
Oleh Reza A.A Wattimena, Dosen Filsafat Politik di Unika Widya Mandala Surabaya, sedang belajar di Bonn, Jerman
Tiba di Jerman, saya berjumpa dengan orang-orang yang berasal dari seluruh penjuru dunia, mulai dari Afrika, Asia, Eropa, sampai dengan Amerika Latin. Ketika memperkenalkan diri sebagai orang Indonesia, dengan nada bercanda, mayoritas mereka akan menanggapi saya dengan satu dari tiga hal berikut, entah negara teroris, negara tsunami, dan, tentu saja, Bali, yang memiliki pantai indah. Dalam hati, saya bertanya, mengapa?
Di lain kesempatan, saya berkumpul dengan orang-orang Indonesia yang tinggal di Jerman. Rasa kangen akan masakan Indonesia pun terpuaskan, karena mereka, orang-orang Indonesia di perantauan, senang sekali berkumpul, dan memasak makanan Indonesia. Ketika ditanya sedang belajar apa, mereka kaget, bahwa saya belajar filsafat. Di kepala mayoritas orang di Indonesia, orang belajar di Jerman berarti belajar teknik. Kembali saya bertanya, mengapa?
Saya rasa, ini yang disebut sebagai reputasi, yakni konsep atau simbol yang dianggap mewakili wujud realitas aslinya. Reputasi seseorang, atau suatu negara, adalah sekumpulan konsep yang dianggap mampu mewakili realitas aslinya, yakni orang, atau negara, itu sendiri. Pertanyaan saya adalah, sejauh mana reputasi itu mencerminkan realitas sesungguhnya? Apakah reputasi itu suatu konsep yang netral dan obyektif, atau justru berisi sesuatu yang lain, yang mempengaruhi apa isi dari reputasi itu sendiri, dan bagaimana reputasi tersebut terkait dengan kenyataan?
Di dalam salah satu diskusi publik, Slavoj Žižek, filsuf asal Slovenia, diperkenalkan oleh moderator diskusi. Beragam gelar kehormatan dan karya-karyanya dipamerkan di hadapan peserta diskusi. Banyak orang terkagum-kagum. Begitu diskusi mulai, Žižek bilang begini, “Saya merasa tak kenal dengan orang yang baru saja diperkenalkan. Siapa dia? Saya tak merasa, bahwa moderator memperkenalkan saya.” Ia merasa, ada jarak antara citra dan reputasinya sebagai filsuf dunia, dan kenyataan hidup yang ia jalani sehari-hari.
Salah seorang teman telah selesai mengerjakan Magisterarbeit (tesis S2) di salah satu universitas terkemuka di Jerman. Namun, ia merasa tak pernah mendapat bimbingan yang memadai sebagai mahasiswa. Jumlah mahasiswa terlalu banyak, sementara jumlah professor untuk membimbing mahasiswa terlalu sedikit. Bahkan, ia bercerita, bahwa ia hanya berjumpa dua kali dengan professornya, sewaktu sedang mengerjakan Magisterarbeit tersebut, yakni pada awal dan akhir saja. Nama boleh besar, tetapi seringkali kualitas tak sesuai dengan nama besar tersebut.
Banyak contoh lainnya yang bisa dideret disini, mulai contoh dari dunia internasional, atau dari situasi di Indonesia sendiri. Apa yang sebenarnya terjadi? Mengapa reputasi seringkali, tidak semua, tidak sesuai dengan kenyataan yang ada? Dan mengapa orang tetap percaya pada reputasi, walaupun seringkali, reputasi itu menipu?
Di dalam salah satu karyanya yang berjudul Gesundheit und Gerechtigkeit, Michael Reder, professor filsafat asal München, Jerman, berpendapat, bahwa ada semacam proses-proses sosial (soziale Prozesse) yang terjadi di belakang setiap pemahaman kita tentang reputasi dari sesuatu. Proses-proses sosial ini dibentuk, diatur, dan dipilih sesuai dengan prosedur-prosedur tertentu dari kekuasaan yang ada. (Reder, 2010) Proses-proses sosial yang dibentuk oleh kekuasaan inilah yang menjadi isi dari reputasi, yang seringkali menipu kita.
