
Oleh Reza A.A Wattimena,
Dosen di Fakultas Filsafat Unika Widya Mandala Surabaya, sedang belajar di Bonn, Jerman.
Kita hidup di era yang amat menarik. Apa yang kita pilih dan lakukan sebagai manusia Indonesia akan menentukan jati diri kita, tidak hanya untuk saat ini, tetapi untuk masa depan kita sebagai bangsa. Pertanyaan kecil yang menggantung di sekujur wacana ini adalah, bagaimana bentuk konkret dari manusia Indonesia abad 21? Bagaimana ia berpikir, memahami, serta mengatasi pelbagai hal yang terjadi di abad 21 ini?
Situasi Kita
Melalui pelbagai peristiwa yang terjadi, kita bisa membuat semacam profil untuk memahami tipe manusia Indonesia yang ada sekarang ini, yakni manusia Indonesia di awal abad 21. Di satu sisi, ia amat religius, dalam arti segala peristiwa yang terjadi di dalam hidupnya selalu dilihat dalam kaitan dengan kehendak Tuhan, atau takdir yang sebelumnya telah ada. Di sisi lain, ia amat sulit untuk mematuhi apa yang telah menjadi kesepakatan bersama, misalnya aturan, sehingga membuat hidup bersama, yang didasarkan atas aturan dan hukum, menjadi amat sulit.
Dari dua pendapat ini, kita bisa menurunkan berbagai sikap hidup yang tampak begitu nyata di dalam situasi sehari-hari Indonesia, yakni kemunafikan (religus tetapi korup dalam pikiran dan tindakan), serta ketidakpastian hukum (hukum dan aturan dibuat, tetapi tidak ada yang menjalankan, dan tidak ada yang menjamin pelaksanaan hukum dan aturan tersebut). Dua hal ini jelas, menurut saya, menjadi penyebab utama, mengapa kita sulit sekali menciptakan masyarakat yang adil dan makmur untuk semua orang, walaupun memiliki sumber daya alam dan sumber daya manusia yang berlimpah.
Di sisi lain, manusia Indonesia di awal abad 21 ini memiliki rasa kebersamaan yang tinggi. Komunitas dan keluarga menjadi sesuatu yang penting, walaupun keterlibatan sosial di komunitas seringkali tidak didasari oleh motif-motif yang luhur, melainkan lebih untuk memenuhi kepentingan pribadi semata. Dampak positifnya jelas, bahwa dukungan sosial menjadi terasa, terutama dalam saat-saat sulit, seperti kematian anggota keluarga, atau sakit. Dampak negatifnya juga ada, yakni suburnya rumor dan gosip di dalam kehidupan sehari-hari yang mengaburkan pandangan kita dari apa yang sesungguhnya terjadi.
Pada titik ini, kita patut bertanya, kemana kita mengarah? Yang pasti, tipe manusia Indonesia abad 21 awal yang saya jabarkan di atas masih bisa berubah. Bibit-bibit perubahan sudah tampak di berbagai tempat, tinggal kita yang kini harus memilih dengan tegas, kemana kita, sebagai manusia Indonesia mengarah.
Pilihan yang kita buat akan membawa setidaknya pada dua tempat. Yang pertama adalah masyarakat Indonesia yang adil dan makmur, yang menjadi cita-cita dari para pendiri bangsa kita. Yang kedua adalah pecahnya Indonesia ke dalam kelompok-kelompok radikal, yang pada akhirnya menciptakan perang saudara dan penderitaan untuk semua orang. Tentu saja, saya sarankan, kita memilih yang pertama.
Manusia Indonesia: Manusia Sekular
Sebagai pola pikir, saya rasa, kita perlu untuk mempelajari satu paham yang sekarang ini begitu sinis dipahami di Indonesia, yakni sekularisme (Säkularismus). Apa itu sekularisme sebenarnya? Pada hemat saya, sekularisme adalah paham yang menyatakan, bahwa dunia (bukan surga atau neraka) adalah tempat hidup manusia yang utama, maka dunia haruslah ditata dengan cara-cara yang paling baik, yang mampu memberikan keadilan, kemakmuran, dan kebahagiaan bagi manusia yang hidup di dalamnya. Dapat juga dikatakan, bahwa sekularisme berkutat soal tata kelola dunia manusia sehari-hari, dan sedapat mungkin memutuskan hubungan dengan paham soal dunia setelah manusia mati.
