Oleh Reza A.A Wattimena
Kita membayar pajak, supaya pemerintah menggunakannya untuk keamanan dan pembangunan negara. Namun, ketika pejabat pajak memiliki harta kekayaan yang amat besar, dan hidup bergelimangan kemewahan, ada sesuatu yang salah. Itulah yang terjadi di Indonesia di awal 2023 ini. Pelayan rakyat bergelimangan kemewahan, sementara rakyatnya hidup dalam kesulitan, tanpa henti.
Salah satunya adalah Rafael Alun Trisambodo. Total hartanya menyentuh 52 Milliar Rupiah. Data lengkapnya bisa anda dapatkan di berbagai media. Rafael tentu tidak sendirian. Begitu banyak pejabat negara, pelayan rakyat, hidup dalam gelimang harta hasil mencuri, dan membiarkan seluruh bangsa ini tenggelam dalam kemiskinan dan kebodohan.
Tak berlebihan jika dikatakan, bangsa kita bodoh dan miskin, karena ulah para pemimpinnya. Mereka rakus dan korup sampai ke akar. Tidak ada rasa malu dan martabat yang bisa menjadi teladan. Tidak ada nilai-nilai luhur kehidupan dan kepemimpinan unggul yang ditunjukkan kepada masyarakat luas.
Di tengah tantangan kehidupan rakyat, para pejabat malah hidup dalam kemewahan. Tak ada empati dan rasa peduli di dalam hati mereka. Yang ada hanya penumpukan kekuasaan dan uang demi kenikmatan hampa belaka. Agama pun menjadi pembenaran atas semua itu. Bahkan, agama digunakan untuk menakuti-nakuti rakyat yang hendak melawan berbagai ketidakadilan yang ada.
Kecemburuan Sosial
Ada lima hal yang kiranya penting untuk diperhatikan. Pertama, kesenjangan sosial di Indonesia sudah sampai pada titik yang parah. Tidak perlu data statistik yang rumit untuk membuktikannya. Di Indonesia, statistik kerap dibuat dengan metode yang salah. Ini ditambah kepentingan politik yang menjadi latar belakangnya, sehingga hasil penelitian statistik sama sekali tak bisa dipercaya.
Pergilah ke berbagai tempat di Indonesia. Buka mata, dan perhatikan keadaan sekitar. Mayoritas orang Indonesia hidup dalam kemiskinan dan keterbatasan. Hanya segelintir orang yang hidup dalam kekayaan.
Mereka adalah kaum oligarki, yakni sekelompok orang yang mengontrol kekayaan dalam jumlah besar, dan kini menjadi pemimpin politik. Kaum oligark tersebar di berbagai lembaga penting negara, mulai dari presiden, menteri, anggota DPR sampai dengan pejabat berbagai institusi negara. Mereka membuat aturan dan hukum yang hanya menguntungkan diri mereka, sambil memperbodoh-mempermiskin rakyat dan merusak alam.
Dua, kesenjangan sosial akan menciptakan kecemburuan sosial. Masyarakat akan merasa marah atas ketidakadilan yang terjadi. Konflik besar akan terjadi di depan mata. Perang saudara berdarah dan revolusi dengan kekerasan amat mungkin terjadi di Indonesia.
Tiga, saya teringat dengan teori Marx tentang bangunan bawah (Basis/Unterbau) dan bangunan atas (Ueberbau). Basis adalah ekonomi dan hubungan produksi di dalam masyarakat. Ini menentukan bangunan atas, yakni negara, agama, kebudayaan dan seni. Bangunan atas sebuah bangsa amat ditentukan oleh basis bangsa tersebut.
Ekonomi dan hubungan produksi yang tak adil akan menghasilkan negara yang rusak. Ekonomi yang penuh ketimpangan. Kebudayaan yang penuh dengan kedangkalan. Agama yang penuh dengan kemunafikan, seperti yang terjadi di Indonesia.
