Zen itu Seperti Kamar Kosong

jptkA1Oleh Reza A.A Wattimena

Beberapa teman bercerita. Mereka sudah belajar Zen. Mereka juga sudah aktif Yoga. Namun, derita dan kecewa tetap berkunjung, seolah tak ada yang berubah.

Akhirnya, mereka lelah. Ada perasaan putus asa muncul. Hidup memang penderitaan, begitu kata seorang teman. Ucapan serupa keluar dari mulut Gautama, Sang Buddha, lebih dari 2400 tahun yang lalu.

Lelah berkepanjangan, beberapa teman merasa frustasi. Kebiasaan lama kembali muncul. Ada yang berbelanja berlebihan. Ada juga yang kembali menegak alkohol, guna mengurangi frustasi dan derita yang berkunjung.

Ini sebenarnya gejala umum. Banyak pelaku spiritual mengalaminya. Derita mendorong mereka ke jalan spiritual. Namun, mereka mengalami kebuntuan di dalamnya.

Saya juga mengalaminya. Beberapa kali, saya hampir menyerah. Saya tergoda untuk kembali ke kebiasaan lama, yakni menyelesaikan masalah dengan kekerasan. Lahir dan besar di Jakarta, dengan segala kompleksitasnya, membuat emosi saya gampang mendidih.

Di dalam keadaan itu, saya menyelidiki batin saya. Apa yang membuat saya menderita dan kecewa? Pola serupa kiranya bisa ditemukan di antara teman-teman saya. Tiga hal tampil ke depan.

Saat Penyelidikan  

Pertama, ada harapan menyelinap di dalam laku spiritual saya. Saya berharap, dengan menekuni jalan Zen dan Yoga, derita saya lenyap sepenuhnya. Harapan tersebut begitu kuat, sekaligus kerap kali begitu tersembunyi. Ketika kenyataan tak sesuai harapan, derita pun muncul ke depan.

Dua, harapan merupakan sisi lain dari penolakan. Akar dari penolakan adalah kebencian. Akar dari kebencian adalah kebodohan. Karena tidak ada suatu hal yang ada secara mandiri dan mutlak, maka tidak ada yang bisa dibenci di dalam kenyataan ini.

Tiga, harapan dan penolakan lahir dari ego. Dan ego adalah ciptaan pikiran. Maka, semua derita ini lahir dari pikiran. Jika saya tidak melekat pada pikiran saya, maka derita akan lenyap dalam seketika.

Batin yang penuh pikiran itu seperti kamar yang penuh. Tidak ada ruang kosong di dalamnya. Semuanya berantakan, dan tidak nyaman ditempati. Kamar yang penuh tidak banyak gunanya di dalam hidup ini.

Saat Penemuan

Pikiran itu seperti pisau. Ia berguna, jika ia terkendali. Jika ia tak terkendali, maka ia bisa melukai banyak orang, termasuk pemegangnya. Batin yang melekat dan penuh dengan pikiran itu seperti orang yang tercabik-cabik oleh pisau yang ia pegang sendiri.

Zen dan Yoga mengajak orang untuk sadar betul akan hal ini. Kita lalu diajak untuk membuat jarak dengan pikiran kita sendiri. Kita diajak untuk kembali ke sebelum pikiran. Batin sebelum pikiran adalah diri kita yang sebenarnya.

Ini seperti kamar kosong. Tak ada benda apapun di dalamnya. Karena itu, ia bisa digunakan untuk apapun, dari kamar tidur, kamar kerja sampai gudang. Kamar kosong itu sepenuhnya kreatif dan penuh dengan beragam kemungkinan.

Di dalam tradisi yang lebih tua, yakni tradisi Vedanta Hindu, hal serupa pun bisa ditemukan. Brahma dan Shiva adalah ruang hampa semesta yang penuh dengan berbagai kemungkinan. Segala hal lahir darinya, dan nantinya kembali padanya. Diri kita yang sebenarnya adalah Brahma dan Shiva itu.

Gautama, dan nantinya Nagarjuna, memberikan gambaran yang lebih analitis. Hakekat sejati setiap mahluk adalah kekosongan. Tidak ada inti diri yang mandiri dan mutlak. Pada hakekatnya, segalanya, termasuk diri kita, itu seperti kamar kosong. Tak ada penghuni tetap di dalamnya.

Saat Pencerahan

Jika emosi kuat datang, karena ada keadaan yang tak sesuai keinginan, tetaplah berada sebagai kamar kosong. Jika ada harapan untuk keluar dari keadaan, sadari itu sebagai pikiran. Jika ada penolakan, sadari juga itu sebagai pikiran. Intinya, tetap berada sebagai kamar kosong, karena itulah diri kita yang sebenarnya.

