
Oleh Reza A.A Wattimena
Bagaimana mungkin seorang hakim ditangkap (Kompas, 2 Juli 2011)? Bukankah ia sosok tertinggi penjaga hukum (dan keadilan) di suatu masyarakat? Bagaimana mungkin sosok tertinggi penegak hukum justru menjadi pelanggar hukum? Bukankah dampak moral dan sosialnya akan lebih parah untuk masyarakat kita? Pasti ada yang salah dengan cara berpikirnya.
Peristiwa di Desa Gadel masih menjadi perhatian saya. Bagaimana mungkin institusi pendidikan (sekolah) meminta siswanya menyontek? Bukankah tindakan itu jelas bertentangan dengan alasan keberadaan institusi pendidikan itu sendiri? Sekali lagi; ada yang salah dengan cara berpikirnya.
Nazaruddin menolak kembali ke Indonesia. Bahkan otoritas hukum dan politik kita tidak (belum) bisa mengubah itu. Padahal ia adalah pejabat publik dan kepercayaan partai politik. Namun dengan jabatan itu, ia melakukan korupsi untuk memperkaya diri dan kelompoknya. Bukankah semua tindakannya bertentangan dengan alasan keberadaan jabatan-jabatan publik yang terhormat itu? Sekali lagi; ada yang salah dengan cara berpikirnya, dan juga cara berpikir kita semua.
Berpikir
Untuk hidup orang perlu berpikir. Setiap saat setiap waktu, orang berpikir. Perilaku lahir dari proses berpikir. Aku berpikir maka aku ada, begitu diktum Descartes yang tetap relevan sampai sekarang.
Bahkan untuk merasa orang perlu berpikir. Tidak ada pemisahan tegas antara perasaan dan pikiran. Proses emosional terbentuk dari campuran antara pikiran dan perasaan.
Tindakan juga lahir dari pikiran. Proses pertimbangan pikiran melahirkan keputusan. Dan dengan keputusan hidupnya, manusia mengubah dunia. Tak ada yang lebih penting daripada membentuk cara berpikir. Disitulah filsafat berperan.
Cara Berpikir
Di dalam semua aspek hidup, orang harus selalu menggunakan empat cara berpikir. Dengan empat cara berpikir ini, orang bisa mempertimbangkan segala sesuatu secara jernih. Dengan empat cara berpikir ini, orang bisa mencapai kebahagiaan.
Yang pertama adalah pola berpikir analitis. Analitis adalah tindakan memecah keseluruhan ke dalam bagian-bagian. Dengan cara ini masalah, apapun bentuknya, bisa dipahami dengan lebih sederhana. Dengan cara ini pula, orang bisa bekerja dengan tepat guna.
Yang kedua adalah pola berpikir kritis. Kritis berarti orang tidak mudah percaya. Sebelum percaya atau menganut sesuatu, orang perlu untuk mempertanyakannya, sampai ia menemukan dasar yang kokoh untuk percaya. Dengan berpikir kritis orang tidak mudah terombang ambing oleh kabar burung yang meresahkan.
Yang ketiga adalah pola berpikir teknis. Berpikir teknis berarti berpikir tentang bagaimana cara melakukan sesuatu, mulai dari cara menjual barang, sampai memperbaiki mesin yang amat mekanistis. Berpikir mekanis berarti menyelesaikan masalah jangka pendek dengan tepat guna.
Yang keempat adalah berpikir reflektif. Dengan cara berpikir ini, orang diajak melihat ulang apa yang telah dilakukannya. Ia diminta melihat sisi baik maupun sisi lemah dari sikap hidupnya. Dengan menjalani proses ini, orang dipastikan akan selalu peka pada kelemahan diri maupun lingkungannya.
Tak Terpisahkan
Keempat cara berpikir ini harus diterapkan bersamaan. Keempatnya tidak pernah boleh dipisahkan. Berpikir teknis tak pernah bisa dipisahkan dari berpikir reflektif. Jika itu dipisahkan orang akan jadi robot yang bekerja tanpa berpikir.
Berpikir analitis tidak pernah bisa dilepaskan dari berpikir kritis. Untuk memecah masalah ke dalam bagian-bagian, orang perlu kritis terlebih dahulu tentang apa yang sesungguhnya menjadi masalah. Jika tidak kritis orang hanya menghabiskan waktu dan tenaga untuk sesuatu yang sebenarnya salah arah.
Empat pola pikir ini juga menunjang sikap kepemimpinan. Seorang pemimpin mulai dari level negara sampai memimpin diri sendiri amat penting untuk menggunakan keempat pola pikir ini. Di dalam membuat keputusan, ia perlu berpikir kritis dalam menemukan masalah, analitis dalam memecah masalah ke dalam bagian-bagian yang lebih sederhana, berpikir teknis untuk menerapkan solusi yang sudah ada, dan reflektif untuk meninjau ulang setiap prosesnya.
