Hakekat Massa Menurut Elias Canetti

free-pictures-photos.com

Oleh Reza A.A Wattimena

Dosen Filsafat Politik, Fakultas Filsafat UNIKA Widya Mandala, Surabaya

            Elias Canetti (1905-1994) [1]adalah orang Jerman keturunan Bulgaria. Ia dikenal sebagai seorang filsuf, penulis novel, penulis esei, sosiolog, dan penulis naskah drama. Pada 1981 ia meraih hadiah Nobel untuk kategori sastra dan literatur. Karyanya yang paling terkenal adalah Crowds and Power yang diterbitkan pada 1960. Buku itulah hendak saya jabarkan dan tanggapi di dalam tulisan ini. Di dalam buku itu, ia mencoba memahami fenomena gerakan massa, dan aspek-aspek yang mengitarinya. Untuk itu ia membaca berbagai peristiwa sejarah, mitos, dan karya-karya sastra yang tersebar di berbagai kebudayaan dunia.

Menurut beberapa komentator pemikiran Canetti, buku itu sendiri lahir dari keprihatinan Canetti, ketika melihat pembakaran Palace of Justice di Wina, Austria pada 1927. Buku itu sendiri nantinya terbit pada 1930-an, namun baru menarik perhatian banyak orang pada dekade 1960-an, tepatnya setelah Canetti memperoleh hadiah Nobel untuk kategori sastra dan literatur. Sebagian besar hidupnya dihabiskan di London. Namun begitu ia tidak banyak mengembangkan hubungan dengan para penulis maupun pemikir dari Inggris.

Elias Canetti lahir di Ruse, Bulgaria, dari keluarga pedagang Yahudi. Dari keluarga itu, ayah seorang pengusaha dan ibu seorang pecinta sastra, Canetti memperoleh ketrampilan berbahasa Jerman, Spanyol (kuno), Bulgaria, dan Inggris. Namun pada akhirnya ia memilih untuk menulis di dalam bahasa Jerman, terutama karena cinta dan simpatinya pada kebudayaan Jerman. Pada masa muda ia pernah belajar di Zuerich, dan berhasil menghasilkan karya pertamanya, yakni naskah drama yang berjudul Junius Brutus. Pada masa-masa ini pula, ia berjumpa dengan Bertolt Brecht, dan mulai menulis karya-karya drama dengan tema dasar kegilaan manusia.

Pada 1929 Canetti memperoleh gelar doktor dalam bidang kimia dari Universitas Wina. Pada masa-masa inilah ia mengalami peristiwa yang nantinya membekas dalam di dalam pikirannya, yakni pembakaran Palace of Justice oleh massa demonstran. Ketika pembakaran terjadi ia tepat berada di antara massa, dan merasakan betul apa yang terjadi, ketika orang hanyut dalam dinamika massa. Rupanya Canetti cukup peka. Ia melihat gejala kebencian dan diskriminasi pada orang-orang Yahudi oleh Nazi Jerman, partai politik yang pada masa itu mulai berkuasa. Ia pun pergi ke Inggris, dan tinggal disana sampai mati. Ketakutan pada fenomena kekerasan massa dan trauma yang dialaminya, akibat diskriminasi Nazi Jerman, mendorongnya untuk menulis buku Crowds and Power.

Di dalam buku tersebut, Canetti memulai analisisnya dengan pengandaian dasar, bahwa setiap orang memiliki insting alamiah untuk tergabung di dalam massa. Dan salah satu ciri mendasar dari massa adalah kemampuannya untuk menghancurkan. “Bentuk terendah dari upaya penyelamatan diri”, demikian tulisnya, “adalah membunuh.”[2] Buku itu terbagi dua. Bagian pertama adalah analisis Canetti tentang beragam bentuk massa yang ada di dalam peradaban manusia. Sementara bagian kedua lebih bergulat dengan persoalan berikut, mengapa massa, yang begitu liar dan destruktif, seringkali tunduk pada penguasa tertentu? Pada bagian kedua ini, walaupun tersembunyi, Canetti berbicara tentang Hitler dan bentuk kekuasaan yang ia punya pada massa bangsa Jerman, sebelum era perang dunia kedua. Pada hemat saya yang menjadi tujuan dari buku Crowds and Power adalah mengajak orang menyadari hadirnya gerak massa dan penguasa totaliter di masyarakat, serta berupaya untuk menanggulangi sisi merusak dari dua fenomena itu.

Sebelum ia menjadi terkenal di dunia, karena meraih hadiah Nobel, Canetti hidup dengan amat sederhana di kota kecil bernama Hampstead. Sebagai seorang pribadi ia terkenal amat nyentrik. Ia tak suka mendengarkan orang lain berbicara. Bahkan ia menulis buku hariannya dengan bahasa sandi, sehingga orang lain tidak mengerti. Ia juga terkenal sebagai orang yang sombong. Pada suatu waktu ia diminta untuk menulis esei pendek tentang salah satu buku yang baru terbit di Jerman. Namun ia menolaknya karena ia merasa, bahwa buku itu tidak cukup bagus untuk dikomentari. Berbagai penghargaan diterimanya, seperti Foreign Book Prize (1949, France), Vienna Prize (1966), Critics Prize (1967, Germany), Great Austrian State Prize (1967), Bavarien Academy of Fine Arts Prize (1969), Bühner Prize (1972), Nelly Sachs Prize (1975), Order of Merit (1979, Germany), Europa Prato Prize (1980, Italy), Hebbel Prize (1980), Kafka Prize (1981), Great Service Cross (1983, Germany). Selain itu Canetti juga mendapatkan gelar doktor kehormatan dari dua universitas. Pada 13 Agustus 1994, ia meninggal di Zuerich, Swiss.