Maka, kita akan sadar, betapa sementaranya pikiran itu. Segalanya sementara. Ia muncul, menetap dalam jangka waktu tertentu lalu pergi menghilang. Tak ada yang perlu, atau bisa, dikejar. Tetaplah berada sebagai kamar kosong yang siap menampung semuanya, ketika datang, dan melepas segalanya, ketika pergi.

Kata kunci disini adalah “jangan mencengkram”. Kita boleh mengalami dan merasakan semuanya, mulai dari sedih, marah, takut sampai gembira tak terkatakan. Tapi, semua itu sementara, bagaikan asap yang datang dan pergi, namun tak ada inti. “Jangan dicengkram”, dan biarkan semua itu datang, lalu pergi, ketika waktunya tiba.

Bagaimana jika emosi yang dirasakan terlalu kuat? Misalnya rasa takut dan marah yang begitu kuat, sampai dada terasa mau pecah. Disini, kita perlu menaruh perhatian kita pada obyek-obyek netral, seperti nafas, suara dan sensasi tubuh. Perhatian pada obyek-obyek netral ini membantu kita tetap stabil, ketika badai emosi yang amat kuat menerpa.

Tak ada lulus sepenuhnya dalam hal ini. Hidup kita adalah sekolah kita, sekaligus ujian yang mesti kita jalani. Setiap tantangan dan kesulitan adalah guru-guru yang mesti kita hargai. Tetaplah menjadi seperti kamar kosong, jangan mencengkram apapun dan perhatikan obyek-obyek netral sesering mungkin.

Buahnya adalah hal-hal yang dicari semua manusia. Kedamaian akan datang. Kebahagiaan akan tiba. Kita pun lalu sadar, bahwa kematian itu hanya konsep. Tak ada yang sungguh mati di alam semesta yang abadi ini.

***

Rumah Filsafat kini bertopang pada Crowdfunding, yakni pendanaan dari publik yang terbuka luas dengan jumlah yang sebebasnya. Dana bisa ditransfer ke rekening pribadi saya: Rekening BCA (Bank Central Asia) 0885100231 atas nama Reza Alexander AntoniusLebih lengkapnya lihat di https://rumahfilsafat.com/rumah-filsafat-dari-kita-untuk-kita-dan-oleh-kita-ajakan-untuk-bekerja-sama/

Iklan

Diterbitkan oleh

Reza A.A Wattimena

Peneliti di bidang Filsafat Politik, Filsafat Ilmu dan Kebijaksanaan Timur. Alumni Sekolah Tinggi Filsafat Driyarkara Jakarta, Doktor Filsafat dari Hochschule für Philosophie München, Philosophische Fakultät SJ München, Jerman. Beberapa karyanya: Menjadi Pemimpin Sejati (2012), Filsafat Anti Korupsi (2012), Tentang Manusia (2016), Filsafat dan Sains (2008), Zen dan Jalan Pembebasan (2017-2018), Melampaui Negara Hukum Klasik (2007), Demokrasi: Dasar dan Tantangannya (2016), Bahagia, Kenapa Tidak? (2015), Cosmopolitanism in International Relations (2018), Protopia Philosophia (2019), Memahami Hubungan Internasional Kontemporer (20019), Mendidik Manusia (2020), Untuk Semua yang Beragama (2020), Terjatuh Lalu Terbang (2020), Urban Zen (2021), Revolusi Pendidikan (2022) dan berbagai karya lainnya.

6 tanggapan untuk “Zen itu Seperti Kamar Kosong”

  1. Tulisan-tulisan Pak Reza banyak menginspirasi dan mencerahkan terimakasih, dan wah saya tidak nyangka kalau Pak Reza setuju dengan stereotip orang Ambon identik dengan kekerasan hmm…???

    Suka

  2. setuju sekali dengan makna diatas.
    bisa di mengerti juga, kalau peminat zen kecewa/putus asa, sebab harapan / impian tak terwujud.
    menurut pengalaman saya zen hanya lah latihan , yg membuat kita mampu berpikir jernih.
    untuk menyelesaikan kesulitan, kita sendiri yang mampu mengatasi, tanpa pertolongan luar, hanya dengan pikiran jernih.
    zen bisa di samakan dengan “obat penguat immun system”, dimana badan sendiri menyembuhkan penyakit, justru bukan “obat penyembuh penyakit”.
    layak nya peminat salah paham dengan kedua “obat” yang berbeda dan mencampur baurkan cara bekerjanya.
    tidak mengherankan bahwa pemula minat zen mengalami jalan buntu, mereka selalu mengharap / menunggu ” kapan pencerahan “(????).
    pertanyaan : apakah uraian diatas mudah di mengerti untuk orang awam ??
    salam hangat !!

    Suka

Tinggalkan Balasan

Isikan data di bawah atau klik salah satu ikon untuk log in:

Logo WordPress.com

You are commenting using your WordPress.com account. Logout /  Ubah )

Foto Facebook

You are commenting using your Facebook account. Logout /  Ubah )

Connecting to %s

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.