Berpikir Distingtif

istockphoto-1092089394-612x612

Oleh Reza A.A Wattimena

Sore itu, saya berjalan di trotoar Jalan Casablanca, Jakarta. Seperti biasa, Jakarta macet dan kacau. Saya hanya berjalan, dan tak menggunakan kendaraan apapun. Itu pun, ternyata, sulit.

Banyak orang berdagang di trotoar. Banyak supir ojol (ojek online) yang parkir sembarangan di trotoar. Naik kendaraan sulit, dan berjalan di trotoar juga sulit. Saya mesti bagaimana? Lanjutkan membaca Berpikir Distingtif

Batas-batas Kebebasan

On Loan: The sublime chaos of Egypt's unknown surrealist collective, Art et  LibertéOleh Reza A.A Wattimena

Di Jakarta, supir angkot adalah penguasa jalan. Mereka berhenti sembarangan. Mereka berbelok semaunya. Ditegur, mereka cuek, bahkan cenderung lebih galak. Alasannya: kami cari uang, jangan ganggu kami!

Lima tahun belakangan, ada gejala cukup baru, yakni motor melawan arah di jalan raya. Biasanya, mereka malas untuk memutar, walaupun dekat. Ini sangat berbahaya, dan banyak menimbulkan kecelakaan. Jika ditegur, mereka juga cuek, bahkan berani melawan. Alasannya: kami cari uang, jangan ganggu kami! Lanjutkan membaca Batas-batas Kebebasan

Jiwa Warga Jakarta

Landscape Town Jakarta - Free image on PixabayOleh Reza A.A Wattimena

Jakarta adalah ibu kota dari Republik Indonesia. Sampai detik ini, Jakarta masih menjadi pusat dari berbagai kegiatan politik, ekonomi maupun kebudayaan di Indonesia. Pada 2020 lalu, ada sekitar 36 juta orang yang resmi menjadi warga Jakarta, terutama akibat transmigrasi selama puluhan tahun. Kota ini pun menjadi kota terbesar kedua di dunia, setelah Tokyo di Jepang.

Saya sendiri sudah hidup sekitar 28 tahun di Jakarta. Sekitar 10 tahun, saya merantau di berbagai kota untuk bekerja dan belajar. Saya lahir dan besar di Jakarta, sehingga mengalami langsung pergaulan dengan warga Jakarta. Ada dorongan untuk memberikan gambaran umum yang berpijak pada pengalaman sekaligus analisis yang saya punya. Lanjutkan membaca Jiwa Warga Jakarta

Ibu kota Bagaikan Rimba Raya

rmcljm68pkxly5ohd47z
Kumparan

Oleh Reza A.A Wattimena

Di Jakarta, jalan raya seperti rimba raya. Orang saling sodok dan saling tikung.

Ketika gesekan terjadi, makian terlontar. Pukulan dan tedangan kerap kali menyusul.

Aturan diabaikan. Orang berkendara seenaknya.

Berkendara berempat di dalam satu motor. Semua tak pakai helm dan jaket. Kelengkapan surat sudah pasti tak ada. Lanjutkan membaca Ibu kota Bagaikan Rimba Raya

Macet Lagi… Macet Lagi…

si komo lewat tol
Pinterest

Oleh Reza A.A Wattimena

Dosen Hubungan Internasional di Universitas Presiden, Cikarang,  Peneliti di President Center for International Studies (PRECIS)

            Sewaktu saya kecil, saya punya satu lagu favorit. Judulnya adalah “Si Komo Lewat Tol”. Nada lagu ini begitu mudah untuk melekat di telinga: macet lagi macet lagi.. gara-gara si Komo lewat. Sampai sekarang, ketika menghadapi macet, saya suka bersenandung lagu itu pelan-pelan, sambil menyetir.

Lagu itu adalah tanda keluhan orang-orang kota besar yang harus menghadapi macet setiap harinya. Komo adalah binatang komodo yang menjadi simbol dari segala sesuatu yang menyebabkan kemacetan. Ia besar, kuat dan amat sulit untuk dipindahkan. Ini berarti, semua orang tampak memiliki teori sendiri tentang penyebab kemacetan. Akan tetapi, mereka tidak bisa berbuat apa-apa, karena penyebab kemacetan itu besar dan kuat, seperti si Komo. Lanjutkan membaca Macet Lagi… Macet Lagi…

Buku Terbaru: Esei-esei Keadilan untuk Ahok

Penulis:

Abdy Busthan, S.Pd., M.Pd.

Dr. phil. Reza A. A. Wattimena

Pdt. Dr. Mesakh A. P. Dethan., M.Th., MA.

