Aku Tak Berpikir, maka Aku Ada

wordpress.com

Oleh Bre Redana

Makin tak berpikir, makin lempang jalan. Pelibatan mendalam pada proses kehidupan, termasuk di dalamnya pelibatan proses pemikiran, makin tersingkir oleh segala hal yang sifatnya praktis, teknis, bersifat seketika. Orang kian malas berpikir.

Kalau mau film laku, bikin film yang tak usah berpikir. Makin berpikir, makin tak laku. Itu diucapkan teman yang beberapa kali membiayai pembuatan film—dimaksudkan sebagai film bermutu—akhirnya menjadi film kurang laku. Kalah oleh film-film hantu, kuntilanak, pocong dengan segala versinya dari yang keramas sampai kesurupan. Sudah hantu, kesurupan pula.

Anda silakan memaparkan sendiri indikasi-indikasi gejala keengganan berpikir itu. Museum-museum dan gedung-gedung tua di Indonesia merana. Dalam kondisi demikian, yang ditampilkan oleh televisi kemudian bukan paparan nilai kebudayaan dan historis situs-situs itu, melainkan hantu-hantu yang bergentayangan di dalamnya. Penjaga dan juru kunci diwawancarai pernah melihat apa saja. Diajak pelacak, yang bersedia kesurupan. Mengaum-ngaum seperti harimau. Menggelikan dan menyedihkan. Lanjutkan membaca Aku Tak Berpikir, maka Aku Ada

Kita (2011)

wordpress.com

Oleh Reza A.A Wattimena

(Seluruh kerangka analisis tulisan ini diinspirasikan dari Martin James, The Jesuit Guide to (Almost) Everthing, Harper Collins, New York, 2010, hal. 183-185. Saya mengembangkan analisis Martin tersebut untuk konteks masyarakat kita.)

Kita hidup dalam masyarakat yang amat individualistik. Setiap orang mengejar kepentingan pribadinya, dan seolah tak terlalu peduli dengan kepentingan bersama. Kita hidup dalam masyarakat yang amat kompetitif; setiap orang mengurus dirinya sendiri, titik.

Memang mengejar kepentingan pribadi juga tidak salah. Bahkan dapat dengan lugas dikatakan, bahwa pengejaran kepentingan pribadi adalah esensi dari kapitalisme. Dan kita semua tahu, kapitalisme, lepas dari segala kekurangannya, adalah sistem terbaik yang dikenal umat manusia dalam hal produksi dan distribusi barang maupun jasa. Lanjutkan membaca Kita (2011)