Keempat pola berpikir ini akan membuat kita menjadi manusia yang beradab. Kita tidak lagi agresif dan reaksioner di dalam menyingkapi masalah. Keputusan yang kita buat dalam hidup pun lebih tepat guna di dalam proses mencapai kebahagiaan bersama.
Jika setiap kebijakan publik dipandu oleh keempat pola berpikir ini, maka kita akan, perlahan namun pasti, menjadi bangsa maju. Maju tidak hanya dalam soal ekonomi, tetapi dalam soal kedewasaan politik, kultural, dan bahkan seni. Dengan berpikir kritis, analitis, teknis, dan reflektif di dalam semua bidang kehidupan, Indonesia akan menjadi bangsa besar.
Lebih dari itu kita akan menjadi bangsa yang bahagia. Setiap kebijakan lahir dari pertimbangan yang matang dan bijaksana. Ukuran kemajuan tidak lagi bersifat material semata, tetapi sampai pada kepuasan jiwa warganya. Itulah cita-cita kita bersama sebagai bangsa.
Situasi Kita
Namun kita mesti berkaca. Situasi kita sekarang jauh dari apa yang kita harapkan. Kebijakan publik masih keluar dari pikiran yang amat tidak kritis, sehingga tidak kena langsung pada masalahnya. Akibatnya masalah tetap ada, dan bahkan semakin besar.
Kita juga kurang berpikir analitis. Akibatnya masalah ataupun tantangan tak dapat dipecah ke dalam bagian-bagian lebih sederhana. Di hadapan masalah ataupun tantangan raksasa, kita cenderung tak peduli, menyerah, dan putus asa. Kita pun seolah tanpa harapan.
Jika tak mampu berpikir kritis dan analitis, solusi yang disarankan pun juga tidak tepat guna. Berbagai langkah praktis diterapkan, namun hasilnya tak terasa. Akibatnya sumber daya terbuang percuma. Masalah pun tetap ada.
Semua itu dibarengi dengan tidak mampunya kita berpikir reflektif. Kita tidak meninjau ulang apa yang telah kita lakukan. Akibatnya semua masalah tetap ada, dan bahkan berulang setiap kalinya. Kita terus jatuh pada lubang yang sama.
Itulah Indonesia. Itulah kita. Kunci untuk keluar dari masalah adalah mengubah cara berpikir. Sudah waktunya kita menggunakan pola berpikir kritis, analitis, teknis, dan reflektif di dalam semua aspek kehidupan yang ada. Sudah waktunya. Tak bisa lagi ditunda.
Jika kita sudah menerapkan keempat pola pikir ini, kasus hakim yang ditangkap, pejabat publik yang korup tanpa dihukum, dan sekolah yang melegalkan pencontekan tidak akan terulang lagi. Andaikata kita sudah menerapkannya sejak awal, mereka semua tidak perlu ada, dan menghiasi panggung media masa kita. Andai.. ***
Penulis adalah Dosen Filsafat Politik, Fakultas Filsafat UNIKA Widya Mandala Surabaya
Artikelnya keren2, jadi betah di sini.
SukaSuka
Ijin dijadiin referensi buat tulisanku yah Masbro 🙂
SukaSuka
Selamat datang. Senang bisa membantu.
SukaSuka
Pantesan top, yang nulisnya dosen trenyata,
keliatan sob, kalau orang biasa walaupun nulisnya bagus, mentalnya
(emosi, kontrol dll) langsung katauan
SukaSuka
Dosen juga banyak yang mentalnya ga bagus. hehehe.. salam kenal
SukaSuka
saya ingin tanya apa alasan seseorang itu berfikir secara filsafat?
SukaSuka
Untuk bisa memahami makna hidup, akar masalah yang dihadapi, dan kemudian membuat keputusan2 yang tepat dalam hidup.
SukaSuka
malam pak dosen…
saya mau nanya, apa saja dasar-dasar berfikir secara filsafat?
SukaSuka
Dasar berpikir filsafat:
1. Kritis: tidak mudah percaya begitu saja
2. Sistematis : jelas dalam menyampaikan ide
3. rasional: sebab akibat, dan tidak jatuh ke dalam takhayul
4. koheren : runut dalam berpikir
keempat hal ini tidak pernah boleh dipisahkan
SukaSuka
Dasar berpikir filsafat:
1. Kritis: tidak mudah percaya begitu saja
2. Sistematis : jelas dalam menyampaikan ide
3. rasional: sebab akibat, dan tidak jatuh ke dalam takhayul
4. koheren : runut dalam berpikir
SukaDisukai oleh 1 orang
Wahhh…. makasih banyak ya pak… penjelasannya singkat, padat n bermakna bgt.
thank u so much 🙂
SukaSuka
Sama-sama. Salam kenal.
SukaSuka
maf pak, mau nanya beda nya berpikir analitis matematis dengan berpikir kritis?
SukaSuka
matematis itu berpikir dengan menghitung.. berpikir kritis itu lebih luas, mempertanyakan segalanya, sampai bisa menemukan dasar yang cukup bisa dipegang…
SukaSuka