Buku Crowds and Power adalah sebuah upaya sistematis untuk memahami hakekat manusia dan masyarakat dalam kaca mata naturalisme Darwinian.[3] Dalam arti ini naturalisme adalah paham yang mencoba memahami manusia sebagai bagian dari alam natural yang tidak memiliki kaitan dengan segala sesuatu yang berbau transenden, seperti ciptaan Tuhan misalnya.[4] Naturalisme banyak menimba pemikiran dari kemajuan ilmu-ilmu alam, seperti biologi, di dalam memahami manusia. Robertson –di dalam pemaparannya tentang pemikiran Canetti- menulis dengan amat menarik tentang ini, “Naturalisme Darwinian adalah upaya agung…untuk membawa manusia kembali kepada alam, untuk menyingkirkan semua bentuk rumusan idealistik yang telah mengganggu rumusan asli yakni homo natura.”[5]

Semua ini dimulai ketika Darwin mempublikasikan karyanya yang berjudul The Origin of Species (1859) dan The Descent of Man (1871).[6] Kesimpulan kontroversial dari kedua karya itu adalah, bahwa manusia bukanlah mahluk yang diciptakan menurut citra Tuhan yang agung dan sempurna, melainkan hanya “sejenis hewan yang spesial”.[7] Dengan pemahaman ini para filsuf mulai menyusun sebuah teori tentang lahirnya masyarakat dan berbagai komunitas sosial yang ada di dunia. Caranya tidak lagi melihat ke alam transenden-ilahi, melainkan dengan mengamati apa yang terjadi di dalam dunia binatang.  Di dalam buku Crowds and Power (selanjutnya saya singkat menjadi CP), Canetti banyak mengamati praktek-praktek yang terjadi di dalam peradaban primitif manusia, dan juga perilaku binatang. Dua fenomena ini menjadi titik tolak refleksinya tentang manusia dan peradaban.

Di balik upaya Canetti untuk memahami manusia melalui pengamatannya pada perilaku binatang dan perilaku suku-suku primitif, terletak satu motif sederhana, yakni menjadikan manusia sebagai bagian integral dari dunia, dan menjadikan dunia sebagai rumah manusia. Manusia bukanlah mahluk yang lebih tinggi, lebih luhur, atau lebih suci, melainkan merupakan bagian integral dari alam itu sendiri dengan segala keganasan dan ambivalensinya. Namun di sisi lain, seperti dicatat oleh Robertson, perilaku binatang seringkali amat kejam. Ada beberapa binatang yang memakan anaknya sendiri. Beberapa membunuh saudara kandungnya sendiri. Di dalam buku CP, Canetti sempat menggambarkan kemiripan manusia dengan simpanse dengan luar bias detil, baik dalam soal kejahatan maupun kebaikannya.

Sama seperti binatang manusia pun memiliki kekuatan. Bagi Canetti kekuatan manusia adalah sesuatu yang amat individual dan sifatnya alamiah, yakni dalam bentuk kekuatan fisik, seperti juga pada binatang. “Bentuk kekuatan yang paling dasar”, demikian tulis Robertson tentang Canetti, “adalah membunuh mangsa.”[8] Alat yang digunakan untuk membunuh adalah tubuh, yakni organ-organ pelumat yang kuat, yang dimiliki manusia, seperti mulut, cengkraman, gigi untuk mengunyah, dan sebagainya. Semua ini adalah tanda kekuatan alamiah manusia yang bersifat amat primitif. Teror primitif yang sifatnya hewani, seperti kijang yang siap dimangsa oleh singa, bisa muncul, ketika bahu kita dicengkram oleh perampok, atau oleh tatapan ganas dan liar dari pemerkosa.

Namun sebagaimana dibaca oleh Robertson, kekuatan diri manusia tidaklah identik dengan kekuatan fisik semata. Manusia juga bisa memiliki keunggulan psikologis dari lawan ataupun mangsanya. Misalnya ketika kita melihat perjamuan makan malam para politisi yang sebenarnya saling membenci dan bermusuhan. Tentang ini Canetti punya sudut pandang menarik. Baginya makan malam bersama antara politisi yang saling bermusuhan memiliki makna tersembunyi yang tak terkatakan, bahwa mereka tidak akan saling menghancurkan satu sama lain. Lebih tepatnya bahwa mereka tidak akan saling memakan satu sama lain, lepas dari garpu, pisau, dan sendok yang ada di tangan mereka, ketika mereka makan bersama.  Di dalam percakapan biasanya ada tawa. Di dalam dunia binatang, tawa adalah pengganti makanan. Bahkan hyena tertawa jika makanannya direbut. Para politisi pun juga tertawa untuk menutupi fakta kotor, bahwa mereka bisa memakan dan menghancurkan lawan politiknya yang sedang makan bersama mereka.[9] Tawa adalah simbol kekuasaan dan kemampuan untuk menaklukan.

Kekuatan penjelasan Canetti tentang makna kekuatan (kekuasaan) adalah kedekatannya dengan pengalaman kita sehari-hari yang bersifat alamiah. Dengan kegamblangan yang amat hewani, ia melihat unsur hewani manusia di dalam tindakan bernafas dan mengunyah. Di balik semua ini, kita bisa melihat pengandaian antropologis Canetti. Baginya manusia adalah mahluk yang cinta menyendiri (soliter), dan selalu bernafsu untuk menaklukan manusia lainnya.[10] Ia adalah mahluk yang selalu siap berperang melawan semua. Dalam arti ini seperti dicatat oleh Robertson, kehidupan sosial manusia adalah upaya sementara untuk meredam nafsu manusia untuk menaklukan sesamanya. Bahkan Canetti menulis begini, bahwa kita perlu untuk menjadi seorang kanibal, karena tindakan tersebut adalah simbol yang paling memuaskan dari upaya menguasai orang lain.[11]

