
Oleh Reza A.A Wattimena
Saya punya hobi baru, yakni berkeliling Jakarta di malam hari, bahkan sampai subuh. Tenang, saya bukan Batman. Saya tidak berburu penjahat di malam hari. Saya hanya menikmati sejuk dan indahnya kota masa kecil saya di malam hari.
Saya mengendarai motor, dan kerap berjumpa dengan tukang pompa ban. Biasanya, mereka sedang tidur, atau melamun. Lalu, saya kagetkan, karena saya mau menambah angin ban. Percakapan kami pun dimulai.
Ia bercerita, bahwa ia bekerja 24 jam. Namun, banyak waktunya habis untuk menunggu. Ia pun tiduran, melamun atau main ponsel cerdas. Ia hidup dalam banyak jeda, walaupun tetap bekerja.
Jeda, Korona dan Akal Sehat
Tampaknya, si tukang pompa ban tidak sendirian. Dunia sedang mengalami hal serupa. Mereka hidup dalam jeda, karena (dugaan) pandemik yang aneh, namun tetap bekerja. Tidak hanya itu, banyak keluarga yang harus mendidik anaknya di rumah, sambil tetap sibuk bekerja.
Saya sendiri heran, mengapa masa jeda ini diberlakukan? Bahwa virus Korona berbahaya, itu sudah pasti. Namun, data tersebarnya penyakit dan korban yang meninggal amatlah kecil di seluruh dunia. Korban juga meninggal bukan karena Korona, tetapi karena penyakit yang sudah ada sebelumnya. Bukankah ini hal biasa bagian dari gerak alami hidup manusia?
Mengapa kita ribut sekali? Di Indonesia saja, kematian akibat demam berdarah dengue jauh lebih besar. Namun, penyakit ini hampir tak pernah disebut. Ada yang aneh dari pandemik kali ini.
Apakah ada kepentingan media dan politik terselubung? Apakah ada kepentingan untuk menghancurkan ekonomi dunia, dan menciptakan kekacauan global? Mungkin saja. Tapi, nanti saya disebut penganut teori konspirasi, seperti tulisan Fidelis Waton (kebetulan teman baik saya, sewaktu kuliah di Jerman) di harian Kompas beberapa hari lalu.
Mengikuti sarannya, saya menggunakan pemikiran kritis, rasional dan logis untuk memahami ini. Namun, pandemik kali ini amat aneh. Data-datanya tak memuaskan akal sehat. Saya, dan kita semua, seperti dipermainkan.
Bijaksana di saat Jeda
Apapun alasannya, kita dipaksa untuk jeda. Ada jeda karena diputus kerja, atau jeda, karena harus terjebak di rumah. Apa yang bisa diperbuat di dalam keadaan semacam ini? Ada tiga hal yang kiranya penting untuk diperhatikan.
Pertama, jeda adalah masa terbaik untuk mengenali, siapa diri kita sebenarnya. Dengan kata lain, jeda adalah saat terbaik untuk mengembangkan kesadaran yang ada di dalam diri kita. Hidup sadar adalah hidup yang meditatif, yakni hidup sesuai dengan jati diri kita yang asli. Orang lalu memperoleh ketenangan dan kejernihan yang dibutuhkannya.
Caranya adalah dengan kembali ke keadaan batin, sebelum pikiran (before thinking) muncul. Ketika melakukan sesuatu, kita melakukannya dengan penuh kesadaran. Just do it, lakukan saja semuanya secara utuh dan penuh. Maka, kejernihan dan ketenangan akan muncul, dan kita bisa bertindak sesuai dengan keadaan.
Dua, saat jeda adalah saat untuk melakukan hal yang berbeda. Saat jeda adalah saat untuk menjadi orang yang berbeda. Secara sadar, kita memilih untuk mengubah kebiasaan yang ada. Kita membuat rencana yang berbeda, atau hidup dengan cara yang berbeda.