Mengapa sekularisme itu baik? Sekularisme mengajarkan dua prinsip dasar yang amat penting untuk kehidupan bersama. Yang pertama, sekularisme mengajak kita untuk sungguh memisahkan urusan negara dan pemerintah dan institusi agama, sehingga negara dan pemerintah yang resmi bisa memimpin masyarakat tanpa jatuh pada diskriminasi atau malah terlalu berpihak terhadap kelompok agama tertentu. Yang kedua, sekularisme mengajak kita untuk berpikir, bahwa setiap orang yang berasal dari beragam agama maupun latar belakang memiliki kesetaraan di hadapan hukum dan aturan yang berlaku.
Di dalam sejarah perkembangannya, sekularisme amat menekankan pemisahan antara agama dan negara. Dalam arti ini, sekularisme hendak memastikan, bahwa agama tidak ikut campur di dalam tata kelola negara, dan sebaliknya, bahwa negara tidak ikut campur dalam soal-soal agama. Tentu saja, pemisahan total tidaklah mungkin terjadi, karena kita hidup dalam dunia yang saling terhubung satu sama lain. Hubungan yang terjadi adalah hubungan dialogis (bukan hubungan yang “menentukan secara mutlak”) antara peran praktis negara di dalam menata masyarakat di satu sisi, dan nilai-nilai agama yang ada di sisi lain. (Habermas, 2008)
Dalam hal ini, sekularisme hendak memastikan, bahwa setiap orang berhak untuk memeluk agama (serta berpindah agama) sesuai hati nuraninya, dan mempraktekkan ajaran agama itu di dalam hidupnya. Kebebasan berpikir dan mendengarkan hati nurani dilindungi oleh pemerintah, dan ini berlaku untuk semua orang, termasuk mereka yang tidak beragama. Kebebasan untuk memeluk agama sesuai dengan hati nurani, dan mempraktekkannya di dalam kehidupan, dilindungi, sejauh itu semua tidak menganggu proses tata kelola negara, maupun hak-hak orang lainnya yang hidup di masyarakat. Dirumuskan secara singkat, sekularisme melindungi hak setiap orang untuk beragama, dan ini selalu diimbangi dengan hak orang juga untuk bebas, atau tidak, beragama.
Manusia Indonesia: Sekular dan Demokratis
Dalam konteks masyarakat demokratis, seperti Indonesia, setiap warga memiliki hak yang sama dan setara di hadapan hukum, lepas dari apa agamanya, latar belakangnya, ataupun pilihan hidupnya. Dalam hal ini, saya ingin menegaskan, bahwa sekularisme sejalan dengan hak-hak asasi manusia dan demokrasi yang melindungi hak hidup dan membuat keputusan bagi setiap orang, termasuk kaum perempuan, homoseksual, waria, difabel, dan kelompok minoritas. Setiap orang dilindungi dari sikap menindas dan diskriminatif yang seringkali ditemukan di dalam ajaran-ajaran agama yang masih berpola tradisional.
Sekularisme juga hendak memastikan, bahwa setiap orang memiliki hak yang sama untuk mendapatkan pelayanan publik, mulai dari pelayanan kesehatan, pendidikan, polisi, dan pelayanan publik lainnya. Tidak ada orang, yang karena agama ataupun pilihan hidupnya, tidak mendapatkan pelayanan kesehatan, pendidikan, ataupun perlindungan hukum yang layak. Semua institusi milik pemerintah memberikan pelayanan dan pendidikan kepada semua orang yang membutuhkan, tanpa peduli agama ataupun latar belakang orangnya. Sekolah-sekolah negeri mengajarkan nilai-nilai yang netral dari agama tertentu, dan mendidik setiap anak dengan standar yang cukup universal, lepas dari apa agama orang tua dari anak itu.
Bukan Ateisme!
Yang perlu dipahami adalah, bahwa sekularisme bukanlah ateisme. Sekularisme adalah paham yang hendak memastikan, bahwa setiap orang, termasuk para ateis, mendapatkan hak-hak yang sama sebagai manusia atas pendidikan, kesehatan, serta perlindungan hukum. Dalam hal ini, menurut saya, sekularisme adalah suatu pandangan yang amat cocok untuk memberikan kerangka berpikir bagi masyarakat demokratis, seperti Indonesia, yang terdiri dari beragam agama, suku bangsa, pandangan filosofis, serta gaya hidup.