Menurut analisis yang dibuat Robertson, Canetti amat mengagumi satu jenis kekuatan psikologis yang dimiliki manusia. Kekuatan itu adalah kekuatan seorang survivor, yakni orang yang selamat dari tragedi besar yang menimpanya. Canetti membayangkan seorang pria tua yang tetap hidup melewati berbagai tragedi hidup, walaupun semua teman dan keluarganya telah mati. Ia hidup melewati berbagai perang dan wabah yang menimpa komunitasnya. Sosok seorang survivor juga dapat dilihat pada seorang penguasa yang berhasil menghancurkan musuh-musuhnya. Sebagai contoh empiris Canetti menyebut nama dua orang, yakni Muhammad Tughlak dan Daniel Schreber. Tughlak adalah penguasa kota Delhi di India. Ia benci pada semua penghuni kota itu, dan berfantasi mengusir mereka semua. Ia merasa bahagia membayangkan hidup sendiri bersama keluarganya di kota yang besar itu. Sementara Daniel Schreber adalah seorang hakim yang memiliki fantasi mengerikan, yakni menjadi manusia terakhir yang hidup, dan kemudian diminta oleh Tuhan untuk memulai terbentuknya spesies yang baru. Semua ini menurut Robertson adalah upaya Canetti untuk memahami Hitler yang secara terselubung menjadi tema utama kajiannya di buku CP.[12]

Di dalam salah satu bagian buku CP, Canetti mengupas kisah hidup seorang sejarahwan Romawi yang bernama Josephus. Ia sempat membantu orang-orang Yahudi untuk memberontak terhadap pemerintah Romawi. Upaya itu berakhir dengan jatuhnya Yerusalem ke tangan tentara Romawi pada 70 tahun setelah Masehi. Bersama empat puluh pengikutnya, Josephus bersembunyi di gua. Setelah berdiskusi mereka pun sampai pada kesepakatan untuk melakukan bunuh diri bersama, daripada jatuh ke tangan Kekaisaran Romawi. Sejujurnya Josephus tidak mau bunuh diri. Namun kesepakatan kelompok menderanya. Ia pun mengajukan usul, supaya dibuat semacam undian, bahwa orang yang kedua yang mendapatkan undian harus membunuh orang pertama, orang ketiga membunuh orang kedua, dan seterusnya. Orang terakhir haruslah membunuh dirinya sendiri. Dengan berbagai cara yang licik, Josephus akhirnya mendapatkan undian terakhir. Namun ia tidak membunuh dirinya sendiri. Ia pun kabur dari gua, dan kemudian kembali hidup menjadi orang Romawi di dalam kekayaan dan kemakmuran.[13]

Namun bisakah karakter ganjil dari Tughlak, Josephus, dan Schreber dianggap sebagai karakter umum dari umat manusia? Bukankah dengan pola berpikir semacam ini, Canetti jatuh pada generalisasi yang semena-mena tentang kodrat dan hakekat manusia? Jika ditanya begitu saya kira Canetti akan menjawab begini, ketiga orang itu memang memiliki karakter ganjil. Namun di balik keganjilan tersebut, kita bisa melihat dorongan alamiah yang ada di dalam diri setiap orang, yakni dorongan untuk menyelamatkan diri. Di dalam peradaban modern, dorongan untuk menyelamatkan diri ini seolah menjadi jinak, karena dimediasi oleh institusi hukum modern.[14] Masyarakat modern beroperasi dengan pengandaian dasar, bahwa setiap orang bisa mempercayai setiap orang. Dan dengan kepercayaan yang bersifat kolektif tersebut, setiap orang diuntungkan. Artinya setiap orang berhasil menyelamatkan dirinya. Institusi modern dianggap mampu mengangkat naluri purba manusia ke level yang lebih beradab, dan dengan demikian menguntungkan semua pihak yang terlibat.[15] Namun ini semua tidak menutupi fakta gamblang, bahwa institusi modern tak selalu berhasil meredam gejolak naluri primitif manusia.

Canetti curiga pada institusi. Bahkan menurut Robertson pandangan Canetti tentang hidup sosial amatlah suram. Dalam arti ini hidup sosial, menurut Canetti, adalah “situasi di mana satu orang memberikan perintah pada orang lainnya.”[16] Situasi ini mirip dengan kehidupan dunia hewan, di mana mangsa melarikan diri, karena takut akan dimangsa oleh hewan lain yang lebih kuat. Di dalam kehidupan sosial, setiap perintah yang diberikan oleh penguasa, entah itu bos ataupun penguasa politik, selalu didukung oleh ancaman yang tersembunyi di belakangnya. Ancaman yang paling mengerikan, tentu saja, adalah ancaman akan kematian dan pembunuhan. Sebagaimana dicatat oleh Robertson, Canetti berpendapat, bahwa setiap bentuk bentuk perintah terdiri dari dua aspek. Aspek pertama adalah momen, ketika si penerima perintah dipaksa untuk patuh. Aspek kedua adalah ancaman menusuk yang mendukung dan tersembunyi di balik perintah tersebut.[17] Dalam arti ini ketika setiap perintah dipatuhi, peristiwa tidak selesai. Si penerima dan pelaksana perintah selalu memendam dengki di dalam hatinya, karena merasa dianggap lebih rendah. Dengki ini adalah potensi bagi tindak pemberontakan. Namun potensi semacam ini tidak selalu menjadi realitas nyata.

Rasa dengki ketika terpaksa menerima perintah paling terlihat di dalam keluarga. Anak dipaksa untuk patuh pada perintah orang tua dengan beragam ancaman yang tersembunyi di balik perintah tersebut. Dalam arti ini tak berlebihan jika dikatakan, bahwa keluarga adalah rumah bagi trio penyiksa manusia, yakni perintah, paksaan, dan dengki. Pada titik ini Canetti, sebagaimana ditafsirkan oleh Robertson, mulai meneliti tentang fenomena pembantaian massal yang marak ditemukan pada abad ke-20, baik dalam bentuk kamp konsentrasi, maupun pembunuhan massal. Seperti yang banyak dicatat oleh ahli sejarah, terutama di Indonesia, pelaku pembantaian massal seringkali bukanlah orang yang faktual jahat dan kejam, melainkan orang-orang biasa. Orang-orang biasa inilah yang, menurut Canetti, mampu menerima perintah untuk membantai, sekaligus mampu menahan rasa dengki yang berkecamuk di hatinya. Rasa dengki itu tidak semata ditahan, melainkan disalurkan untuk membantai musuhnya, atau dengan kata lain, dengan menjalankan perintah yang diberikan. Pada akhirnya si orang biasa melakukan pembantaian massal terhadap manusia lainnya, dan tetap tidak terganggu hati nuraninya, karena ia telah melaksanakan perintah, merasa dengki, dan menyalurkan dengki itu dengan membunuh.[18] Ia tetap menjadi orang biasa.

