Oleh Reza A.A Wattimena
“Za, si Adi sudah ga ada.” Begitu bunyi notifikasi Whatsapp saya di malam hari. Sahabat saya itu sudah berpulang. Dia yang banyak menemani saya, ketika saya menjalani perceraian beberapa tahun lalu.
Dua bulan lalu, ia menghubungi saya. Katanya, dia kangen, dan ingin berdiskusi dengan saya. Dia memang sangat menikmati diskusi filsafat. Banyak pencerahan dan kebijaksanaan yang didapat, begitu katanya.
Saya belum sempat. Saya harus keluar kota. Banyak juga seminar dan tulisan yang mesti dipikirkan. Sayang memang.
Suatu sore, ketika rapat, dadanya sakit. Ternyata, ia serangan jantung. Ia pun dibawa ke rumah sakit. Tak lama kemudian, ia meninggal. Sahabat saya itu meninggalkan seorang istri dan anak perempuan berusia 2 tahun. Only the good die young, begitu kata Band Queen.
Mengingat Kematian
Ingatlah, bahwa kamu akan mati. Memento mori. Hanya ada satu hal yang pasti di dunia ini, bahwa kita semua akan mati. Artinya, tubuh dan batin kita akan mengalami perpisahan, entah lambat atau cepat nanti.
Sayangnya, banyak orang takut berbicara soal ini. Mereka nyaman dengan pengetahuan salah yang diajarkan agama dan tradisi. Jika berbuat baik, maka masuk surga. Jika berbuat dosa, maka masuk neraka. Itu konyol.
Di dalam kebodohan, mereka hidup mencari kenikmatan. Uang dan kekuasaan diburu, tanpa kenal lelah. Jika perlu, orang lain, ataupun mahluk hidup lain, dikorbankan. Betapa bodohnya hidup semacam ini.
Orang belajar untuk menjadi semakin cerdas di dalam mencari uang dan kekuasaan. Padahal, itu semua begitu sementara dan rapuh. Ketika kematian menjemput, tak ada yang dibawa. Sementara, kita semua hampir tak punya pengetahuan apapun yang mendalam soal kematian: satu-satunya hal yang pasti dan kokoh terjadi di dalam hidup kita.
Dengan memahami kematian, kita akan hidup lebih jernih. Kita akan hidup lebih cerdas. Kita tak membuat pilihan-pilihan bodoh, hanya karena mengikuti orang lain, tradisi ataupun agama. Memahami kematian berarti memahami kehidupan dalam unsurnya yang tertinggi.
Identitas dan Hidup kita
Semua identitas adalah semu. Bangsa, agama, suku, ras dan golongan adalah sesuatu yang rapuh. Bangsa tumbuh dan hancur. Agama lahir dan lenyap.
Identitas adalah tipuan. Tak hanya itu, kehidupan dan kematian pun hanya ilusi. Semua adalah proyeksi dari batin manusia. Para ilmuwan neurosains sudah sampai pada kesimpulan, bahwa dunia adalah ciptaan dari kesadaran dan struktur biologis manusia. Para Yogi dan Zen master sudah menyadari itu sejak ribuan tahun silam.
Tujuan dari semua filsafat dan latihan batin adalah menyadari hal ini. Kita bangun dari kebodohan yang lahir dari kebiasaan. Kita tidak lagi tertipu oleh gemerlap dunia yang tak pernah sungguh menciptakan kebahagiaan. Kita mencari ke dalam diri.
Semua derita lahir dari anggapan salah, bahwa dunia ini sungguh nyata. Semua ketakutan lahir dari anggapan salah, bahwa ada yang perlu dicapai dan dikejar di dalam hidup ini. Apa akibatnya, jika orang mengejar dan mencoba mengenggam asap? Frustasi. Persis seperti itulah yang terjadi di dalam hidup banyak orang.
Segalanya adalah proyeksi pikiran. Di balik pikiran, ada kesadaran. Ia bersifat murni, tanpa konsep. Ia hanya sadar, mengamati dan tak memiliki batas.
Ia tampil di dalam keseharian manusia. Ia hadir di dalam semua kegiatan pikiran ataupun perasaan. Di dalam Zen, batin keseharian adalah batin yang tercerahkan. Dengan menyadari kesadaran sebelum dan di balik pikiran, kita terbebaskan.
Ingatlah, bahwa hidup adalah proyeksi pikiran kita. Yang kita sebut sebagai hidup adalah ciptaan kita yang berpijak pada pengondisian sosial (social conditioning) kita. Di dalamnya, ada tradisi, agama dan kebiasaan yang ada di dalam masyarakat kita. Tidak ada dunia yang seutuhnya benar di luar pikiran kita.
Soal Kematian
Ketika kematian tiba, tubuh dan pikiran kita terpisah. Semua pengondisian sosial lenyap. Kita mengalami inti batin kita secara utuh. Kita berjumpa dengan diri kita sendiri yang sebenarnya, yakni kesadaran murni (pure awareness).
Jika orang tak tahu tentang hal ini, ia akan kaget. Ia bisa mengalami shock. Semua pikiran dan perasaannya menjadi kacau. Kematian pun menjadi saat yang sangat penuh derita baginya.
Maka, latihan spiritual adalah sebuah latihan untuk mati. Latihan spiritual mengajak orang untuk akrab dengan dirinya yang asli. Ia pun berjarak dari pikiran dan emosinya sendiri. Ketika kematian tiba, ia tak lagi kaget, bahkan bisa merasa bahagia, karena ia menyatu dengan diri sejatinya, serta tak lagi dikacaukan oleh pikiran dan emosi yang tak tentu arah.