Saya pribadi sedang menulis buku yang berbeda dari biasanya. Saya menulis buku tentang Yesus, tokoh inti dalam agama Kristen. Namun, saya melihat pengaruh ajaran Buddha, Yoga dan Vedanta pada pemikiran Yesus. Saya juga melihat kaitan erat antara ajaran Yesus dengan tradisi Sufi dalam Islam.
Dalam keadaan biasa, saya menghindari menulis hal semacam ini. Namun, ini saatnya untuk berbeda. Saat jeda membuat saya mengambil arah yang berbeda pula. Kita lihat saja, buah apa yang lahir dari masa “dipaksa jeda” ini.
Saya juga sedang mendalami aliran Yoga yang berbeda dari biasanya. Saya melakukannya secara rutin, yakni tiga hari sekali. Badan segar, dan pikiran tajam. Jam tidur dan keinginan makan juga jauh berkurang. Asik bukan?
Tiga, saat jeda adalah saat untuk berbenah batin. Pada masa biasa, sakit hati dan kecewa kita alihkan dengan belanja, jalan-jalan, nongkrong atau bahkan memakai narkoba. Namun, itu semua hampir tak mungkin sekarang ini. Berbenah batin adalah menyadari keadaan batin kita yang selama ini diabaikan, yakni keadaan batin yang penuh kecewa, trauma dan depresi.
Ini adalah hal yang amat penting untuk kesehatan mental. Jika tak pernah disadari, keadaan batin yang menyakitkan akan menghantui kita seumur hidup. Ia juga akan mempengaruhi mutu hidup kita secara keseluruhan. Jika menumpuk dan dibiarkan membusuk, dampaknya bisa menyentuh fisik dalam bentuk sakit kronis, seperti kanker, jantung, autoimun atau diabetes.
Melampaui Tantangan
Ini semua tak mudah dilakukan. Masa jeda memiliki tantangan yang juga berbeda. Bahkan, tantangan yang sebelumnya tak ada kini berkunjung di depan rumah. Ada dua hal yang penting untuk dilihat.
Pertama, masa jeda dikepung dengan rasa bosan. Sudah tak terhitung lagi keluhan bosan yang saya baca di berbagai media sosial. Orang tak biasa untuk berdiam diri. Orang tak biasa untuk duduk, dan sekedar menikmati hidup sebagaimana adanya.
Dua, masa jeda memaksa kita untuk hidup bersama keluarga. Ini tak selalu mengundang bahagia. Keluarga bisa menjadi sumber derita yang amat besar. Tak heran, secara global, tingkat kekerasan dalam rumah tangga dan perceraian meningkat pesat di masa “dipaksa jeda” ini.
Dua tantangan ini dapat dihadapi, jika kita tak panik. Kita tak bersikap berlebihan pada keadaan yang terjadi. Kita tak membuat hal-hal kecil menjadi besar. Ini menjadi mungkin, jika kita memiliki hidup yang meditatif (sudah dijelaskan sebelumnya).
Hidup yang meditatif tak menyelesaikan semua masalah. Namun, ia bisa mengurangi banyak derita yang tak bermakna. Ia membuat kita sadar atas apa yang terjadi di dalam diri. Ia juga membuat sadar atas apa yang telah kita lakukan.
Pada akhirnya, masa jeda tak harus menjadi sumber nestapa. Masa jeda tak harus menjadi momok yang menyiksa jiwa. Sebaliknya, masa jeda bisa menjadi titik perubahan arah hidup kita. Ia bisa menjadi air mancur pencipta hidup yang bijaksana. Selamat “dipaksa jeda”!
Saya sangat senang dan merasa tenang membaca renungan dan pemikiran “Bijaksana saat Dipaksa Jeda” Bapak Wattimena, teruslah menulis dan kirim ke email saya, akan saya baca terus.
