Diterbitkan di Kompas 17 Januari 2021
Oleh Reza A.A Wattimena
Tak ada kata yang lebih menakutkan sekarang ini selain “Positif COVID”. Stigma yang menempel pada kata ini begitu kuat. Orang yang mengalaminya ditakuti, sekaligus memperoleh banyak simpati (yang kerap tak sungguh tulus dari hati). Setelah sembuh pun, ia masih terus hidup dalam isolasi.
Pertemanan terpecah. Keluarga pun saling mencurigai. Stigma “Positif COVID” bisa berlangsung seumur hidup, tanpa pernah sungguh berhenti.
Tak heran, banyak orang melihat datangnya pandemik berikutnya, yakni pandemik tak stabilnya kesehatan batin. Ilmu psikologi dan psikiatri pun tak berguna dalam hal ini. Sebaliknya, kedua ilmu tersebut justru bisa memperparah keadaan. Manusia memerlukan cara baru untuk mengelola batinnya di hadapan hantaman krisis dan pandemik yang bergantian datang.
COVID 19
COVID 19 adalah virus yang menyebar di antara manusia. Ia ditemukan pertama kali di Wuhan, Cina sejak akhir 2019, dan menyebar amat cepat ke berbagai negara. Virus ini bisa mematikan. Namun, setiap orang memiliki gejala yang berbeda. Ada yang mematikan, dan sebagian besar bisa sembuh, setelah mengalami gejala ringan.
Gejala umum ada tiga, yakni demam, batuk kering dan kelelahan. Ada gejala yang tak umum, yakni nyeri tenggorokan, diare dan sakit kepala, sampai lenyapnya daya indera perasa dan penciuman. Bagi yang tubuhnya sudah sakit, COVID 19 menjadi amat berbahaya. Reaksi penyakit yang mematikan bisa memicu kematian cepat.
Waktu hidup untuk mereka memendek. Banyak perpisahan sebelum waktunya dengan orang yang dicinta. Di akhir 2020 lalu, beberapa negara sudah menciptakan vaksin untuk virus ini. Di awal 2021, dunia sedang mencari cara tercepat dan paling efektif untuk menyuntikkan vaksin ini ke sebanyak mungkin orang.
Kerugian Ekonomi
Kerusakan ekonomi pun amat besar, terutama akibat kebijakan ekonomi berbagai negara di dunia. Pada 2020 lalu, dunia mengalami resesi besar dengan kontraksi 5,2 % secara global. Inilah resesi terbesar selama puluhan tahun terakhir (data World Bank 2020). Usaha yang dilakukan berbagai negara dan lembaga internasional tampak membuahkan sedikit hasil.
Pada 2021, banyak negara sudah mempersiapkan terjadinya resesi ekonomi. Ini melingkupi rendahnya investasi, hilangnya lapangan pekerjaan, menurunnya jumlah keikutsertaan di dalam pendidikan, menurunnya intensitas perdagangan global dan krisis sumber daya. Dari segi ekonomi, dunia mempersiapkan terjadinya resesi terbesar sejak 1870. Negara-negara maju siap dengan menurunnya tingkat ekonomi sebesar 7%.
Negara-negara berkembang, termasuk Indonesia, jelas mengalami dampak serupa. Sekitar 2,5% penurunan akan diharapkan dari aktivitas ekonomi yang ada, mulai dari 0,5% penurunan di Asia Timur sampai dengan Amerika Latin yang diperkirakan akan mengalami penurunan sebesar 7,2% (data World Bank 2021). Artinya sederhana, bahwa semua ini akan mengembalikan banyak bangsa ke jurang kemiskinan. Mutu pelayanan kesehatan menurun, lenyapnya industri pariwisata dan perdagangan yang mendukungnya, serta jumlah hutang yang semakin meningkat.
Soal Nyawa
Dampak ekonomi ini sebenarnya terkait dengan kebijakan yang diambil pemerintah terhadap pandemik COVID 19. Kebijakan yang tak masuk akal akan merusak ekonomi. Sementara, kebijakan yang tercerahkan akan bisa menekan tersebarnya pandemik, sekaligus mengembangkan ekonomi. Beberapa data kiranya penting untuk diperhatikan.