Setiap orang punya kuasa. Dan logika kekuasaan tetaplah sama sejak jaman purba, bahwa apa yang saya rebut dan dapatkan merupakan kerugian dari pihak lain. Dengan logika yang bersifat hewani inilah, menurut Canetti, masyarakat manusia terbentuk. Masyarakat bukanlah komunitas moral maupun keutamaan, melainkan sekumpulan massa yang diperintah oleh satu diktum, entah itu diktum itu terlihat jelas, atau tersembunyi di balik mekanisme-mekanisme yang lebih rumit. Analogi untuk itu adalah massa peziarah di Mekkah yang menantikan tanda dan sabda dari Allah yang diimaninya. Allah adalah pemberi diktum. Sementara manusia adalah hamba yang mesti patuh, atau terkena hukuman yang menyiksa dirinya. Dari sini kita bisa menyimpulkan, bahwa Canetti melihat manusia, dan segala ciptaannya, sebagai entitas yang kelam dan suram di satu sisi, namun amat variatif di sisi lain.

Seperti sudah disinggung sebelumnya, Canetti berpendapat, bahwa kekuatan manusia sudah tercetak di dalam struktur tubuhnya, yakni di dalam bentuk organ yang dimiliki manusia secara alamiah. Dengan kekuatannya manusia menciptakan peran yang amat alamiah, yakni peran pemangsa dan mangsanya. Inilah esensi dari kehidupan sosial, menurut Canetti. “Kehidupan sosial”, demikian tulis Robertson tentang Canetti, “hanyalah penunda dari permusuhan manusia.”[19] Pandangan ini tidak semata keluar dari spekulasinya, melainkan dari penelitian yang dilakukannya selama bertahun-tahun tentang kehidupan sosial yang ada di berbagai peradaban manusia, dulu maupun sekarang.

Dalam arti ini dapatlah dikatakan, bahwa Canetti adalah seorang pemikir yang berhasil melepaskan diri dari pola berpikir Eurosentrik, yakni melihat dan menilai seluruh peradaban dunia dengan menggunakan standar yang ada di Eropa. Di sisi lain seperti dicatat oleh Robertson, Canetti juga berhasil melepaskan diri dari pola pikir, bahwa apa yang primitif itu tidak berguna, maka tak perlu dipelajari. Justru di dalam berbagai analisisnya, ia berhasil mendapatkan pemahaman yang amat mendalam dan alamiah tentang manusia dengan melihat bagaimana manusia hidup dan bersikap di dalam peradaban primitif. Menarik jika kita mencermati catatan yang dibuat Robertson tentang Canetti, “Dengan membuka mekanisme kerja kekuatan dan kekuasaan di berbagai kebudayaan yang berbeda, analisisnya membuka semacam kesamaan. Canetti menyatakan bahwa ia berhasil menunjukkan kepada kita tentang substansi yang keras kepala dari kodrat manusia.”[20] Dengan kata lain melalui pengamatannya terhadap kehidupan binatang dan suku-sukur primitif di berbagai kebudayaan dunia, Canetti berhasil menemukan hakekat terdalam dari manusia.

Buku Canetti berjudul Crowds and Power, yang berarti Massa dan Kekuasaan. Dalam arti ini kekuasaan berarti kekuatan yang dimiliki oleh setiap individu dengan tubuh dan kodratnya, bukan semata kekuasaan politik maupun ekonomi. Sebelumnya kita sudah melihat pendapatnya soal kekuasaan. Lalu bagaimana dengan massa? Bagi Canetti massa amat terkait dengan mekanisme kekuasaan yang berlangsung. Dalam arti ini massa justru merupakan penyeimbang dari kekuasaan, dalam arti yang mengubah kekuasaan menjadi harapan.[21] Sebelum masuk untuk mendalami argumen ini, ada baiknya kita melihat dulu beragam teori tentang massa yang telah ada sebelum Canetti menulis bukunya. Para filsuf sudah lama tertarik untuk mendalami fenomena massa. Di dalam berbagai peperangan sampai dengan revolusi modern, peran massa amatlah menonjol dan penting. Coba simak penyerbuan penjara Bastille pada saat Revolusi Perancis, atau pertempuran berdarah antara tentara Belanda-Inggris dengan rakyat Surabaya pada 1945.

Salah satu pemikir yang banyak diacu, ketika berbicara tentang massa adalah Gustave Le Bon. Baginya ketika bersatu dengan massa, orang kehilangan rasionalitas, dan kembali menjadi manusia “purba” yang tak punya pertimbangan kritis ataupun rasional atas apa yang terjadi. Ketika tergabung dengan massa, orang kehilangan kepribadiannya, menyatu dengan massa, dan seolah menjadi tak beradab. Orang seperti terhipnotis dan berubah menjadi kejam, tak mampu berpikir mandiri, dan mudah terbawa arus.[22] Mereka seolah turun ke tingkat evolusi yang lebih rendah, serta berperilaku seperti binatang dan orang biadab. Di dalam masyarakat modern, di mana akal budi menjadi aturan utama, munculnya massa adalah simbol dari penurunan kualitas keberadaban dari suatu masyarakat.[23]

