Mengapa Demokrasi?

Oleh Reza A.A Wattimena

Cukup lama, saya menyendiri. Saya banyak membaca dan menulis di rumah. Saya juga banyak melakukan sadhana, yakni latihan spiritual yang berpijak pada tradisi Asia. Suatu waktu, undangan untuk keluar muncul. Saya diajak berjumpa dengan seorang teman.

Kebetulan, ia adalah seorang pejabat negara. Kami pun berjumpa, dan berbincang tentang keadaan politik saat ini. Ia berpendapat, bahwa demokrasi itu kacau dan berbahaya. Terlalu banyak pendapat, dan proses pemilihan umum yang selalu mengundang bahaya.

“Mengapa kita tidak menjadi negara monarki yang dipimpin oleh orang yang baik? Negara bisa lebih stabil dan damai”, begitu katanya. “Di dalam stabilitas, pembangunan pun bisa berlangsung. Kita semua bisa makmur,” begitu lanjutnya.

Teman saya tersebut rindu ke jaman Orde Baru. Rezim militer berkuasa. Musuh politik dibantai. Kaum radikal agamis dihabisi.

Indonesia terlihat damai dan stabil. Pembangunan bisa berlangsung secara berkelanjutan. Namun, hukum dipermainkan untuk kepentingan penguasa. Orang pun bisa diculik, disiksa dan dibunuh, jika dianggap bertentangan dengan rezim yang berkuasa.

Saya terdiam sejenak. Saya mengerti, pandangan teman saya itu tidak tepat. Namun, saya juga bisa mengerti, mengapa ia berpandangan seperti itu. Demokratisasi di Indonesia bermuara pada berkembangnya radikalisme agama, ketimpangan ekonomi yang besar, korupsi di segala penjuru birokrasi, nepotisme, oligarki yang merusak, politik dinasti dan berbagai masalah lainnya.

Demokrasi tampak sebagai sistem politik yang ingkar janji. Saya pun berusaha menanggapi pandangan teman saya tersebut. Demokrasi, jika syarat-syarat dasarnya terpenuhi, adalah pemerintahan yang paling sempurna di dunia ini. Ada dua belas hal yang kiranya penting untuk diperhatikan.

Dua Belas Dasar

Pertama, demokrasi adalah pemerintahan oleh rakyat, untuk rakyat dan dari rakyat. Inilah arti demokrasi yang sejati. Ia berkembang di dalam wacana filsafat politik, dan menjadi sistem politik nyata di dunia. Demokrasi lahir dari ratap derita, trauma dan kekecewaan terhadap sistem politik yang sudah ada sebelumnya, yakni monarki absolut, dimana satu orang memerintah dengan kekuasaan mutlak secara sewenang-wenang.

Dua, di dalam demokrasi, rakyat menentukan berbagai kebijakan yang dibuat. Rakyat juga merumuskan hukum yang nantinya akan mereka patuhi. Ini terjadi, ketika negara masih kecil. Di dalam negara yang besar, kekuasaan rakyat diwakilkan oleh para wakil rakyat, yakni parlemen. Parlemen inilah yang nantinya membuat kebijakan dan merumuskan hukum, sesuai dengan kehendak rakyat.

Tiga, kehendak rakyat juga bukanlah kehendak mayoritas. Demokrasi bukanlah sistem tirani mayoritas, seperti diingatkan oleh Jean-Jacques Rousseau, filsuf Perancis. Yang menjadi dasar demokrasi adalah kehendak umum, yakni kehendak mendasar kita sebagai manusia, seperti kehendak akan keadilan dan kemakmuran. Jika rumusan hukum atau kebijakan dibuat sejalan dengan kehendak mayoritas, namun merusak rasa keadilan, maka ia tidak sah, dan tidak layak untuk dipatuhi.

Empat, demokrasi bukan hanya soal sistem pemerintahan. Ia adalah sebuah cara hidup. Inilah yang disebut demokrasi substantif, atau demokrasi sebagai sebuah etos. Sebagai sebuah cara hidup, demokrasi terwujud di dalam politik, ekonomi, budaya, seni dan sebagainya.

Lima, sebagai etos dan substansi, demokrasi terkait dengan nilai-nilai kehidupan. Yang terpenting adalah keterbukaan berpikir. Masyarakat demokratis terbuka pada berbagai paham dan agama, sejauh paham dan agama itu bisa bersikap terbuka satu sama lain. Satu-satunya yang tak bisa ditolerir di dalam demokrasi adalah intoleransi itu sendiri.