12 Januari 2021, di seluruh dunia, jumlah orang yang terjangkit virus ini adalah 91.319.654 orang. Ini sekitar 1,3 % dari jumlah penduduk dunia. Dari semua itu, jumlah yang meninggal adalah 1.952.979 orang, yakni 0,03 % dari jumlah penduduk dunia. (worldmetersinfo, 2021, berpijak pada United Nations Geoscheme) Semua meninggal, karena sakit yang sudah ada sebelumnya, kemudian terkena COVID 19.
Jumlah orang yang sembuh dari COVID 19 adalah 65.316.716 orang. Artinya, secara global, dari semua orang yang terjangkit, sekitar 72 % sudah sembuh. Tentu saja, semua data ini tidak sepenuhnya akurat. Data terus berubah, ditambah dengan lemahnya teknik pengumpulan data yang ada.
Bagaimana dengan Indonesia? Sampai 12 Januari 2021, ada sekitar 836.718 orang yang terkena. Ini sekitar 0,3 % dari jumlah penduduk Indonesia. Jumlah yang meninggal adalah 24.343. atau sekitar 0,009% dari jumlah penduduk Indonesia. Yang sudah sembuh dari penyakit ini adalah 688.739, atau sekitar 82 % dari jumlah orang yang terjangkit di Indonesia.
Beberapa Pertimbangan
Pertama, dari seluruh dunia, sampai 12 Januari 2021, jumlah orang yang meninggal akibat COVID 19 adalah sekitar 0,03 % dari jumlah penduduk dunia. Sementara, di Indonesia, jumlah orang yang meninggal akibat COVID 19 adalah 0,009% dari seluruh penduduk Indonesia. Dengan data ini, pemerintah membuat kebijakan yang menghancurkan ekonomi, memecah keluarga dan membuat masyarakat hidup dalam ketakutan terus menerus. Apakah ini tepat?
Dua, mungkin juga, data ini bisa amat kecil, karena pemerintah di berbagai negara telah membuat kebijakannya masing-masing. Pertanyaannya tetap, apakah ini proporsional dengan derita ekonomi yang menggiring banyak orang ke jurang kemiskinan dan penyakit mental yang merusak? Sikap kritis dan jernih diperlukan disini. Fakta bahwa banyak negara mengambil kebijakan ekonomi yang ekstrem bukan berarti kebijakan tersebut tepat.
Tiga, kebijakan haruslah dibuat dengan data dan nalar sehat. Nalar sehat melibatkan nalar kritis, yakni sikap tak gampang percaya terhadap segala yang terjadi. Kebijakan tak boleh dibuat dengan prinsip ketakutan, apalagi sekedar ikut-ikutan. Di Indonesia, karena terkaman mutu pendidikan rendah dan pemahaman agama yang dangkal, nalar sehat dan kritis terus redup di bawah terik peradaban.
Empat, peran media di dalam menggoreng isu juga amat besar. Sudah berita lama, bahwa berita buruk itu menjual. Untuk meningkatkan keuntungan ekonomi, berita buruk digoreng terus menerus dengan berbagai bumbu. Ini semua menghasilkan ketakutan besar di berbagai tingkatan masyarakat, dan mendorong lahirnya banyak perilaku maupun kebijakan yang salah kaprah.
Lima, biasanya, pemerintah mengeluh terbatasnya fasilitas kesehatan untuk menangani pandemi. Atas dasar itu, pembatasan sosial lalu diberlakukan dengan mengorbankan banyak mata pencaharian rakyat. Alhasil, seperti sudah dijelaskan sebelumnya, di masa pandemi, banyak orang kehilangan penghasilan. Mereka terbengkalai tidak hanya dalam ketakutan akan wabah, tetapi juga cekikan kesulitan ekonomi.
Beberapa data kiranya bisa memberikan gambaran. Seperti dinyatakan oleh Badan Pusat Statistik pada akhir 2020 lalu, lebih dari 29 juta orang di Indonesia terkena dampak kebijakan pemerintah terkait COVID 19. Angka pengangguran resmi pun melonjak tinggi menyentuh hampir 10 juta orang. Ini tentu saja belum mencakup pengangguran terselubung yang tidak tercatat pemerintah. Saya punya dugaan kuat, jika angka sesungguhnya jauh lebih besar.