Di dalam bukunya yang berjudul Group Psychology and The Analysis of Ego, yang diterbitkan pada 1959, Sigmund Freud, yang banyak dikenal sebagai bapak psikoanalisis, mencoba menerapkan pemikiran Le Bon pada analisisnya tentang psikologi kepemimpinan. Bagi Freud setiap anggota massa selalu memiliki pemimpin, dan ikatan di antara mereka adalah ikatan libidinal, dalam arti anggota massa mencintai dan menginginkan cinta pemimpinnya, namun tak mendapatkannya.[24] Sang pemimpin menyadari ini, dan mempermainkan perasaan itu. Salah satu bentuk permainan perasaan yang dilakukannya adalah dengan membuat anggota massa merasa senasib sepenanggungan satu sama lain. “Massa”, demikian tulis Robertson tentang Canetti, “dengan demikian mewakili kemunduran kepada struktur emosional dari suku primitif, di mana sekumpulan orang bersatu karena keterikatan ambivalen dengan ayah mereka.”[25] Dalam arti ini dapatlah dikatakan, sebagaimana dinyatakan oleh Freud, bahwa karya Le Bon tidak hanya menggambarkan tentang apa itu massa, tetapi juga menjelaskan tentang cara-cara untuk memanipulasi massa.

Pemikiran Le Bon dan Freud tentang massa nantinya akan amat mempengaruhi Canetti. Bagi Canetti sendiri massa tidaklah muncul begitu saja, melainkan bertumbuh secara perlahan. Awalnya ada kumpulan orang, yang biasanya terdiri dari 12-15 orang. Mereka tidak berkumpul secara acak, melainkan memiliki satu tujuan yang sama, misalnya untuk bermain golf, berburu di hutan sebagai rekreasi, dan sebagainya. Namun sebagaimana dicatat Robertson, kumpulan orang, menurut Canetti, juga bisa merusak, misalnya untuk tawuran antar pelajar, tawuran antar suporter sepak bola, dan sebagainya. Ia mengamati sesuatu yang menarik di dalam fenomena kumpulan orang, yakni bahwa kumpulan orang adalah bentuk paling purba dari masyarakat, dan seluruh anggotanya berperan sebagai orang-orang yang setara. Tidak ada pemimpin dan tidak ada yang dipimpin.[26]

Kumpulan lalu berkembang menjadi massa. Massa sendiri menurut Canetti lebih besar dan ikatan sosialnya jauh lebih longgar, daripada kumpulan. Namun keduanya memiliki kesamaan mendasar, yakni perasaan nikmat di dalam padatnya kerumunan orang. Di dalam massa menurut Canetti, orang-orang modern yang cenderung individualistik kehilangan individualitasnya, dan melebur menjadi tubuh kolektif. Di dalam massa orang dengan senang hati menyerahkan otonomi dirinya, ruang privatnya, dan ruang intimnya kepada kolektivitas. Di dalam bukunya Canetti, sebagaimana ditafsirkan oleh Robertson, menyatakan, bahwa manusia, pada dasarnya, takut untuk bersentuh dengan yang berbeda darinya, yang asing darinya.[27] Namun semua ketakutan itu lenyap, ketika manusia terhisap di dalam massa.

Massa juga memiliki beragam bentuk. Ada massa penonton sepak bola, massa penonton konser musik, massa yang menghancurkan toko-toko dan bangunan, serta massa yang panik, karena ada kebakaran, atau bencana alam. Namun menurut Canetti ada yang sama dari semua bentuk massa itu, yakni bahwa anggotanya selalu berdiri sebagai manusia-manusia yang setara, lepas dari tingkat ekonominya, sukunya, agamanya, ataupun status kebangsawanannya. Kesetaraan yang sejati tidak terletak di dalam pemerintahan demokrasi, namun di dalam fenomena massa. Inilah perbedaan Canetti dengan Le Bon dan Freud. Bagi Le Bon dan Freud, massa memiliki sosok pemimpin yang dianggap lebih tinggi dari anggota massa lainnya. Sementara bagi Canetti seperti sudah ditulis sebelumnya, massa tidak memiliki, dan tidak memerlukan, pimpinan.[28]

Bagi Canetti massa juga merupakan sebuah momen pembebasan dan pembaruan. Di dalam massa orang-orang yang di dalam kesehariannya menyendiri, atau dikucilkan dari masyarakat, dan orang-orang yang ditindas serta mengalami diskriminasi dari komunitasnya, akan menemukan kebebasan yang seutuhnya, yakni kebebasan primitif untuk menjadi bagian dari massa itu sendiri, untuk menjadi setara dengan orang-orang di sekitarnya.[29] Di sisi lain massa juga memiliki potensi revolusioner. Di dalam pemerintahan totaliter, massa adalah bentuk harapan untuk menjatuhkan penguasa totaliter tersebut, dan melahirkan tata politik yang baru. Setiap revolusi di dalam sejarah, baik itu revolusi damai ataupun berdarah, selalu melibatkan massa di dalamnya.

Dalam arti ini seperti dicatat oleh Robertson, ketika menafsirkan Canetti, massa adalah sesuatu yang ambivalen. Di satu sisi massa mampu menciptakan pembaruan. Di sisi lain massa mampu menciptakan kehancuran besar yang tak terduga.[30] Keduanya adalah suatu bentuk kekuatan. Oleh karena itu diperlukan suatu cara untuk mengendalikan massa, sehingga aspek destruktifnya bisa diatur. Menurut Canetti itulah tujuan dasar dari agama, yakni menjinakkan massa. Rupanya seperti dicatat oleh Robertson, ketika membicarakan soal hubungan antara massa dan agama, Canetti masih terpengaruh oleh Nietzsche dan Marx, yang melihat agama sebagai tanda kelemahan manusia, bahwa manusia memerlukan “pegangan” yang, walaupun rapuh, berguna untuk berjalan di ketidakpastian hidup.[31] Dengan ritual dan aturannya, agama berupaya membuat massa menjadi jinak, yakni dengan membuat anggota-anggota massa tersebut tunduk pada pimpinan agama terkait, seperti kambing tunduk pada gembalanya.[32]