Di sisi lain, sekularisme juga melindungi kebebasan setiap orang, sekali lagi SETIAP ORANG, untuk berbicara dan mengekspresikan dirinya. Pandangan dan kritik dibiarkan terbuka bertarung di dalam ruang publik. Tidak ada satu pun kelompok agama yang mendapatkan fasilitas lebih ataupun perlindungan lebih dari negara ataupun pemerintah yang resmi. Setiap ide harus terbuka untuk diskusi dan kritik dari orang ataupun kelompok lainnya. Pada hemat saya, sekularisme adalah paham yang amat cocok untuk menciptakan masyarakat, di mana semua orang yang berbeda cara hidup maupun pola pikirnya bisa hidup bersama secara damai.
Jürgen Habermas, filsuf Jerman, dan Presiden AS, Barrack Obama, memiliki pandangan yang, menurut saya, cocok untuk kehidupan kita di Indonesia. Masyarakat demokratis, menurut mereka, menuntut agar setiap agama, SETIAP agama, menerjemahkan nilai-nilai dan tuntutan mereka dengan menggunakan bahasa-bahasa yang bisa dimengerti secara universal oleh kelompok-kelompok agama lainnya, maupun oleh mereka yang tidak beragama. Nilai-nilai dan tuntutan itu haruslah terbuka untuk diskusi dan kritik, serta tidak otomatis harus dihormati, apalagi diterapkan.
Jantung hati dari sekularisme, menurut saya, adalah kebebasan manusia untuk menentukan apa yang baik bagi hidupnya, dan kebebasan itu secara legal dan institusional dilindungi oleh tata politik yang ada. Tidak hanya itu, kebebasan pun menjadi nilai utama, atau esensi, dari tata politik yang ada. Segala bentuk pembatasan atas kebebasan manusia harus memiliki dasar yang kuat, baik secara rasional maupun secara kultural, serta terbuka untuk kritik, diskusi, dan perubahan, jika dirasa sudah tidak lagi memadai. Otoritas politis, yang berhak untuk membatasi kebebasan manusia, pun harus didasarkan pada nalar dan perjanjian yang terbuka untuk kritik, diskusi, dan perubahan.
Yang menarik adalah, bibit-bibit untuk sekularisme dan demokrasi sudah tertanam begitu dalam di dalam sanubari bangsa Indonesia. Di pelbagai penjuru tanah air, kita sudah langsung bisa melihat, bagaimana perbedaan agama dan latar belakang dijembatani dengan cara-cara yang sekular dan pro perdamaian, sehingga hidup bersama bisa berjalan secara lancar. Tentu saja, ini belum menjadi pandangan umum, namun cukup jelas, bahwa bibit-bibit itu sudah ada, tinggal kita merawatnya, sehingga bisa tumbuh dengan indah, dan mengarahkan kita menjadi bangsa yang adil dan makmur di DUNIA ini (bukan di surga, apalagi neraka).
Sekularisme memang sangat menggoda sebagai ideologi dalam kehidupan bernegara. Sayangnya, mengadopsi sekularisme menuntut privatisasi agama. Artinya, religiusitas harus diletakkan di ruang privat, terpisah dari ranah publik. Meski ada yg berpendapat, moralitas merupakan titik kontak kedua domain diatas. Jadi, hemat saya, meski disebut bahwa sekularisme bukan ateisme dalam pemahaman teoritis, tidaklah demikian secara praktis. Sebutlah Amerika dengan sekular-liberalme. Yang meski dibangun diatas konstitusi yang mengakui adanya Tuhan, namun tidak mewujud dalam praktek bernegara. Contoh klasik yang sering dipakai perihal legalitas aborsi. Atau perihal pernikahan homoseksual yang menimbulkan banyak sekali problem. Setidaknya, atas nama kesetaraan, terjadilah intervensi kebijaksanaan publik kedalam ranah kehidupan agama. Tentunya hal ini berlawanan dengan cita2 sekularisme. Atau justru sesuai? Salam…
SukaSuka
Saya sagat sepaham dengan opini ini. kadang realitas dlam kehidupan manusia sangat sulit untuk menerima polah hidup yang multi perbedaan. padahal perbedaan menjadi warna terindah dan bernilai buat manusia untuk beelajar lebihbaik.
