Paradoks

blogspot.com

Oleh Reza A.A Wattimena

Hidup adalah pilihan. Kita diminta untuk memilih kiri atau kanan. Keduanya ekstrem yang seolah tak terdamaikan. Seolah memilih yang satu berarti otomatis menolak yang lain. Itu tetap hanya keseolahan.

Faktanya keduanya saling membutuhkan. Yang satu membutuhkan yang lain untuk bisa bertahan. Walaupun berbeda dan saling membenci, segala ekstrem di dalam hidup saling membutuhkan dan mengandaikan. Inilah paradoks sejati kehidupan.

Apa implikasinya untuk hidup kita?

Kapitalisme dan Sosialisme

Dalam konteks filsafat politik, kita diminta memilih antara kapitalisme dan sosialisme. Esensi kapitalisme adalah pengembangan modal demi modal itu sendiri secara tak terbatas dan dengan cara-cara yang efektif serta efisien. Sementara esensi sosialisme adalah pengaturan sumber daya suatu masyarakat demi kepentingan masyarakat seluruhnya, tanpa perkecualian. Peran negara amat penting, supaya sosialisme bisa terwujud dan bertahan.

Sekilas keduanya amat berbeda. Kapitalisme mengedepankan kebebasan. Sementara sosialisme mengedepankan keadilan. Namun jika ditanya lebih jauh, mungkinkah kita mewujudkan kebebasan tanpa keadilan? Dan bisakah kita menciptakan keadilan tanpa kebebasan?

Bukankah kapitalisme membutuhkan sosialisme, supaya ia sendiri bisa bertahan? Menciptakan kapitalisme yang mengedepankan pengumpulan modal tanpa batas, namun tanpa keadilan, akan menciptakan kesenjangan serta kecemburuan sosial yang berpotensi konflik, dan menghancurkan kapitalisme itu sendiri. Maka kapitalisme membutuhkan sosialisme, supaya ia tetap ada dan berkembang. Dan karena kapitalisme membutuhkan sosialisme, maka kapitalisme selalu akan membutuhkan negara.

Hal yang sebaliknya juga sama. Sosialisme yang mengedepankan keadilan selalu juga harus membuka ruang untuk kebebasan. Sosialisme tanpa kebebasan akan bermuara pada totalitarisme, seperti yang kita lihat di negara-negara komunis di abad ke-20. Maka supaya bisa bertahan, sosialisme perlu memberi ruang kebebasan warganya, dan wujud nyata utama kebebasan adalah kebebasan untuk mengembangkan diri dan modal yang dimiliki untuk mencapai kebahagiaan. Inilah yang rupanya sekarang terjadi di China, dengan beberapa perkecualian.

Cinta dan Benci

Cinta adalah perasaan manusiawi. Setiap manusia pasti mengalami, tanpa kecuali. Namun cinta total biasanya bermuara pada kekecewaan diri. Implikasinya bisa beragam mulai dari kekerasan, sampai dengan bunuh diri.

Yang dibutuhkan orang yang mencintai adalah jarak pada apa yang dicinta. Jarak akan memastikan bahwa cinta selalu ada dalam porsi yang sepantasnya. Namun jarak tidak bisa tercipta begitu saja. Jarak membutuhkan setitik benci untuk melahirkannya.

Inilah salah satu paradoks sejati kehidupan. Cinta hanya dapat menjadi sempurna, jika ada setitik kebencian. Kebencian pun lahir dari kekecewaan cinta yang tak dapat dihindarkan. Orang harus sadar akan hal ini, jika ingin sampai pada kebijaksanaan.

Paradoks Lainnya

Apa arti polisi jika tidak ada penjahat? Apa arti penjaga keamanan, jika tidak ada kejahatan? Polisi bisa bermakna karena ada kejahatan yang mengancam. Jika kejahatan sudah lenyap, maka masyarakat aman, dan polisi tidak lagi dibutuhkan.

Apa makna seorang dokter, jika tidak ada penyakit mengancam? Dokter bisa memperoleh eksistensinya, jika ada penyakit yang tetap harus diperangi di dalam kehidupan. Dokter adalah dokter karena ada penyakit yang siap untuk dikalahkan. Ironis bukan bahwa dokter membutuhkan penyakit untuk tetap ada?