Fransiskus Ransus, S.S., M.Hum

Suhendra, M.A.

Pengantar

Oleh Reza A. A. Wattimena (Dosen Hubungan Internasional di Universitas Presiden Cikarang, Peneliti di President Center for International Studies/PRECIS)

Penulis adalah cermin dari jamannya. Ungkapan ini jelas mengandung kebenaran di dalamnya. Penulis adalah para pemikir. Mereka menuangkan gagasan mereka ke dalam karya sebagai sebuah tanggapan atas keadaan jaman. Itulah yang kiranya dilakukan para penulis buku ini. Mereka membaca jaman, dan memutuskan untuk terlibat di dalam jaman mereka melalui karya nyata.

Memang, kita hidup di jaman yang penuh dengan ketidakadilan. Basuki Tjahaja Purnama (Ahok), politikus yang tegas menghadapi korupsi dan keterbelakangan di ibu kota Indonesia, justru menjadi korban dari kesempitan berpikir masyarakatnya sendiri.

Buku ini adalah tanggapan para penulis dan pemikir atas keadaan yang penuh ketidakadilan semacam ini. Para penulis buku ini mengupas beragam hal yang penting untuk hidup bersama, seperti kaitan antara agama dan politik, kemanusiaan, keadilan, radikalisme dan nasionalisme yang sempit. Mereka juga mencoba menawarkan jalan keluar dari beragam kesempitan berpikir yang terjadi.

Tujuan mereka sederhana, yakni terciptanya masyarakat beradab yang cerdas dan adil untuk semua. Tujuan yang amat indah, namun amat sulit terwujud di dalam kenyataan.

Buku ini juga merupakan sebuah buku perjuangan, tepatnya perjuangan melawan ketidakadilan. Sebagai rakyat, kita perlu memiliki keberanian sipil untuk bersuara, ketika melihat ketidakadilan. Keberanian sipil itu diwujudkan di dalam karya yang tentu berguna untuk kebaikan bersama. Harapannya, buku ini bisa mengundang kita semua untuk merefleksikan ulang sikap, keputusan dan perilaku kita di dalam berpolitik, supaya bisa semakin mendekati keadilan yang sesungguhnya.

Buku berjudul ―esai-esai Keadilan untuk Ahok― ini juga terbit tepat pada waktunya. Bangsa Indonesia tengah dirudung hantu perpecahan, akibat ketidakadilan yang dirasakan di banyak tempat. Bangsa Indonesia membutuhkan titik tolak yang sama, supaya bisa tetap bersatu, dan bekerja sama mewujudkan keadilan dan kemakmuran untuk semua, tanpa kecuali. Titik tolak yang sama, yang lahir dari kedalaman renungan dan pemikiran, inilah yang ditawarkan buku ini, terutama menanggapi ketidakadilan yang ditimpakan kepada Ahok.

Semoga buku ini bisa memberikan pencerahan, dan membuat kita bijak di dalam menyingkapi kehidupan bersama kita. Harapan saya juga, semoga para pembuat kebijakan dan tokoh masyarakat membaca buku ini, dan terbuka pikirannya, sehingga bisa memberikan dan menghadirkan keadilan yang amat sangat dibutuhkan, tidak hanya oleh Ahok, tetapi oleh seluruh komponen dalam bangsa ini. Semoga harapan saya tidak tinggal menjadi sekedar harapan. Selamat membaca

Cikarang, 24 Mei 2017,

Bisa diperoleh di

Penerbit: Desna Life Ministry,  Jln. Bakti Karya 20 B, Kecamatan Oebobo, Kupang – NTT Telp. 081-333-343-222
E-mail: desnapenerbit@yahoo.com Website: desnapublishing.blogspot.co.id

 

Lex iniusta non est lex: Refleksi tentang Hukum, Keadilan dan “Fenomena Ahok”

 

Pinterest

Oleh Reza A.A Wattimena

Dosen Hubungan Internasional, Universitas Presiden, Cikarang,  

Sejak 2014 lalu, “fenomena Ahok” tidak hanya menggetarkan Jakarta, tetapi juga dunia. Dengan berbagai tindakan dan keputusannya, Ahok, sebagai Gubernur Jakarta, menggoyang tata politik Jakarta. Tindakannya mengundang kecaman, sekaligus pujian dari berbagai pihak. Ia bahkan memperoleh penghargaan sebagai salah satu gubernur terbaik di dunia. Banyak gubernur di Indonesia menjadikan Ahok sebagai teladan kepemimpinan dan tata kelola kota. Berbagai penelitian pun dibuat untuk menganalisis gaya kepemimpinan Ahok yang memang berbeda dibandingkan dengan kepemimpinan sebelumnya di Jakarta.