Enam, demokrasi mengandaikan penggunaan akal budi di dalam kehidupan bersama. Pandangan ini berpijak pada pemikiran Immanuel Kant, filsuf Jerman, tentang öffentlicher Gebrauch der Vernunft di dalam filsafat politiknya. Kebijakan dan hukum dibangun dengan akal sehat, dan bukan dengan kepatuhan buta pada tradisi lama yang tak lagi relevan.

Tujuh, sikap kritis juga merupakan pilar dari etos demokrasi. Sikap kritis adalah sikap berani mempertanyakan apa yang sudah ada. Tradisi dikaji ulang. Agama dipertanyakan. Praktek-praktek lama dipertanyakan untuk dipahami ulang, atau dibuang sama sekali, jika menindas, dan tak lagi relevan.

Delapan, nyawa demokrasi adalah dialog yang berkelanjutan. Disini, pemikiran Jürgen Habermas, filsuf Jerman, kiranya tetap relevan. Demokrasi adalah proses deliberasi, yakni proses menimbang-nimbang berbagai hal yang terjadi di masyarakat secara terbuka, bebas tekanan dan egaliter. Demokrasi adalah proses penciptaan ruang publik, dimana segala hal bisa dibicarakan dengan akal sehat, keterbukaan, kesetaraan dan kebebasan, sehingga kesepakatan serta pengertian bisa tercapai.

Sembilan, maka di dalam demokrasi, tidak ada pandangan yang bersifat mutlak. Semua terbuka untuk dialog dan perubahan. Pandangan yang bisa bertahan di dalam proses komunikasi di ruang publik akan dianut oleh masyarakat luas. Segala bentuk dogmatisme, yakni kepatuhan buta pada satu pandangan, baik dalam bentuk agama dan budaya, tidak memiliki tempat di dalam demokrasi.

Sepuluh, etos demokrasi diterjemahkan ke dalam sistem politik. Wujudnya adalah hadirnya berbagai institusi demokratis, seperti parlemen, kabinet kementerian, lembaga hukum dan lembaga pemilihan umum. Semua lembaga tersebut diatur berdasarkan hukum yang berpijak pada akal sehat, kesetaraan dan keadilan. Semua lembaga tersebut juga saling mengontrol dan memperbaiki, sehingga kinerjanya tetap pada tujuan utamanya, yakni pelayanan rakyat sebagai pemegang kekuasaan tertinggi.

Sebelas, salah satu ciri demokrasi adalah pemilihan umum. Rakyat memilih wakil mereka, sekaligus pemimpin mereka, baik di tingkat daerah maupun pusat. Ini dianggap sebagai pesta demokrasi. Penting untuk terus diingat, pemilihan umum hanyalah pesta, dan bukan roh demokrasi itu sendiri. Roh demokrasi justru terjadi di antara pemilihan umum, dimana ruang publik diisi oleh proses komunikasi yang terbuka, egaliter dan bebas, guna membuat kebijakan serta merumuskan hukum untuk kepentingan seluruh rakyat.

Dua belas, maka demokrasi adalah etos, cara hidup sekaligus sistem politik. Perpaduan ketiganya akan menghasilkan negara dan bangsa yang adil serta makmur. Tak heran, para pendiri bangsa kita yang sangat tercerahkan memilih mendirikan negara demokrasi. Mereka tidak ingin Indonesia jatuh ke dalam kekuasaan mutlak dari masa lampau yang korup, serta penuh dengan konflik.

Yang Terbaik

Demokrasi adalah sistem politik terbaik yang pernah ada. Dalam konteks ini, ada enam hal yang perlu diperhatikan. Pertama, demokrasi memungkinkan kontrol masyarakat terhadap kinerja pemerintah. Kritik dan masukan diberikan. Ini semua dijamin di dalam undang-undang, dan dilindungi oleh hukum.

Dua, demokrasi memungkinkan perubahan kebijakan secara relatif cepat. Kesalahan merupakan bagian dari hidup manusia. Di dalam politik, hal ini juga kerap terjadi. Perbaikan hanya bisa dilakukan, jika kritik dan masukan bisa diberikan, serta mempengaruhi sistem politik yang ada.

