Ketika derita menyengat kuat, sebuah karya pasti lahir. Begitulah yang diyakini para artis sekaligus pekerja kreatif seluruh dunia. Beberapa artis dan pemikir besar, Hemingway, Nietzsche bahkan Michaelangelo, mengalami masa-masa depresif yang cukup panjang dalam hidupnya. Di akhir hidupnya, Nietzsche bahkan sudah kehilangan kewarasannya.
Berbagai penelitian juga menunjukkan, ada kaitan cukup erat antara derita depresi dengan lahirnya sebuah karya kreatif. Ini juga berlaku di berbagai bidang karya kreatif, mulai dari penulis, pematung, musisi dan sebagainya. Mengapa ini terjadi? Apakah ini tak terhindarkan? Lanjutkan membaca Karya dan Derita
Kreativitas adalah hal alami yang dimiliki manusia. Semua orang mempunyainya, tak ada perkecualian. Lihatlah bagaimana kreatifnya seorang anak kecil. Jika ada waktu luang, mereka langsung menciptakan sesuatu, entah dengan tangan, tubuh maupun pikirannya.
Walaupun alami, kreativitas membutuhkan tempat untuk berkembang. Ia membutuhkan budaya tertentu, supaya bisa mendorong terciptanya hal-hal baru yang berguna untuk kehidupan. Budaya ini adalah budaya kebebasan berpikir dan berpendapat. Di dalamnya terdapat orang-orang yang tak takut untuk memikirkan hal-hal baru, guna melampaui beragam tantangan kehidupan. Lanjutkan membaca Kreativitas yang Masih Dinanti
Dosen di Unika Widya Mandala Surabaya, sedang di München, Jerman
Apakah ada yang baru di atas muka bumi ini? Pertanyaan ini tentu tidak berlebihan, jika kita hidup dalam suatu tata dunia, dimana kreativitas dan inovasi mendorong perkembangan ekonomi, yang berarti juga terkait dengan kualitas hidup banyak orang. Tanpa inovasi dan kreativitas, ekonomi tidak akan berkembang. Itu artinya, semakin banyak orang hidup terjebak di bawah garis kemiskinan.
Ide Baru Kreativitas
Di dalam presentasi singkatnya dengan judul Embrace The Mix pada 2012 lalu, Kirby Ferguson mencoba merumuskan pandangan baru tentang arti dari kreativitas. Ia mengambil contoh dari dunia musik, terutama terkait dengan penyanyi AS terkenal, Bob Dylan. Menurutnya, yang terjadi sekarang adalah, “bagaimana hal baru diciptakan dari hal lama. Tekniknya ada tiga: kopi, ubah, dan gabungkan.”
Inilah yang disebut sebagai teknik Remix (menggabungkan ulang). Jika anda membuat lagu, gampang caranya. Pertama, anda kopi dari lagu yang sudah ada. Lalu, ada belah dan ubah susunan dari lagu itu. Setelah itu, anda gabungkan lagi potongan-potongan lagu itu sesuai dengan selera anda. Anda pun memiliki lagu baru! Namun, lagu baru tersebut tidaklah datang langit sebagai inspirasi murni, melainkan berpijak pada lagu lama yang sudah ada sebelumnya. Lanjutkan membaca Kopi, Ubah dan Gabungkan!
Dosen di Fakultas Filsafat Unika Widya Mandala Surabaya, sedang di München, Jerman
Pendidikan kita di Indonesia memang dipenuhi dengan mitos, yakni pemahaman yang salah atas kenyataan kehidupan. Pertama, anak-anak berlomba untuk masuk jurusan IPA, atau ilmu alam, walaupun mereka tidak memiliki ketertarikan, apalagi bakat, dalam bidang itu. Tentu saja, pendidikan ilmu-ilmu alam amatlah penting. Akan tetapi, jelas, pendidikan semacam itu tidak cukup, karena hidup jauh lebih kaya dan rumit, daripada sekedar fakta-fakta matematis alamiah yang menjadi kajian ilmu-ilmu alam.
