Dungu

imgname--dumb_money_and_the_meltdown---50226711--dunce2 Oleh: Reza A.A Wattimena

Ada gejala menarik belakangan ini. Segala bentuk wacana yang amat mendalam berubah menjadi amat dangkal, ketika sampai di tangan kita. Kedalaman makna tak dapat dirasa. Yang ditangkap oleh mata dan akal hanyalah potongan makna yang cacat sebelah.

Wacana pendidikan karakter berubah menjadi kebersihan kuku dan kerapihan jambang rambut. Kedalaman berpikir displin filsafat dianggap sebagai sekolah dukun. Orang banting tulang belajar psikologi dikira hanya untuk bisa “membaca orang”. Moralitas disempitkan semata menjadi urusan cium tangan.

Wacana kewirausahaan yang begitu mendalam menjadi semata urusan jaga toko. Pendidikan sebagai ajang pembebasan diterjemahkan semata menjadi menggurui. Investasi sebagai simbol kepercayaan antara pribadi diterjemahkan semata sebagai cara menggapai keuntungan finansial sesaat. Dan konsep kebebasan yang begitu luhur dan dalam diterjemahkan menjadi bersikap seenaknya.

Kedalaman iman diterjemahkan semata menjadi banyak atau sedikitnya orang “tampak” berdoa. Kualitas intelektual seseorang semata dilihat dari kumpulan sertifikat ataupun ijazah yang ia punya. Manajemen organisasi diterjemahkan menjadi semata urusan birokrasi miskin visi yang amat teknis dan dangkal, serta justru memperlambat semuanya. Ekonomi diterjemahkan semata-mata sebagai hitungan-hitungan jumlah kekayaan finansial.

Apa yang terjadi?

Kerangka Berpikir

Manusia adalah mahluk penafsir. Ia tidak pernah terhubung dengan dunia secara langsung, melainkan melalui kerangka berpikirnya. Ia tidak pernah melihat dunia dengan netral, tetapi selalu melalui kepentingannya. Seringkali orang hanya melihat apa yang ingin mereka lihat, dan tidak peduli dengan kebenaran yang sesungguhnya.

Di Indonesia orang juga melihat dunia dengan kerangka berpikirnya. Namun kerangka berpikir yang ada tidaklah memadai. Akibatnya apa yang ditangkap adalah yang apa yang di permukaan, yakni yang dangkal. Yang kemudian tercipta adalah pendangkalan makna, dan bahkan kesalahpahaman.

Kerangka berpikir mayoritas orang Indonesia itu dungu, dalam arti pola berpikirnya cenderung tidak rasional, tidak kritis, dan tidak sistematis di dalam melihat keadaan. Akibatnya wacana yang paling mendalam pun juga akan dibaca secara dungu. Tak heran pendidikan karakter menjadi semata masalah kebersihan kuku, dan moralitas hanya disempitkan pada semata ritual cium tangan. Politik pun juga ditafsirkan secara dungu, yakni sebagai ajang untuk merebut dan mempertahankan kekuasaan belaka.

Peleburan Horison

Di dalam proses penafsiran, orang mengalami peleburan horison antara pola berpikirnya dan obyek yang ada di depannya. Peleburan horison itulah yang akan menciptakan pemahaman. Pemahaman yang tepat lahir dari peleburan antara pola berpikir yang rasional-kritis-sistematis dengan obyek yang ditampilkan. Sementara pemahaman yang salah lahir dari peleburan antara pola berpikir penuh prasangka dan obyek yang ada di depan mata.

Di Indonesia pola berpikir mayoritas warganya dungu. Akibatnya pemahaman yang tercipta pun juga pemahaman yang dungu. Peleburan horison antara pola berpikir dungu dan obyek yang tampil di depan akan menghasilkan kedangkalan pengertian, dan bahkan kesalahpahaman.

Kesalahpahaman akan mendorong tindakan yang salah. Yang tercipta kemudian adalah ketidakadilan. Ada korban dari tindakan yang tidak adil. Semakin banyak korban semakin besar pula peluang untuk terjadinya kekacauan.

Konteks

Makna dari sesuatu itu tidak pernah netral ataupun universal, melainkan selalu tertanam dalam konteks. Kebaikan itu tidak pernah mutlak, melainkan kebaikan dalam konteks tertentu. Begitu pula kejahatan tidak pernah mutlak, dan selalu jahat dalam konteks tertentu. Inilah prinsip utama dari ilmu tafsir, atau hermeneutika.

Kedunguan membuat mayoritas orang Indonesia tidak melihat konteks. Akibatnya kebenaran dimutlakkan dan tercabut dari konteks. Kebenaran tanpa konteks adalah kejahatan itu sendiri. Kontekslah yang memberikan makna pada kebenaran. Tanpa konteks kebenaran pun kehilangan artinya.