Tiga, di dalam sejarah dunia, pergantian kekuasaan kerap melahirkan perang. Ini tidak terjadi di dalam masyarakat demokratis. Demokrasi memungkinkan terjadinya pergantian kekuasaan secara damai melalui proses pemilihan umum yang terjadi secara berkala. Ini menyelamatkan banyak negara dari perang saudara yang seringkali tak berkesudahan, dan memakan begitu banyak korban.

Empat, di dalam demokrasi, kebebasan adalah kunci. Manusia memiliki hak dasar untuk bebas berpendapat, berpikir, beragama dan sebagainya. Kebebasan tentu tidak mutlak, karena ia dibatasi oleh kebebasan orang lain, dan oleh hukum yang berlaku. Dengan kebebasan, manusia bisa menciptakan hal-hal baru untuk memajukan kebudayaan dan peradaban itu sendiri.

Lima, di dalam kebebasan, kebahagiaan akan muncul. Manusia terbuka untuk mencari apa yang paling penting. Berbagai pilihan muncul, dan orang menentukan sendiri, apa yang terbaik untuk mereka. Masyarakat sebagai keseluruhan pun tidak hanya maju secara politik, tetapi juga secara seni dan budaya.

Enam, dapatlah disimpulkan, bahwa demokrasi adalah cara hidup sekaligus sistem politik yang terbaik. Dari semua cara hidup dan sistem politik yang ada, demokrasilah yang paling mungkin mewujudkan keadilan dan kemakmuran. Tantangan tentu akan selalu ada. Dalam hal ini, ada tujuh tantangan yang perlu untuk dihadapi.

Tujuh Tantangan

Pertama, demokrasi kerap dirusak oleh korupsi. Korupsi adalah pembusukan suatu peran sosial, sehingga diisi oleh penipuan dan pencurian. Korupsi bukan hanya soal pencurian uang masyarakat oleh pejabat negara, tetapi terlebih soal pelanggaran sumpah yang merusak sebuah profesi yang sejatinya luhur. Dalam hal ini, korupsi berjalan berbarengan dengan kolusi dan nepotisme, yakni ketika orang-orang dekat mengisi posisi kekuasaan, walaupun mereka tidak memiliki kemampuan yang tepat.

Dua, demokrasi juga kerap dirusak oleh politik dinasti. Inilah yang terjadi di Indonesia pada 2023 ini. Penguasa tak siap lepas dari kekuasaannya, dan menggunakan segala cara yang kotor untuk mempertahankan kekuasaannya. Permainan politik dinasti tidak hanya merusak demokrasi, teatpi juga sama sekali tidak membawa keadilan dan kemakmuran bagi rakyat secara keseluruhan.

Tiga, oligarki adalah sekelompok orang kaya yang hendak memperlebar kekuasaannya di bidang politik. Kerap kali, mereka memperoleh kekayaannya dengan cara-cara kotor. Untuk melindungi diri mereka dari kejaran hukum, maka mereka harus punya kedudukan kuat di dalam politik. Oligarki adalah salah satu tantangan terbesar bagi demokrasi di Indonesia.

Empat, kebodohan, sesungguhnya, adalah tantangan terbesar demokrasi. Kebodohan membuat orang tunduk buta pada pandangan lama yang sudah ketinggalan jaman. Kebodohan membuat orang tak mampu berpikir kritis. Kebodohan pula yang menjadi akar tata politik yang kacau, serta melahirkan kemiskinan dan konflik yang tak berkesudahan.

Lima, salah satu buah kebodohan adalah berkembangnya radikalisme agama. Agama kematian dari tanah tandus dipeluk erat. Budaya leluhur yang agung ditinggalkan begitu saja. Ini yang sedang terjadi dengan sangat cepat di Indonesia, sehingga tidak hanya mengancam demokrasi, tetapi juga keberadaan Negara Indonesia itu sendiri.

Enam, tantangan berikutnya adalah sesat paham budaya ketimuran. Berulang kali, budaya timur dijadikan tameng untuk membunuh pemikiran kritis. Pemikiran rasional dan pemikiran kritis dibantah, karena dianggap tidak sesuai dengan budaya timur yang santun. Ini salah paham total yang bisa merusak pola komunikasi yang bebas, terbuka dan egaliter di dalam masyarakat demokratis.

Tujuh, budaya patriarki juga kerap dibenarkan atas nama budaya ketimuran ini, sehingga merusak mutu ruang publik demokratis. Perempuan ditindas atas nama agama kematian dan tradisi. Ketika perempuan tertindas, seluruh masyarakat akan dirugikan. Kebodohan dan kemiskinan akan tersebar luas.

