Dialog sebagai Jalan Hidup

600full-dimensions-of-dialogue-photo
tasteofcinema.com

Oleh Reza A.A Wattimena

Pendiri Program “Sudut Pandang” (www.rumahfilsafat.com)

Banyak masalah di dalam hidup kita bisa ditarik ke satu sebab mendasar, yakni tidak adanya dialog. Orang mengira pendapatnya sendiri sebagai benar, dan menghina pendapat orang lain. Orang tidak lagi mendengar dengan seksama, sehingga salah paham, dan cenderung menanggapi dengan amarah dan kebencian. Akibatnya, banyak masalah tak selesai, sementara masalah baru datang bermunculan.

Sebenarnya, dialog bukanlah barang baru di dalam hidup manusia. Ia sudah selalu menjadi bagian hidup kita. Dialog adalah upaya untuk memahami maksud dan cara berpikir seseorang dengan berbicara langsung dengannya. Ia adalah landasan dari beragam bentuk diskusi.

Ketika kita merencanakan sesuatu, misalnya tujuan dari liburan tahun ini, kita berdialog dengan teman ataupun keluarga kita. Dialog dan diskusi juga amat penting untuk menyelesaikan kesalahpahaman yang biasanya berujung pada konflik. Ia juga menjadi cara paling baik untuk membuat berbagai keputusan penting dalam hidup.

Bisakah kita membayangkan dialog sebagai jalan hidup kita? Artinya, kita siap sedia untuk berdialog saat demi saat, baik dengan diri kita dalam bentuk refleksi, maupun dengan orang lain. Kita lalu bisa belajar dari pengalaman hidup kita, dan bekerja sama dengan orang lain. Apakah yang kiranya diperlukan untuk mewujudkan hidup dialogis semacam itu?   Lanjutkan membaca Dialog sebagai Jalan Hidup

Agama, Alam dan Alat

cdn.visualnews.com
cdn.visualnews.com

Tentang Laudato si, Ensiklik Paus Fransiskus, 24 Mei 2015

Oleh Reza A.A Wattimena

Dosen di Fakultas Filsafat, Unika Widya Mandala, Surabaya, sedang kuliah di Munich, Jerman

Laudato si adalah salah satu teks paling indah, jujur, lugas, mendalam, ilmiah, filosofis dan teologis yang pernah saya baca di dalam hidup saya.1 Jujur saja, ketika membacanya, saya menangis terharu dan bangga. Laudato si (terjemahan: Terpujilah Engkau, Tuhan) adalah ensiklik2 terbaru dari Paus Fransiskus, pimpinan tertinggi Gereja Katolik Roma. Menurut Michael Schöpf, pimpinan Institut für Gesellschaftspolitik, Hochschule für Philosophie München, ensiklik ini bukanlah semata tulisan resmi Gereja Katolik Roma tentang lingkungan hidup.3 Ini adalah tulisan tentang kaitan antara krisis lingkungan hidup dan krisis sosial dalam bentuk ketidakadilan global. Keduanya memiliki kaitan yang amat erat sekaligus akar yang sama. Keduanya hanya bisa diatasi dengan kerja sama yang erat dari berbagai pihak, mulai dari politik, agama dan ekonomi.

Johannes Wallacher, pimpinan Hochschule für Philosophie München, melihat kritik tajam Paus Fransiskus terhadap orang-orang yang masih menyangkal adanya perubahan iklim di dunia sekarang ini. Para penyangkal ini adalah orang-orang yang memiliki kepentingan tertentu di politik dan ekonomi, guna memperkaya dirinya sendiri dengan merugikan orang lain. Wallacher menegaskan, bahwa Paus Fransiskus amat menekankan keterhubungan antara segala sesuatu, terutama hubungan antar manusia, dan hubungan antara manusia dan alam. Tulisannya merumuskan fondasi yang menyeluruh dan mendalam untuk menjadi dasar bagi perkembangan peradaban manusia secara global. Dialog yang seimbang antara ilmu pengetahuan, politik dan agama adalah kuncinya. Lanjutkan membaca Agama, Alam dan Alat