Proses-proses sosial ini jugalah yang menentukan apa yang boleh dan tidak boleh dilakukan, atau apa yang tabu dan apa yang mulia, yang ada di dalam masyarakat. Dengan kata lain, menurut Reder, reputasi adalah suatu penciptaan suatu konsep atas sesuatu yang dipengaruhi oleh kekuasaan-kekuasaan yang ada di masyarakat. Dalam hal ini, Reder, sejalan dengan Michel Foucault, berpendapat, bahwa kekuasaan itu berfungsi kreatif, yakni menciptakan pemahaman (yang tak selalu tepat) atas berbagai hal di dunia. Kekuasaan menciptakan pengetahuan, namun pengetahuan itu tidak pernah netral dan obyektif, karena hidup dalam bayang-bayang kekuasaan yang terus berubah, dan seringkali membingungkan.
Saya sepakat dengan Reder. Hegel, filsuf Jerman abad 17, pernah berpendapat, bahwa manusia bisa memahami dunia melalui konsep (Begriff), dan konsep, jelas, membentuk reputasi. Manusia tidak pernah bisa langsung memahami realitas. Ia selalu membutuhkan perantara, yakni bahasa (Sprache) dan konsep itu sendiri. Dan, seperti sudah dijelaskan oleh Reder, di belakang setiap konsep, ada kekuasaan (Macht) yang mengendalikannya. Inilah sebabnya, mengapa reputasi tak pernah sama persis dengan kenyataan (Wirklichkeit). Ini pula sebabnya, mengapa orang sulit sekali bersikap kritis pada reputasi.
Jelas, Indonesia tak pernah sama persis dengan negara teroris, negara tsunami, apalagi Bali. Jelas, orang belajar di Jerman tidak selalu belajar teknik. Jelas, bahwa nama besar tak pernah sungguh sesuai dengan kenyataan yang ada. Jelas pula, bahwa Žižek tak pernah sama dengan sosok orang yang dijabarkan oleh moderator pada awal diskusi, walau namanya sama.
Orang yang sadar akan hal ini tidak akan mudah tertipu oleh silau reputasi. Sebaliknya, orang yang mengabaikan ini akan terus tertipu di dalam hidupnya, walaupun seringkali, ia tak merasa tertipu, karena pengaruh kekuasaan yang seolah mengaburkan daya pikirnya. Seluruh roda politik dan ekonomi dunia berputar di antara berbagai reputasi dan persepsi (Wahrnehmung), entah reputasi suatu negara, pemerintah, atau masyarakat tertentu. Sudah saatnya, kita melihat reputasi sebagai reputasi, dan bukan otomatis sebagai kenyataan.
Sesungguhnya peta tidak dapat menggambarkan ke seluruhnya, letak wilayah beserta isinya secara detail. Ia hanya mampu merepresentasikan suatu hal yang general tentang hal ikhwal.
SukaSuka
sangat setuju!
SukaSuka
kecendrungan orang untuk mengeneralisasi terhadap hal yang belum menunjukkan realnya.
SukaSuka
Hallo Pak Reza. Terima kasih atas kiriman artikel-artikelnya. Bagaimana keadaan Pak Reza di sana? Semoga di tengah hawa dingin yang mulai menerpa, kehangatan Natal dapat dirasakan. Maju terus! SUKSES!
SukaSuka
Sepakat! Karena, reputasi dibentuk hanya sebagai tameng untuk memperkuat kekuasaan,.. ^_^
SukaSuka
susahnya,,orang seringkali sangat mudah KAGUM sama sesuatu yg reputasinya OK,,itu sexy bgt buat mereka,,,yg gawatnya lg,,walau nantinya mereka uda sadar/mengalami bahwa reputasinya tidak sebagus kenyataannya,,mekanisme defense nya tetep jalan dengan men-deny realita yg ada,,hehehehehe,,,,,kebenaran memang menakutkan,, ^^
SukaSuka
Nial setitik rusak susu sebelanga ….mungkin itu ungkapan untuk reputasi. saya pikir kita senang ditipu kok. ada banyak orang yang terjebak oleh reputasi yg baik, tidak sadar bahwa dirinya sedang ditipu.
SukaSuka
ya.. itulah reputasi
SukaSuka
keadaan baik-baik saja. Sangat sibuk. hehehe.. terima kasih Pak Mul. Salam buat keluarga di rumah ya..
SukaSuka
ya… itu seringkali yang terjadi
SukaSuka
bener banget cu… itu insight bagus: penolakan pada realitas, setelah orang ditipu ….
SukaSuka
kita memang senang hidup dalam tipuan… itu yang selalu jadi masalah kita…
SukaSuka