Zen Itu “Telanjang”

Surreal Composite Photos by Luisa Azevedo

Oleh Reza A.A Wattimena

Peneliti, Tinggal di Jakarta

Zen itu memang “telanjang”. Sebagai salah satu aliran di dalam filsafat Timur, Zen memang sangat unik. Ia “telanjang” (bebas) dari berbagai kata, konsep, ritual dan aturan, yang banyak sekali ditemukan, tidak hanya di aliran lain dalam filsafat Timur, tetapi juga di dalam agama dan tradisi yang lain. Zen adalah pengalaman langsung dengan kenyataan sebagaimana adanya, sebelum segala konsep, kata, aturan dan ritual tercipta.

Pengalaman Zen menunjuk langsung ke inti pikiran kita sebagai manusia. Inti pikiran ini sejatinya kosong. Ia seperti ruang hampa luas yang bisa menampung segalanya, tanpa kecuali. Penderitaan pun bisa ditampung, tanpa halangan.

Ini juga sejalan dengan temuan terbaru di bidang astrofisika. Kurang lebih 95 persen dari seluruh tata alam semesta yang ada, termasuk di dalamnya jutaan bintang, ribuan galaksi dan jutaan planet, adalah ruang kosong (empty space). Dari ruang kosong inilah lahir segala yang ada. Pada satu ketika, semuanya pun akan kembali ke ruang kosong tersebut.

Dengan menunjuk ke inti pikiran kita sebagai manusia, Zen juga mengajak kita semua untuk memahami jati diri kita yang asli (true self). Jati diri asli ini terletak sebelum segala identitas sosial yang diberikan oleh keluarga ataupun masyarakat kita. Ia adalah kesadaran murni (pure awareness) yang terletak di balik segala pikiran dan emosi yang muncul. Jika kita paham dan mengalami langsung jati diri asli ini, maka kita akan bebas dari kelekatan terhadap pikiran dan emosi yang muncul. Pendek kata, kita terbebas dari penderitaan hidup.

Sebagai pengalaman, hubungan antara guru dan murid Zen ditandai dengan transmisi antar pikiran. Ini seperti dua sahabat yang sudah saling mengerti satu sama lain, walaupun tidak ada kata dan konsep yang disampaikan. Komunikasi tertinggi memang dilakukan dalam hening. Justru, kata dan konsep yang terlalu banyak akan menciptakan salah paham.

Zen itu telanjang, karena ia telanjang dari segala kelekatan. Kelekatan terhadap barang materi, pikiran dan emosi adalah sumber dari penderitaan. Ketika itu semua dilepas, orang akan langsung merasakan kebebasan. Bahkan, Zen itu sendiri harus dilepas, supaya orang sungguh bisa mengalami jati diri sejatinya yang berada sebelum segala bentuk konsep dan pikiran.

Setelah itu, pertanyaan yang mesti kita ajukan adalah, “Apa yang bisa saya lakukan, guna membuat lingkunganku menjadi lebih baik?” Dengan pertanyaan ini, kelekatan terhadap kekosongan pun dilepas. Orang kembali ke masyarakat untuk berkarya demi kebaikan bersama. Ia membawa kejernihan sekaligus bebas dari semua kelekatan di dalam karyanya.

Ia pun bisa menggunakan konsep, kata, pikiran, emosi maupun barang-barang materi di dalam karyanya dengan jernih dan bebas. Ritual dan aturan pun digunakan seperlunya untuk menolong semua mahluk. Semua itu dilakukan untuk mewujudkan kebaikan bersama.

Jadi, apalagi yang kita tunggu?

 

 

 

 

 

 

 

 

 

Diterbitkan oleh

Reza A.A Wattimena

Peneliti di bidang Filsafat Politik, Filsafat Ilmu dan Kebijaksanaan Timur. Alumni Sekolah Tinggi Filsafat Driyarkara Jakarta, Doktor Filsafat dari Hochschule für Philosophie München, Philosophische Fakultät SJ München, Jerman. Beberapa karyanya: Menjadi Pemimpin Sejati (2012), Filsafat Anti Korupsi (2012), Tentang Manusia (2016), Filsafat dan Sains (2008), Zen dan Jalan Pembebasan (2017-2018), Melampaui Negara Hukum Klasik (2007), Demokrasi: Dasar dan Tantangannya (2016), Bahagia, Kenapa Tidak? (2015), Cosmopolitanism in International Relations (2018), Protopia Philosophia (2019), Memahami Hubungan Internasional Kontemporer (20019), Mendidik Manusia (2020), Untuk Semua yang Beragama (2020), Terjatuh Lalu Terbang (2020), Urban Zen (2021), Revolusi Pendidikan (2022) dan berbagai karya lainnya.

11 tanggapan untuk “Zen Itu “Telanjang””

  1. tertulis diatas “zen itu telanjang”. karya diatas tertulis dengan begitu jelas dan sederhana, “undangan untuk menikmati hidup dan mencapai nirwana” !!
    “telanjang ,tapi begitu dahsyat”, mana bisa ?? untuk mengalami nya hanya tercapai dengan menjalaninya. perkataan “yakin, percaya/kepercayaan” hilang dan tidak terpakai, tidak bermakna / berfungsi.
    bisa juga dibilang “beriman tapi tidak beragama”. saya terbahak , ada salah pemikiran :” tidak beragama berarti komunis, harus dibasmi habis2an”.
    “gegen dummheit kämpfen die götter vergeblich” !!
    banyak salam !

    Suka

  2. Good thinking bung reza. Sekedar sharing pada kawan2 akan zen, bahwa diri kita sendiri a.k.a ego itu sebenarnya tidak ada, namun sayangnya ketika ego itu sirna maka akan terlihat diri sendiri menyembul ke permukaan. Jadi zen bisa dikatakan lebih dari suatu ilmu, karena itu adalah proses. Mohon diralat bung jika ada salah dalam pemikiran maupun penyampaiannya. Filsafat itu indah.
    Salam hangat, terima kasih.

    Suka

Tinggalkan Balasan

Isikan data di bawah atau klik salah satu ikon untuk log in:

Logo WordPress.com

You are commenting using your WordPress.com account. Logout /  Ubah )

Gambar Twitter

You are commenting using your Twitter account. Logout /  Ubah )

Foto Facebook

You are commenting using your Facebook account. Logout /  Ubah )

Connecting to %s

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.