Sudah cukup lama, beberapa teman bertanya kepada saya. Ada yang melalui email, atau pertanyaan di media sosial. Apa makna hidup ini? Pertanyaan singkat, namun menuntut permenungan yang mendalam.
Pertanyaan ini menjadi penting, ketika krisis menghantui. Ketidakpastian mengancam masa depan. Penyesalan atas masa lalu juga menikam dada. Pandemik menambah daftar hal-hal yang menakutkan di dalam hidup manusia. Lanjutkan membaca Makna Kehidupan
Dosen di Fakultas Filsafat Unika Widya Mandala Surabaya, sedang di München, Jerman
Gadis itu bernama Sabina (bukan nama sebenarnya). Ia tinggal di Jerman. Wajahnya cantik. Ia sangat ramah dan rajin membantu ayahnya. Ayahnya berasal dari Indonesia, dan ibunya orang Jerman. Kini, Sabina sedang melanjutkan studi antropologi di universitas di kota tempat tinggalnya.
Seperti pengalaman banyak anak keturunan campur lainnya, ia seolah hidup di dua dunia. Ia merasa dekat dengan budaya Jerman, karena ia lahir di negara itu. Namun, ia juga merasa perlu untuk memahami budaya Indonesia yang dimiliki ayahnya. Kegelisahan kultural atas pertanyaan “siapa saya?” juga menjadi kegelisahan pribadinya.
Ia mencoba memahami pengalaman dirinya dengan menulis skripsi tentang pengalaman hidup anak yang orang tuanya berasal dari kultur yang berbeda. Namun, Sabina tidak sendirian. Semakin hari, semakin banyak orang yang berasal dari keluarga dengan orang tua yang memiliki budaya berbeda. Semakin banyak yang mengalami kegelisahan pribadi, dan kemudian bertanya, “siapa saya”? Lanjutkan membaca Sahabat sebagai “Rumah”
Dosen Filsafat Politik, Fakultas Filsafat Unika Widya Mandala Surabaya
Mengapa anda pergi kantor setiap pagi? Atau mengapa anda buka toko anda setiap pagi? Mengapa anda rela terjebak macet, dan tetap pergi bekerja? Mengapa anda pergi ke sekolah, atau ke kampus?
Mayoritas orang bekerja untuk mendapat uang, sehingga bisa hidup, dan menghidupi keluarganya. Kerja tidak memiliki makna pada dirinya sendiri, melainkan di luarnya, yakni uang, dan keluarga. Ada juga yang pergi ke kantor, karena sistemnya mengatakan begitu. Orang harus bekerja, dan itulah sistemnya. Itulah aturan yang tengah berlaku di masyarakat.
Orang-orang modern melakukan aktivitasnya bukan karena aktivitas itu bermakna, tetapi karena dipaksa oleh sistem yang ada di luarnya, karena kewajiban, atau karena “terpaksa” bertahan hidup. Kata “makna” sendiri pun semakin asing di pikiran orang-orang modern yang sudah terpesona dengan yang praktis, aplikatif, dan teknis.
Ketika orang tidak menemukan makna di dalam hidupnya, ia akan mengalami kekeringan hidup. Kebosanan dan kejenuhan menjadi gejala sehari-hari manusia modern. Jika sudah begitu, stress, depresi, dan berbagai bentuk “ketidakbahagiaan” lainnya sudah menunggu di depan mata. Manusia modern terjebak di dalam sistem dan birokrasi yang ia ciptakan sendiri, dan kehilangan makna yang menjadi tujuan hidupnya. Lanjutkan membaca Krisis Makna
Fakultas Filsafat UNIKA Widya Mandala, Surabaya, 1 April 2011.
Kata ini bagaikan belut. Tidak ada makna pasti. Kata ini hidup dalam konteks. Cara mengucapkan sampai siapa yang dituju menentukan maknanya.
Sahabat dekat mengucapkan kata ini untuk menyapa. Musuh besar juga mengucapkan kata ini, ketika menyatakan rasa bencinya. Kata ini bukanlah kata sifat, atau kata kerja. Ia hanya kata. Ia adalah ekspresi.
Kata ini lahir dari “rahim” orang Surabaya. Kata ini secara singkat menggambarkan identitas orang Surabaya. Ia menggambarkan secara gamblang roh masyarakat pinggir pantai yang amat unik ini.
Seorang Filsuf asal Austria, Ludwig Wittgenstein, pernah berpendapat, bahwa bahasa lahir dari suatu konteks. Konteks itu disebutnya sebagai permainan bahasa (language games). Di dalam permainan bahasa, ada aturan yang harus dipatuhi. Makna suatu kata atau suatu aktivitas selalu harus dilihat dalam konteks permainan bahasanya. Lanjutkan membaca Jancuk