Oleh Reza A.A Wattimena
Jumat minggu lalu, jadwal saya begitu padat. Dari pagi, saya harus berjumpa dengan beberapa orang. Total, ada lima orang yang mesti saya temui. Saya mengerjakan itu semua dengan menembus kemacetan Jakarta yang sungguh tak masuk akal lagi.
Badan lelah. Pikiran juga lelah. Sampai di rumah, saya duduk, dan hanya bernapas. Saya hanya mengalami saat ini sebagaimana adanya, tanpa penilaian, tanpa konsep.
Perasaan tenang muncul. Tidak hanya tenang, saya merasa bahagia. Seluruh badan terasa hangat, walaupun cuaca sedang dingin dan hujan. Sambil bernapas, saya menutup mata, dan merasa betapa indahnya hidup ini.
Tak jarang juga, hari saya kosong. Saya hanya menulis di rumah. Saya bangun pagi, lalu bersih-bersih rumah. Setelah itu, saya membaca buku, atau menonton netflix.
Di hari-hari semacam itu, semua begitu mudah. Namun, di akhir hari, ada perasaan kosong berkunjung. Sering juga, perasaan sedih datang, karena mengingat masa lalu, atau mencemaskan masa depan. Hari yang indah dan mudah, seringkali, justru diakhiri dengan perasaan sedih dan cemas.
Saya perhatikan, bahwa pola ini berulang. Hari-hari sibuk diakhiri dengan kedamaian. Hari-hari santai diakhiri dengan nestapa. Apa yang sesungguhnya terjadi?
Berjumpa Anna Lembke
Anna Lembke menulis buku menarik pada 2021 lalu. Judulnya adalah Dopamine Nation: Finding Balance in the Age of Indulgence. Ia adalah seorang psikiater. Berdasarkan pengalamannya sebagai seorang terapis, dan penelitian yang ia lakukan, ia menuliskan jalan untuk menemukan kebahagiaan di dunia yang semakin rumit ini.
Di dalam diri manusia, ada hormon dopamin. Hormon terhubung dengan kenikmatan yang manusia rasakan. Dengan kenikmatan yang diterimanya, orang lalu terdorong untuk melakukan kegiatan serupa. Dopamin membuat hidup terasa nikmat, dan layak untuk dijalani.
Namun, kenikmatan itu pun tidak abadi. Di mata otak, kenikmatan adalah sebentuk kelainan (deviation). Maka, secara alami, otak manusia berusaha mencari keseimbangan dari kenikmatan yang sudah ada sebelumnya. Caranya adalah dengan memberikan penderitaan secukupnya, sampai otak kembali ke titik seimbang. Titik seimbang ini disebut sebagai homeostasis.
Homeostasis adalah keadaan batin yang seimbang. Tidak ada emosi yang kuat. Di dalam Zen, inilah yang disebut sebagai batin Zen (zen mind). Para Zen master di masa lalu mungkin belum mengerti soal cara kerja otak. Para ahli neurosains dan filsuf abad 21 kemudian melengkapinya.
Ada satu hal lagi yang mereka temukan. Untuk mencapai titik sembang, otak manusia akan memberikan penderitaan secukupnya. Tingkat derita yang diberikan seimbang dengan tingkat dopamin yang dikeluarkan dari kenikmatan sebelumnya. Bentuk derita yang diberikan adalah rasa sedih, depresi, cemas atau berpikir berlebihan.
Sebaliknya, jika orang banyak mengalami rasa sakit atau derita, otak akan mengeluarkan dopamin secukupnya. Kenikmatan pun terasa. Prinsip keseimbangan tetap bekerja. Setelah derita dan sakit, bahagia dan nikmat akan datang secara alami.
Sebenarnya, tidak hanya otak yang mencari keseimbangan. Seluruh alam semesta selalu bergerak ke titik seimbang, atau homeostasis. Yang disebut bencana sebenarnya upaya alam semesta mengembalikan keseimbangan. Sebagai manusia, kita kerap tidak melihat hal itu, karena kesempitan dari sudut pandang kita.
Ini sebenarnya sejalan dengan pepatah lama di budaya Indonesia. Berakit-rakit ke hulu berenang-renang ke tepian. Bersakit-sakit dahulu bersenang-senang kemudian. Setelah derita dan nestapa, bahagia dan nikmat akan datang, karena otak manusia, secara alami, selalu mencari keseimbangan: homeostasis zen.
Beberapa Implikasi
Saya sering perhatikan, orang yang hidupnya terlalu mudah kerap jatuh dalam depresi. Anak orang kaya, yang tak pernah bekerja dan susah seumur hidupnya, cenderung jatuh ke dalam kecanduan narkoba. Tak sedikit juga yang melakukan bunuh diri, karena depresi yang berat. Sekilas, ini terlihat membingungkan. Tetapi, setelah mengerti beberapa prinsip cara kerja otak, ini menjadi masuk akal.
Terlalu banyak kenikmatan akan membuat orang mati rasa. Ia membutuhkan tindakan lebih ekstrem sekedar untuk mencapai kenikmatan sama seperti sebelumnya. Yang tersisa adalah rasa tak puas dan frustasi. Pencarian kenikmatan tanpa batas justru akan membuat mati rasa, perasaan hampa dan penderitaan.
Sebaliknya, orang yang bekerja keras seumur hidupnya. Fisik dan pikiran digunakan untuk satu tujuan. Orang-orang semacam itu akan merasa bahagia dengan mudah. Di akhir hari, setelah sehari bekerja dengan keras, ia akan menemukan kepuasan dan kebahagiaan dari hal-hal sederhana.
Setitik derita akan membuat nikmat menjadi sederhana. Hal-hal kecil, seperti bernapas dan menikmati air putih, bisa mendatangkan kebahagiaan mendalam, setelah lelah bekerja keras. Otak manusia itu adil. Ia selalu mencari keseimbangan: homeostasis.
Tak heran, banyak orang menemukan kebahagiaan dari olahraga. Setelah lelah melatih otot, nikmat akan terasa. Tak heran juga, banyak orang merasa sedih, justru setelah liburan. Nikmat dan derita selalu berjalan bergantian, karena otak, dan seluruh alam semesta, selalu mencari titik seimbang.
Derita itu berharga, karena ia berbuah nikmat. Bahagia dan nikmat juga terus disadari, serta tidak dilekati. Ia selalu diikuti dengan rasa tidak puas. Inilah cara kerja batin dan otak manusia.
Paling bijak adalah dengan selalu sadar. Tak ada laut yang tak berombak. Begitu pula tak ada hidup yang selalu tenang-seimbang. Namun, kita bisa menari di antara derita dan bahagia, sambil tetap sadar, bahwa kita bukanlah itu semua. Kita yang asli adalah semesta tanpa batas…
Rumah Filsafat kini bertopang pada Crowdfunding, yakni pendanaan dari publik yang terbuka luas dengan jumlah yang sebebasnya. Dana bisa ditransfer ke rekening pribadi saya: Rekening BCA (Bank Central Asia) 0885100231 atas nama Reza Alexander Antonius. Lebih lengkapnya lihat di https://rumahfilsafat.com/rumah-filsafat-dari-kita-untuk-kita-dan-oleh-kita-ajakan-untuk-bekerja-sama/