Tentang Pesona dari Kedunguan

52222641b9983210bda305c130bb8093

Oleh Reza A.A Wattimena

Siang itu, saya berjalan di sebuah pusat perbelanjaan di Jakarta. Ada antrian panjang di sebuah restoran. Saya pun penasaran, dan mulai mencari info. Ternyata, itu adalah toko roti yang berasal dari negara lain, dan baru saja membuka toko di pusat perbelanjaan yang saya kunjungi.

Apakah roti tersebut sungguh enak, sehingga layak ditunggu dalam antrian yang lama, panjang dan menyiksa? Bagaimana dengan protokol kesehatan? Apakah itu masih berlaku? Setelah beberapa bulan, dan antrian sudah berhenti, saya mencoba roti tersebut. Lanjutkan membaca Tentang Pesona dari Kedunguan

DUNGU

unnamedOleh Reza A.A Wattimena

Alkisah, seorang pemuda hendak melihat mentari terbit. Katanya, setiap jam 3 pagi, ia sudah bangun, dan mempersiapkan diri. Matahari, baginya, adalah sumber kehidupan. Setiap hari, ia pun menantinya terbit.

Setelah bangun, ia mandi. Segera, ia memakai baju yang baru, supaya tampak sopan di hadapan sang sumber kehidupan. Ia pun menghadap Barat. Sabar menanti, ia terus berdiri, dan terus berharap. Lanjutkan membaca DUNGU

Dungu

imgname--dumb_money_and_the_meltdown---50226711--dunce2 Oleh: Reza A.A Wattimena

Ada gejala menarik belakangan ini. Segala bentuk wacana yang amat mendalam berubah menjadi amat dangkal, ketika sampai di tangan kita. Kedalaman makna tak dapat dirasa. Yang ditangkap oleh mata dan akal hanyalah potongan makna yang cacat sebelah.

Wacana pendidikan karakter berubah menjadi kebersihan kuku dan kerapihan jambang rambut. Kedalaman berpikir displin filsafat dianggap sebagai sekolah dukun. Orang banting tulang belajar psikologi dikira hanya untuk bisa “membaca orang”. Moralitas disempitkan semata menjadi urusan cium tangan.

Wacana kewirausahaan yang begitu mendalam menjadi semata urusan jaga toko. Pendidikan sebagai ajang pembebasan diterjemahkan semata menjadi menggurui. Investasi sebagai simbol kepercayaan antara pribadi diterjemahkan semata sebagai cara menggapai keuntungan finansial sesaat. Dan konsep kebebasan yang begitu luhur dan dalam diterjemahkan menjadi bersikap seenaknya.

Kedalaman iman diterjemahkan semata menjadi banyak atau sedikitnya orang “tampak” berdoa. Kualitas intelektual seseorang semata dilihat dari kumpulan sertifikat ataupun ijazah yang ia punya. Manajemen organisasi diterjemahkan menjadi semata urusan birokrasi miskin visi yang amat teknis dan dangkal, serta justru memperlambat semuanya. Ekonomi diterjemahkan semata-mata sebagai hitungan-hitungan jumlah kekayaan finansial.

Apa yang terjadi?

Lanjutkan membaca Dungu