Menelanjangi Bentuk-bentuk Kemunafikan

Karya Mihai Criste

Oleh Reza A.A Wattimena

Dosen di Fakultas Filsafat Unika Widya Mandala Surabaya, sedang belajar di Bonn, Jerman

Tak bisa disangkal lagi, kita hidup di dunia yang penuh dengan kemunafikan. Bagaikan udara, kemunafikan terasa di setiap nafas yang kita hirup. Kemunafikan juga tampak di setiap sudut yang dilihat oleh mata. Mungkin, konsep ini benar: kita munafik, maka kita ada. Mungkin?

Namun, seringkali, kemunafikan tidak disadari. Keberadaannya ditolak. Menyangkal bahwa kita adalah mahluk munafik sebenarnya adalah suatu kemunafikan tersendiri. Yang kita perlukan adalah menyadari semua kemunafikan yang kita punya, dan mulai “menelanjangi bentuk-bentuk kemunafikan” yang bercokol di dalam diri kita.

Kemunafikan Pendidikan

Kemunafikan bagaikan kanker yang menjalar ke seluruh tubuh bangsa kita. Di dalam pendidikan, kemunafikan menjadi paradigma yang ditolak, namun diterapkan secara sistematis. Guru mengajar tentang kejujuran, sementara ia sendiri menyebarkan contekan untuk Ujian Nasional. Pemerintah bicara soal sekolah gratis di berbagai media, sementara pungutan liar di sekolah-sekolah tetap berlangsung.

Para professor menerima tunjangan raksasa, sementara mereka tak memiliki karya berharga. Guru mendapat uang lebih, namun paradigma mengajar tetap sama, yakni memaksa untuk menghafal, dan memuntahkan kembali melalui ujian. Tujuan pendidikan yang luhur dipampang di muka umum, namun prakteknya justru menyiksa peserta didik, dan memperbodoh bangsa.

Ujian dibuat, namun tidak menguji apa yang sungguh penting. Kompetisi digalakkan, tetapi hanya berperan sebagai simbol tak berarti yang tak menandakan apapun. Gelar diberikan dan dipampang panjang-panjang, tetapi hanya simbol yang sia-sia belaka. Pendidikan karakter dikumandangkan dengan gencar, tetapi sebenarnya hanya merupakan proyek pemerintah untuk mengucurkan uang lebih, dan kesempatan untuk korupsi.

Kemunafikan Politik

Politik juga adalah bidang yang digerogoti oleh penyakit kemunafikan. Senyum di media disebarkan secara luas, sementara korupsi dan penipuan terus dilakukan. Janji-janji indah digemakan, sementara praktek nyata untuk perbaikan kehidupan bersama tak kunjung tiba. Baju necis dan bau harum menjadi ciri para politikus untuk menutupi kekotoran tindakan mereka yang telah membunuh banyak orang.

Pidato dibuat seindah mungkin, didukung dengan data-data yang telah dipalsukan, untuk menutupi kenyataan sosial yang menyakitkan. Retorika, yakni kemampuan mempermainkan kata dan menjungkirbalikkan kebenaran, menjadi senjata para politikus untuk menyembunyikan borok politik yang ada. Konvoi-konvoi di jalan raya seolah membuka jalan untuk orang penting, yang sebenarnya hanyalah parasit korup yang menyiksa rakyat.

Perjalanan dinas menjadi dalih untuk wisata pribadi dengan uang rakyat. Rapat dengan “uang rapat” menjadi dalih untuk mengeluarkan anggaran, guna mempergendut rekening pribadi. Pemilu dan pilkada, yang merupakan salah satu proses terpenting di dalam demokrasi, menjadi kesempatan untuk menjual diri ke rakyat, guna memperoleh kesempatan untuk korupsi di kemudian hari. Tak heran, politik kita kini semrawut.

Kemunafikan Agama

Agama, bidang kehidupan yang penuh dengan nilai luhur kehidupan, pun tak lolos dari cengkraman kemunafikan. Ajaran moral agama dipelintir untuk menindas kaum perempuan dan orang-orang yang berbeda pandangan. Ajaran moral agama digunakan untuk membenarkan ketidakadilan dan pembodohan masyarakat. Bahkan, ajaran moral agama seringkali digunakan untuk memuaskan hasrat seks liar yang tak dapat lagi ditahan.

Para pemuka agama berkhotbah tentang kejujuran, sementara mereka menipu banyak orang dengan ucapan manis, namun tindakan penuh kekejaman. Para pemuka agama berkhotbah tentang pentingnya cinta, namun bertindak menindas kaum perempuan dan kelompok lain yang ada di masyarakat. Para pemuka agama berkhotbah soal moral dan kebaikan, namun luntur prinsipnya di hadapan kuasa uang dan seks.

Orang beragama berkhotbah soal nilai-nilai kehidupan, namun bisa saling bunuh, hanya karena beda pandangan tentang satu ayat yang tertulis di dalam buku tua. Orang beragama berkhotbah soal amal dan sifat luhur memberi, namun amal hanya untuk orang-orang yang sealiran, dan tidak untuk orang-orang yang berbeda pandangan, apalagi berbeda agama. Orang beragama berdoa sering dan lama, namun malas bekerja, dan hidup dengan mentalitas korup.

Kemunafikan Bisnis

Ekonomi dan bisnis, sebagai bidang tempat orang bekerja dan mengekspresikan bakat serta kemampuannya, juga tak bebas dari kemunafikan. Senyum manis pelayanan diberikan untuk menutupi hasrat untuk menumpuk modal tanpa batas. Pembukuan keuangan perusahaan dijungkirbalikkan untuk menghindari pajak, dan menumpuk keuntungan untuk pemilik modal. Retorika tentang krisis ekonomi diberikan untuk menekan upah buruh, padahal keuntungan yang ada melulu menancap di kantong pribadi pemilik modal.

