
Oleh Reza A.A Wattimena
Dosen Filsafat Politik, Fakultas Filsafat Unika Widya Mandala, Surabaya, sedang belajar di München, Jerman
Bangsa-bangsa Eropa Barat amat bangga dengan Abad Pencerahan (Aufklärung) yang mereka alami. Masa ini terjadi sekitar abad 17 sampai dengan abad 18. Pada masa itu, tradisi dipertanyakan. Pandangan-pandangan lama digugat, dan ide-ide baru lahir menembus kebuntuan berpikir di segala bidang.
Era Pencerahan Eropa
Akal budi (Vernunft) menjadi tolok ukur hidup manusia. Hal-hal yang tak masuk akal dianggap mitos yang tak layak lagi dipegang. Konflik berdarah pun pecah antara generasi lama yang memuja tradisi dan generasi baru yang menolaknya. Masa Pencerahan Eropa adalah masa “perubahan besar” (the great transformation).
Sekularisme lahir sebagai pandangan politik yang hendak memisahkan urusan agama dan urusan negara. Ide tentang kebebasan beragama sebagai bagian dari pertimbangan akal budi dan hak asasi setiap orang pun lahir dan menjadi keyakinan banyak orang. Ide tentang toleransi antar manusia tidak lagi menjadi wacana akademik semata, tetapi menjadi realitas yang diyakini oleh banyak orang.
Akal budi menjadi pusat dari hidup manusia, baik dalam konteks ruang privat maupun ruang publik. Ilmu pengetahuan menarik perhatian banyak orang. Banyak ide-ide baru yang revolusioner lahir, baik dari sudut ilmu-ilmu alam maupun ilmu-ilmu sosial. Yang terjadi tidak hanya revolusi politik, tetapi juga revolusi pikiran (die Revolution des Denkens).
Ide tentang martabat manusia tersebar luas. Manusia tidak lagi dilihat semata sebagai alat untuk memuaskan tujuan politik atau penguasaan tertentu, melainkan sebagai sesuatu yang bernilai darn berharga pada dirinya sendiri. Setiap orang unik dan bebas, serta tidak perlu selalu tunduk pada otoritas di luar dirinya. Ide tentang hak-hak manusia bertumbuh pesat, walaupun benihnya sudah tertanam lama di dalam benak peradaban.
Sisi Gelap Pencerahan
Simbol-simbol kultural, macam agama dan budaya, digugat dan, sering pula terjadi, dihancurkan. Simbol-simbol baru terkait dengan kemajuan ilmu pengetahuan dan filsafat dirayakan secara meriah. Pada masa ini, banyak orang yakin, bahwa sejarah mengarah pada sesuatu yang baru, yang lebih baik dari sebelumnya. Namun, jika dicermati lebih jeli, Era Pencerahan juga punya sisi gelapnya sendiri yang tak kalah mengerikan.
Ketika orang percaya, bahwa akal budi adalah alat paling tepat untuk menata dunia, diskriminasi terhadap perempuan terus berjalan. Peran perempuan diperciut menjadi semata peran rumah tangga, tanpa ada pilihan lain. Ketika para filsuf menulis dan berbicara soal hak-hak asasi manusia, kolonialisme terhadap negara-negara di Afrika, Asia, dan Amerika Selatan terus berlangsung, tanpa tanya. Perbudakan tak kunjung lenyap, walaupun ide tentang harkat dan martabat manusia sudah berkembang luas. Perang yang memakan jutaan korban jiwa terus terjadi, walaupun ide tentang toleransi dan perdamaian dunia sudah diterima luas.
Rupaya, Era Pencerahan juga mengadung ilusinya sendiri. Ia hanya terjadi hanya pada sebagian kelompok masyarakat, sementara sebagian lainnya tetap hidup dengan cara pandang yang tidak adil dan merusak. Di hadapan diktum Uang, Kuasa, dan Agama, Pencerahan tampak seolah tak punya taring. Namun, mengapa orang-orang Eropa Barat amat mengagumi era ini?
Media dan para sejarahwan telah memberi kerangka jaman ini sebagai jaman kemajuan. Pemberian kerangka semacam ini seringkali melupakan begitu banyak fakta mengerikan yang terjadi di dalamnya. Maka, kita pun harus bersikap amat kritis terhadap kerangka berpikir yang memuja secara buta Era Pencerahan ini. Di sisi lain, kita pun mesti siap untuk merancang proyek Pencerahan khas Indonesia sendiri, yakni pencerahan yang otentik Indonesia.
Pencerahan yang Otentik
Otentik berarti gelombang pencerahan yang muncul lahir dari situasi khas kultur maupun situasi geografis Indonesia. Sebagai sebuah bangsa yang lahir dari proses politik, bukan alamiah, Indonesia terdiri dari beragam kultur yang tersebar di berbagai pelosok nusantara. Beragam kultur ini harus memperoleh pengakuan yang selayaknya, dan dikembangkan sesuai dengan jati dirinya. Itulah langkah pertama untuk mendorong proses Pencerahan yang otentik di Indonesia.