Argumen Canetti adalah bahwa manusia bisa tergabung ke dalam massa, dan melakukan hal-hal yang tak mungkin dilakukannya sendirian, karena ia memiliki kodrat hewani di dalam dirinya. Kodrat hewani tersebut menurut Canetti juga tampak dalam kemampuan manusia untuk berubah. Untuk menggambarkan fenomena ini, ia mengambil contoh kehidupan suku primitif di Afrika. Mereka memiliki apa yang disebut sebagai kecerdasan tubuh, yang berguna untuk merasakan kedatangan orang ataupun binatang, bahkan sebelum binatang ataupun orang tersebut tampak oleh mata. Menurut Canetti orang dari suku primitif Afrika tersebut berubah menjadi mahluk lainnya yang memiliki kepekaan tinggi (bukan lagi manusia), tepat ketika ia menggunakan tubuhnya untuk merasakan kehadiran mahluk di sekitarnya.[33] Ia mengubah identitas dirinya, dan menjadi serupa dengan hewan.

Jadi manusia mampu mengubah dirinya. Ia mampu melepas identitas kemanusiaannya, dan menjadi sesuatu yang “lain”. Hal ini pula yang terjadi, ketika manusia terhisap ke dalam massa. Ia tidak lagi menjadi dirinya sendiri, melainkan menjadi sesuatu yang “lain” dari dirinya, yang menyerupai hewan. Canetti memperoleh pemahaman ini dengan membaca berbagai legenda yang terdapat di hampir semua peradaban manusia, seperti legenda Proteus yang mengubah dirinya untuk menghindari musuh-musuh yang hendak menangkapnya, atau pada agama-agama kuno yang yakin, bahwa seorang pendeta bisa mengubah dirinya menjadi “kendaraan dewa”, dan memiliki kesaktiannya.[34] Dengan kemampuan untuk berubah dan beradaptasi mengikuti lingkungannya, manusia memiliki kekuatan yang amat luar biasa untuk menyelamatkan dan mengembangkan dirinya. Itulah sebabnya mengapa negara dan agama berupaya menjinakkan kemampuan manusia untuk berubah, dan mengaturnya untuk kepentingan mereka.

Kontrol terhadap kemampuan manusia untuk berubah dilakukan oleh agama dan negara melalui penggunaan simbol-simbol. Simbol tersebut biasanya berupa gambar hewan, seperti pada dewa-dewa Mesir Kuno, atau gambar-gambar lainnya yang dianggap memiliki nilai mistik. Di dalam pemerintahan monarki absolut, raja, dengam simbol-simbol monarkinya yang terlihat agung dan megah, hendak menghipnotis warga, supaya mereka selalu dalam situasi mendua antara takut dan kagum terhadap penguasa. Lebih ekstrem dari ini, pemerintahan monarki absolut, atau bentuk pemerintahan totaliter lainnya, justru kerap kali memasung kemampuan manusia untuk berubah dengan mengubah warga negara menjadi budak. Hakekat dari status sebagai budak adalah orang yang dipaksa untuk mengerjakan satu hal selama berulang-ulang dengan cara yang seefisien mungkin, tanpa pernah ada pilihan dari pihaknya. Status sebagai budak memasung manusia pada satu bentuk, dan mencegahnya untuk berubah. Dalam hal ini seperti dicatat Robertson, Canetti amat setuju dengan argumen Marx,[35] bahwa di dalam masyarakat kapitalis industrial, manusia diubah menjadi semata “tangan”. Manusia dihargai oleh karena produktivitas kerjanya, dan bukan karena kemanusiaannya. Manusia diubah menjadi semata benda, dan dikunci disitu.[36]

Menurut Robertson buku Crowds and Power terdiri dari dua bentuk narasi. Di dalam kedua narasi tersebut, Canetti merumuskan teorinya tentang hakekat dari manusia. Seperti sudah dijelaskan sebelumnya, menurut Canetti, manusia adalah mahluk yang aktivitasnya amat dipengaruhi oleh faktor-faktor biologisnya. Bahkan dengan dorongan-dorongan biologis itu, manusia menciptakan masyarakat dan peradaban. Ia pun menambahkan bahwa peradaban manusia itu bergerak dengan hukum rimba, yakni siapa yang kuat, dialah yang memerintah dan menguasai segalanya. Ini berlaku untuk memahami era kekaisaran dan monarki absolut di masa lalu, maupun era kapitalisme sekarang ini, di mana para pemilik modal memandang buruh semata sebagai budak, yakni sebagai alat untuk meraup keuntungan. Terciptanya massa adalah suatu bentuk perlawanan terhadap semua bentuk kekuasaan totaliter semacam ini. Walaupun bersifat anarkis dan merusak, massa adalah simbol dari harapan akan perubahan tata sosial.[37]

Narasi kedua adalah tentang kemampuan manusia untuk berubah. Seperti ditunjukkan oleh Canetti, orang-orang primitif di Afrika memiliki kemampuan untuk merasakan kedatangan mahluk lain dari kejauhan. Mereka juga dapat mengubah dirinya untuk melindungi dirinya dari serangan ganas mahluk lain. Dengan kata lain manusia, menurut Canetti, adalah mahluk yang cair. Oleh sebab itu ia tidak akan pernah bisa dipasung sepenuhnya oleh kekuasaan, sekuat apapun kekuasaan itu. Setiap penguasa totaliter selalu menghendaki rakyatnya untuk patuh, dan tidak berubah. Sikap jinak dan patuh rakyat justru akan memperkuat kekuasaan pemimpin totaliter. Namun menurut Canetti manusia adalah mahluk yang dinamis. Maka manusia tidak akan pernah bisa sungguh dikuasai. Pada satu titik ia akan memberontak, dan pemberontakan itu biasanya dilakukan oleh manusia-manusia yang membentuk massa.

