Bangsa kita kembali jatuh ke lubang yang sama. Seolah kita tak pernah belajar dari apa yang pernah ada. Beragam masalah mulai dari korupsi (Nazaruddin yang tetap tak jelas), kemiskinan (yang bisa kita lihat sehari-hari), hancurnya moral publik (kasus Desa Gadel, Surabaya), dan tiadanya penghargaan terhadap martabat manusia (kasus TKI) adalah cerita lama yang berpola sama dari yang sebelumnya.
Kita tak belajar dari “yang lalu”, karena kita takut untuk mengingat. “Yang lalu yang baik” kita terima dan banggakan. Sementara “yang lalu yang mengecewakan”, kita lupakan. Ingatan kita pun terbelah tak seimbang. Pelajaran yang kita terima pun hanya sebelah, dan tak bertahan.
“Yang lalu yang mengecewakan” harus menjadi bagian dari ingatan kita. Pelbagai korupsi, kehancuran moral publik, bahkan sampai pembantaian massal haruslah menjadi obyek refleksi bangsa. Hanya dengan begitu kita bisa sungguh menerima kebijaksanaan, walaupun menyakitkan, dari apa yang pernah ada. Hanya dengan begitu kita tidak terus jatuh pada lubang yang sama.
Ingatan
Apa “yang lalu” terekam dalam ingatan. Ia menyelinap ke dalam benak, membentuk pola, dan mempengaruhi tindakan. Semua orang mengalami ini, tanpa kecuali.
Ini berlaku untuk level individual, maupun kolektif. Di dalam masyarakat ingatan akan peristiwa lampau tetap ada, namun tersembunyi di balik keseharian. “Yang buruk” maupun “yang baik”, keduanya ada berdampingan. Keduanya tak terpisahkan.
Keduanya membentuk “saya”. Keduanya adalah identitas yang menentukan jati diri seorang manusia. Di level masyarakat kolektif, “yang baik” dan “yang buruk” di masa lalu membentuk identitas masyarakat itu. Yang diakui akan tampil dalam bentuk monumen maupun peringatan bersama. Yang tak diakui akan menyelinap ke dalam benak kolektif, dan menjadi anomali yang melahirkan perilaku tak biasa; inilah trauma.
Beban
Yang lalu juga kerap menjadi beban. Keberhasilan di masa lalu menjadi ukuran bagi masa sekarang. Jika tak mampu mengulang, maka perasaan tak mampu dan menyesal akan tampil ke depan. Nostalgia akan masa lalu yang gemilang membawa beban yang tak bisa diletakkan.
“Yang lalu namun yang mengecewakan” juga kerap menjadi beban. Yang lahir dari pola ini adalah rasa bersalah, dendam, maupun penyesalan. “Yang lalu dan mengecewakan” menghantui masa kini dan masa depan. Orang memilih untuk lupa, namun ia tak akan pernah bisa sungguh melupakan.
Di hadapan masa lalu, orang terjebak antara penyesalan dan beban. “Yang indah dan berhasil” di masa lalu diusahakan untuk diulang. Tuntutan untuk mengulang menciptakan tekanan. “Yang lalu namun gagal” akan menciptakan dendam dan penyesalan. Tuntutan untuk melupakan dan melahirkan yang baru juga adalah tekanan yang mencekam.
Pelajaran
Namun yang lalu juga bisa menjadi pelajaran. “Yang lalu yang berhasil” akan menjadi contoh bagi kita tindakan kita ke depan. Namun penyesuaian tetap diperlukan. Tak ada dua peristiwa yang sama; yang ada peristiwa-peristiwa tunggal yang berpola, namun tak sama.
“Yang lalu yang mencekam” juga bisa menjadi pelajaran. Ia adalah cambukan yang memaksa orang tak mengulangi yang mengecewakan. Ia adalah peringatan bagi orang untuk memulai yang sama sekali baru di masa depan. “Yang lalu yang mencekam” adalah pelajaran terpenting manusia untuk sampai pada kebijaksanaan.
Orang tak bisa memilih, apakah ia ingin mengingat atau melupakan. Orang juga tak bisa memilih, apakah ia ingin menyimpan “yang lalu yang berhasil”, atau melepaskan “yang lalu yang mencekam”. Ia memperoleh semuanya tanpa pilihan. Inilah kutukan sekaligus berkat bagi manusia yang mengarungi kehidupan.
Kehidupan
“Yang lalu” perlu untuk menjadi teman. Orang tak perlu –dan tak bisa- lari darinya, dan menciptakan kenyamanan yang penuh kepalsuan. Orang perlu berkata, “Hai masa laluku, baik yang baik maupun yang kelam.” Yang lalu adalah teman untuk berbagi di dalam mengarungi kehidupan.
Hal yang sama berlaku bagi sebuah bangsa. Sebagai bangsa, Indonesia perlu melihat masa lalunya, dan berkata, “Halo masa laluku (kami) yang baik dan yang kelam. Apa kabarmu?” Mengingat adalah menerima dan menerima adalah proses perlahan untuk menjadi bijaksana. Sebuah bangsa belajar dengan mengingat dan menerima, lalu mengolahnya secara kritis menjadi nilai-nilai luhur yang memandu geraknya.
Belajar dari masa lalu adalah hal yang paling berharga, supaya kita tak selalu mengulang kesalahan yang sama, supaya kita tak selalu jatuh pada lubang yang sama. Yang lalu adalah sekolah kehidupan yang membuat kita semakin bijaksana. Merenungkan dan menyerap sari-sari masa lalu adalah investasi yang paling berharga. Ini berlaku untuk individu maupun untuk bangsa. Yang lalu adalah “saya”. Yang lalu adalah “Indonesia”. Yang lalu adalah “kita”…
Penulis adalah Dosen Fakultas Filsafat UNIKA Widya Mandala, Surabaya