguasai saya. Ketika pihak ketiga tidak ada, saya berkonflik dengan pihak kedua. Akan tetapi, setelah pihak ketiga datang, saya mengalami bahwa “ke-kitaan” itu sedang berkonflik. Argumen ini dapat menjelaskan beberapa fenomena faktual, seperti kesadaran kelas dan solidaritas yang terbangun di antara para pekerja yang tertekan oleh majikannya.
Saya adalah pihak pertama, majikan yang saya tentang adalah pihak kedua. Kami juga ditatap oleh pemerintah yang berkuasa. Di bawah tatapan penguasa, pihak pertama dan pihak kedua adalah pihak yang terasing. Saya dan majikan saya seolah-olah melebur menentang pihak ketiga. Akan tetapi, peleburan itu sebenarnya semu belaka. Konflik dan tatapan kebencian tetap mewarnai relasi kami. Orang-orang Yahudi merasa bersatu, tetapi itu pun hanya karena adanya kebencian terhadap mereka. Dalam konteks ini, jika cinta mempunyai makna, maka makna itu dapat digunakan sebagai dasar bagi suatu solidaritas, yakni “untuk mencintai berarti untuk membenci musuh yang sama.”
Dari sudut pandang saya, kematian adalah sesuatu yang absurd, karena kematian menutup kemungkinan bagi realisasi subyektifitas saya. Kematian merusak seluruh makna hidup saya. Akan tetapi, kematian saya memberikan makna bagi orang lain. Di dalam kematian saya, orang lain mengalami kemenangan mutlak. Saya tidak lagi dapat menatap dan mengobyekkan dia, tetapi saya justru menjadi tidak berdaya di bawah tatapannya. Saya pun menjadi semata-mata seperti benda bagi orang lain. Selama saya masih hidup, orang lain akan terus berusaha menguasai saya dengan tatapannya. Akan tetapi hanya lewat kematianlah ia dapat sungguh-sungguh menang.
Tatapan yang dibicarakan oleh Sartre tersebut sebenarnya adalah suatu bentuk tatapan yang spesifik. Akan tetapi, ia kemudian mengabsolutkan tatapan itu, serta menggeneralisasikannya untuk menjelaskan jenis tatapan-tatapan yang lain. Tatapan yang dibicarakan oleh Sartre adalah tatapan kebencian (hateful stare), di mana kapasitas saya sebagai subyek lenyap ketika ditatap oleh orang lain. Tatapan kebencian membuat saya menjadi satu benda di antara benda-benda lainnya. Apa yang ditulis Sartre ini menggambarkan apa yang terjadi sesungguhnya di dalam realitas, yakni deskripsi atas tatapan kebencian di dalam kehidupan kita.
Akan tetapi, manusia tidak hanya menatap manusia lain melulu dengan menggunakan tatapan kebencian. Refleksi Sartre tentang tatapan di dalam bukunya Being and Nothingness jelas adalah suatu refleksi yang sangat tajam untuk menjelaskan hakekat relasi antar manusia di dalam masyarakat yang terdistorsi. Akan tetapi, pembacanya jelas akan menolak argumen itu. Bahkan di dalam masyarakat yang sudah membusuk sekarang ini, ada tatapan-tatapan positif lain yang terjadi, seperti tatapan cinta, tatapan pengampunan, dan sebagainya. Di dalam praktek hidup dan karyanya, Sartre memang terkenal sebagai pembela kebebasan manusia. Akan tetapi, tiga bab pertama buku Being and Nothingness tampak tidak menunjukkan hal itu. Di dalam buku itu, filsafatnya lebih tampak sebagai filsafat kebencian (philosophy of hatred).
3. Fenomenologi Cinta
Seperti juga kebencian, cinta sebenarnya juga mewarnai relasi antar manusia sehari-hari. Cinta adalah modus mengada dari manusia yang satu sama lain hidup bersama. Cinta selalu mengandaikan adanya persentuhan antara subyektifitas saya dengan subyektifitas orang lain. Panggilan untuk persentuhan tampak di dalam kata-kata, mimik wajah, tatapan, ataupun permintaan. Panggilan untuk persentuhan yang paling otentik tidaklah terletak di dalam kata-kata, tetapi di dalam sikap yang mengajak kita untuk tidak lagi mementingkan diri kita sendiri. Cinta sebagai panggilan persentuhan dengan orang lain mengajak kita untuk meninggalkan keterpesonaan kita terhadap diri dan kepentingan kita sendiri.
