
Oleh Reza A.A Wattimena
Apa yang orang Jerman lakukan, ketika mereka menyaksikan banyak orang Yahudi digiring ke kamp-kamp konsentrasi pada waktu perang dunia kedua? Mereka menonton. Ya, mereka adalah penonton.
Apa yang dilakukan oleh orang-orang Yahudi, ketika mereka melihat Yesus disalib? Sama.. mereka juga menonton. Mereka juga adalah penonton.
Apa yang orang-orang Indonesia lakukan, ketika mereka melihat banyak orang-orang tak bersalah ditangkap, lalu dibunuh begitu saja, sewaktu ramai pembantaian kaum PKI oleh militer pada dekade 1960-an? Kita menonton.
Pembiaran
Menonton berarti membiarkan. Kita menonton berarti kita juga membiarkan, bahkan ketika terjadi hal-hal yang amat buruk di depan mata kita. Kita menolak untuk ambil bagian. Kita memilih kenikmatan palsu dengan menjadi pengamat yang mau main aman.
Itulah yang terjadi di Indonesia. Kita membiarkan. Kita adalah bangsa yang membiarkan. Kita adalah bangsa yang menolak untuk ambil bagian. Mayoritas warga Indonesia adalah orang-orang yang memilih kenikmatan palsu dengan bermain aman di dalam setiap langkah hidupnya.
Pembiaran akan berubah menjadi kebiasaan, ketika kita melakukannya tanpa henti. Pembiaran akan menjadi karakter, ketika itu ditempa terus menerus di dalam setiap langkah hidup. Tanpa sadar karena terlena dengan bermain aman dan membiarkan, bangsa kita bubar.
Takut
Biasanya orang membiarkan karena ia takut. Ia takut hancur jika ikut campur. Padahal ia tahu bahwa ia patut ikut campur untuk mengubah keadaan yang buruk menjadi lebih baik. Ia menjadi kepompong pengecut, dan memilih bermain aman.
Di Indonesia kita menemukan banyak orang seperti ini. Mereka takut. Padahal mereka tahu bahwa mereka harus mengatakan sesuatu, atau berbuat sesuatu untuk mengubah keadaan. Mereka memilih untuk menjadi pengecut di tengah situasi genting. Tak heran hal-hal buruk terus terjadi di bangsa kita, seolah tanpa kritik ataupun perlawanan berarti.
Tapi mau sampai kapan? Ketika orang-orang benar takut, orang jahat berkuasa. Yang diperlukan untuk orang-orang jahat untuk berkuasa adalah, ketika orang benar bermain aman, diam, dan bersembunyi di balik kepompong pengecutnya. Hanya itu. Tak lebih.
Prinsip
Bisa juga para penonton adalah orang-orang yang tak punya prinsip. Mereka bukan orang pengecut. Mereka hanya orang-orang yang tak tahu. Mereka tak tahu bahwa mereka harus ikut campur, terutama ketika keadaan salah.
Inilah yang terjadi di Indonesia. Orang belajar banyak tetapi tidak bisa mengambil prinsip hidup darinya. Orang menjadi tukang yang tak paham esensi, bahkan ketika ia telah menjadi ahli. Para guru hanya mengajarkan alat, tetapi lupa menularkan semangat yang mencipta alat itu pada awalnya.
Pola pendidikan kita harus diubah. Pendidikan tidak hanya menularkan ilmu, tetapi juga mencipta semangat, dan membangun prinsip hidup. Jika sudah begitu mungkin kita tidak lagi puas jadi penonton semata, tetapi mulai bergerak menjadi pelaku.
Menyesal
Menyesal pasti belakangan. Itulah nasib para penonton; menyesal. Mereka tak mengira bahwa bermain aman akan berakhir pada kehancuran. Mereka tak menyangka bahwa diam bisa berarti ikut melenyapkan.