“Fenomena Ahok” ini semakin memanas, ketika ia terserat kasus penodaan agama, dan diputuskan bersalah oleh hakim. Seketika itu pula, tanggapan dari berbagai penjuru dunia datang. “Fenomena Ahok” pun justru menjadi semakin fenomenal. Saya ingin meninjau fenomena ini dari sudut pandang perdebatan di dalam kajian hukum klasik, yakni tegangan antara hukum dan keadilan. Lebih dari itu, saya juga ingin melihat pengaruh unsur politik di dalam kaitan antara hukum dan keadilan tersebut.  Lanjutkan membaca Lex iniusta non est lex: Refleksi tentang Hukum, Keadilan dan “Fenomena Ahok”

Terbitan Terbaru: Ecocity for Jakarta, Historical and Conceptual Approach

IMG20170422211912Oleh Reza A.A Wattimena, Dosen Hubungan Internasional, Universitas Presiden, Cikarang

One of the negative effects of the development of science and technology is the destruction of natural ecosystem. This happens, because of the inefficient use of energy, and the method of its extraction, in various areas of modern life. The existence of megacities, such as Jakarta, the capital city of Indonesia, contributes to these problems. One of possible solutions for this is the discourse of ecocity as an alternative model for the future in the context of urban planning. The essence of this discourse is nature as metaphysical foundation and standard measures. This concept will be translated in various factors, such as humane city environment, universal accessibility of the city, efficient use of energy and environmental friendly urban planning. This writing will try to see the possibility to apply the principles of ecocity to Jakarta.

Salah satu sisi negatif dari perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi adalah kehancuran dari alam. Ini terjadi, karena penggunaan energi yang tidak efisien, juga di dalam cara untuk menemukannya, di dalam berbagai segi kehidupan modern. Kehadiran berbagai kota besar, seperti Jakarta, ibu kota Indonesia, juga menyumbang di dalam permasalahan ini. Salah satu jalan keluar yang mungkin adalah dengan memperhatikan wacana tentang ecocity sebagai model alternatif bagi tata kota di masa depan. Inti dari wacana ini adalah alam sebagai dasar metafisis sekaligus ukuran. Inti ini nantinya akan diterjemahkan ke berbagai bentuk, seperti lingkungan kota yang manusiawi, akses universal bagi kota tersebut, penggunaan energi yang efisien dan perencanaan kota yang ramah lingkungan. Tulisan ini akan mencoba melihat kemungkinan penerapan prinsip-prinsip ecocity untuk Jakarta.

Bisa didapatkan di Universitas Atma Jaya, Jakarta, Jl. Jend. Sudirman No.51, RT.5/RW.4, Karet Semanggi, Setia Budi, Kota Jakarta Selatan, Daerah Khusus Ibukota Jakarta 12930, Indonesia, +62 21 5727615

 

Kesempitan Berpikir

Pinterest

Oleh Reza A.A Wattimena

Dosen Hubungan Internasional, Universitas Presiden, Cikarang

Ada satu hal yang langsung terlihat di antara sebagian besar warga Jakarta sewaktu Pilgub 2017 ini: kesempitan berpikir. Mereka memilih orang-orang yang tidak kompeten untuk memimpin mereka. Mereka tidak menggunakan akal sehat di dalam membuat keputusan. Akibatnya, Jakarta bisa memasuki abad kegelapan, setelah Pilgub ini, dimana fanatisme, premanisme, jaringan mafia, dan kesempitan berpikir akan meraja.

Sempit Berpikir

Pertama, akal sehat warga Jakarta tunduk dibawah rasa takut yang, sebenarnya, tak beralasan. Ketika akal sehat dikorbankan demi memuaskan rasa takut, yang tercipta kemudian adalah tindakan-tindakan bodoh yang mencerminkan kesempitan berpikir. Ketika kedudukan pimpinan politik diserahkan kepada para mafia dan preman, kehancuran dan kemunduran politik adalah buahnya. Bersiaplah untuk memasuki abad kegelapan, hai warga Jakarta. Lanjutkan membaca Kesempitan Berpikir

Jakarta, Pilkada,… dan Serigala

Night Wolf by Anastasiya Malakhova
Night Wolf by Anastasiya Malakhova

Oleh Reza A.A Wattimena

Dosen Hubungan Internasional, Universitas Presiden, Cikarang

Sebagai ibu kota Indonesia, Jakarta memiliki keunikan tersendiri. Ia menjadi tolok ukur bagi semua daerah lainnya di Indonesia.