Pengabsolutan kepentingan diri dan keterpesonaan pada diri sendiri membuat kita tertutup dari panggilan persentuhan terhadap orang lain. Untuk melihat panggilan cinta itu, kita perlu lebih dari sekedar mata, lebih dari sekedar sikap berpusat pada diri sendiri. Orang yang pandangannya tertutup oleh kesombongan dan kerakusan tidak akan mampu melihat panggilan itu. Panggilan cinta dari orang lain bukanlah sebuah dominasi ataupun sebuah penaklukan. Panggilan itu memberikan kita kesempatan untuk memilih, apakah kita hendak menerimanya atau tidak. Panggilan cinta sama sekali bukan sebuah tuntutan, sehingga mudah sekali panggilan tersebut luput dari mata kita. Jika saya sepenuhnya terserap di dalam keterpusatan ego saya, maka saya tidak akan mengerti panggilan cinta dari orang lain. Ketika saya sibuk dengan diri saya sendiri, saya akan yakin bahwa saya adalah suatu entitas yang cukup diri, maka saya tidak akan peka terhadap panggilan cinta dari orang lain. (Luijpen, 1962)
Di dalam kehidupan sehari-hari, kita memiliki peran tertentu, seperti sebagai dokter, hakim, sebagai menteri, dan sebagainya. Ketika menjalani peran itu, kita berhadapan dengan orang lain. Dokter berhadapan dengan pasien. Hakim berhadapan dengan tertuduh dan pengacaranya. Orang-orang ini adalah orang yang ‘memanggil’ saya. Akan tetapi, saya tidak akan mengerti panggilan mereka, jika saya terlalu sibuk dengan diri saya sendiri. Dalam kesibukan ego itu, saya menutup diri saya dari panggilan cinta orang lain, yakni orang-orang yang membutuhkan saya.
Pertama-tama, panggilan cinta tidaklah dapat dimengerti melulu sebagai ketertarikan fisik ataupun spiritual terhadap orang lain, baik karena kecantikan ataupun kebaikan hatinya. Jika panggilan cinta (love appeal) melulu dipahami sebagai ketertarikan fisik ataupun spiritual, maka jika kualitas yang menarik itu hilang, cinta juga akan hilang. Kualitas yang dipetakan mungkin bisa berfungsi sebagai sebuah kriteria. Akan tetapi, saya tidak mencintai kriteria, saya mencintai orang. Jika orang yang saya cintai meninggal, saya tidak dapat membuat daftar kriteria sifat-sifat dan karakter dari orang yang saya cintai, dan kemudian saya mencari orang yang dapat menyesuaikan diri dengan kriteria itu, serta saya mencintainya dan bahagia kembali.
Panggilan cinta juga memiliki sifat kreatif, yakni memberikan kesadaran bagi orang bahwa mereka tidak lagi sendiri. Cinta menciptakan “kekita-an”, yakni suatu “keberadaan bersama” yang dialami secara sangat berbeda dengan berbagai jenis kekitaan lainnya. “Kekita-an” yang terbentuk di dalam cinta hanya dapat diekspresikan sebagai suatu bentuk kepenuhan diri, atau apa yang disebut sebagai kebahagiaan.
Kehadiran orang lain juga mempengaruhi kehidupan kita. Melalui cinta orang lain, dunia tampak menunjukkan sisinya yang ramah bagi saya. Dunia menjadi tempat yang bisa kunikmati. Dunia menjadi “rumahku”. Saya merasa berada di “rumah”, dan perasaan itu membuat saya bahagia. Anak-anak yang hidup dalam keluarga yang tidak harmonis biasanya akan menatap dunia pada sisinya yang paling kejam. Bagi anak-anak itu, dunia hanya tampak sebagai sesuatu yang harus dilawan, ditentang, dan diprotes. Memang, tanpa cinta, dunia terasa bagaikan neraka. (ibid).
