Indonesia sebagai Negara Hukum Demokratis

Painting : Self Touch (Ivan Sagita - 1988) - National Gallery Of Indonesia  - Official website of Indonesia National GalleryOleh Reza A.A Wattimena

Sebagai sebuah komunitas politik, Indonesia lahir dari kesepakatan hukum yang mengikat. Ia menghubungkan ribuan pulau dengan beragam budaya dan agama. Ia adalah apa yang disebut ‘kesepakatan orang-orang yang terhormat’ (gentleman´s agreement). Ada dua hal yang menjadi dasar dari ikatan tersebut.

Yang pertama adalah kesamaan nasib sebagai bagian dari nusantara. Pengalaman sebagai bangsa terjajah juga menjadi dasar ikatan tersebut. Yang kedua adalah kesamaan tujuan, yakni mewujudkan masyarakat yang adil dan makmur untuk semua. Dengan bekerja sama, tujuan tersebut dianggap lebih mudah untuk dijangkau.

Para pendiri bangsa Indonesia, yang juga adalah para pemikir yang amat brilian pada masanya, memilih untuk mendirikan negara hukum demokratis. Bentuk negara ini dianggap lebih mampu mewujudkan tujuan keadilan dan kemakmuran untuk semua, jika dibandingkan dengan bentuk-bentuk negara lainnya, seperti monarki (kerajaan), teokrasi (negara agama) ataupun komunisme (pemerintahan dengan menggunakan dasar pemikiran Karl Marx dan Lenin). Indonesia sebagai negara hukum demokratis, dengan demikian, tidak lahir dari kekosongan. Menurut Trevor Robert Seaward Allan dari Universitas Cambridge, ada empat prinsip yang penting untuk terus diingat, ketika kita berbicara soal negara hukum demokratis.

Empat Prinsip Utama

Pertama, di dalam negara hukum demokratis, hukum adalah panglima. Semua warga negara harus taat pada hukum, tanpa kecuali. Jabatan, agama dan status sosial ekonomi tak memainkan peranan disini. Semua warga berdiri setara di hadapan hukum.

Kedua, negara hukum demokratis juga mampu menghindarkan negara dari tirani. Kekuasaan tidak boleh dipegang oleh satu orang ataupun satu kelompok secara mutlak. Kekuasaan adalah tugas yang diberikan oleh rakyat, dan harus dipertanggungjawabkan kepada rakyat juga. Negara hukum demokratis ditandai dengan kontrol kekuasaan oleh berbagai lembaga negara yang berdiri sama tinggi (eksekutif, legislatif dan yudikatif), sekaligus oleh rakyat secara langsung.

Ketiga, negara hukum demokratis berpijak pada konsep keadilan prosedural. Artinya, semua proses untuk merumuskan hukum dan kebijakan haruslah adil. Ia terbuka untuk kepentingan semua pihak yang nantinya akan terkena dampak dari hukum dan kebijakan yang ada. Kebijakan dan hukum tidak dibuat di dalam ruang-ruang rahasia, ataupun hanya menguntungkan sebagian pihak semata.

Keempat, di dalam negara hukum demokratis, martabat manusia adalah dasar utama. Manusia tidak boleh dikorbankan demi kepentingan lain, misalnya kepentingan bisnis ataupun politik sempit tertentu. Dengan martabatnya, manusia juga bebas untuk berpikir, berpendapat, memeluk agama sesuai nuraninya, dan hidup layak sebagai manusia. Keempat prinsip ini harus dilihat sebagai satu kesatuan utuh.

Cita-cita Keadilan

Negara hukum demokratis dilihat sebagai bentuk negara yang mampu mewujudkan keadilan dan kemakmuran untuk semua. Di dalam filsafat hukum, keadilan adalah cita-cita tertinggi. Ia tidak dapat sungguh diraih, namun bisa terus didekati. Kiranya benar pendapat Derrida, bahwa keadilan adalah sesuatu yang selalu lolos dari pelukan manusia.

Keadilan adalah suatu patahan dari peristiwa. Ia bersifat unik dan tak tergantikan. Ia selalu „belum sampai“, dan „belum terwujud“. Manusia selalu bisa mendekatinya, tanpa pernah bisa sungguh memilikinya.

Teori diskursus Habermas kiranya bisa berperan disini. Hanya hukum yang dirumuskan lewat proses diskusi yang bebas dan setara antara orang-orang yang nantinya terkena dampak dari hukum itulah yang layak disebut sebagai hukum. Prinsip ini amatlah penting, supaya hukum sungguh mencerminkan keadilan untuk semua, dan bukan keadilan untuk segelintir orang semata. Walaupun, keadilan yang didambakan tidak akan pernah terwujud di dalam kesempurnaannya.

