
Oleh Mochtar Naim, Kompas, 27 Juni 2011
Ketika otonomi diberikan kepada daerah-daerah, kita semua mengharapkan agar penyakit korupsi, kolusi, dan nepotisme yang selama ini berjangkit di pusat tak menjalar ke daerah-daerah.
Ternyata dengan otonomi, bagaimana di pusat begitu juga di daerah. Dengan berjalannya waktu, Indonesia sekarang ini telah termasuk ke dalam kelompok negara terkorup di dunia. Jika tidak ada tindakan drastis yang dilakukan, masa depan Indonesia akan makin suram, dan bisa saja berakibat fatal.
Di mana pangkal penyebab dari semua ini? Kendati kompleks, permasalahannya relatif sederhana.
Dengan kita menganut asas demokrasi seperti yang kita salin dari Barat itu, mestinya kita meninggalkan semua apa pun yang bertentangan dengan itu. Namun, kenyataannya kita masih terlalu sayang dengan adat budaya kita sendiri yang kita warisi dari nenek-moyang, yang jelas-jelas bertentangan dengan demokrasi itu.
Dengan demokrasi, mestinya kita memperlakukan sama semua warga negara, dan sama di muka hukum. Tetapi karena kita tetap menjunjung tinggi budaya leluhur yang jelas-jelas feodal, otoriter, etatik, dan sentripetal, maka demokrasi hanya menjadi ”pemanis bibir” yang isi sesungguhnya tetap budaya lama yang itu-itu juga. Orang sana bilang, ”The old wine in the new bottle,” anggur tua di botol baru.
Masih gelap
Kita tidak melihat bahwa sejauh ini akan ada perubahan yang berarti, sekurangnya bagi generasi yang sedang berkuasa sekarang ini. Presiden demi presiden dan kabinet demi kabinet telah silih berganti. Sejak zaman Soekarno, ke Soeharto, ke Habibie, lalu ke Gus Dur, ke Megawati, dan bersalin ke SBY sekarang ini.
Sejauh ini tidak terlihat ada tanda-tanda perubahan fundamental, struktural, dan sistemik yang akan terjadi. Tampaknya, akar persoalannya karena tidak ada yang sampai hati membuang jauh warisan nenek moyang itu walau jelas-jelas berseberangan dengan prinsip demokrasi-egaliter yang dituangkan ke dalam butir-butir Pancasila, UUD 1945, dan sebagainya.
Kita, melalui sekolah, mengharapkan generasi muda sekarang terbuka matanya untuk melihat yang baik-baik dari luar, dan dari diri sendiri. Tapi itu pun tak segera terlihat kecuali melalui gonjang-ganjing demonstrasi yang umumnya urakan. Kita tidak membaca ada pemikiran-pemikiran cemerlang dari generasi muda kita. Mereka seolah-olah sedang luluh dengan dunia mereka sendiri.
Sisi lain tentu saja adalah bahwa kita selama ini lebih banyak ditentukan daripada menentukan. Kita jadi obyek kekuatan raksasa multinasional yang menguasai ekonomi dunia dan ekonomi Tanah Air kita sendiri, yang dasarnya adalah kapitalistik, pasar bebas, dan pengisapan.
Lihatlah pembangunan ekonomi kita. Di darat, laut, dan udara, adakah kita yang menguasai dan menentukan, ataukah mereka? Kelompok warga konglomerat di negeri ini tak sampai 5 persen (berbanding 40 persen di Malaysia ), tetapi merekalah yang menguasai jentera ekonomi, industri dan perdagangan Indonesia dari hulu ke muara.
Ini pun kaitannya adalah dengan budaya leluhur kita sendiri yang menjauhkan diri dari usaha bertungkus-lumus di bidang ekonomi, industri dan perdagangan, yang menganggapnya sebagai ora becik dan penuh kecurangan. Kita lalu rela menyerahkan semua kepada sedulur tuwa kita itu. Dan, beginilah kita jadinya.
Mochtar Naim Sosiolog
budaya leluhur kita sendiri yang menjauhkan diri dari usaha bertungkus-lumus di bidang ekonomi, industri dan perdagangan, yang menganggapnya sebagai ora becik dan penuh kecurangan. Kita lalu rela menyerahkan semua kepada sedulur tuwa kita itu. Dan, beginilah kita jadinya ( budaya leluhur yang mana?) Jangan jangan tidak bisa membaca pesan dalam botol Dari budaya leluhur ?
SukaSuka