Inti latihan spiritual adalah menyadari kesadaran. Kita menyentuh kekosongan yang sadar (empty awareness). Di dalam hidup, ini akan menghasilkan kejernihan. Di dalam proses kematian, ini akan membawa kita pada pembebasan yang seutuhnya.
Kematian pun dilihat sebagai saat pembebasan. Untuk itu, sebaiknya, orang perlu menjalani kematian di dalam kesendirian. Ia perlu melepaskan diri dari keluarga, dan juga dari segala urusan dunia yang hanyalah ilusi. Ingatlah, segala yang ada di dalam hidup, dan juga di dalam proses kematian, hanyalah proyeksi dari pikiran manusia semata.
Pikiran terakhir sebelum kematian juga amat penting. Mutu kematian amat ditentukan olehnya. Jika pikiran kita gelisah, maka kematian menjadi proses yang amat sulit. Sebaliknya, jika kita sepenuhnya jernih dan sadar, maka proses kematian bisa menjadi proses pembebasan mutlak.
Cara kita mati juga ditentukan oleh kebiasaan kita. Ini termasuk gaya hidup sekaligus kebiasaan berpikir kita. Hidup yang penuh dengan kemarahan akan berakhir pada kematian yang juga penuh kemarahan. Hidup penuh ketakutan juga akan berakhir pada kematian yang penuh ketakutan.
Ada hakim yang menanti kita setelah kematian. Bukan tuhan, ataupun malaikat, tetapi kebiasaan kita sendiri yang akan menghakimi kita. Gaya hidup kita akan menentukan mutu kematian kita. Kebiasaan yang kita bangun akan menjadi hakim penentu yang utama.
Surga dan neraka pun bukan sebuah tempat di luar sana. Keduanya adalah keadaan batin manusia, setelah kematian. Batin penuh derita adalah neraka. Sementara, batin yang sadar dan jernih adalah surga.
Namun perlu untuk terus diingat, bahwa semua adalah proyeksi dari pikiran kita. Semua diciptakan oleh pikiran kita, termasuk surga dan neraka. Semua yang muncul hanya diamati, tanpa dilekati. Ia juga tak perlu dibenci, atau dikejar sepenuh hati.
Menyadari Kesadaran
Selagi masih hidup, kita perlu untuk berlatih hidup sadar. Ini sangatlah penting untuk dilakukan. Jika tidak, kita akan melekat pada ide tentang diri dengan segala kerumitannya, termasuk takut, marah, kecewa dan sebagainya. Mutu hidup, dan juga mutu proses kematian kita, akan amat rendah.
Berlatih hidup sadar berarti membangun kebiasaan untuk akrab dengan diri sejati kita. Itulah kesadaran murni, tanpa konsep. Kita belajar untuk beristirahat di dalam kesadaran (resting in awareness). Di dalam tradisi Asia, kesadaran yang telanjang tanpa konsep ini disebut juga sebagai batin Buddha.
Beristirahat di dalam kesadaran berarti menjadi tanpa referensi. Tidak ada kegiatan yang dilakukan. Tidak ada konsep, ataupun obyek, yang diacu. Menyadari kesadaran berarti tidak melakukan apapun, namun menjadi segalanya.
Inilah inti dari meditasi. Meditasi bukan hanya duduk tak bergerak, tetapi belajar sadar atas pikiran dan perasaan yang muncul. Meditasi berarti belajar untuk menyadari kesadaran (aware of awareness). Ini juga berarti hidup tanpa acuan obyek apapun, kecuali kesadaran itu sendiri.
Tentang Orang Lain
Bagaimana jika keluarga atau teman dekat yang mendekati kematian? Dampingi mereka dengan semua pengetahuan ini. Yang terpenting adalah mendampingi mereka untuk menjalani semua proses yang ada dengan kesadaran dan kejernihan. Juga terus ingat, bahwa semua yang ada adalah proyeksi dari pikiran manusia, baik ketika hidup maupun mati.
Kita hidup dalam jaringan yang tak terbatas dengan segala yang ada. Semua saling mempengaruhi. Semua juga saling membutuhkan. Dengan kata lain, kita memiliki hutang untuk saling membantu satu sama lain, terutama untuk mencapai pembebasan seutuhnya. Dalam arti ini, makna dan tujuan kehidupan adalah untuk berlatih, guna mencapai pembebasan seutuhnya, tidak hanya dari derita, tetapi juga dari kebahagiaan yang sementara.
Itu hanya dapat dicapai, jika manusia akrab dengan kesadarannya. Ketika tubuh dan pikiran terpisah saat kematian, kesadaran murni tampil ke depan. Jika kita lari darinya, kita akan memasuki ruang yang penuh kekacauan dan kebingungan. Jika kita sudah akrab dengannya, dan menetap dengannya, ketika kematian tiba, maka kita akan mencapai pembebasan yang sepenuhnya.
Bagaimana jika kita gagal beristirahat di dalam kesadaran, ketika kematian tiba? Cukup amati segala yang terjadi. Tetaplah sadar, sama seperti di dalam kehidupan, bahwa semua yang terjadi adalah proyeksi pikiran kita. Amati segala yang terjadi, tanpa rasa takut, dan tanpa berharap, bahwa itu akan lenyap.
Pada akhirnya, kematian adalah sebuah kesempatan. Kematian, bisa juga dibilang, adalah puncak hidup manusia. Kematian bisa menjadi saat untuk terbebas sepenuhnya dari lingkaran derita dan bahagia sementara yang terus mengikat manusia. Pemahaman soal kematian juga mengajarkan kita cara hidup yang cerdas. Kita perlu bersiap untuk menghadapi kematian dengan cerdas, sambil menata hidup disini dan sekarang ini setepat mungkin.