Oleh Reza A.A Wattimena
Kita bisa sadar, dan memilih dalam hidup kita. Kita bisa belajar tentang berbagai hal baru secara sadar. Kita bisa membentuk cara berpikir dan kebiasaan hidup baru secara sadar. Di dalam dunia yang tak pernah asli, kita bisa mengambil keputusan yang memutus pola, dan mengubah kebiasaan.
Namun, di Indonesia, kesadaran untuk memilih ini nyaris dihabisi oleh agama maupun tradisi. Dari cara berpakaian sampai pola bercinta, semua sudah diatur dengan detil. Penyimpangan tak hanya dianggap melawan tradisi, tetapi juga diancam dengan api neraka (yang sesungguhnya tak pernah ada). Ketakutan dan hukuman semu, yang berpijak diatas tradisi maupun agama konservatif, nyaris membunuh kesadaran untuk memilih bangsa ini.
Filsafat Kerumunan
Perkembangan filsafat penuh dengan kajian terhadap hal ini. Ada lima hal yang bisa diperhatikan. Pertama, Soren Kierkegaard, pemikir Denmark, menyebut ini sebagai hidup yang tak otentik. Orang menyerahkan pilihannya pada tradisi dan agama, tanpa kesadaran yang penuh. Orang kehilangan hidupnya sendiri, dan menjadi manusia palsu yang jauh dari otentisitas.
Tulisan lengkap bisa dilihat di: https://www.kompas.id/baca/opini/2021/04/30/anatomi-tekanan-sosial-refleksi-kritis/
Dukung Jurnalisme berkualitas!
Filsafat kerumunan, ini juga menjadi kritik pedas Nietzsche yang diungkapkannya dengan konsep “moralitas budak” dan “moralitas kawanan”. Masyarakat Indonesia sangat tepat disebut dengan “perbondongan”. Orang Indonedia itu terlalu melankolis dan romantis. Suka mengibah, lupa menimbang. Tragedi Nanggala seolah habis lenyap dengan tetesan air mata Prabowo Subianto yang mengunjungi keluarga korban. Terbayar habis oleh Pidato Pemerintah yang menggelari para korban sebagai “penjaga laut, pahlawan…dll.” Seolah semua selesai dan puas hanya dengan itu. No, Indonesia. Kita bukan hidup dalam negeri dongeng atau drama yang tunduk pada otoritas penulis naskah dan atau sutradara.
Dari tragedi Nanggala, mestinya kita bertanya. Urusan Ketahanan dan Keamanan Negara itu dibiayai negara dengan jaminan finansial yang lebih dari semua urusan lain di negeri ini. Kok bisa, masih ada Kapal (Nanggala) yang dinyatakan gagal sistem? Ke mana semua dana jaminan ketahanan dan keamanan itu? Kita dan para korban KRI Nanggala sebenarnya adalah korban dari sistem yang sedang berkuasa. Adakah kita yang berani mempersoalkan ini? Kita hanyalah perbondongan, kerumunan, kawanan, yang ketiadaan nalar kritis.
SukaSuka
Saya sepakat. Ini memang salah satu tantangan terbesar bangsa kita. Jika terjebak dalam pola pikir kerumunan, kita akan semakin miskin dan terbelakang.
SukaSuka