
Oleh Reza A.A Wattimena
(Seluruh kerangka analisis tulisan ini diinspirasikan dari Martin James, The Jesuit Guide to (Almost) Everthing, Harper Collins, New York, 2010, hal. 183-185. Saya mengembangkan analisis Martin tersebut untuk konteks masyarakat kita.)
Kita hidup dalam masyarakat yang amat individualistik. Setiap orang mengejar kepentingan pribadinya, dan seolah tak terlalu peduli dengan kepentingan bersama. Kita hidup dalam masyarakat yang amat kompetitif; setiap orang mengurus dirinya sendiri, titik.
Memang mengejar kepentingan pribadi juga tidak salah. Bahkan dapat dengan lugas dikatakan, bahwa pengejaran kepentingan pribadi adalah esensi dari kapitalisme. Dan kita semua tahu, kapitalisme, lepas dari segala kekurangannya, adalah sistem terbaik yang dikenal umat manusia dalam hal produksi dan distribusi barang maupun jasa.
Namun ada bahaya besar yang tertanam di dalam kapitalisme, yakni orang menjadi fokus melulu pada pemenuhan kebutuhan dirinya semata, dan menjadi tak peduli dengan keluarga, teman, ataupun masyarakat sekitarnya.
Kita sering merasa gelisah hidup di masyarakat seperti itu. Banyak orang tetapi selalu merasa sendiri. Lalu kita pun mengobati kegelisahan maupun kecemasan itu dengan membeli barang; dengan mengonsumsi.
Kekosongan di dalam hati kita isi dengan barang. Padahal kita juga bisa mengisinya dengan menciptakan hubungan yang bermakna dengan orang lain. Namun kita lupa itu. Di sisi lain upaya mengisi hati dengan barang ini sangatlah sehat untuk industri pemasaran maupun periklanan. Tujuan industri ini adalah untuk menciptakan keinginan akan barang-barang.
Pada akhirnya semua situasi ini menciptakan kelompok-kelompok di masyarakat. Yang satu lebih tinggi daripada yang lain. Kita hidup dalam masyarakat seperti ini.
Kita memperlihatkan status diri kita dengan simbol-simbol tertentu, seperti titel pekerjaan, jumlah barang-barang yang dimiliki, baju yang dipakai, dan sebagainya. Kualitas kita sebagai pribadi dilihat dari seberapa banyak barang yang kita punya, dan apa pekerjaan kita.
Tak heran di dalam masyarakat kita, soal gaji adalah soal yang paling sensitif. Bahkan mendiskusikan soal gaji adalah sesuatu yang amat tabu. Karena dengan mengetahui gaji seseorang, kita bisa tahu level mereka di masyarakat. Kita bisa tahu berapa “harganya” sebagai manusia.
Jika kita mengetahui gaji seseorang, kita bisa langsung melihatnya dengan kaca mata yang baru. Jika gajinya lebih rendah dari kita, maka kita langsung melihatnya sebagai orang yang levelnya di bawah kita. Jika gajinya lebih besar, maka kita akan cemburu, dan bahkan melihat diri kita lebih rendah dari pada dia.
Kita bisa berbicara macam-macam dengan sahabat kita. Tetapi soal gaji kita pasti menolak membicarakannya. Itulah tabu masyarakat konsumtif. Itulah kita.
Tanpa sadar kita melihat diri kita juga dengan cara ini. Kita melihat dan menilai diri kita dengan jumlah gaji, pekerjaan, jumlah barang yang dimiliki, ataupun produktivitas kita. Tentu saja saya amat sadar, bahwa orang perlu bekerja dalam hidupnya. Namun jika kita hanya melihat diri kita dengan kriteria-kriteria ini, maka kita hanya akan menjadi “human doing”, dan bukan human being.
Jika kita gagal mendapatkan pekerjaan dengan gaji yang layak, atau hanya memiliki sedikit barang, maka kita merasa rendah diri. Lalu kita pun memacu diri untuk bekerja, bahkan di luar batas-batas manusiawi.
Kita hidup dalam masyarakat yang berbentuk piramid. Pada level tertinggi adalah orang-orang yang kita anggap hebat, seperti para selebritis, orang-orang kaya, dan sebagainya. Sementara di level terendah ada para pecundang, yakni para pengangguran, pengungsi, dan gelandangan.
Dengan pola pikir seperti ini, kita mengabaikan orang-orang miskin. Bagi kita mereka adalah perusak sistem dan tatanan yang indah. Mereka mengingatkan kita betapa bobroknya sistem yang kita punya. Kita juga takut kalau menjadi miskin, seperti mereka.
Semua pikiran ini membuat kita semakin terpacu untuk bekerja, dan menjauhkan diri dari orang-orang miskin itu. Pokoknya jangan sampai saya menjadi seperti mereka. Amit-amit!
Sekali lagi kita hidup dalam masyarakat seperti ini. Semuanya adalah kompetisi. Tak berlebihan jika dikatakan, bahwa kompetisi adalah daya dorong di balik semua kehidupan sosial. Kita tidak bisa hidup nyaman, karena selalu ada dalam situasi kompetisi. Kita merasa terancam kalau ada orang yang lebih berhasil daripada kita.
Gore Vidal pernah menulis begini, “Tidak cukup kalau kita hanya sukses. Orang lain mesti gagal!” Saya merasa betapa benarnya ungkapan itu.
Memang harus diakui tidak semua orang yang berkompetisi adalah orang yang jahat dan rakus. Namun juga harus diakui pula, bahwa orang-orang yang paling suci sekalipun juga dipaksa untuk berlomba dan mengalahkan. Mereka juga dipaksa oleh keadaan untuk berubah menjadi ganas dan rakus. Apakah masyarakat semacam ini yang kita inginkan?
Di dalam kompetisi tidak semua orang bisa berhasil. Mereka yang berhasil ingin mempertahankan posisi, terutama dengan tetap menahan orang-orang yang gagal supaya tetap gagal. Dalam arti ini kekuasaan seringkali digunakan untuk mempertahankan situasi yang ada, di mana orang-orang yang gagal tetap diupayakan bodoh dan miskin, serta orang-orang yang berhasil tetap kaya dan berkuasa.
Segala upaya dilakukan untuk mempertahankan situasi piramid yang tidak adil ini. Pendidikan, hukum, ekonomi, budaya, dan bahkan seni ditujukan untuk melestarikan sistem yang tak adil tersebut. Pada akhirnya masyarakat pun pecah.
Kompetisi melahirkan kecurigaan dan kegelisahan. Kompetisi mencegah adanya kerja sama dengan pihak-pihak yang berbeda. Dan terlebih kompetisi melahirkan kesepian. Kita hidup di masyarakat seperti itu. Itulah “kita”. 2011….
Penulis adalah Manusia