
Oleh Reza A.A Wattimena
Dosen Filsafat Politik, Fakultas Filsafat Unika Widya Mandala Surabaya
Dasar teoritis konsep demokrasi adalah, bahwa kekuasaan (kratos) ada di tangan rakyat (demos). Di dalam segala aspek pembuatan peraturan maupun kebijakan publik, rakyat, dan kepentingannya, adalah titik pijak yang paling utama. Hukum dibuat untuk mengabdi kepentingan rakyat. Seluruh tata politik, ekonomi, dan hukum dibuat untuk memenuhi sedapat mungkin semua kepentingan rakyat.
Di dalam prakteknya, demokrasi berpijak pada empat prinsip. Prinsip itu adalah kebebasan (otonomi=kemampuan untuk menentukan dirinya sendiri sebagai pribadi yang bebas dan punya hati nurani), kesetaraan antar manusia, perwakilan rakyat yang sungguh mewakili kepentingan rakyat, dan kepastian hukum (setiap orang berhak untuk mendapatkan keadilan di depan hukum). Keempat prinsip itu harus ada berbarengan, supaya demokrasi bisa sungguh tercipta. Dengan pola ini, jalan-jalan demokratis menuju keadilan dan kemakmuran bangsa bisa dimulai. (Wattimena, 2012)
Demokrasi yang Tergelincir
Namun, sayangnya, di Indonesia, demokrasi kini telah tergelincir. Ia telah kehilangan dirinya sendiri, dan menjadi sesuatu yang lain. Demokrasi di negara sebesar Indonesia, yang awalnya ditopang oleh institusi-institusi yang mewakili dan mengabdi kepentingan rakyat, kini telah tergelincir menjadi anarki, yakni pemerintahan yang dijalankan tidak oleh siapapun. Dalam konteks ini, kekuasaan bukan di tangan rakyat (yang sadar dan rasional), melainkan di tangan massa (yang buas dan irasional).
Perintah Presiden, sebagai pimpinan tertinggi yang terpilih secara demokratis, banyak diabaikan. Hukum yang berlaku juga dikangkangi oleh kelompok-kelompok masyarakat yang merusak dan anarkis. Beragam UU dibuat, namun pelaksanaannya selalu bermasalah. Indonesia adalah komunitas politis yang berjalan secara otomatis, tanpa kepemimpinan yang jelas.
Di sisi lain, demokrasi di Indonesia pun sudah tergelincir menjadi oligarki, yakni pemerintahan oleh sekumpulan orang-orang yang kaya, dan yang juga hanya memperhatikan kepentingan orang-orang kaya saja. Tak sulit untuk menemukan ini dalam realitas politik Indonesia. Para pemimpin partai politik besar sekarang ini mayoritas adalah pengusaha-pengusaha kaya. Para calon pimpinan daerah maupun presiden pun juga para pengusaha kaya yang siap untuk menaikkan citranya di dalam dunia politik.
Mengapa pengusaha kaya tidak tepat untuk masuk dalam dunia politik? Pengusaha di Indonesia hidup dan bekerja dengan berpijak pada paradigma kepentingan diri dan keuntungan. Yang menjadi orientasi mereka adalah bagaimana supaya bisnis yang dijalankan menghasilkan untung sebesar-besarnya dengan biaya sekecil-kecilnya. Semua ini mengabdi pada upaya pemuasan kepentingan diri, yakni menjadi kaya.
Bagaimana orang yang sudah terbiasa hidup dengan pola berpikir di atas kemudian menjadi pemimpin politik, yang harus memikirkan kepentingan banyak orang (bukan hanya kepentingannya sendiri), dan harus mampu melihat suatu masalah dari beragam sudut pandang, dan bukan hanya sudut pandang untung-rugi saja? Tentu saja, dalam beberapa kasus, ada beberapa pengusaha yang bisa melampaui paradigmanya, dan menjadi seorang negarawan yang baik. Namun, berapa prosentasenya?
Demokrasi di Indonesia juga sudah tergelincir menjadi parasitokrasi, yakni pemerintahan oleh para parasit. Dalam arti ini, secara politis, parasit adalah orang-orang yang banyak menuntut untuk dipuaskan kebutuhannya, tetapi tidak mau bekerja keras untuk mewujudkannya. Mereka adalah orang-orang yang banyak melakukan kritik dan menuntut, tetapi kendor, ketika ditagih untuk bekerja keras. Jumlah orang semacam ini semakin banyak, tidak hanya di politik, tetapi juga di dalam pelbagai organisasi yang ada di Indonesia.