SukaSuka
sebetulnya tulisan diatas adalah “sesuatu” yg saya jalan i. tapi toch tidak bisa diterangkan dgn kata2. die nähe zum gott und jesus über das sprirituelle leben wieder zu finden. wie nah jesus lehre zum sufismus ist. alles in einem. hier spüren wir,wie die einheit, die zugehörigkeit, die abhängigkeit in allumfassend.
schon anfänglich mit dem wahrnehmen zum reifenflicker, ist für mich eine sehr wohltuende geste, sehr bereichend !!
gern möchte ich hier erwähnen.
wir hören den ganzen tag, die ganze zeit meisten die gleiche information (über medien , usw).
irgendwann glauben wir wirklich, dass diese informationen nur die ganze wahrheit und nur die wahrheit, aber ist das wirklich die ganze reale wahrheit ????
mich erinnert an die werbung von coca cola zu jederzeit und überall, bis wir schliesslich wirklich glauben, coca cola schmeckt und qualitative gut.
wir erleben , dass das leben wirklich grenzenlos ist, schon bei einem ganz einfachen gespräch oder bei unverhofften begegnungen.
weiter so, vielen dank !!
SukaSuka
Bagus sekali
Saya sampai membaca ulang artikel ini disini saya menangkap makna bahwa kita dituntut dewasa dalam menyikapi setiap permasalahan terutama pada saat ini
SukaSuka
Menunggu buku yang ditulis pada mas ‘terpaksa jeda’ dan juga cara Yoga yang berbeda
SukaSuka
Terima kasih Pak Reza,
Saya suka dengan kalimat “Buah apa yang lahir dari masa dipaksa jeda ini” 🙂
Nggak sabar ingin segera baca buku yang berbeda ini.
SukaSuka
Keren
SukaSuka
Halo Mas Reza. Di mana saya bisa membeli buku Zen yg Anda Tulis?
SukaSuka
Apakah Korona adalah hasil pekerjaan para insinyur untuk senjata biologis Pak? Tetapi, apabila demikian, bagaimana kita bisa memastikan, bahwa keadaan semacam ini bukan sejenis perang dunia? Apakah seluruh media di dunia bisa membungkam apabila hal tersebut adalah yang terjadi? Saya tak paham Pak.
Pak Reza, maukah Bapak menjelaskan sedikit tentang apakah yang disebut sebagai antinomi, kalau tak salah saya lihat istilah ini dari Immanuel Kant. Maaf Pak saya banyak bertanya. Dan terima kasih banyak ya Pak untuk artikelnya.
SukaSuka
Terima kasih ya.
SukaSuka
Viele Dank fuer die Auffassung. Ich stimme Dir zu. Wir leben in einer Zeit, wo die Medien eine grosse Angst fuer das Leben schaffen. Die Motivation ist immer gleich, sie brauchen Geld und Anerkennung. Medien werden auch das Instrument von der dunklen Politik. Es schafft viele Probleme und Angst
SukaSuka
Terima kasih.. semoga terbantu ya
SukaSuka
Wah.. saya belum ada rencana menulis tema itu. Coba di youtube deh: Simha Kriya dari Sadhguru
SukaSuka
hehehe.. terima kasih
SukaSuka
HAlo mas.. coba ini https://rumahfilsafat.com/2020/03/24/zen-dan-seni-keluar-dari-penderitaan-hidup/
SukaSuka
Saya kurang tahu tentang Korona. Teori konspirasi banyak. Tapi, kita harus tetap berpijak pada data dan akal sehat. Yang pasti, pandemik Korona ini polanya sangat aneh, terutama terkait dengan kebijakan pemerintah. Media-media besar memang kerap tunduk pada penguasa politik. Mereka harus dibaca dengan kritis.
Antinomi Kant adalah upaya akal budi untuk memahami dunia, namun jatuh ke dalam kontradiksi. Artinya, akal kita tidak sungguh mampu memahami dunia, termasuk Tuhan, Alam dan Kebebasan. Ketiganya hanya bisa dilihat sebagai dasar pengetahuan, dan bukan isi pengetahuan itu sendiri.
SukaSuka
Terima kasih pak. R. A. Wattimena. Saya senang membaca setiap artikelmu.
Tetap semangat dalam kasih-Nya.
Selamat menjelajahi dunia melalui pena
SukaSuka
Terima kasih… Salam hangat
SukaSuka