Apa yang terjadi di Jakarta akan membuka kemungkinan bagi daerah-daerah lainnya untuk mengalami kejadian serupa. Jika Jakarta gagal mewujudkan cita-cita keberadaan negara Indonesia yang adil dan makmur untuk semua, tanpa kecuali, maka, kemungkinan besar, daerah-daerah lainya juga akan jatuh ke lubang yang sama.

Indonesia lalu menjadi negara gagal. Konflik dan ketidakadilan pun merajalela.

Untuk mencegah itu, Jakarta jelas membutuhkan kepemimpinan yang bersih dan kuat di berbagai jenjang organisasinya. Sudah terlalu lama, Jakarta menjadi kota yang macet, kumuh, banjir dan tidak aman untuk ditinggali. Lanjutkan membaca Jakarta, Pilkada,… dan Serigala

Untuk Gubernur Jakarta Selanjutnya: Tujuh Langkah Praktis Membenahi Jakarta

http://wikitravel.org

Oleh Reza A.A Wattimena

Fakultas Filsafat, Unika Widya Mandala Surabaya

Saat ini, saya sedang menetap di Jakarta. Hampir setiap hari, saya berkeliling kota untuk melihat keadaannya sekarang. Sambil jalan, mengamati, menganalisis, membuat alternatif solusi, saya juga sekalian nostalgia. Saya tumbuh dan besar di kota yang besar sekaligus kacau ini.

Setelah beberapa kali berkeliling, muncul beberapa ide dalam kepala saya untuk membenahi Jakarta. Kebetulan, Jakarta sedang melaksanakan pemilihan Gubernur, dan salah satu kandidatnya amat potensial untuk memperbaiki Jakarta. Siapa itu? Tebak sendiri, yang pasti bukan orang lama. Ada tujuh langkah praktis yang, pada hemat saya, bisa dengan segera dilakukan oleh gubernur terpilih selanjutnya.

Membenahi Pasar

Yang pertama adalah membenahi pasar. Banyak pasar di Jakarta, mulai dari Pasar Klender, Pasar Minggu, Pasar Senen, sampai dengan Pasar Pramuka. Mayoritas tempatnya jorok, dan tidak punya tempat parkir resmi. Pelayanannya juga tidak profesional. Lanjutkan membaca Untuk Gubernur Jakarta Selanjutnya: Tujuh Langkah Praktis Membenahi Jakarta

Inspirasi dari Semarang: Renaisans Perkotaan

deanhc.com
Oleh Eko Budihardjo

Berita tentang kemubaziran dana rakyat triliunan rupiah akibat telantarnya ribuan unit rumah susun sewa di DKI Jakata (Kompas, 1-2 Maret 2011) sungguh terasa amat menyesakkan dada.

Betapa tidak. Begitu banyak saudara kita sebangsa dan setanah air yang masih tinggal di kolong jembatan, sepanjang tepi rel kereta api, bahkan di kuburan, dengan kondisi mengenaskan. Kok, bisa-bisanya di negara Pancasilais ini ada 74 dari 78 menara kembar rumah susun yang sudah terbangun ternyata mangkrak atau telantar. Kendalanya, menurut pihak berwenang, karena tak tersedia prasarana (infrastruktur) seperti air bersih dan listrik, serta sarana pendidikan dan akses transportasi. Lanjutkan membaca Inspirasi dari Semarang: Renaisans Perkotaan

Kota Orang Gila

Kota Orang Gila


Reza A.A Wattimena

Suara klakson kendaraan bermotor kini bagaikan paduan suara di Jakarta. Bedanya, suaranya tidaklah merdu.

Awalnya, klakson itu diciptakan untuk menginformasikan, bahwa saya akan mendahului anda di jalan dengan menggunakan kendaraan bermotor. Namun, fungsinya kini berubah. Klakson menjadi simbol agresivitas.

Daripada capek teriak memaki orang di jalan raya dengan kata-kata kotor, yang belum tentu juga terdengar, lebih baik saya menekan klakson sekeras dan sesering mungkin. Klakson adalah saluran kemarahan saya.

Terkadang menarik juga membuat penelitian untuk menjawab pertanyaan ini, siapakah sebenarnya yang hendak kita marahi, klaksonnya atau orang yang hendak kita klaksonkan, karena tampaknya yang kita pukul keras-keras adalah klakson di mobil ataupun motor kita?

Jika yang salah adalah pengendara lain, mengapa kita memukul klakson di mobil kita? Jangan-jangan, kita sudah menjadi orang gila. Perlahan tapi pasti, Jakarta sudah menjadi kota orang gila!