Maka massa hadir untuk menantang dan meredam kekuasaan totaliter. Dengan kemampuannya untuk berubah, manusia melepaskan diri dari cengkraman kekuasaan totaliter, dan membentuk massa untuk memberontak. Semua ini terjadi karena manusia memiliki kodrat hewani di dalam dirinya, yang membuatnya mampu berkumpul, merusak, dan mencipta peradaban sebagai massa. Dengan membaca buku Crowds and Power, menurut Robertson, kita disadarkan, bahwa kita, manusia, adalah mahluk yang bertubuh. Sama seperti hewan kita bisa merusak, dan bersikap kejam, jika diri kita terancam. Dengan melihat kehidupan manusia yang tersebar di berbagai peradaban, dan di pelbagian untaian waktu, Canetti mengajak kita untuk menyadari kodrat alamiah kita sebagai mahluk hidup yang tak jauh berbeda dengan mahluk-mahluk hidup lainnya, bahwa kita sama-sama berproses dengan hewan dan tumbuhan untuk bisa bertahan, dan berkembang di alam yang selalu tak pasti ini. Itulah kebijaksanaan yang ditawarkan oleh Canetti.[38]


[1] Seluruh bagian ini diinspirasikan dan diringkas dari http://kirjasto.sci.fi/ecanetti.htm (2 november 2011 jam 12.14)

[2] Dikutip dari Ibid. “The lowest form of survival is killing.”

[3] Pada bagian ini saya mengikuti uraian dari Robertson, Ritchie, “Canetti and Nietzsche”, dalam A Companion to the Works of Elias Canetti, Lorenz, Dagmar (ed), Camden House, New York, 2004, hal. 201-216.

[4] Ruse, Michael, Evolutionary Naturalism, Routledge, London, 1995, hal. 236.

[5] Robertson, Ritchie, “Canetti and Nietzsche”, hal. 201. “Darwinian naturalism is a grandiose attempt, in Nietzsche’s words, to translate man back into nature, to remove the idealistic scribblings that had disfigured the original text “homo natura.”

[6] Stamos, David, Darwin and the Nature of Species, State University of New York Press, New York, 2007, hal. x.

[7] Robertson, Ritchie, “Canetti and Nietzsche”, hal. 201. “The theory of evolution set out in The Origin of Species (1859) and explicitly applied to humanity in The Descent of Man (1871), though contested in its time, eventually pulled together many previous explorations of man’s place within the natural world and confirmed that man was to be understood not as divinely created but as a special kind of animal.”

[8] Ibid, hal. 203. “The basic gesture of power is killing one’s prey.”

[9] Ibid, hal. 204. “Laughter, in which we bare our teeth, is associated with food. Originally it expressed pleasure at the prospect of food; now it expresses our sense of power over a helpless beingwhom we could eat.”

[10] Newey, Glen, Hobbes and Leviathan, Routledge, London, 2008, hal. 57.

[11] Robertson, Ritchie, “Canetti and Nietzsche”, hal. 204. “According to Canetti’s account, indeed, we ought all to be cannibals, because to incorporate another person by eating him should be such a satisfying exercise of power.”

[12] Ibid, Canetti’s exploration of these cases is not only fascinating in itself but provides an indirect way of talking about Hitler, the paranoid despot who is scarcely ever named in Crowds and Power but makes his presence felt throughout.”

[13] Ibid, hal. 205. “For our purposes, the most interesting survivor described by Canetti is the Roman historian Josephus.”

[14] Sindhunata, Kambing Hitam, Gramedia, Jakarta, 2006.

[15] Robertson, Ritchie, “Canetti and Nietzsche”, hal. 206. “Social institutions depend on mutual trust. I need to assume that my spouse, my colleagues, my lawyer, my accountant, and so forth are normally going to deal honestly with me.

[16] Ibid, “As a fundamental relation between people, he posits the situation where one gives another an order.”

[17] Ibid, “The command has two parts: the momentum that forces the recipient to obey, and the sting that stays behind in him.”

[18] Ibid, hal. 207. “Having shown how the command structures family life as the transmis- sion of power, Canetti makes a yet more radical move by linking this trans- mission with one of the most agonizing problems thrown up by twentieth- century history: the problem of how ordinary people can commit atrocities. The only person who can receive a command without feeling its sting, Ca- netti says, is the executioner. The command he receives is to kill someone else. Hence the threat of death that underlies the command does not apply to him, for he can instantly divert it onto the person whom he kills. Hence, he kills with the good conscience of someone who is doing his duty.”

[19] Ibid, hal. 208. Social life is at best a suspension of hostilities”

[20] Ibid, “By disclosing the opera- tion of power in many different cultures, it produces a kind of simultaneity. Canetti professes to be showing us the stubborn substance of human nature.”

[21] Ibid, “For in the crowd Canetti sees a counterweight to the exercise of power and hence a curious kind of hope. His other source of hope is in transformation (Verwandlung), an elusive but crucial concept that emerges late in his trea- tise.”

[22] Ibid, “Le Bon maintains that the crowd mind resembles that of a hypnotized subject; that crowds are violent, fickle, incapable of reason, prone to collective hallucinations. In short, they display the qualities that are almost always observed in beings belonging to inferior forms of evolution, such as women, savages, and children.”

[23] Le Bon, Gustave, The Crowd, Dover Publications, New York, 1895, hal. 33.

[24] Neu, Jeromen (ed), Cambridge Companion to Freud, Cambridge University Press, Cambridge, 2006. hal. 276-277.

[25] Robertson, Ritchie, “Canetti and Nietzsche”, hal. 209. The crowd therefore represents a regression to the emotional structure of the supposed primal horde, in which a band of brothers were united by their ambivalent attachment to their father.”