Panggilan cinta memang mengandaikan kejernihan cara pandang. Orang yang saya cintai tampak seutuhnya bagi saya, karena saya mencintai dia. Tidak ada satupun ilmu saintifik ataupun psikologi yang mampu mendeskripsikan orang yang saya cintai, seperti saya mendeskripsikannya. Cinta yang ada membuat saya mampu mendeskripsikan orang yang saya cintai secara khusus, dan deskripsi itu tidaklah terbantahkan. Cinta membuat orang melihat hal-hal spesifik pada orang yang dicintainya yang tidak dapat dilihat oleh orang lain. (Marcel, 1952)
4. Rajutan Penutup
Sudah kita lihat, kebencian yang paling purba sebenarnya bukanlah pembunuhan, pemerkosaan, pembantaian, ataupun pencurian, tetapi tatapan, yakni tatapan kebencian. Tatapan kebencian adalah awal dari kebencian empiris yang bisa kita lihat sehari-hari. Melalui tatapan penuh kebencian dari orang lain, saya kehilangan kebebasan saya. Subyektifitas saya pun lenyap. Saya tidak ubahnya seperti benda yang bisa dimanfaatkan dan kemudian dibuang setelah tidak lagi terpakai. Akar penggerak kebencian manusia adalah tatapan yang membuat orang lain semata-mata menjadi obyek mati. Ironisnya, dengan cara inilah interaksi di antara manusia berlangsung. Realitas politik, ekonomi, sosial, hukum, maupun budaya di Indonesia bergerak dengan sikap curiga, benci, takut, dan melulu menempatkan manusia lain sebagai benda, sebagai obyek tatapan kebencian. Tak bisa dipungkiri lagi, tatapan penuh kebencian sebagai akar purba dari kebencian itu sendiri tampak menggerakan roda interaksi manusia di seluruh dimensi masyarakat.
Akan tetapi, tatapan penuh kebencian bukanlah satu-satunya roda penggerak interaksi manusia. Cinta juga merupakan roda penggerak interaksi manusia yang sebenarnya cukup dapat dilihat secara gamblang. Panggilan cinta terjadi pada setiap orang, dan terserah pada orang itu mau menanggapinya atau tidak. Panggilan cinta datang kepada orang untuk mengajaknya menghancurkan isolasi egonya, sehingga ia menjadi terbuka untuk kebahagiaan yang sesungguhnya. Cinta semacam ini bukanlah sebuah sensasi emosionil, tetapi sebuah dorongan metafisis. Cinta semacam ini membuat manusia merasa di rumah, merasa nyaman akan hidupnya. Cinta ini pula yang mendorong seseorang untuk rela berkoban bagi orang lain, yakni orang yang dicintainya. Jelaslah, dengan adanya dualisme metafisis penggerak interaksi manusia ini, kita semakin bisa berharap bahwa cinta dan kebaikan masih bisa diperjuangkan di tengah ganasnya kebohongan dan kebencian di sekitar kita. Akhirnya, saya hanya bisa berkata, “jangan khawatir, masih ada cinta di sekitar kita…..”
Daftar Pustaka
Heidegger, Martin, Being and Time, terj. John Macquarrie dan Edward Robinson, Oxford, Basil Blackwell, 1973.
Luijpen, William, Existential Phenomenology, Pittsburg, Duquene University Press, 1969.
Marcel, Gabriel, Being and Having, New York, Torchbooks, 1952.
Sartre, Jean-Paul, Being and Nothingness, Oxford, Oxford University Press, 1952.
Schroeder, William, Continental Philosophy: A Critical Approach, Malden, Blackwell Publishing, 2005.
Gambar dari http://mariamore.com/blog/wp-content/uploads/2010/09/love-or-hate-red.jpg
Ketika saya membaca tulisanmu yang ini, saya hanya teringat satu kata: Nafsu.
Saya berandai-andai, jangan-jangan mayoritas msyarakat kita masih di tataran nafsu. Jadi sulit bagi mereka untuk memaknai cinta dan benci secara fenomenologis. Pada kedewasaan mental yang belum matang, ‘cinta’ dan ‘benci’ teraduk menjadi satu dalam konstruksi yang rapuh, dan munculnya sebagai nafsu 🙂
SukaSuka
ya… itu terjadi karena kerangka berpikir kita masih dungu, sehingga semua yang tampak begitu dalam dan agung menjadi begitu dangkal. Cinta dimaknai sebagai nafsu dominasi dan nafsu seksual. Yang diperlukan adalah membongkar kerangka berpikir dungu tersebut, dan mencoba memaknai segala sesuatu yang dialami dengen lebih kritis dan mendalam.
SukaSuka