Sekarang ini, proses menjadi otentik terhalang oleh setidaknya dua masalah. Begitu banyak orang di Indonesia, terutama yang beragama Islam, latah meniru gaya hidup orang-orang die Timur Tengah, terutama Arab Saudi. Seolah orang tidak bisa disebut sebagai seorang Muslim atau Muslimah yang baik, jika ia tidak berdandan seperti orang Arab. Pandangan ini jelas salah, dan justru membawa kita mundur jauh dari proses perkembangan peradaban.
Di sisi lain, pola berpikir Barat, terutama dari AS, juga amat mempengaruhi cara hidup dan cara berpikir kita. Dirumuskan secara singkat; kita tidak dianggap modern, jika tidak mengadopsi pola berpikir khas AS. Ini tentu juga salah. Identitas Keindonesiaan adalah identitas yang melintas beragam kultur, dan kemudian membentuk dirinya sendiri secara terus menerus. Proses Pencerahan yang otentik ini perlu lahir dari kesadaran akan identitas yang sejati dan “terus melintas” ini.
Ide-ide tentang toleransi antar kelompok, martabat manusia, perdamaian dunia, perkembangan ilmu pengetahuan demi kemaslahatan manusia, dan pertimbangan rasional di area politik yang berkembang di Eropa Barat sampai sekarang adalah ide-ide baik yang perlu dikawinkan dengan identitas Keindonesiaan kita. Hanya dengan begitu, proses Pencerahan di Indonesia bisa dimulai. Kita menanti Era Pencerahan yang otentik di Indonesia, sambil tetap sadar, bahwa Pencerahan adalah ide yang parsial, dan tetap tak bisa lolos dari sisi gelapnya sendiri.
saya sungguh menikmati artikel ini dan saya ingin bertanya,apakah hanya dua masalah di atas itu yang menjadi masalah sentral untuk menciptakan masa pencerahan Indonesia? jika ada masalah lain yang cukup rumit kiranya bisa di sertakan dan di jelaskan. thx so much.
SukaSuka
halo.. salam kenal… banyak masalah lainnya, coba lihat: https://rumahfilsafat.com/2012/08/25/enam-kesesatan-berpikir-orang-indonesia/
SukaSuka
Tuhan menciptakan petunjuk berupa wahyu dan alam beserta kejadiannya. Yang pertama melalui utusanNya yang kedua dapat kita baca dengan indra dan akal kita. Wahyu tentunya tidak diturunkan karena manusia belum (dan tidak akan pernah selesai) mempelajari alam, tetapi tentunya ada yang tidak dapat dipahami atau dikenali dari alam saja. Ketika kita hanya memperhatikan satu sisi saja, maka wajarlah bila ada yang hilang. Pemikiran seperti itulah yang menjadi karya besar pendiri RI melalui penciptaan negara religius tanpa pilihan agama. Suatu jalan tengah, mengacu wahyu yang universal (ada di setiap agama, atau yang tidak dtolak salah satu agama) dan pengamatan alam, Bukankah tugas filsuf kita terus mengembangkan karya besar ini agar Indonesia segera mengalami pencerahan? Mari…
Saya dedikasikan hidup saya untuk itu dan menerapkannya melalui penegajaran ilmu manajemen.
SukaSuka
Masa PENCERAHAN di Indonesia.. terjadi pada PERTENGAHAN ‘orde lama’ dan ‘orde reformasi’.
Pada masa itu,,harga2 kebutuhan MURAH dan keAMANan sosial dan ”SISI GELAP” ♪♪
SukaSuka
Ini tanggapan yang amat bijak dan baik. Terima kasih atas dedikasi anda. Mari kita bekerja sama suatu saat nanti.
SukaSuka
ya.. harga barang murah itu hanya dampak saja, jadi tidak bisa jadi ukuran utama, apakah suatu bangsa sedang mengalami pencerahan,.. mungkin, di masa depan nanti, kita bisa memahami masa kita sekarang ini dengan lebih jernih..
SukaSuka
Reblogged this on ahmattafsir.
SukaSuka
Sangat menarik tulisannya, ini benar yang dihadapi oleh negara di eropa saat ini sesudah bersatu menjadi satu parlemen Eropa, apalagi yg dihadapi dengan crisis yng berkepanjangan terus menerus dibahas dan di telusuri.
Terima kasih untuk tulisan dan masukan-masukannya…semoga tetap sukses dlm study dan karyanya serta kiranya tetap dalam penyertaan Tuhan.
SukaSuka
Halo salam kenal
SukaSuka
Terima kasih.. salam hangat.. krisis Eropa, saya yakin, akan bisa dilampui, melihat semangat para pemimpin negara-negara Uni Eropa ini.. namun memang perlu waktu dan dukungan dari seluruh rakyatnya…
SukaSuka