Di Jakarta saja, sejauh pengamatan saya, banyak pengemis mulai berkeliaran di jalan-jalan. Jumlahnya jauh lebih banyak daripada sebelumnya. Keluhan teman-teman yang kehilangan pekerjaan, atau upahnya dipotong tajam, juga meningkat tajam. Kebijakan pemerintah terkait COVID 19 sungguh menggiring banyak orang masuk ke dalam jurang kemiskinan.
Jika masalahnya adalah kurangnya fasilitas kesehatan, maka pemerintah, dalam kerja sama dengan pihak lain, perlu menambah fasilitas kesehatan yang ada. Jangan mengorbankan mata pencaharian banyak orang dengan membuat kebijakan-kebijakan merusak, karena kelemahan kinerja pemerintah. Ini namanya sesat berpikir dan defisit nurani. Uangnya dari mana? Silahkan pemerintah menggunakan semua sumber daya yang ada, termasuk kerja sama dengan pihak swasta, untuk melakukan itu.
Sudah terlalu lama, pemerintah bertindak bagaikan raja kecil. Mereka ingin dilayani, serta diberikan gaji besar dengan fasilitas yang mewah. Padahal, semua sumber daya ini bisa dialihkan untuk meningkatkan jumlah sekaligus mutu fasilitas kesehatan yang ada. Di alam demokrasi Indonesia, pemerintah adalah pelayan rakyat, bukan tuan tanah yang gemar dijilat.
Enam, di tengah pandemi, siapa yang sebenarnya diuntungkan? Jawabannya cukup jelas, yakni industri informasi teknologi dan industri farmasi. Beberapa data berikut kiranya bisa memberikan kejelasan.
Mark Zuckerbeg, dengan keuntungan dari meningkatnya lalu lintas media sosial Facebook dan peningkatan jumlah iklan yang masuk, bertambah kaya sekitar sekitar 59% dari aset yang sudah ia punya. CEO Amazon, Jeff Bezo, bertambah kaya sekitar 39%. Industri farmasi menaikan harga sekitar 245 jumlah obat. 61 diantaranya digunakan untuk merawat pasien COVID 19. (Robert Reich, 2020)
Hal serupa terjadi di Indonesia. Indosat mencatatkan kenaikan penggunaan data hingga 27% di seluruh Indonesia. (Sidik, 2020) Di awal 2021, kenaikan terus terjadi, terutama karena pemerintah terus menerapkan kebijakan PSBB transisi. Telkomsel juga mencatat kenaikan penggunaan sebesar 22,8%. Penggunaan aplikasi pertemuan virtual meningkat 75%, dan layanan video streaming meningkat 13,8%.
Nilai kedua perusahaan tersebut pun meningkat pesan di bursa saham. Sejalan dengan peningkatan permintaan, valuasi perusahaan pun juga meningkat. Ini sejalan dengan hampir hancurnya semua sektor kehidupan lain, mulai dari pariwisata, penerbangan, pendidikan dan properti.
Di bursa saham dunia, keuntungan yang diperoleh industri farmasi mencapai 1 Milyar Dollar AS sejak pandemik. Industri bioteknologi, setidaknya yang ada di Amerika Serikat, yang mengembangkan vaksin juga memperoleh keuntungan besar, yakni sekitar enam kali lipat. Pendek kata, yang diuntungkan dari pandemik COVID 19 ini adalah orang-orang yang sudah kaya sebelumnya. Mereka kaya di atas kemiskinan ratusan juta orang lainnya yang hidup dalam ancaman kematian dan ketakutan.
Sebagai virus, keberadaan COVID 19 tak bisa disangkal. Namun, dengan data yang ada di awal 2021 ini, apakah kebijakan yang diambil pemerintah sudah masuk akal? Apakah nalar kritis dan nalar sehat sudah diterapkan? Apakah ketakutan kita yang cenderung berlebihan, dan rasa saling curiga di antara kita, bisa dibenarkan? Dengan berpijak pada data dan pertimbangan yang ada di dalam tulisan ini, hanya anda yang sungguh bisa menjawab.
Satu komentar pada “Artikel Kompas: Menimbang COVID 19 di Awal 2021”