Konteks selalu bersifat historis. Maka tidak ada kebenaran mutlak. Yang ada adalah kebenaran yang pelan-pelan menyingkapkan dirinya dalam kehidupan, tanpa pernah telanjang sepenuhnya. Kebenaran selalu hidup dan bermakna di dalam konteks.

Inilah yang tidak kita pahami. Kita beragama tanpa konteks. Kita berpolitik tanpa konteks. Ini terjadi karena pola berpikir kita dungu. Akibatnya kita buta pada konteks.

Dungu

Manusia dilengkapi dengan akal budi sejak ia lahir. Tugasnya adalah memaksimalkan akal budinya tersebut di dalam kehidupan. Ia perlu belajar dan berelasi dengan manusia lain, supaya ia berkembang sebagai manusia. Ia perlu mendengar dan membaca, supaya pikirannya tidak sempit dan buta.

Orang-orang dungu di Indonesia tidak menyadari fakta ini. Mereka malas membaca, malas bergaul dengan yang tidak sepikiran, dan penuh dengan prasangka. Mereka malas mendengar hal-hal yang bertentangan dengan keyakinan mereka. Akibatnya mereka semakin dungu. Cara berpikirnya semakin hari semakin tidak masuk akal, tidak kritis, dan tidak sistematis.

Pendidikan kita adalah pendidikan dengan paradigma yang dungu. Politik kita adalah politik orang-orang dungu. Bisnis kita adalah bisnis orang-orang dungu. Bangsa kita adalah bangsa dungu.

Berubah

Namun dungu bukanlah kondisi permanen. Orang bisa berubah asalkan memiliki kemauan dan usaha cukup besar. Langkah awal adalah dengan mengubah pola pendidikan, yakni ke arah penciptaan manusia-manusia yang mampu berpikir masuk akal, bersikap kritis pada keadaan, dan mampu menyampaikan ide-idenya secara sistematis pada orang lain. Seluruh kurikulum dan pola pengajaran dari TK sampai perguruan tinggi harus menjiwai pola ini.

Tidak ada proses instan untuk memerang kedunguan pola pikir. Yang diperlukan adalah usaha yang sabar dan konsisten. Namun pertama-tama kita perlu sadar dulu, bahwa kita adalah orang dungu, dan berniat untuk keluar dari kedunguan itu. Masalahnya adalah maukah kita untuk berhenti menjadi orang dungu? ***

Penulis

Reza A.A Wattimena

Dosen Filsafat Politik,

Fakultas Filsafat UNIKA Widya Mandala, Surabaya

Gambar dari http://d2eosjbgw49cu5.cloudfront.net/soxfirst.com/imgname–dumb_money_and_the_meltdown—50226711–dunce2.jpg

Diterbitkan oleh

Reza A.A Wattimena

Pendiri Rumah Filsafat. Peneliti di bidang Filsafat Politik, Filsafat Ilmu dan Kebijaksanaan Timur. Alumni Sekolah Tinggi Filsafat Driyarkara Jakarta, Doktor Filsafat dari Hochschule für Philosophie München, Philosophische Fakultät SJ München, Jerman. Beberapa karyanya: Menjadi Pemimpin Sejati (2012), Filsafat Anti Korupsi (2012), Tentang Manusia (2016), Filsafat dan Sains (2008), Zen dan Jalan Pembebasan (2017-2018), Melampaui Negara Hukum Klasik (2007), Demokrasi: Dasar dan Tantangannya (2016), Bahagia, Kenapa Tidak? (2015), Cosmopolitanism in International Relations (2018), Protopia Philosophia (2019), Memahami Hubungan Internasional Kontemporer (20019), Mendidik Manusia (2020), Untuk Semua yang Beragama (2020), Terjatuh Lalu Terbang (2020), Urban Zen (2021), Revolusi Pendidikan (2022), Filsafat untuk Kehidupan (2023), Teori Transformasi Kesadaran (2023) dan berbagai karya lainnya.

2 tanggapan untuk “Dungu”

  1. Hahahahahaaa, mantap mas! Repotnya, banyak dr kita yg terlalu sombong utk mau introspeksi diri, semua merasa dirinya benar,,,,
    As an example, angkutan umum yg berhenti cari penumpang ditengah jalan, bisa lebih galak dari orang yg negur mereka krn melanggar hak org lain jg utk bs lewat jalan itu…
    Kronisch ablenkung mas!

    Suka

  2. iya.. malas introspeksi itu salah satu tanda kedunguan… banyak supir angkot dungu di Jakarta, juga di Surabaya,… tapi banyak juga supir mobil pribadi yang tak kalah dungunya… heheheh…

    Suka

Tinggalkan Balasan

Isikan data di bawah atau klik salah satu ikon untuk log in:

Logo WordPress.com

You are commenting using your WordPress.com account. Logout /  Ubah )

Foto Facebook

You are commenting using your Facebook account. Logout /  Ubah )

Connecting to %s

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.