Berita tentang kemubaziran dana rakyat triliunan rupiah akibat telantarnya ribuan unit rumah susun sewa di DKI Jakata (Kompas, 1-2 Maret 2011) sungguh terasa amat menyesakkan dada.
Betapa tidak. Begitu banyak saudara kita sebangsa dan setanah air yang masih tinggal di kolong jembatan, sepanjang tepi rel kereta api, bahkan di kuburan, dengan kondisi mengenaskan. Kok, bisa-bisanya di negara Pancasilais ini ada 74 dari 78 menara kembar rumah susun yang sudah terbangun ternyata mangkrak atau telantar. Kendalanya, menurut pihak berwenang, karena tak tersedia prasarana (infrastruktur) seperti air bersih dan listrik, serta sarana pendidikan dan akses transportasi.
Ajaib betul. Bagaimana mungkin rumah susun dibangun tanpa kelengkapan air bersih dan jaringan listrik. Orang pasti geleng-geleng kepala tak habis pikir mendengar adanya rumah susun di Kemayoran yang tak bisa dihuni karena lift yang dijanjikan Pemprov belum juga dipasang. Menyebalkan, menggelikan, sekaligus memalukan kisah tragis ini terjadi di ibu kota negara di era milenium ketiga. Bukan di kota kecil terpencil.
”Pancasila” perencanaan kota
Konon, dari begitu banyak dosa para pejabat pemerintah, dosa terbesar adalah dalam ranah perencanaan. Cukup banyak rencana dan program disusun tanpa melalui studi, kajian, atau penelitian mendalam. Termasuk program seribu menara yang sebetulnya maksudnya amat mulia, tetapi proses perencanaannya serba instan. Mang Usil dalam Pojok-nya di Kompas dengan amat cerdas menyarikannya: ”Ribuan rumah susun telantar, yang penting uang masuk”.
Jika kita semua mau belajar dan merunut jauh ke belakang, sudah beberapa dekade silam Koes Hadinoto merumuskan lima unsur dasar dalam perencanaan kota. Kita bisa menyebutnya dengan predikat keren ”Pancasila Perencanaan Kota”, yaitu Wisma (perumahan), Karya (lapangan kerja), Marga (jaringan jalan), Suka (rekreasi, taman), dan Prasarana (air bersih, listrik, drainase, persampahan).
Kisah memilukan berupa telantarnya ribuan rusunami dan rusunawa adalah akibat tak diterapkannya kaidah ini. Kebijakan dan program pemerintah terlalu teknokratik, tertutup, terpasung pada sisi pasokan, berlandaskan prinsip konvensional: predict and provide. Padahal, di era Reformasi, mestinya kebijakan dan program lebih demokratik, terbuka, mengutamakan sisi pemenuhan kebutuhan yang aktual dan terukur, berlandaskan prinsip kontemporer debate and decide (baca William Saunders, Urban Planning Today, 2006).
Seyogianya sebelum rencana perumahan disusun, sudah ada studi tentang siapa kelompok sasarannya, berapa jumlahnya, bagaimana seluk-beluk dan gaya hidupnya, apa lapangan kerjanya, bagaimana kemampuan ekonominya, dan sebagainya. Perumahan dengan penghuninya itu ibarat cangkang dengan kerangnya. Pas, tak terlalu besar, tak terlalu kecil. Kokoh dan kuat konstruksinya, tidak gampang retak. Tak kalah penting, indah dipandang mata atau estetis.
Sesudah mendalami berbagai hal terkait unit rumah dengan berbagai jenis, ukuran, dan biaya sesuai tingkat keterjangkauan kelompok sasaran, mesti dilanjutkan dengan kajian tentang lokasi yang tepat sesuai lapangan kerjanya. Sangat tak masuk akal jika rusun untuk nelayan terletak di lokasi terlalu jauh dari pantai. Berikutnya yang ternyata juga sering terlupakan, keterkaitannya dengan jaringan transportasi dan ketersediaan prasarana dasar, seperti air bersih, listrik, drainase, persampahan. Namanya saja prasarana, seharusnya disiapkan lebih dulu sebelum dipastikan untuk membangun sarana berupa perumahannya.
Generasi Renaisans
Sesuai pesan Romo Mangunwijaya (almarhum), yang sudah telanjur, sikap kita tak bisa lain kecuali ”apa boleh buat”. Namun, mesti dipancangkan tekad membaja untuk tak mengulang kesalahan sama. Sudah banyak bahkan terlalu banyak kecaman atas ”absurd”-nya rencana kota dan perumahan di segenap pelosok Tanah Air. Sampai planologi dipelesetkan jadi plan–no–logic, alias rencana tanpa penalaran. Kebetulan saya baru saja membaca buku Patricia Ward, pakar budaya, berjudul Renaissance Generation (2009). Dia menyatakan, ketika di abad ini suatu kota, atau bahkan negara, sudah menunjukkan gejala keruntuhan, itulah saatnya lahir Generasi Renaisans jilid kedua. Pengertian Renaisans secara ringkas dan bernas: ”A movement or period of robust creative and intellectual activity that is associated with a rebirth of civilization”.
Yang paling penting, usulannya tentang pendayagunaan seoptimal mungkin apa yang diistilahkan dengan infrastruktur intelektual. Maksudnya, pelibatan para ilmuwan, cendekiawan, pakar profesional yang betul-betul kompeten di bidangnya. Mereka bukan hanya milik kampus perguruan tingginya, melainkan juga jadi milik bangsa. Sekadar contoh, gagasan menangani masalah lalu lintas di Beijing dengan inovasi baru berupa pengoperasian bus mengangkang dua meter di atas tanah datang dari ilmuwan Universitas Shanghai.
Yang juga amat menarik dari paparannya tentang Renaisans Perkotaan, bahwa dalam era globalisasi ini kita justru bisa lebih banyak belajar dari-kota menengah seperti Providence (AS), Barcelona (Spanyol), dan Curitiba (Brasil). Bukannya dari New York, Madrid, atau London. Serupa dengan Indonesia, keteladanan dalam perencanaan dan pembangunan kota malah ditunjukkan kota-kota sekunder seperti Solo. Misalnya, penanganan pedagang kaki lima, pembangunan pasar tradisional, penataan kawasan pusaka budaya, dan paling mutakhir rintisan rail-bus dan bus tingkat wisata.
Mari memancangkan tekad bersama membenahi kota-kota kita dengan semangat Renaisans, merintis terbentuknya peradaban baru perkotaan. Tanpa harus saling menyalahkan dan merasa paling benar sendiri seperti sering dipertontonkan para politikus di puncak kekuasaan.
Eko Budihardjo Guru Besar Arsitektur dan Perkotaan Universitas Diponegoro; Anggota Akademi Ilmu Pengetahuan Indonesia
Sumber http://cetak.kompas.com/read/2011/03/09/04544030/renaisans.perkotaan