Tentang Keputusan

theinvisibleclose.com
theinvisibleclose.com

Oleh Reza A.A Wattimena

Dosen di Fakultas Filsafat Unika Widya Mandala Surabaya, sedang di Jerman

Hidup kita disusun oleh berbagai keputusan yang telah kita buat. Setiap harinya, kita pun diminta untuk membuat keputusan.  Di sisi lain, keputusan-keputusan kita juga berdampak langsung pada orang lain. Keadaan pikiran dan fisik hidup mereka juga menerima dampak dari keputusan yang kita buat. Pertanyaan yang patut dijawab pada titik ini adalah, bagaimana kita bisa membuat keputusan yang tepat untuk hidup kita, terutama dengan mempertimbangkan keadaan dunia yang semakin hari semakin rumit ini?

Kejernihan

Ada empat hal yang diperlukan, guna membuat keputusan, yakni kejernihan, dialog, keputusan dan kontrol. Kejernihan pikiran adalah kemampuan untuk memahami keadaan apa adanya, lepas dari segala bentuk kotoran yang menutupi pikiran kita, seperti prasangka, ketakutan, kecemasan dan trauma dari peristiwa masa lalu. Pikiran yang kotor ini akan bermuara pada pertimbangan-pertimbangan yang kacau. Ini semua akan mendorong kita membuat keputusan yang salah, yakni keputusan yang menciptakan penderitaan bagi diri kita, maupun orang lain.

Bagaimana cara mencapai kejernihan pikiran semacam ini? Kita harus membersihkan kepala kita dari semua pertimbangan konseptual abstrak, terkait dengan keputusan yang akan kita buat. Kita juga harus melepaskan kepentingan pribadi kita. Hanya dengan begitu, pikiran kita akan menjadi jernih seperti ruang kosong, dan bisa membuat keputusan yang tepat, sesuai dengan keadaan yang ada di depan mata.

Ketika pikiran jernih, maka keadaan akan jelas. Segala hal menjadi jelas dengan sendirinya. Kita tak lagi lagi sibuk pada apa yang kita inginkan, melainkan pada keadaan sesungguhnya. Dengan berpijak pada pengetahuan tentang keadaan sebagaimana adanya, kita bisa menanggapi setiap keadaan dengan tepat. Kita menjadi pribadi yang responsif, yakni berani dan mampu menanggapi segala keadaan yang terjadi apa adanya. Lanjutkan membaca Tentang Keputusan

Apakah Kita Abadi?

wikimedia.org
wikimedia.org

Plato di dalam buku Phaidon

Oleh Reza A.A Wattimena

Dosen di Fakultas Filsafat, Unika Widya Mandala, Surabaya

Hubungan antara tubuh dan jiwa adalah salah satu hal yang paling banyak dibicarakan di dalam ilmu pengetahuan dan filsafat. Para filsuf dan ilmuwan dari berbagai bidang mencoba merumuskan teori tentang hal ini. Pertanyaan yang biasa muncul adalah, apakah tubuh kita adalah satu-satunya yang ada? Apa yang dimaksud dengan jiwa, jika kita menggunakan kata ini?

Di dalam bukunya yang berjudul Phaidon (380 SM), Plato mencoba menjawab pertanyaan ini. Latar dari buku ini adalah dialog Sokrates dengan murid-muridnya, menjelang kematiannya. Ini adalah peristiwa yang amat menyedihkan untuk Plato. Setidaknya, empat buku tulisan Plato berisi tentang cerita Sokrates, mulai dari pengadilan sampai dengan penghukuman matinya.1

Seperti buku-buku Plato lainnya, Phaidon juga memiliki jalan cerita. Phaidon adalah nama seorang murid Sokrates. Di dalam buku itu, ia seolah menjadi saksi dari semua peristiwa yang ada. Ia sendiri tidak ambil bagian langsung di dalam dialog yang ada. Menurut kesaksiannya, Plato juga tidak hadir di dalam peristiwa itu, karena ia sedang sakit. Lanjutkan membaca Apakah Kita Abadi?