Oleh Reza A.A Wattimena
Jeanne Putri, keponakan perempuan yang paling besar, berkunjung ke rumah kemarin. Spontan, ia minta gendong. Namun, karena sudah besar, saya tidak bisa lagi melakukannya. Sekarang, tubuhnya sudah besar dan berat sekali.
Adiknya pun serupa. Walaupun, saya masih bisa menggendongnya. Si bayi yang dulu gendut sekali kini menjadi anak kecil yang langsing dan lucu. Betapa cepat waktu berlalu.
Saya sendiri suka heran. Tak terasa, kini usia sudah mendekati 40. Seperti baru kemarin, saya mulai belajar naik motor, dan kemudian berkendara dengan motor balap keliling Jakarta. Kini, baru mengendari motor balap 15 menit, punggung sudah terasa pegal.
Kini, saya tinggal di rumah sendirian. Dulu, rumah ini begitu ramai. Ada ibu, bapak, nenek dan kakak saya. Ada juga dua asisten yang bekerja membantu kami. Total ada 7 orang.
Ibu, bapak dan nenek saya sudah meninggal. Kakak saya tinggal bersama suami dan anak-anaknya. Dua asisten kami juga sudah pulang ke kampungnya masing-masing. Saya sendiri di dalam keheningan rumah masa kecil saya.
Semua ini merupakan pelajaran penting dalam hidup. Segalanya sementara. Apa yang muncul sebagai fenomena akan hilang suatu saat nanti. Inilah satu-satunya hukum yang abadi di dalam kehidupan.
Seperti Ombak dan Pelangi
Segala hal yang ada itu seperti ombak. Ia muncul, membesar dan menghilang. Yang tersisa adalah kekosongan. Pada akhirnya nanti, di tangan kita pun hanya ada kekosongan.
Begitu pula pikiran kita. Ia datang dan pergi. Ada pikiran jelek, dan ada pikiran bagus. Semua sama aja, yakni sementara.
Jika kita mengira, bahwa pikiran kita itu nyata, maka kita akan bingung. Kita akan merasa tidak puas. Dalam jangka panjang, kita akan merasa stress dan depresi. Hidup pun, seolah, tidak lagi layak untuk dijalani, karena kita terjebak di dalam pikiran kita sendiri.
Biasanya, kita hidup di dalam salah paham. Kita mengira, hidup kita ini memiliki sesuatu yang tetap. Ada sesuatu yang utuh dan tetap di dalamnya. Kita pun mengejarnya, entah itu harta, nama besar atau kenikmatan. Atau kita juga bisa membencinya, seperti musuh, saingan dan sebagainya.
Jika kita melihat lebih dekat, maka kita akan menemukan hal yang berbeda. Tidak ada yang utuh dan tetap di dunia ini, termasuk di dalam pikiran kita. Diri kita pun terus berubah, tanpa henti.
Hidup ini seperti pelangi. Ia berwarna dan begitu cantik. Namun, ketika didekati, ia hanya udara dengan variasi warna matahari. Tak ada sesuatu yang bisa dipegang.
Jati diri kita pun serupa. Kita mengira, diri kita utuh dan tetap. Namun, dengan berjalannya waktu, ciri pribadi kita berubah. Selera, cara berpikir dan cara hidup kita pun berubah.
Pelangi, ombak, pikiran dan diri pun sama. Mereka tampak nyata, utuh dan tetap. Namun, mereka tidak memiliki keberadaan yang utuh, nyata dan tetap. Kita hanya perlu menyadari keberadaan mereka, dan kemudian melepasnya, ketika mereka berubah.
Tak ada alasan, mengapa kita perlu mengejar harta dengan begitu keras. Tak ada alasan juga, mengapa kita takut sekali nama kita rusak. Semua itu seperti pelangi dan ombak yang seolah nyata, tetapi sebenarnya kosong. Semua itu ada, tetapi juga tidak ada, karena ia terus berubah dengan cepat, tanpa henti.
Saat ini, saya ada. Namun, detik berikutnya, saya sudah berubah. Saya ada, sekaligus tidak ada. Pada waktunya nanti, diri pribadi saya akan kembali ke sang pencipta.
Sang Pengamat yang Sadar
Ajaran Zen bergerak lebih jauh. Lepas dari segala yang berubah, termasuk dunia dan pikiran, ada satu hal yang tak berubah. Itulah sang pengamat yang selalu sadar, serta mengamati segala perubahan yang terjadi. Siapakah pengamat itu?
Itulah jati diri kita yang asli. Ia bersifat kosong, namun sepenuhnya sadar. Namanya beragam, yakni kesadaran murni, hakekat Buddha, Tuhan, Rigpa, Shiva di dalam diri, Kristus di dalam diri dan sebagainya. Ia tidak pernah lahir, dan tidak akan mati.
Ombak naik dan turun. Pelangi muncul, dan kemudian pergi. Pikiran datang, lalu berubah ke pikiran berikutnya. Diri dan kepribadian pun terus berubah. Semua itu ada, sekaligus tidak ada.
Sang sadar terus hadir mengamati semua yang terjadi. Sang Sadar yang kosong dari konsep, namun mampu mengenali semuanya sebagaimana adanya. Kita hanya perlu mengenali Sang Sadar di dalam batin kita. Hidup baru sungguh bermakna, jika kita mengenali Sang Sadar di dalam diri.
Tak ada jalan hidup yang lebih tinggi. Sebelum kita melakukan itu, kita akan terus hanyut dalam gelombang naik turun kehidupan. Kita akan terus menderita. Kita akan terus dibuat panik oleh hal-hal yang tak sungguh ada…
Rumah Filsafat kini bertopang pada Crowdfunding, yakni pendanaan dari publik yang terbuka luas dengan jumlah yang sebebasnya. Dana bisa ditransfer ke rekening pribadi saya: Rekening BCA (Bank Central Asia) 0885100231 atas nama Reza Alexander Antonius. Lebih lengkapnya lihat di https://rumahfilsafat.com/rumah-filsafat-dari-kita-untuk-kita-dan-oleh-kita-ajakan-untuk-bekerja-sama/
penjelasan herz-sutra yang mantap, sederhana tapi mudah dimengerti.
untuk mampu mengikuti makna nya hanya konsequent dengan jalan zen.
terima kasih dan salam hangat.
SukaSuka
Salam hangat selalu
SukaSuka