Rayuan maut dalam bentuk suap dilakukan untuk melancarkan birokrasi. Suap ditawarkan untuk mengeruk keuntungan yang lebih tinggi, walaupun nyatanya membuat orang menderita, dan menghancurkan keseimbangan alam. Barang dagangan dipelintir kualitasnya, sehingga menjadi lebih rendah, dan merugikan pengguna, serta memberi keuntungan besar dalam jangka pendek.

Proyek besar dijalankan untuk tujuan-tujuan yang tampak baik, namun sebenarnya merusak alam, dan merugikan orang-orang yang telah hidup sebelumnya, baik secara material maupun psikologis. Monopoli pasar dilakukan, sehingga pengguna tidak memiliki pilihan, selain membeli dari satu orang dengan harga mahal, namun mendapat mutu rendah. Slogan-slogan sumber daya manusia tentang efektivitas dan efisiensi digunakan untuk memerah buruh, supaya bisa semakin bekerja cepat, mutu tinggi, dengan upah serendah mungkin.

Akar Kemunafikan?

Darimana akar kemunafikan ini? Salah satu analisis yang paling masuk akal adalah kemunafikan yang lahir dari proses pendidikan di keluarga, sebelum sistem-sistem lainnya menyentuh diri manusia. Orang tua mengeluarkan ajaran yang berbeda, dengan apa yang sesungguhnya mereka lakukan. Jurang antara apa yang dikatakan dengan apa yang dilakukan ini ditiru oleh anak, dan setelah sekian lama akhirnya menjadi bagian dari karakter dirinya.

Ayah berbicara tentang kesetian, sementara alat kelaminnya menjangkau banyak perempuan. Ibu berbicara soal kejujuran, sementara setipa bulannya, ia mencuri uang rumah tangga untuk kepentingan yang tak jelas. Orang tua berbicara tentang kerajinan, sementara seringkali, mereka sendiri malas bekerja. Orang tua berkhotbah tentang pentingnya menaati aturan, sementara mereka sendiri sering melanggar aturan dan hukum, serta merugikan orang lain.

Akar dari kemunafikan adalah jurang yang terlalu besar antara kata dan perbuatan, antara ajaran dan tindakan di lapangan, serta antara apa yang “secara teoritis” menjadi tujuan bersama dan apa yang “secara nyata” terjadi di dalam kehidupan sehari-hari. Jurang ini memang selalu ada. Namun, dalam dan luasnya menentukan besarnya kemunafikan yang terjadi. Bagaimana dengan anda? Seberapa jauh jarak yang anda punyai antara apa yang ada katakan tentang diri anda, dan apa yang sesungguhnya terjadi secara nyata?

 

 

 

 

Diterbitkan oleh

Reza A.A Wattimena

Peneliti di bidang Filsafat Politik, Filsafat Ilmu dan Kebijaksanaan Timur. Alumni Sekolah Tinggi Filsafat Driyarkara Jakarta, Doktor Filsafat dari Hochschule für Philosophie München, Philosophische Fakultät SJ München, Jerman. Beberapa karyanya: Menjadi Pemimpin Sejati (2012), Filsafat Anti Korupsi (2012), Tentang Manusia (2016), Filsafat dan Sains (2008), Zen dan Jalan Pembebasan (2017-2018), Melampaui Negara Hukum Klasik (2007), Demokrasi: Dasar dan Tantangannya (2016), Bahagia, Kenapa Tidak? (2015), Cosmopolitanism in International Relations (2018), Protopia Philosophia (2019), Memahami Hubungan Internasional Kontemporer (20019), Mendidik Manusia (2020), Untuk Semua yang Beragama (2020), Terjatuh Lalu Terbang (2020), Urban Zen (2021), Revolusi Pendidikan (2022) dan berbagai karya lainnya.

14 tanggapan untuk “Menelanjangi Bentuk-bentuk Kemunafikan”

  1. Pertanyaan yang mendalam sekali dan menjadi perenungan yg penting. mungkin saya termasuk orang yang baik hehehe, saya berusaha menepati janji, membantu orang lain, tidak korupsi,tidak melakukan free sex, intinya saya jarang melakukan hal yang tidak baik. tapi pertanyaan bapak membuat saya berpikir lebih dalam tentang diri saya. apakah saya benar2 tidak munafik? mungkin saya orang baik tapi apakah saya orang baik yang munafik? pertanyaan yang jawabannya pada diri kita masing-masing.

    Suka

  2. Comen lagi ya Om Reza, senang bacanya..saya ulang2 terus. Saya memang munafik, tp mudah2an setelah baca ini bisa berubah sedikit demi sedikit. Belajar dr blog Om Reza. Hehehehe

    Suka

  3. Terima kasih pencerahannya, perlu memang sesekali mencermin diri. Semoga semakin memberi manfaat bagi banyak orang. Salam raffly

    Suka

  4. Terimaksih Pak Reza saya sangat di berkati dengan Tulisan Pak Reza.

    mengakui diri sebagai orang munafik adalah langkah awal untuk menjadi lebih baik dan keluar dari kemunafikan … salam kenal

    Suka

Tinggalkan Balasan

Isikan data di bawah atau klik salah satu ikon untuk log in:

Logo WordPress.com

You are commenting using your WordPress.com account. Logout /  Ubah )

Foto Facebook

You are commenting using your Facebook account. Logout /  Ubah )

Connecting to %s

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.