SukaSuka
Ini pendapat yang menarik. Di dalam masyarakat sekarang, agama, negara, dan moralitas memang tetap terhubung, bahkan harus terhubung. Pemisahan mutlak tidaklah mungkin. Namun, hubungannya adalah hubungan diskursif, dan bukan menentukan, apalagi memaksa. Intervensi negara bisa dibenarkan, sejauh menjamin tetap dinamis dan seimbangnya hubungan antar berbagai kelompok yang berbeda di masyarakat.
SukaSuka
Ya. Saya setuju.
SukaSuka
Secara prinsip saya sependapat perihal intervensi negara, bahkan kedalam ranah religiusitas. Namun, hemat saya, hanya aspek moralitas yg dp menjadi dasar bagi pelaksanaan intervensi, dan bukan keseimbangan atau kesetaraan berbagai kelompok masyarakat multikultural. Sehingga jikalau benar moralitas adalah jembatan ranah sakral-sekular, maka dari sana hubungan diskursif antara negara dengan berbagai kelompok keagamaan dapat dibangun. Sayangnya, sekularisme bergerak dari arah yg berlawanan bukan?
SukaSuka
Yang saya tahu, para pendiri bangsa mengharapkan penggalian nilai-nilai Indonesia dari nilai-nilai agama yang universal dan negeri ini dibangun di atas nilai-nilai universal tersebut. Perbedaan keyakinan tidak masalah ketika kemuliaan untuk saling mengasihi, memberi dan kerjasama dapat disuburkan. Sekularisme yang selama sekian tahun diajarkan dan dipraktekkan (meski tidak diakui) setengah-setengah membuat bangsa yang sebelumnya religius menjadi bingung dan kehilangan pegangan dalam bersikap.
Mohon koreksi.
SukaSuka
Ini tepat seperti ide HAbermas tentang masyarakat diskursif. Moralitas sedapat mungkin dibangun dari fondasi yang cukup universal, yakni hak-hak asasi manusia, sehingga bisa cukup menjadi jembatan atas beragam kelompok sosial yang ada di masyarakat…
SukaSuka
ya.. saya setuju.. sikap setengah2 ini yang selalu jadi masalah… Pancasila setengah2.. sekularisme setengah2.. akhirnya kacau semua…
SukaSuka
Kalau saya tdk salah memahami etika diskursus Habermas, tdp pengandaian tercapainya suatu konsensus hasil proses diskursif yg kemudian diuniversalisasi setelah melalui pengujian sifat universalitasnya berdasarkan kategori2 tertentu. Selanjutnya prinsip universalitas tsb dlm kaitannya dg norma2 etis disebut sbg prinsip moral. Benar begitu?
Kalau pemahaman saya diatas benar, maka saya rasa kaum teis memahaminya secara berbeda: Yg moral sbg yg universal, bkn yg universal sbg yg moral.
SukaSuka
Saya sepakat dengan yang pertama. Saya tidak mengerti pertanyaannya? Bisa tolong dijelaskan?
SukaSuka
Dlm diskusi diatas muncul bahasan ttg urgensi moralitas dlm pemerintahan negara. Juga muncul wacana penerapan etika diskursif utk mengisi keniscayaan moral tsb. Tetapi, kalau saya tidak salah, proseduralisme Habermas mendasarkan nilai & norma pd kearifan lokal masyarakat. Padahal, seperti yg kita ketahui bersama, globalisasi secara menerus menempatkan kearifan lokal tsb dlm ketegangan dialektis. Akibatnya, hemat saya, nilai & norma Habermasian senantiasa mengambang krn tdk memiliki jangkar ontologis kecuali pertimbangan sosial-empiris.
Oleh karena itu, saya tdk sependapat perihal penerapan sekularisme sbg ideologi dlm menjalankan pemerintahan negara. Tidak berarti saya setuju dgn negara teokrasi ataupun teonomi. Hemat saya, agama & negara tetap harus menjadi institusi2 yg terpisah sekaligus terhubung; antara lain dlm menggali (bkn mendasarkan pd) nilai2 kemanusiaan universal.