Prinsip yang Hilang
Tergelincirnya demokrasi di Indonesia menjadi anarki, oligarki, dan parasitokrasi, menurut saya, terjadi, karena prinsip-prinsip demokrasi yang telah hilang. Prinsip-prinsip ini tidak lagi diajarkan di institusi-institusi pendidikan di Indonesia, dan seakan sudah lenyap dari ruang publik Indonesia. Prinsip-prinsip demokrasi dilindas oleh prinsip untung rugi yang kental tertanam di dalam kapitalisme. Prinsip-prinsip yang sama juga lenyap terlindas oleh fanatisme agama yang menghendaki kemurnian penerapan ajaran agama.
Kebebasan digantikan dengan ketaatan pada perintah. Otonomi diri, yakni kemampuan untuk menentukan diri sendiri, digantikan oleh kepatuhan mutlak pada ajaran di luar diri. Tak heran, orang lebih mendengar apa kata orang, daripada apa kata hati nuraninya sendiri. Aturan dan kecenderungan kelompok melindas kemampuan kita untuk mempertimbangkan secara jernih dan rasional apa yang baik dan benar.
Kesetaraan digantikan dengan strata sosial yang memisahkan manusia ke dalam kelas-kelas. Feodalisme, paham yang menyatakan, bahwa manusia dilahirkan berbeda dan tidak setara, menjadi pandangan umum masyarakat. Orang-orang miskin, “bodoh”, “jelek”, dan cacat terpinggirkan dari masyarakat, karena ketidakberdayaan mereka. Seluruh tata politik, ekonomi, hukum, dan bahkan budaya selalu menguntungkan mereka yang kaya, cantik, pintar, dan “normal”.
Di sisi lain, hukum tidak dijalan secara konsisten. Aturan dan UU bertebaran mengatur berbagai hal. Namun, kepastian pelaksanaannya tidak berjalan. Celah untuk korupsi begitu besar, sehingga UU dan aturan yang ada menjadi tersandera dan tak berdaya. Baru-baru ini, di hari peringatan Proklamasi 17 Agustus 1945, dua hakim pengadilan Tindak Pidana Korupsi terbukti menerima suap. Di dalam iklim semacam ini, kepastian hukum hanya tinggal mimpi.
Supaya demokrasi tidak tergelincir, maka prinsip-prinsip dasar demokrasi haruslah ditegakkan. Prinsip-prinsip demokrasi, seperti otonomi, kebebasan, kesetaraan antar manusia, dan kepastian hukum, harus terintegrasi di dalam kurikulum pendidikan Indonesia secara khusus, dan sistem pendidikan Indonesia secara keseluruhan.
Lebih dari itu, kita, sebagai warga negara, juga harus bertindak dengan prinsip-prinsip semacam itu, ketika aktif terlibat di dalam ruang publik. Hanya dengan begitu, demokrasi bisa berhenti tergelincir, dan kembali mengantarkan kita ke dalam rel yang mengarahkan bangsa kita pada keadilan dan kemakmuran bersama.
Saya tidak sepenuhnya suka dengan demokrasi. Saya ingin bertanya kepada Kang Reza, apakah sistem demokrasi yang salah ataukah orang-orang yang menjalankan demokrasi itu?
SukaSuka
Salam. Yang kurang di Indonesia adalah mentalitas demokrasi. Mentalitas orang Indonesia mayoritas masih cocok dengan kerajaan.
SukaDisukai oleh 1 orang
Terima kasih Kang Reza. Jadi apakah demokrasi harus tetap dipertahankan di Indonesia? atau mengganti dengan sistem yang lain ?
SukaSuka
Tetap harus dipertahankan, karena itu adalah sistem terbaik yang pernah ada. Kita hanya perlu mempersiapkan mentalitas masyarakatnya….
SukaSuka
mau tanya nieh bung?
kira-kira demokrasi apa yang cocok untuk bangsa kita nih, bung?
SukaSuka
lihat tulisan terbaru saya.. di https://rumahfilsafat.com/2012/11/24/ajakan-berdiskusi-kemana-kita-akan-mengarah/
SukaSuka
“…..kini telah tergelincir menjadi anarki, yakni pemerintahan yang dijalankan tidak oleh siapapun.. (buas dan irrasional)”
boleh saran… mas. kata anarkhi mungkin lebih baik diganti dengan istilah yang pas… barbar… atau barbarisme… karena anarki tidak merusak. hehe maaf cuma saran mas reza… karena saya sedang ingin meluruskan pengertian anarkhi yang selama ini disamakan dengan barbar dan vandalisme.
saya mengacu anarki dari pengertian freedom without violence and law…. sementara barbarisme, violence without freedom and law.
SukaSuka
menarik. Terima kasih atas sarannya. Salam kenal ya..
SukaDisukai oleh 1 orang
Iya mas reza… salam kenal juga… 🙂
SukaSuka