Tantangan Bangsa

Paham Indonesia sebagai negara hukum demokratis haruslah terus digaungkan. Ia tidak boleh terlupakan oleh berbagai peristiwa yang mengalihkan perhatian. Pemahaman ini justru semakin teguh di tengah berbagai tantangan bangsa. Ada tiga hal kiranya yang patut diperhatikan.

Yang pertama adalah korupsi. Di tingkatnya yang sekarang, korupsi bisa menghancurkan bangsa. Kemiskinan dan perpecahan akan semakin besar, akibat korupsi yang tak terkendali. Korupsi terjadi dari pemerintah pusat sampai ke tingkat desa dan RT di Indonesia. Ini sungguh memprihatinkan.

Yang kedua adalah radikalisme agama yang berujung pada aksi terorisme. Indonesia sudah kenyang dengan ini semua. Kejadian yang terus berulang, yakni kelompok radikal Islam menyerang Gereja dan tempat publik dengan berpijak pada alasan agama yang sesat. Pemerintah dan masyarakat luas harus sungguh bergerak cepat untuk mengatasi ini semua, sehingga aksi terorisme bernapaskan agama Islam radikal (ataupun agama lainnya) tidak lagi terjadi.

Yang ketiga adalah tantangan untuk mitigasi bencana. Di dalam kehidupan, bencana alam kerap kali tak terhindarkan. Namun, kita bisa menciptakan infrastruktur yang memadai, ketika bencana tiba, sehingga kerusakannya tidak besar. Berbagai bentuk bencana, mulai dari banjir, gempa bumi, tsunami sampai dengan pandemik, harus dianalisis dan ditanggapi seefektif serta seefisien mungkin.

Tentu saja, perbedaan pendapat pasti akan terjadi. Ketidaksetujuan adalah bagian dari kehidupan. Di dalam ranah negara hukum demokratis, perbedaan pendapat dijembatani secara resmi dan terhormat melalui berbagai bentuk media, perwakilan rakyat dan demonstrasi damai. Semua ini haruslah digunakan, supaya perbedaan pendapat tidak berujung pada perpecahan dan konflik yang akan menghancurkan bangsa.

Di dalam peliknya masalah, kita cenderung lupa akan siapa diri kita sebenarnya. Ini kerap terjadi pada bangsa Indonesia. Justru di tengah badai tantangan, identitas kita sebagai negara hukum demokratis harus diingat dan diperkuat. Prinsip-prinsip diperdalam dan diterapkan dengan efektif serta efisien. Hanya dengan begini, bangsa Indonesia bisa melampaui segala tantangan yang ada, dan mencapai tujuan utamanya, yakni menciptakan keadilan dan kemakmuran untuk semua, tanpa kecuali.

Gambar dari Ivan Sagita

Iklan

Diterbitkan oleh

Reza A.A Wattimena

Pendiri Rumah Filsafat. Peneliti di bidang Filsafat Politik, Filsafat Ilmu dan Kebijaksanaan Timur. Alumni Sekolah Tinggi Filsafat Driyarkara Jakarta, Doktor Filsafat dari Hochschule für Philosophie München, Philosophische Fakultät SJ München, Jerman. Beberapa karyanya: Menjadi Pemimpin Sejati (2012), Filsafat Anti Korupsi (2012), Tentang Manusia (2016), Filsafat dan Sains (2008), Zen dan Jalan Pembebasan (2017-2018), Melampaui Negara Hukum Klasik (2007), Demokrasi: Dasar dan Tantangannya (2016), Bahagia, Kenapa Tidak? (2015), Cosmopolitanism in International Relations (2018), Protopia Philosophia (2019), Memahami Hubungan Internasional Kontemporer (20019), Mendidik Manusia (2020), Untuk Semua yang Beragama (2020), Terjatuh Lalu Terbang (2020), Urban Zen (2021), Revolusi Pendidikan (2022), Filsafat untuk Kehidupan (2023), Teori Transformasi Kesadaran (2023) dan berbagai karya lainnya.

2 tanggapan untuk “Indonesia sebagai Negara Hukum Demokratis”

Tinggalkan Balasan

Isikan data di bawah atau klik salah satu ikon untuk log in:

Logo WordPress.com

You are commenting using your WordPress.com account. Logout /  Ubah )

Foto Facebook

You are commenting using your Facebook account. Logout /  Ubah )

Connecting to %s

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.