Bangsa Jerman sampai sekarang masih menyesal soal hadirnya Hitler, dan pembantaian yang dilakukannya. Beragam monumen dibuat untuk memberikan pelajaran, supaya peristiwa gelap di masa lalu tidak lagi terjadi. Banyak negara lain juga melakukan hal yang sama.
Supaya jangan menyesal kita perlu aktif. Kita tidak boleh hanya menjadi penonton yang suka main aman, entah karena takut, atau tak punya prinsip. Kita harus ambil bagian, sekecil apapun, walaupun selalu ada resiko menanti. Jangan sampai menyesal nantinya.
Mempertaruhkan Hidup
Kata Schelling; hidup yang tak pernah dipertaruhkan tidak akan pernah dimenangkan. Saya setuju sekali perkataan itu. Mempertaruhkan hidup berarti orang siap selalu mengambil bagian, walaupun banyak resiko menanti. Ia mempertaruhkan hidup, supaya bisa memenangkannya.
Dalam arti nyata mempertaruhkan hidup berarti ikut serta mewujudkan dunia yang lebih baik, sedapat mungkin lebih baik untuk semua orang, bukan hanya teman dekat, atau kelompok kita. Di dalam proses banyak masalah menanti. Sering pula putus asa datang melanda. Sering pula kesepian menjadi teman setia.
Dunia memang panggung sandiwara. Tetapi kita bukan hanya penonton di dalamnya, tetapi juga pemainnya. Hal ini perlu disadari secara seksama. Karena hanya dengan menjadi aktorlah kehidupan ini layak dijalani. Ya.. hanya dengan menjadi aktor… bukan penonton.***
Penulis adalah Dosen Filsafat Politik, Fakultas Filsafat UNIKA Widya Mandala Surabaya
I like this! Masyarakat penonton merasa dirinya raja, karena tinggal menonton dan tertawa. Mereka baru menyesal setelah sadar bahwa uang yang mereka serahkan untuk membeli tiket menonton ternyata tak hanya sia-sia, bahkan merugikan.
Dalam dunia hiburan, ini mungkin paling parah adalah kerugian karena tiket mahal. Tapi dalam hidup, resiko kerugian menjadi penonton bisa jadi sangat amat besar ketika tontonan yang ditampilkan adalah tragedi besar.
SukaSuka
Ya. Saya setuju dengan pendapatmu James. Menjadi penonton dan membiarkan diri bermain aman amat berbahaya untuk kita semua, karena taruhannya adalah moralitas masyarakat itu sendiri. Ketika tindak membunuh dibiarkan, bukankah itu tinggal beberapa langkah lagi, sebelum membunuh menjadi sesuatu yang biasa, dan bahkan dianjurkan?
SukaSuka
Betul sekali. Kita sering membiarkan, karena yang kita tonton adalah sebuah situasi yang tidak berakibat pada kita. Kita membiarkan pembunuhan, karena bukan kita yang dibunuh. Lain kalau kita korbannya. Ini namanya moral hazard. Padahal, pembiaran itu memperbesar kemungkinan kitalah sasaran berikutnya.
SukaSuka
Ya. Saya setuju denganmu James. Saya jadi teringat kutipan kuno:
“Kita tidak peduli ketika tetangga kita ditangkap. Kita tidak peduli ketika teman kita ditangkap. Kita tidak peduli ketika warga desa sebelah ditangkap. Dan juga tidak ada yang peduli pada akhirnya, ketika kita ditangkap.”
Kita memerlukan empati; kemampuan untuk merasakan penderitaan orang lain dari sudut pandang pihak yang mengalami. Tapi entah gimana nilai empati ini tampak vakum dari pendidikan masyarakat kita, baik formal maupun informal.
SukaSuka
Sepertinya budaya menonton pada bangsa kita ini sudah membudaya dan mengakar, sampai kita sendiri tidak sadar bahwa kita ini adalah penonton, penonton yang seharusnya tidak cuma menonton
SukaSuka
Memang budaya “penonton” ini harus diubah, dan mulai menjadi pelaku yang aktif terlibat.
SukaSuka