Mesti Bagaimana?

Tantangan itu tidak mutlak. Ada empat hal yang bisa diperhatikan. Pertama, transformasi kesadaran pribadi haruslah dilakukan. Masyarakat, bagaimanapun rumitnya, adalah cerminan dari tingkat kesadaran warganya. Teori transformasi kesadaran bisa membantu disini, yakni pengembangan kesadaran ke tingkat yang semakin luas, sehingga memberi ruang untuk demokrasi, sekaligus kesadaran ekologis yang lebih tinggi.

Dua, tingkat kesadaran akan mempengaruhi perilaku keseharian. Tingkat kesadaran yang rendah adalah sumber dari segala masalah kehidupan, termasuk masalah-masalah yang muncul di dalam demokrasi. Pengembangan kesadaran akan berdampak di dalam hidup bersama. Perubahan sistemik harus dimulai dengan perubahan kesadaran di tingkat pribadi, yang langsung berdampak pada perilaku keseharian yang semakin demokratis.

Tiga, kita harus melihat, bahwa demokrasi adalah sesuatu yang bernilai pada dirinya sendiri. Ia patut diperjuangkan untuk tetap bertahan dan berkembang di Indonesia. Ia adalah etos, cara hidup dan sistem politik terbaik yang pernah ada. Alternatifnya adalah penindasan, kekacauan, ketidakadilan dan konflik yang berkepanjangan.

Empat, pengembangan demokrasi bisa dilakukan secara sistemik dengan keterlibatan langsung. Meminjam pendapat Aristoteles, filsuf Yunani kuno, hidup yang sempurna hanya dapat diperoleh lewat keterlibatan di dalam politik. Kita terlibat di dalam politik sejalan dengan bidang yang kita tekuni. Ini akan membuat ruang publik demokratis Indonesia semakin bermutu tinggi.

Tentu saja, saya tidak menjabarkan semua hal yang kompleks ini secara lisan ke teman saya. Saya akan posting tulisan ini, dan memberikan tautannya kepada teman saya tersebut. Demokrasi perlu terus diperjuangkan, karena ia bernilai pada dirinya sendiri, dan bisa membawa masyarakat kepada keadilan dan kemakmuran untuk semua, jika diterapkan secara konsisten. Di tengah berbagai tantangan, kita perlu terus berharap, sambil tetap berpijak pada pengetahuan, dan melakukan transformasi kesadaran secara berkelanjutan.

Diterbitkan oleh

Reza A.A Wattimena

Pendiri Rumah Filsafat. Pengembang Teori Transformasi Kesadaran dan Teori Tipologi Agama. Peneliti di bidang Filsafat Politik, Filsafat Ilmu dan Kebijaksanaan Timur. Alumni Sekolah Tinggi Filsafat Driyarkara Jakarta, Doktor Filsafat dari Hochschule für Philosophie München, Philosophische Fakultät SJ München, Jerman. Beberapa karyanya: Menjadi Pemimpin Sejati (2012), Filsafat Anti Korupsi (2012), Tentang Manusia (2016), Filsafat dan Sains (2008), Zen dan Jalan Pembebasan (2017-2018), Melampaui Negara Hukum Klasik (2007), Demokrasi: Dasar dan Tantangannya (2016), Bahagia, Kenapa Tidak? (2015), Cosmopolitanism in International Relations (2018), Protopia Philosophia (2019), Memahami Hubungan Internasional Kontemporer (20019), Mendidik Manusia (2020), Untuk Semua yang Beragama (2020), Terjatuh Lalu Terbang (2020), Urban Zen (2021), Revolusi Pendidikan (2022), Filsafat untuk Kehidupan (2023), Teori Transformasi Kesadaran (2023), Teori Tipologi Agama (2023) dan berbagai karya lainnya. Rumah Filsafat kini bertopang pada Crowdfunding, yakni pendanaan dari publik yang terbuka luas dengan jumlah yang sebebasnya. Dana bisa ditransfer ke rekening pribadi saya: Rekening BCA (Bank Central Asia) 0885100231 atas nama Reza Alexander Antonius. Lebih lengkapnya lihat di https://rumahfilsafat.com/rumah-filsafat-dari-kita-untuk-kita-dan-oleh-kita-ajakan-untuk-bekerja-sama/

Tinggalkan komentar

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.