Kaum konsevatif adalah penjaga tradisi. Mereka percaya bahwa tradisi adalah jalan yang perlu selalu diikuti. Semua masalah selesai jika tradisi dijaga. Namun mereka lupa bahwa dunia tak pernah sama. Maka mereka membutuhkan kaum progresif yang siap memperbaharui segala sesuatu, demi kebaikan bersama, termasuk kebaikan kaum konservatif yang seolah buta pada dunia.

Kaum progresif juga memerlukan tradisi sebagai tempat berpijak. Tradisi adalah titik tolak untuk bergerak. Tradisi ada untuk memberi bekal bagi pembaruan yang diperlukan. Kaum progresif membutuhkan kaum konservatif sebagai tempat menimba ilmu dan sejarah kehidupan.

Di dalam ranah metodologi penelitian, kita bisa menemukan hal yang sama. Positivisme adalah paham yang berpendapat, bahwa hanya realitas yang bisa ditangkap panca inderalah yang bisa dijadikan obyek penelitian. Di luar itu hanyalah ilusi yang tak perlu dipikirkan. Sementara fenomenologi hendak memahami sesuatu sebagaimana sesuatu itu tampil pada manusia, lepas apakah sepenuhnya dapat ditangkap panca indera, atau tidak.

Positivisme membutuhkan fenomenologi untuk menggali lebih dalam. Sementara fenomenologi membutuhkan positivisme untuk memperoleh pijakan data yang akurat untuk pendalaman. Tanpa kehadiran yang satu, yang lain tak akan banyak berarti. Itulah paradoks-paradoks kehidupan yang dapat ditemukan sehari-hari. Apapun yang kita lakukan, kita tetap tak bisa lari.

Pandangan Hidup

Informasi tidak akan banyak guna, jika tidak diangkat menjadi pandangan hidup. Pandangan hidup macam apa yang ingin ditawarkan oleh tulisan ini? Ada dua yang ingin saya ajukan. Yang pertama adalah etika paradoksal. Intinya adalah bahwa hidup manusia akan lebih baik, jika orang terbuka, dan bahkan hidup dalam tegangan, dengan beragam ekstrem yang berbeda dari dirinya.

Yang kedua adalah soal kebijakan publik. Kebijakan publik yang ideal selalu menampung dua ekstrem, dan tak  pernah hanya secara absolut berpihak pada salah satunya. Kita perlu uang untuk membiayai pendidikan dan kesehatan secara gratis untuk masyarakat, walaupun uang itu mungkin datang dari pajak hasil legalisasi pelacuran dan perjudian!***

Penulis adalah Dosen Filsafat Politik, Fakultas Filsafat UNIKA Widya Mandala, Surabaya

 

 

 

 

Diterbitkan oleh

Reza A.A Wattimena

Peneliti di bidang Filsafat Politik, Filsafat Ilmu dan Kebijaksanaan Timur. Alumni Sekolah Tinggi Filsafat Driyarkara Jakarta, Doktor Filsafat dari Hochschule für Philosophie München, Philosophische Fakultät SJ München, Jerman. Beberapa karyanya: Menjadi Pemimpin Sejati (2012), Filsafat Anti Korupsi (2012), Tentang Manusia (2016), Filsafat dan Sains (2008), Zen dan Jalan Pembebasan (2017-2018), Melampaui Negara Hukum Klasik (2007), Demokrasi: Dasar dan Tantangannya (2016), Bahagia, Kenapa Tidak? (2015), Cosmopolitanism in International Relations (2018), Protopia Philosophia (2019), Memahami Hubungan Internasional Kontemporer (20019), Mendidik Manusia (2020), Untuk Semua yang Beragama (2020), Terjatuh Lalu Terbang (2020), Urban Zen (2021), Revolusi Pendidikan (2022) dan berbagai karya lainnya.

Satu komentar pada “Paradoks”

  1. Nice one you have here! Sepertinya kemampuan menghayati paradox sejatinya adalah sebuah skill. Orang tidak akan bisa dengan sendirinya, dan tentunya proses belajarnya pun tidak seperti sulap.

    Suka

Tinggalkan Balasan

Isikan data di bawah atau klik salah satu ikon untuk log in:

Logo WordPress.com

You are commenting using your WordPress.com account. Logout /  Ubah )

Gambar Twitter

You are commenting using your Twitter account. Logout /  Ubah )

Foto Facebook

You are commenting using your Facebook account. Logout /  Ubah )

Connecting to %s

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.