Manusia Berharga Murah

Jika anda jeli sedikit, anda tentunya menyadari, bahwa orang yang tinggal di Jakarta harganya murah. Orang bisa baku hantam sampai babak belur di jalan, hanya karena kendaraan mereka bersenggolan.

Manusia bisa dikorbankan untuk apapun, untuk efektivitas, ataupun untuk uang. Jika saya naik motor, pengendara lain menjadi tidak berarti buat saya. Jika mereka menantang, maka saya akan tantang balik, jika perlu bunuh-bunuhan! Itulah yang terjadi di Jakarta sehari-harinya.

Dalam kosa kata para teoritikus Marxis, manusia sudah dibendakan. Manusia dihilangkan status kemanusiaannya, dan diturunkan sampai ke level benda-benda mati.

Dalam pikiran saya, pengendara lain adalah benda mati. Kalau mereka menantang, saya hadapi. Kalo mereka menyulitkan, saya sikat habis.

Cara berpikir ini sederhana, yakni kita melihat orang sebagai barang. Akan tetapi, implikasi politisnya besar, mulai dari pemberian gaji karyawan, sampai sikap pemerintah terhadap warganya.

Jika manusia itu benda, yang tidak bisa merasa dan menderita, maka ia tidak perlu digaji besar-besar. Jika warga negara itu benda, maka ia tidak perlu dijamin kesejahteraannya.

Terkadang saya berpikir, pemerintah kita sebenarnya melihat kita lebih sebagai benda daripada sebagai warga. Benda yang diperlukan menjelang pemilu untuk didapatkan suaranya, dan ditelantarkan jika sudah habis dipakai.

Mungkin bukan Jakarta saja yang sudah menjadi kota orang gila, tetapi negara kita juga telah menjadi negara orang gila!

Kesenjangan sosial

Salah satu tanda sederhana kegilaan adalah impulsivitas. Wacana psikologi kontemporer sebenarnya banyak meneliti perihal impulsive buying, yakni sikap membeli barang-barang tanpa kontrol dan tanpa kebutuhan yang jelas.

Gejala ini sebenarnya juga dengan mudah ditemukan di Jakarta secara khusus, dan kota-kota besar di Indonesia secara umum. Setiap mobil mewah hasil pameran pasti laku terjual. Setiap film box office import dari luar negeri pasti tiketnya laku keras.

Mall berjejer dimana-mana. Pakaian rancangan designer yang harganya jutaan rupiah pun masih bisa terjual habis.

Ironisnya, keadaan tersebut berbarengan dengan meningkatnya jumlah pengemis yang berkeliaran di jalan-jalan besar Kota Jakarta. Mereka masih sibuk bergulat sehari-hari untuk mencari sesuap nasi.

Kesenjangan itu membuat pusing orang-orang yang melihatnya. Jaguar dan Mercedes seri terbaru berkeliaran berdampingan dengan para pengemis yang mengais-ngais rejeki sisa dari orang-orang berada.

Orang bisa gila hidup dan menyaksikan semua itu. Jika orang tenang-tenang saja melihat semua fenomena kesenjangan sosial ini, mungkin dia lebih gila daripada orang gila!

Kemiskinan Moril

Selain berakar pada kemiskinan material yang sudah begitu jelas di depan mata, kesenjangan sosial sebenarnya lebih berakar pada kemiskinan moral yang terjadi di bangsa kita. Kemiskinan moral yang terwujud dalam hampir tidak adanya solidaritas yang ditunjukkan sebagai sesama warga negara.

Mereka yang berpunya acuh tak acuh dengan mereka yang tidak berpunya. Tidak hanya tidak peduli, mereka bahkan saling menaruh ketidakpercayaan satu sama lain.

Mereka yang kaya takut hartanya dirampok oleh orang-orang miskin. Sementara, orang-orang miskin yakin, bahwa orang-orang kaya mendapatkan hartanya dengan cara yang tidak jujur.

Dalam situasi semacam itu, konsep negara dan konsep masyarakat tidak memiliki acuan empiris. Konsep-konsep tersebut kosong. Jangan-jangan, “Indonesia” dan “Jakarta” tinggal nama belaka, yang semangatnya tidak lagi dihidupi di dalam hati sanubari warganya.

Pada titik ini muncul paradoks, kita hidup bersama tetapi kita sendirian. Tepat itulah yang terjadi di Jakarta sekarang ini. Kota dengan jutaan penduduk, tetapi memiliki kasus bunuh diri akibat kesepian yang paling besar di Indonesia.

Kesepian yang begitu mencekik, sehingga begitu kuatnya mendorong orang untuk mengakhiri hidupnya. Jadi jika anda datang ke Jakarta, saya hanya bisa berkata: Selamat datang di Kota orang gila!