
Tentang Kreativitas
Oleh Reza A.A Wattimena
Dosen di Unika Widya Mandala Surabaya, sedang di München, Jerman
Apakah ada yang baru di atas muka bumi ini? Pertanyaan ini tentu tidak berlebihan, jika kita hidup dalam suatu tata dunia, dimana kreativitas dan inovasi mendorong perkembangan ekonomi, yang berarti juga terkait dengan kualitas hidup banyak orang. Tanpa inovasi dan kreativitas, ekonomi tidak akan berkembang. Itu artinya, semakin banyak orang hidup terjebak di bawah garis kemiskinan.
Ide Baru Kreativitas
Di dalam presentasi singkatnya dengan judul Embrace The Mix pada 2012 lalu, Kirby Ferguson mencoba merumuskan pandangan baru tentang arti dari kreativitas. Ia mengambil contoh dari dunia musik, terutama terkait dengan penyanyi AS terkenal, Bob Dylan. Menurutnya, yang terjadi sekarang adalah, “bagaimana hal baru diciptakan dari hal lama. Tekniknya ada tiga: kopi, ubah, dan gabungkan.”
Inilah yang disebut sebagai teknik Remix (menggabungkan ulang). Jika anda membuat lagu, gampang caranya. Pertama, anda kopi dari lagu yang sudah ada. Lalu, ada belah dan ubah susunan dari lagu itu. Setelah itu, anda gabungkan lagi potongan-potongan lagu itu sesuai dengan selera anda. Anda pun memiliki lagu baru! Namun, lagu baru tersebut tidaklah datang langit sebagai inspirasi murni, melainkan berpijak pada lagu lama yang sudah ada sebelumnya.
Ferguson lalu menegaskan, bahwa pola ini tidak hanya ditemukan di dalam dunia musik, tetapi juga di berbagai bidang lainnya. Bahkan, remix, baginya, adalah inti utama dari kreativitas. “Saya pikir”, demikian katanya, “segala sesuatu adalah remix. Dan saya pikir, inilah cara yang lebih baik untuk memahami kreativitas.” Ia juga menunjukkan, bagaimana hampir semua lagu Bob Dylan memiliki nada maupun syair yang mirip dengan lagu-lagu lama di AS.
“Bob Dylan”, demikian kata Ferguson, “seperti semua penyanyi, ia mengkopi nada, ia mengubahnya, ia menggabungkannya dengan lirik baru yang merupakan pengolahannya dari hal-hal yang lama.” Jika seperti ini, lalu bagaimana dengan hak cipta? Bagaimana dengan paten? Bagaimana dengan keaslian karya? Bagaimana dengan plagiarisme?
Hak Cipta?
Ferguson menganggap semua hal di atas (hak cipta, plagiarisme, keasilan karya) sebagai omong kosong belaka. Semua hal yang kita lakukan selalu berpijak pada apa yang sudah ada sebelumnya, yang sudah dibuat oleh orang lain. Jika kita menghasilkan suatu karya, suatu lagu misalnya, kita memang bisa memiliki hak cipta atasnya. Namun, hak cipta tersebut tidaklah mutlak, karena kita juga berhutang pada jutaan orang lainnya yang memberikan inspirasi pada kita untuk menulis lagu tersebut.
“Penciptaan hanya dapat mungkin,” kata Ferguson, “jika itu berakar dan bertumbuh pada tempat yang telah disiapkan oleh orang-orang lainnya.” Pola yang serupa juga diakui oleh Henry Ford, pendiri perusahaan mobil Ford yang terkenal itu. Ia pernah berkata, “Saya tidak menciptakan apapun yang baru. Saya hanya merangkai temuan-temuan dari orang lain yang telah bekerja selama bergenerasi-generasi. Kemajuan muncul ketika semua hal yang memungkinkan kemajuan telah siap, dan tak bisa lagi dihindari.”
Ponsel cerdas Iphone juga memiliki sejarah yang sama. Konsep layar sentuh sama sekali bukan konsep baru. Apa yang dilakukan Apple dengan komputernya juga sama sekali bukan hal baru. Kehebatan mereka adalah, mereka berhasil menyatukan hal-hal yang terpisah sebelumnya, dan kemudian menjualnya secara agresif.
Di dalam salah satu wawancaranya di 1996, Steve Jobs, pendiri perusahaan Apple, pernah berkata, “Artis yang baik mengkopi. Artis yang hebat mencuri.” Ia mengutip kalimat ini dari Picasso, pelukis ternama di awal abad 20. Namun, pada 2010 lalu, Jobs kembali berkata, “Saya akan menghancurkan Android karena mereka adalah pencuri. Saya bersedia melakukan perang nuklir untuk ini!” Ferguson lalu mengomentari sikap Jobs tersebut, “Artis yang hebat mencuri, tetapi jangan mencuri dari saya!” Ironi khas Steve Jobs.
Remix
Intinya, semua hal yang kita lakukan adalah remix, atau penggabungan ulang dari apa yang sudah ada sebelumnya. Kreativitas kita bukanlah karya batin yang murni, melainkan tindakan sosial. Tidak ada yang asli dan murni baru di atas muka bumi ini. Kita bergantung satu sama lain dalam soal kreativitas.
Yang menjadi kunci adalah kita mengakuinya dengan terbuka dan tulus. Pengakuan, bahwa kita tidak akan menghasilkan karya yang asli dan murni dari pikiran kita sendiri, bukanlah tanda kelemahan. Ini tentu berbeda dengan pandangan banyak orang yang masing mengira, bahwa kreativitas berarti menghasilkan karya sendiri yang murni baru. Pengakuan, bahwa kreativitas kita bergantung pada karya-karya orang lain, adalah sebuah pembebasan dari kesalahan pahaman.
Ketika ini terjadi, kita pun tidak lagi menuntut terlalu banyak dari diri kita sendiri untuk asli dan murni dalam mencipta. Kita bisa memulai melakukan apa yang ingin kita lakukan dengan berpijak pada karya-karya orang lain yang sudah ada sebelumnya. Dengan cara ini, kita bisa membuat hal-hal baru dari hal-hal yang lama. Kita pun bisa menjualnya untuk meningkatkan penghasilan kita, atau justru membuka perusahaan dan lapangan kerja yang baru.
Oya, saya ingin mengingatkan, tulisan ini diinspirasikan oleh pemikiran Kirby Ferguson. Ini bukan “asli” pikiran saya. Saya tidak merasa malu. Saya justru merasa bangga bisa mendengarkan ide briliannya, dan “mengubahnya” sesuai dengan selera saya. Ora popo toh?
Nice
SukaSuka
Salam kenal mas
SukaSuka
Sangat perlu dengan kita berimprovisasi dengan apapun yang sudah pernah ada. Kebetulan saya produser. Dulu semasa di major label konsep “ATM” Amati Tiru Modifikasi sudah menjadi amunisi kami pelaku seni. Justru mereka yg mengaku bisa mbuat sesuatu yang “baru” dan original sampai skrng karyanya mampet, gitu2 aja.
Salam hangat untuk mas reza. Tulisan anda sangat bermanfaat
SukaSuka
Terima kasih. Kita memang berdiri bahu para raksasa, yakni orang-orang yang sudah berkarya dengan kita sebelumnya. Itu memang perlu diakui, dan digunakan seperlunya untuk mengembangkan karya kita sendiri. Salam hangat selalu.
SukaSuka