Sebaliknya, pendidikan perlu memberi kesempatan yang secukupnya untuk pelbagai bidang-bidang kehidupan lainnya yang juga amat penting, mulai dengan seni sampai dengan pendidikan olah raga. Ilmu pengetahuan adalah dunia yang amat luas dan kaya. Semuanya perlu diperkenalkan (bukan dikuasai!) kepada peserta didik, lalu mereka bisa memilih, bidang apa yang menjadi panggilan hidup mereka. Mitos, bahwa pendidikan ilmu-ilmu alam (bukan ilmu pasti, karena tidak ada ilmu pasti. Kalau itu pasti, maka itu pasti bukan ilmu, melainkan permainan saja) itu lebih tinggi, jelas harus ditinggalkan.
Metode Pendidikan
Kedua adalah soal metode, atau gaya mengajar, atau gaya penyampaian materi ajar. Peserta didik, terutama anak-anak, adalah mahluk yang amat dinamis. Tidak mungkin mereka diajak duduk berjam-jam, terkurung dalam ruang kelas yang seringkali tidak nyaman, dan melakukan pekerjaan yang hampir tidak membutuhkan kegiatan fisik apapun (hanya duduk dan menulis). Tak heran, banyak anak tak suka belajar, karena metode mengajar di kelas sama sekali tidak cocok dengan keadaan psikologis maupun fisik mereka. Mereka menjadi mahluk yang terasing di dalam dunia pendidikan. Lanjutkan membaca Pendidikan Manusia-manusia Kreatif
Orang benci para pengganggu (the disruptor). Namun penganggu itu bermata dua. Kehadirannya dibenci sekaligus dirindukan. Di tengah situasi penuh kompetisi, para pengganggu berharga bagaikan permata. Ide-ide mengalir tak terduga deras dari kepala dan tutur kata mereka.
Hal yang sama terjadi di dalam dunia bisnis-usaha. Ketika ada masalah mereka diajak untuk menganalisis situasi. Namun tak berhenti di situ; para pengganggu datang, menemukan anggapan-anggapan lama yang masih ada, dan membuatnya mati. Para penganggu adalah para pembunuh klise (pandangan umum). Lanjutkan membaca Pengganggu/Yang Tak Terduga
Jika orientasi pendidikan adalah untuk mencetak tenaga kerja guna kepentingan industri dan membentuk mentalitas pegawai—katakanlah hingga dua dekade ke depan—yang akan dihasilkan adalah jutaan calon penganggur.
Sekarang saja ada sekitar 750.000 lulusan program diploma dan sarjana yang menganggur. Jumlah penganggur itu akan makin membengkak jika ditambah jutaan siswa putus sekolah dari tingkat SD hingga SLTA. Tercatat, sejak 2002, jumlah mereka yang putus sekolah itu rata- rata lebih dari 1,5 juta siswa setiap tahun. Dalam ”kalimat lain”, ada sekitar 50 juta anak Indonesia yang tak mendapatkan layanan pendidikan di jenjangnya. Lanjutkan membaca Berhentilah Sekolah Sebelum Terlambat!
Negara yang telah kehilangan sensibilitasnya terhadap sastra adalah negara yang tengah menegasikan potensinya sendiri dalam hal menumbuhkembangkan kreativitas dan otentisitas.
Sudah menjadi aksioma, persaingan ekonomi dan industri pada abad ke-21 berbasis inovasi. Sementara inovasi itu sendiri berpijak pada kreativitas dan otentisitas. Tanpa inovasi, mustahil daya saing ekonomi dan industri dapat diwujudkan. Begitu pun tanpa kreativitas dan otentisitas, mustahil inovasi dapat digelorakan. Sementara tak dapat dielakkan, sastra merupakan lahan subur tumbuhnya ”pohon” kreativitas dan otentisitas.
Sudah lebih dari cukup berbagai penjelasan menyebutkan, negara-negara berteknologi maju dewasa ini adalah negara dengan warisan (legacy) sastra. Hampir tidak ada negara maju kini miskin karya sastra. Bahkan sebuah negara mampu beranjak maju tatkala elemen ekonomi dan industri negara tersebut mampu mereguk ilham dari narasi-narasi sastra. Lanjutkan membaca Inspirasi dari Harian Kompas: Negara Tanpa Sastra