[26] Ibid, hal. 210. In the pack, Canetti sees a basic social formation. Instead of the Nietzschean dyad of creditor and debtor, or Ca- netti’s dyad of commander and subordinate, we have here a formation in which all are equal. Even if different members of the pack have different functions, each one is indispensable, and they operate jointly, not under the direction of a leader.”

[27] Ibid, “At the outset of his book, Canetti draws attention to a widely shared feeling, the fear of being touched, which com- pels us to maintain our personal space and only allow our intimates to pene- trate it. In the crowd, we gladly surrender our personal space and merge into the mass.”

[28] Ibid, hal. 211. Crowds may come into being for many different purposes: to watch a spectacle, to attack or destroy, or to flee from a danger in collective panic. But whatever the purpose, every member of the crowd is equal. Here Canetti differs sharply from Le Bon and Freud, who thought that the crowd had to be kept in being by a leader.”

[29] Ibid, “The crowd can free the indi- vidual both from his gloomy isolation and from the zero-sum relations of power and subordination that otherwise form the structure of social life.”

[30] Ibid, “The crowd is of course ambivalent. It can bring renewal, and it can also bring destruction.”

[31] Wood, Allen, Karl Marx, Routledge, New York, 1981, hal. 14.

[32] Robertson, Ritchie, “Canetti and Nietzsche”, hal. 211. And for this reason many institutions try to tame the crowd: this has been the goal of all the great religions of the world. …in which the faithful are regarded as sheep and praised for their submissiveness. Some of his most memorable and persuasive passages, however, are phenomenologi- cal accounts of religious ceremonies: the mourning for Hussein at Karbala, which is central to Shi’a Islam, the “standing on Arafat” undertaken by pilgrims to Mecca, the descent of the Holy Fire in the Greek Chapel of the Sepulchre at Jerusalem, and the ritual of the Roman Catholic mass.”

[33] Ibid, hal. 212. In these transformations, the bushman becomes the other being, and feels the other’s sensations in his own body. But he does not become the other so entirely as to surrender his own iden- tity. He remains himself, and the transformations he experiences are “saube- re Verwandlungen”

[34] Ibid, hal. 213. Canetti discovers traces of transformation in many myths and ceremonies: in legends where beings like Proteus metamor- phose themselves in order to escape their captors; and in the belief that shamans transform themselves into other beings in order to enlist their aid.”

[35] Wood, Allen, Karl Marx,  hal. 130.

[36] Robertson, Ritchie, “Canetti and Nietzsche”, hal. 213. “For, in Canetti’s view, we transform a person into a slave as soon as we limit him to a single kind of work and oblige him to do as much as possi- ble in the least possible time: in other words, when we oblige him to be “productive.” Canetti’s polemical allusion here is to the division of labor in modern industrial society, which, as Marx charged, reduces workers from whole human beings to mere “hands,” valued only for their productivity. The political thrust of Masse und Macht is directed against capitalism as well as communism, liberalism as well as fascism.”

[37] Ibid, “The essential solitude of the individual reaches its extreme in the paranoid dictator. An uncertain hope lies in the periodical outbursts of the crowd, which, though anarchic and often destructive, liberates its members from solitude into coherence in a single mass, and from subjection to power into a state of equality.”

[38] Ibid, hal. 214. And since Canetti insists so much on bodily experiences of the crowd and of power, to read his book sympathetically is to gain an increased awareness of one’s body, and to be brought back to the bedrock of human nature and evolutionary continuity with other natural beings, that are among the presuppositions of Canetti’s Darwinian naturalism.”

Diterbitkan oleh

Reza A.A Wattimena

Pendiri Rumah Filsafat. Pengembang Teori Transformasi Kesadaran dan Teori Tipologi Agama. Peneliti di bidang Filsafat Politik, Filsafat Ilmu dan Kebijaksanaan Timur. Alumni Sekolah Tinggi Filsafat Driyarkara Jakarta, Doktor Filsafat dari Hochschule für Philosophie München, Philosophische Fakultät SJ München, Jerman. Beberapa karyanya: Menjadi Pemimpin Sejati (2012), Filsafat Anti Korupsi (2012), Tentang Manusia (2016), Filsafat dan Sains (2008), Zen dan Jalan Pembebasan (2017-2018), Melampaui Negara Hukum Klasik (2007), Demokrasi: Dasar dan Tantangannya (2016), Bahagia, Kenapa Tidak? (2015), Cosmopolitanism in International Relations (2018), Protopia Philosophia (2019), Memahami Hubungan Internasional Kontemporer (20019), Mendidik Manusia (2020), Untuk Semua yang Beragama (2020), Terjatuh Lalu Terbang (2020), Urban Zen (2021), Revolusi Pendidikan (2022), Filsafat untuk Kehidupan (2023), Teori Transformasi Kesadaran (2023), Teori Tipologi Agama (2023) dan berbagai karya lainnya. Rumah Filsafat kini bertopang pada Crowdfunding, yakni pendanaan dari publik yang terbuka luas dengan jumlah yang sebebasnya. Dana bisa ditransfer ke rekening pribadi saya: Rekening BCA (Bank Central Asia) 0885100231 atas nama Reza Alexander Antonius. Lebih lengkapnya lihat di https://rumahfilsafat.com/rumah-filsafat-dari-kita-untuk-kita-dan-oleh-kita-ajakan-untuk-bekerja-sama/

4 tanggapan untuk “Hakekat Massa Menurut Elias Canetti”

  1. Wonderful blog! Do you have any tips and hints for aspiring writers?
    I’m planning to start my own site soon but I’m a little lost on everything. Would you recommend starting with a free platform like WordPress or go for a paid option? There are so many options out there that I’m totally confused .. Any suggestions? Many thanks!

    Suka

  2. Thank you. Tips? Just observe your surroundings, and write about that in the most communicative way. Or you can specialize in one area, and write ferociously in that area. WordPress has domain. Mine is http://www.rumahfilsafat.com, and you can use another domain. Just consider WordPress or Blogspot. They both are great!

    Suka

Tinggalkan komentar

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.