Dlm konteks Indonesia, kearifan Pancasila yg berketuhanan universal, yg tidak mengacu pd agama tertentu, yg menjadi dasar penyusunan baik sila2 kemanusiaan ataupun musyawarah-mufakat (masyarakat diskursif), bagi saya pribadi, melampaui logika naturalistik dalam sekularisme.
Selamat Natal & Tahun Baru 2013…
SukaSuka
Proseduralisme Habermas didasarkan pada nilai-nilai universal yang sudah tertanam pada kemampuan berbahasa dan berkomunikasi manusia itu sendiri, jadi bukan nilai-nilai partikular kultural. Saya setuju dengan anda. Sekularisme yang saya tawarkan adalah sekularisme 2.0,yakni hubungan negara dan agama yang terpisah, tetapi masih bisa terhubung dalam soal nilai-nilai, walaupun tetap harus menggunakan bahasa-bahasa rasional. Pancasila adalah payung yang tepat. Tetapi “esa” berarti menyingkirkan agama-agama yang mengakui lebih dari satu Tuhan… itu juga bentuk diskriminasi, menurut syaa… Selamat Natal dan Tahun baru juga…
SukaSuka
‘Esa’ dlm sila ketuhanan mendiskriminasi agama2 politeis ya? Kalau begitu, sbg perluasan, ‘ketuhanan’ juga mendiskriminasi agama2 non-teistik serta kaum ateistik dong ! Hehehe… Oleh karenanya, diawal saya menyebut sekularisme sbg ateisme praktis. Meminjam istilah Habermas, ateisme metodologis. Anyway, sbg penutup ijinkan saya mengusulkan kriteria ‘eternal’ (sbg lawan ‘temporal’) utk mendampingi kriteria ‘universal’ bagi pertimbangan pengambilan keputusan moral. Terima kasih banyak atas diskusinya. Salam
SukaSuka
yap.. betul sekali… Maksudnya kriteria eternal gimana? Hehehehe… diskusi tampaknya masih berlanjut nih..
SukaSuka
Kriteria universalitas dan eternalitas, dlm pemahaman saya, berkaitan dg dimensi ruang & waktu. Universalitas berhubungan dg dimensi ruang sementara eternalitas dg dimensi waktu. Sehingga, suatu nilai yg diterima secara universal namun berlaku temporal, hemat saya tetaplah bersifat partikular, oleh karenanya tidak dapat juga diklaim sebagai kebenaran universal. Dalam kaitannya dg moralitas, saya rasa banyak sekali nilai yg pd dasarnya sekedar bernilai moral semu. Kriteria eternalitas dapat menjadi alat uji nilai dari nilai moral tersebut: Bernilai intrinsik atau sekedar berlabel moralitas.
SukaSuka
saya suka dengan dimensi eternalitas ini. Apakah sudah ada pemikiran moral yang mencoba mendalami dimensi waktu ini?
SukaSuka
Bukannya dlm meta-etika khususnya dlm bahasan ontologi moral, ‘immutability’ merupakan salah satu isu? Sebutlah a.l., implikasi forma2 kekal platonic thd moralitas transendental. Kalau dlm etika normatif kelihatannya blm digali lebih jauh. Hemat saya kriteria eternalitas layak didalami meski, nampaknya, terdapat cukup banyak permasalahan epistemologi. Bgmn menurut anda?
SukaSuka
hmm ini menarik. Saya sendiri masih asing dengan konsep eternalitas ini. Saya paham, Plato bicara banyak soal ini. Bagaimana memikirkan konsep eternalitas tanpa terjatuh ke dalam universalisme yang melibas segala bentuk perbedaan? Ini kiranya yang tetap harus dipikirkan.
SukaSuka
Iya, saya sependapat, perbedaan tidak perlu untuk diseragamkan; masyarakat kita perlu belajar untuk menerima eksistensi mereka yg berbeda tanpa perlu menerima pandangan tsb. Terima kasih utk diskusinya. Salam…
SukaSuka
Seperti ungkapan Voltaire dulu: “saya tidak harus setuju dengan pendapat anda. Tetapi saya bersedia mati untuk melindungi hak untuk menyarakan pendapat anda.” Paradoks yang menarik dan bijak..
SukaSuka