Empat, ketika ketidakadilan memuncak, revolusi tak bisa dihindari. Kelas pekerja yang tertindas akan melakukan revolusi. Kelas pemilik modal (yakni para koruptor dan pejabat negara) akan dihancurkan. Yang tercipta kemudian, menurut Marx, adalah masyarakat tanpa kelas (klassenlose Gesellschaft). Orang bekerja sesuai dengan kemampuannya, dan mendapatkan sesuai kebutuhannya.
Lima, agama pun terbelah menjadi dua peran. Di satu sisi, agama digunakan untuk membenarkan ketidakadilan yang terjadi. Para pejabat bersekongkol dengan para pemuka agama untuk membuat rakyat takut melawan. Inilah yang terjadi di Indonesia, yakni agama menjadi opium yang memperbodoh dan mempermiskin rakyat.
Orang beragama, karena tak berdaya. Orang berdoa, karena hidupnya dicekik oleh kemiskinan dan ketidakadilan. Orang beragama, karena ditakuti-takuti pemuka agama busuk akan api neraka yang tak pernah ada. Para pejabat negara membiarkan itu semua terjadi, karena mereka diuntungkan oleh kebodohan rakyatnya.
Di sisi lain, agama menjadi pembenaran untuk melakukan revolusi berdarah. Kaum radikal menggunakan agama untuk memecah belah bangsa. Gerakan teroris atas nama agama kematian tersebar luas di seluruh penjuru Indonesia. Demokrasi, negara hukum dan Pancasila akan menjadi tinggal kenangan.
Menjadi Beradab
Ada tiga hal yang bisa dilakukan. Pertama, seluruh pejabat negara harus belajar hidup sederhana. Mereka adalah pelayan rakyat. Jangan sampai mereka merasa lebih berkuasa, dan hidup bergelimangan kekayaan di atas kesulitan hidup rakyat.
Pemerintah perlu membuat aturan tegas soal ini. Rakyat perlu juga untuk terus mengontrol kinerja dan gaya hidup para pejabat negara. Ini merupakan gerak demokrasi yang ideal di masa digital. Tujuannya hanya satu, yakni membuat bangsa ini menjadi beradab, adil dan makmur, sesuai dengan tujuan berdirinya.
Dua, sebagai bangsa dan manusia, kita harus belajar untuk menemukan martabat dari dalam diri kita sendiri. Kita tidak membutuhkan pengakuan semu dari orang lain, atau dari masyarakat luas. Kita menemukan kebebasan dan keutuhan diri dari dalam batin. Disini pentingnya kita mendalami spiritualitas Asia, dan tidak terpesona pada filsafat, sains dan teknologi Barat yang kerap kali mendangkalkan kehidupan, serta merusak alam.
Tiga, kita perlu kembali menjiwai Pancasila di dalam hidup keseharian kita, baik sebagai pribadi, maupun di dalam kerja berbagai lembaga negara. Secara isi dan keterbukaan, Pancasila sudah sempurna. Tinggal kita yang menjiwainya secara mendalam, dan menerapkannya dalam kehidupan, terutama terkait kemanusiaan dan keadilan sosial. Jangan sampai berbagai masalah negara ditunggangi oleh kelompok radikal dari tanah gersang yang ingin merusak bangsa ini.
Hantu kecemburuan sosial sedang membayangi Indonesia. Kita harus peka padanya. Kita harus mengawasi gerak-geriknya, dan mencari cara untuk menangkalnya. Taruhannya satu, yakni kehancuran republik tercinta ini.
Rumah Filsafat kini bertopang pada Crowdfunding, yakni pendanaan dari publik yang terbuka luas dengan jumlah yang sebebasnya. Dana bisa ditransfer ke rekening pribadi saya: Rekening BCA (Bank Central Asia) 0885100231 atas nama Reza Alexander Antonius. Lebih lengkapnya lihat di https://rumahfilsafat.com/rumah-filsafat-dari-kita-untuk-kita-dan-oleh-kita-ajakan-untuk-bekerja-sama/